Goodreads Indonesia discussion
Kebohongan di Dalam Buku
date
newest »



kadang urusan logika seputar detail di kisah2 fiksi atau non-fiksi (apalagi) agak sering ganjel ya kalau ditemukan.. tiba2 jadi teringat waktu tadi siang anak2 saya nonton ulang film kartun 'open season', ada adegan para berang2 berhasil mengambil semua celana dalam para pemburu secara utuh, sementara beberapa detik setelahnya para pemburu itu terlihat beraksi dengan tetap menggunakan celana panjang mereka. jadilah saya yang kurang kerjaan saat itu mulai berpikir, piye itu si berang2 ngambilnya. sulap? doh.

Waktu buku 'Running with Scissors' karangan Augusten Burroughs keluar juga banyak yg menyangsikan kalo ini memoir sungguhan, karena isinya emang rada absurd.
Tapi kalo yg di atas ini kayaknya jadi heboh karena ternyata bukan hanya memoir plus tapi ternyata full fiksi.
Ga pa-palah, pelajaran supaya jangan terlalu gampang mengangkat suatu buku/media menjadi status cult.



Iya, nonton The Hoax itu gile bener si Irving, dan betapa "tolol"nya para redaktur McGraw Hill.
Betul Coq, memoar itu paling rentan. Bukan cuma James Frey, gw baca bukunya Habibie aja bertanya2: masa sih dia inget detil doa apa yg dia ucapkan bertahun2 lalu? banyak dan panjang pula hehe..
Betul Coq, memoar itu paling rentan. Bukan cuma James Frey, gw baca bukunya Habibie aja bertanya2: masa sih dia inget detil doa apa yg dia ucapkan bertahun2 lalu? banyak dan panjang pula hehe..

setauku Andrea sendiri nggak pernah menyatakan tegas2, buku2nya termasuk ke mana. menurutku pribadi sih, banyak adegan2 yang dialami sendiri, tapi ada juga bagian2 yang rekaan :D

kalo mnurut mel kisah hidupnya. pada intinya benar, inget2 deh pas dia bincang2 di kick-andy.. klopun ga smuanya bner, mungkin itu bumbu2 hiperbolis untuk memperkaya penulisannya..
mungkin yah
positive thinking-nya, the most important is how his writing r inspiring us & improve indonesian writers..dengan gaya-penulisannya yang unik & sangat bagus. dengan itu mungkin bisa mengaburkan perdebatan yang ada..
kalo Andrea menurutku emang dia niatkan sebagai fiksi kok. Jadi meskipun ada unsur otobiografisnya, tetep ga bisa dinilai sebagai memoar

sebagus2nya sebuah tulisan, perdebatan tetap wajar ada dan boleh ada. masa semua harus satu suara :)



Dia mah mang ajaib kekkekkek...


haha elo dong Nan yg menjelaskan, secara kan elo yg dengerin ceramah soal faksi itu
Jawa Pos [ Minggu, 11 Januari 2009 :]
Kebohongan di Dalam Buku
Sudah lebih dari sepuluh tahun terakhir Herman dan Roma Radzicky Rosenblat hidup bak selebriti. Entah berapa puluh wartawan media cetak dan elektronik mewawancarai pasangan Yahudi lanjut usia itu dan menayangkan hasil wawancaranya. Semua orang terpesona pada kisah cinta mereka yang digambarkan tumbuh saat keduanya hidup di kamp konsentrasi Nazi, Buchenwald, Jerman.
Bagaimana tidak? Dalam kata-kata Herman Rosenblat, dirinya bertemu Roma saat gadis itu sering melemparkan apel dan roti kepada dirinya di bangunan kamp di sebelahnya yang dipisahkan pagar kawat berduri. Setelah perang usai, keduanya terpisah lama hingga bertemu kembali secara tak sengaja di New York, lalu berpacaran, dan menikah pada 1958.
Begitu menariknya kisah berlatar Holocaust (pembantaian orang-orang Yahudi oleh Nazi Jerman) itu hingga pasangan tersebut bisa tampil sampai dua kali dalam acara televisi tersohor Oprah Show yang dipandu Oprah Winfrey. Tak kurang, Oprah pun memuji kisah pasangan itu sebagai ''salah satu di antara kisah cinta nyata paling dramatis yang pernah diungkapkan''.
Kisah Herman dan Roma juga telah diabadikan dalam bentuk buku bergambar untuk anak-anak. Buku berjudul Angel at The Fence (Malaikat di Balik Pagar) tersebut telah diterjemahkan ke beberapa bahasa dan dicetak jutaan kopi. Buku memoar mereka juga telah dicetak oleh Penerbit Berkley, anak perusahaan Penguin Group (USA), dan siap beredar Februari 2009. Sebuah film juga sedang digarap oleh Harris Salomon dan diperkirakan siap tayang tahun ini.
Tapi, sebenarnya, sejak awal ada sejumlah kalangan, termasuk ilmuwan, yang meragukan kisah Herman-Roma itu. Ada yang menyatakan, secara teknis, si gadis (Roma) tidak mungkin bisa melemparkan makanan seperti apel dan roti ke bangunan kamp sebelahnya yang dipisahkan pagar kawat berduri.
Beberapa ilmuwan yang menyiapkan tulisan untuk jurnal The New Republic akhirnya berhasil mewawancarai Herman, 79, dan Roma beberapa waktu lalu. Mereka meminta keduanya menjelaskan secara rinci bagaimana Roma bisa melemparkan apel dan roti di kamp tersebut.
Menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang serius, pasangan itu akhirnya mengaku bahwa pelemparan apel dan roti tersebut memang tidak pernah terjadi. Bahkan, mereka tidak pernah bertemu selama menjadi tahanan di kamp konsentrasi. Maka, gegerlah Amerika begitu kebohongan Herman itu beredar luas di media pada 30 Desember 2008.
Apa dampak kebohongan Herman dan Roma tersebut? Surat kabar International Herald Tribune melaporkan, dampak buruknya sangat besar. Penerbit Berkley langsung membatalkan peredaran buku Herman. Berkley juga menuntut Herman mengembalikan uang muka penerbitan bukunya itu.
Yang paling terpukul adalah para ilmuwan dan lembaga pendukung Herman sebelumnya, termasuk para tokoh Yahudi. Mereka mengkhawatirkan, kebohongan Herman Rosenblat itu akan meningkatkan ketidakpercayaan orang terhadap cerita-cerita terkait dengan Holocaust.
Sekarang saja telah banyak orang yang tidak percaya pada Holocaust. Sebagian menyebutkan, Holocaust sudah menjadi industri, dibesar-besarkan, dan didramatisasi untuk kepentingan finansial serta politik lembaga-lembaga Yahudi. Juga negara Israel.
''Saya sangat khawatir karena banyak di antara kita berbicara pada ribuan pelajar dan mahasiswa setiap tahun,'' kata Sidney Finkel, teman lama Rosenblat sejak sama-sama menjadi tahanan di kamp konsentrasi. ''Kami biasa berbicara di depan forum. Kami menceritakan kisah kami dan sekarang sebagian orang akan meragukannya.''
''Sungguh menyedihkan karena dia (Herman) telah menyusahkan korban Holocaust yang masih hidup, juga merusak keluarga sendiri setelah menikah setengah abad,'' kata ilmuwan Holocaust Michael Berenbaum.
Skandal kebohongan dalam perbukuan itu kiranya juga menjadi ''pukulan ekstra'' bagi komunitas Yahudi, khususnya di Amerika, yang bangkrut karena ditipu Bernard (Bernie) Madoff, seorang Yahudi pengelola bisnis ''skema Ponzi'' alias bisnis piramida.
Tak kurang dari USD 50 miliar (sekitar Rp 600 triliun) uang mereka ''amblas'' tak berbekas akibat ulah kotor Madoff yang menggunakan perusahaan berlabel Madoff Investment Securities LLC untuk mengeruk uang korbannya. Sumpah serapah mereka, bahkan para rabi, terhadap Madoff hari-hari ini masih terdengar nyaring.
''Herman Rosenblat maupun Bernie Madoff sama saja pembohong. Masing-masing semestinya hanya pantas mendapat satu dolar saja,'' begitu komentar di sebuah situs berita internet.
Tapi, seperti pembohong di mana pun, Herman juga tetap membela diri sebisanya. Dia mengaitkan perbuatannya tersebut dengan pertemuannya dengan ibundanya dalam mimpi. Dalam pernyataan tertulisnya, Herman menyatakan bahwa suatu ketika dirinya tertembak dalam insiden perampokan. Saat berada di rumah sakit, ibundanya datang dalam mimpi dan mendorong dirinya untuk menceritakan kisahnya, sehingga cucu-cucunya bisa mengetahui bagaimana mereka bisa selamat dari Holocaust.
''Setelah insiden itu, saya ingin memberikan kebahagiaan kepada masyarakat, mengingatkan mereka untuk tidak saling membenci, tapi saling mencintai dan bersikap toleran kepada semua orang. Motivasi saya adalah menciptakan kebaikan di dunia ini. Dalam mimpi saya, Roma akan selalu melempari saya sebuah apel. Tapi, saya kini tahu itu hanya mimpi,'' ujar Herman.
Apakah Herman memang mimpi bertemu ibunya? Repotnya, kini orang sulit memercayai kata-katanya. (*)
*) Djoko Pitono, jurnalis dan editor buku