Goodreads Indonesia discussion
Buku & Membaca
>
Selamat Tinggal, Rubrik Sastra!
date
newest »

sempet usil terpikir: "rubrik sastra boleh mati, tapi sastra sendiri tidak akan mati"
mungkin dengan begini orang malah akan serius menulis buku. bukankah selama ini banyak dikeluhkan sastra kita adalah sastra koran Minggu?
Mungkin juga sudah saatnya dibikin majalah khusus sastra yg bagus seperti Kisah dulu yg dimotori HB Jassin. Koran harian bolehlah dijejali melulu berita politik, tapi sastra tetap punya tempatnya sendiri yg terhormat
mungkin dengan begini orang malah akan serius menulis buku. bukankah selama ini banyak dikeluhkan sastra kita adalah sastra koran Minggu?
Mungkin juga sudah saatnya dibikin majalah khusus sastra yg bagus seperti Kisah dulu yg dimotori HB Jassin. Koran harian bolehlah dijejali melulu berita politik, tapi sastra tetap punya tempatnya sendiri yg terhormat



duh bandung...eh horison :D
1/ Ron, kan sdh ada tuh Horison. Tp ya spt masturbasi. yang baca majalah itu ya yang menulis di situ. sungguh keajaiban saja majalah itu msh panjang umur sampai sekarang.
Mbak, menurutku bila penalarannya begini, maka Republika tidak keliru. Mereka juga akan bilang: siapa yg baca rubrik sastra kami kalau bukan yg ngisi sendiri? Mending ganti berita lain, yg baca orang banyak.
Nurut aku justru di situ soalnya, majalah2 spt Horison harus berusaha memperlebar pangsa pasarnya. Penebit2 sastra juga begitu. Sastra tidak perlu lagi mendompleng ke koran harian. New York Times juga akhirnya membikin divisi khusus New York Times Review of Books, yang akhirnya dari majalah menjadi penerbit buku sastra sendiri yg sangat berkelas NYRB (http://www.nybooks.com/nyrb/).
2/ Ketika di Kompas dikatakan bahwa kini sastra semakin memasyarakat dan siapa saja sepertinya bisa menjadi penulis, eeh...Republika justru membunuh rubrik sastranya.
Nah, dua fenomena ini menurutku justru sangat berkaitan. Sastra semakin memasyarakat, lewat internet, blog dsb. Otoritas koran pun semakin dipertanyakan dan akhirnya pupus. Tiap orang bisa nulis, nerbitin online, atau nerbitin buku tercetak sendiri. "Ngapain juga gw butuh rubrik sastra di koran Minggu kalo gw bisa nerbitin sendiri?"
Mbak, menurutku bila penalarannya begini, maka Republika tidak keliru. Mereka juga akan bilang: siapa yg baca rubrik sastra kami kalau bukan yg ngisi sendiri? Mending ganti berita lain, yg baca orang banyak.
Nurut aku justru di situ soalnya, majalah2 spt Horison harus berusaha memperlebar pangsa pasarnya. Penebit2 sastra juga begitu. Sastra tidak perlu lagi mendompleng ke koran harian. New York Times juga akhirnya membikin divisi khusus New York Times Review of Books, yang akhirnya dari majalah menjadi penerbit buku sastra sendiri yg sangat berkelas NYRB (http://www.nybooks.com/nyrb/).
2/ Ketika di Kompas dikatakan bahwa kini sastra semakin memasyarakat dan siapa saja sepertinya bisa menjadi penulis, eeh...Republika justru membunuh rubrik sastranya.
Nah, dua fenomena ini menurutku justru sangat berkaitan. Sastra semakin memasyarakat, lewat internet, blog dsb. Otoritas koran pun semakin dipertanyakan dan akhirnya pupus. Tiap orang bisa nulis, nerbitin online, atau nerbitin buku tercetak sendiri. "Ngapain juga gw butuh rubrik sastra di koran Minggu kalo gw bisa nerbitin sendiri?"
*muncul bentar*
tapi di Indonesia sekarang tingkat keterbacaan apa pun di koran tetap lebih tinggi daripada buku ya. Apa lagi dibandingkan dengan internet. Ini kalau bicara masalah jangkauan sirkulasi dan harga jual.
Sekalian titip pesan ah: Mbak endah, belon bisa ke rumah sekarang. Masih hujaaan.
tapi di Indonesia sekarang tingkat keterbacaan apa pun di koran tetap lebih tinggi daripada buku ya. Apa lagi dibandingkan dengan internet. Ini kalau bicara masalah jangkauan sirkulasi dan harga jual.
Sekalian titip pesan ah: Mbak endah, belon bisa ke rumah sekarang. Masih hujaaan.
itu betul, Ver. tapi matinya rubrik sastra di koran2 ini cuma gambaran kecil dari fenomena lain yg lebih besar, misalnya turunnya omzet koran gara2 internet, rendahnya minat sastra masyarakat (sangat bisa jadi Republika sudah membikin polling buat pembaca/pelanggannya, dan hasilnya memang rubrik sastra yang paling jarang mereka baca) dll
menurutku cuma: kita tidak bisa mengandalkan koran. kalau mau menggalakkan sastra di masyarakat ya harus kita upayakan sendiri: tulis buku, bikin penerbitan, dll
menurutku cuma: kita tidak bisa mengandalkan koran. kalau mau menggalakkan sastra di masyarakat ya harus kita upayakan sendiri: tulis buku, bikin penerbitan, dll

Tetapi daya jangkau koran di negeri kita ini kan lebih luas (lebih banyak pembacanya) ketimbang internet. Jadi kurasa ya untuk saat ini koran tetap lebih efektif sebegai media memasyarakatkan sastra. Makanya aku jadi sedih begitu mendengar ada satu lagi rubrik sastra yang menjadi almarhum :)
Dulu kelompoknya Richard Oh pernah juga bikin tabloid Jakarta Review of Books seperti NYT itu. Tetapi lagi-lagi usinya singkat saja. Barangkali persoalannya sama : merugi.
Endah wrote: "...Tetapi daya jangkau koran di negeri kita ini kan lebih luas (lebih banyak pembacanya) ketimbang internet. Jadi kurasa ya untuk saat ini koran tetap lebih efektif sebegai media memasyarakatkan sastra. "
Inilah pengalaman saya juga kenal sastra, karena koran kan relatif tidak kenal usia pembaca. Susah juga seorang anak kelas 1 SD untuk kenal karya Putu Wijaya misalnya lewat buku, selain akses mendapatkannya sulit, harganya tidak terjangkau, atau bisa2 dipandang "aneh" oleh orang lain. Tapi jika sebagai cerpen atau cerbung koran, bisa saja dia dapatkan dari bungkus sayur, misalnya *iiih... curhat*
Inilah pengalaman saya juga kenal sastra, karena koran kan relatif tidak kenal usia pembaca. Susah juga seorang anak kelas 1 SD untuk kenal karya Putu Wijaya misalnya lewat buku, selain akses mendapatkannya sulit, harganya tidak terjangkau, atau bisa2 dipandang "aneh" oleh orang lain. Tapi jika sebagai cerpen atau cerbung koran, bisa saja dia dapatkan dari bungkus sayur, misalnya *iiih... curhat*

Klo menurutku seh cara paling efektif mengenalkan sastra ya masih lewat pendidikan formal. Mungkin perlu juga seorang murid dipaksa untuk kenal buku-buku sastra. Tapi kalo caranya kaya gini kasihan murid juga dink, mereka dah kebanyakan dijejali terlalu banyak sampah nggak jelas.
Beberapa waktu lalu aku sempat kaget waktu baca buku Bahasa Indonesia anak SD. Lupa kelas berapa. Masa didalamnya ada semacam analisis media. menurutku tu topik terlalu berat untuk anak SD.
@Pra thx infonya.

Dulu aku suka banget baca buku sastra karena selalu dimuat cuplikannya di buku bahasa indonesia, karya2 STA, Marah Rusli.
Gak tau ya skarang isi buku anak sekolahan sastrawannya siapa??
Kesannya bahwa buku sastra itu berat dan musingin tuh harus bisa diubah.. Para pembacanya juga harus mensiasati jangan baca buku sastra terus2an, diseling dengan yang lain..
Semoga yang di KOMPAS didak menyusul kawan2nya..
Gue suka baca juga tuh..

Seharusnya analisis PS kali ya? lol, becanda,
Tapi kalau murid dipaksa untuk kenal buku sastra juga bukan langkah yang tepat juga. Sastra justru dilihat sebagai hal berat, tugas semata, setaraf dengan angka imaginer dan bilangan biner yang monoton (hik.)
Mungkin lebih tepat kalau di tiap sekolah ada klub sastra-yang aktif.
ame wrote: "dan bilangan biner yang monoton (hik.).."
LOL... ini frase kayaknya ada penciptanya, deh, belum lama dengar soale, hehe...
dia belon daftar buat hak patennya kan? syapa tau ntar dia maen ke sini, me :)
LOL... ini frase kayaknya ada penciptanya, deh, belum lama dengar soale, hehe...
dia belon daftar buat hak patennya kan? syapa tau ntar dia maen ke sini, me :)

Dan semua jawabannya sudah ada di buku teks. Siswa bukan disuruh mencari lewat bukunya langsung. Tapi mudah-mudahan sekarang tidak begitu lagi. Apalagi kalau ibu gurunya seperti Vera :)

Klo yang aku lihat sekarang, peminat2 sastra tu malah lebih jalan di komunitas-komunitas kecil. Mereka punya tempat dan pengunjung setia.
@Pra: Tadi aku abis dari Toga Mas dan ga nemu Horison.

LOL... ini frase kayaknya ada penciptanya, deh, belum lama dengar soale, hehe...
dia belon daftar buat hak patennya kan? syapa tau ntar dia maen ke sini, me :)"
ah gpp, penciptanya kan bikin frase "bilangan biner yang motonon hik".
kan beda. hoho.
@Lutfi: nnah itu dia, jarang bener guru sekarang yang ngajak baca karya sastra terus dikomentari rame-rame. Yang ada juga murid disuruh baca, terus dikasih tugas bikin review.
Dan ujung2nya? murid cari review di internet, jiplak, kumpul, selesai.
@Lutfi lagi: hah? Toga Mas gak jual Horison lagi??
coba cari di lapak koran/majalah deh, kayak yang di perempatan mirota kampus, ato yang di galeria.

@ Pra, besok lutfi ke Semarang lagi.
@ Ame, masih mending dikasih tugas reviuw. Yang aku tahu jaman aku dulu kuliah pas pelajaran sastra kita cuma disuruh ngapalin periodisasi pujangga. Trus siapa aja pengarang yang beken dan judul2 masterpiecenya. Ironisnya sampe sekarang aku dan banyak temenku pada blum pernah baca karya2 tadi.
Sebenarnya ada seh guru yang ngajak muridnya baca. Tapi jumlahnya dikit banget. Setahuku, orang sekarang malas jadi guru karena kesannya guru tu ga keren. Gajinya yang kecil juga bikin kebanyakan orang milih kerja jadi guru klo kepepet. Jadi ya banyak yang cuma asal ngajar. Karena mereka nggak bener2 cinta ama kerjaannya.
Klo aku seh pengen suatu saat nanti bikin komunitas sastra.

Ntar kalo aku ketemu majalah itu, aku pinjemin deh.
Maklum, bukan penggemar sastra--karena emang gak pernah ngerti.
Tapi kalo kamu suka sastra, beli aja majalahnya, cukup worthed menurutku. Gak mahal-mahal amat, masih mahalan animonster =p
Kalau soal pengajaran sastra di sekolah sebenernya gak cuman gurunya sih yang bisa disalahkan. Kurikulumnya juga gak mendukung, terlalu padat.
Pendidikan kita kan mengutamakan hasil, bukan proses. Contohnya ya UAN itu.
Inget waktu jaman SMA kemarin, sering guruku menskip beberapa pembahasan di buku teks, karena emang gak "penting" dan gak bakal keluar di UAN. Belum lagi waktunya yang mepet.
Buat apa apresiasi sastra, toh juga UAN cuman pilihan berganda, gak bakal keluar yang begituan.
Paling pol ya kayak kamu bilang itu, cuman disuruh hapalin pengetahuan umumnya aja, siapa pengarangnya, judulnya apa, tahun berapa, dll.


Beli Gong yang edisi khusus bambu, bagus, padahal cuman tertarik gara-gara covernya yang keren--dan lagi diskon jadi 3500perak pula.
Basis juga cuman punya satu yang edisi khusus Nietzsche-Si Pembunuh Tuhan. Dari SMP udah selesai dibaca, sampe sekarang gak pernah ngerti.
cih, otak saya yang ndak sophisticated pisan.
Akhirnya itu majalah cuman buat keren-kerenan doang kalo ada temen yang dateng ke rumah.

Nggak dong ... kan korannya jalan terus sedang rubrik sastranya tidak. Jadi ibaratnya kalau awalnya sama-sama naik motor, nah si rubrik ini diturunin dan ditinggalkan di pinggir jalan ... jadi ya bener judulnya "selamat tinggal".
kecuali kalau rubrik sastranya jadi majalah sendiri nah baru namanya "selamat jalan" ... tambah "semoga berhasil" hehehe

Selain Horison, ada yang sedikit lebih "berat" : Kalam, sebuah jurnal kebudayaan milik TUK. Tapi entah, apakah msh ada? Sudah lama ga baca dan ga beli.
Demikian sebaris kalimat yang kuterima pagi ini via sms dari seorang sahabat sastrawan, Kurnia Effendi. Hiks...:( Sungguh menyedihkan berita itu. Satu lagi halaman sastra meninggal, habis masa hidupnya. Tak sanggup bertahan dari berbagai gempuran dan kepentingan. Republika menjadi koran kesekian yang membunuh rubrik sastranya setelah sebelumnya terjadi pada Media Indonesia, Bisnis Indonesia, Surya, Parle…..
Sastra mungkin memang bukan rubrik yang populer. Keberadaannya hanya sekadar menyelip di selembar dua sebuah surat kabar yang umumnya mengedepankan berita-berita politik, sosial, kriminal, dan hiburan. Itu pun cuma diberi kesempatan muncul sepekan sekali. Di Pikiran Rakyat malah hanya dua minggu sekali (padahal tadinya seminggu sekali juga).
Kematian para rubrik sastra ini ada bermacam-macam sebabnya. Ada yang karena alasan penghematan. Ada juga yang terpaksa menjadi martir demi memberikan porsi yang lebih banyak kepada berita-berita politik menjelang Pemilu 2009. Rupanya politik masih menjadi panglima. Hiks…
Harapanku, semoga kematian rubrik sastra di koran berhenti sampai di sini saja. Semoga tidak merambah, menular ke koran-koran yang lain. Amien….!