Goodreads Indonesia discussion

762 views
Klub Buku GRI > Baca Bareng Buku Puisi "Aku Ini Binatang Jalang" oleh Chairil Anwar

Comments Showing 1-50 of 145 (145 new)    post a comment »
« previous 1 3

message 1: by Roos (last edited Aug 19, 2009 08:45AM) (new)

Roos | 2991 comments Hai Temans,
Berhubung Baca Bareng Buku Puisi Tirani dan Benteng oleh Taufiq Ismail sudah selesai, maka untuk tetap memberi semangat sehabis pesta ulang tahun kemerdekaan Ri yang ke 64 dan semangat buat yang menjalankan ibadah puasa. Maka Klub Buku GRI mempersembahkan Buku Puisi Aku ini Binatang Jalang oleh Chairil Anwar .

Nah buat yang mempunyai informasi mengenai Buku ataupun Penulisnya, harus share disini yah temans. Biar nambah pengetahuan kita mengenai siapa sesungguhnya Chairil Anwar.

Karena kebetulan yang memegang buku ini Roos dan Mia, maka kita berdua yang bakal mengetik dan posting disini. Tidak menutup kemungkinan buat temans yang mempunyai bukunya untuk membantu kita berdua. Tapi harus melihat postingan kita sebelumnya juga yah, supaya urut dan rapi saja. Sebelumnya terima kasih banyak yah.

Dan semoga suka!

Terima kasih.


message 2: by free (new)

free (frdn) | 36 comments adanya Derai-derai Cemara...
:)


message 3: by miaaa, Moderator (last edited Aug 19, 2009 09:00PM) (new)

miaaa | 2354 comments Mod
@fridan, gpp mungkin bisa bantuin ngetik di baca bareng puisi berikutnya :D

Okay kita mulai ya temans. sebenarnya tulisan SDD tentang Chairil Anwar di bawah ini adalah kata penutup di buku ini, tapi aku dan roos sepakat diketik lebih dahulu aja termasuk surat-surat beliau ke H.B. Jassin

happy reading


message 4: by miaaa, Moderator (new)

miaaa | 2354 comments Mod
Chairil Anwar Kita
Oleh: Sapardi Djoko Damono

"Aku mau hidup seribu tahun lagi", tulis Chairil Anwar dalam sajak "Aku" atau "Semangat" pada tahun 1943, ketika ia berumur 20 tahun. Enam tahun kemudian ia meninggal dunia, dimakamkan di Karet, yang disebutnya sebagai "daerahku y.a.d." dalam "Yang Terhempas dan Yang Putus" - sajak yang ditulisnya beberapa waktu menjelang kematiannya pada tahun 1949. Sejak itu, sajak-sajaknya hidup di tengah-tengah kita.

Beberapa larik puisinya telah menjelma semacam pepatah atau kata-kata mutiara: "hidup hanya menunda kekalahan", "Sekali berarti sudah itu mati", "Kami cuma tulang-tulang berserakan", dan terutama larik yang dikutip di awal tulisan ini. Secara lisan maupun tertulis, larik-larik tersebut kadang-kadang dikutip terlepas dari makna-utuh masing-masing sajak; kenyataan ini tentu tidak membuktikan bahwa kebanyakan anggota masyarakat kita telah menekuni puisi Chairil Anwar, juga belum menunjukkan bahwa pemahaman dan penghargaan masyarakat kita terhadap sastra telah tinggi. Namun, setidaknya ia mengungkapkan bahwa beberapa larik puisi Chairil Anwar sudah dianggap menjadi milik masyarakat, bukan lagi milik pribadi itu.

Ia dianggap pelopor Angkatan 45; oleh karenanya beberapa sajaknya dikenal siapa pun yang pernah duduk di bangku sekolah menengah. Dalam kelas, Chairil Anwar biasanya diperkenalkan sebagai penyair yang memiliki vitalitas, yang terutama terungkap dalam “Aku”. Sajak yang larik terakhirnya mengawali tulisan ini mengandung antara lain bait-bait berikut:

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang.

Dari larik-larik tersebut jelas bahwa, di samping vitalitas, ada sisi lain kehidupannya yang tergambar – yang mungkin tidak bisa terhapuskan dari kehidupan berkesenian di negeri ini – yakni kejalangannya. Sebagai “binatang jalang”-lah Chairil Anwar merupakan lambing kesenimanannya di Indonesia.

Bukan Rustam Effendi, Sanusi Pane, atau Amir Hamzah, tetapi Chairil Anwar yang dianggap memiliki seperangkat ciri seniman: tidak memiliki pekerjaan tetap, suka keluyuran, jorok, selalu kekurangan uang, penyakitan, dan tingkah lakunya menjengkelkan. Sejumlah anekdot telah lahir dari ciri-ciri tersebut. Tampaknya masyarakat menganggap bahwa seniman tidak berminat mengurus jasmaninya, dan lebih sering tergoda oleh khayalannya; mungkin yang paling mirip dengan golongan “binatang jalang” ini adalah orang sakit jiwa.

Lepas dari benar-tidaknya gambaran mengenai penyair ini, sebenarnya penggambaran itu sendiri membuktikan adanya sikap mendua terhadap seniman dalam masyarakat. Ia dikagumi sekaligus dicela; ia menjengkelkan, tetapi selalu dimaafkan. Keinginan untuk menjalani hidup dengan cara tersendiri itulah, yang sering tidak sesuai dengan cara masyarakat umum, yang menyebabkan kebanyakan orang sulit memahami sikapnya. Tetapi mengapa Chairil Anwar yang umumnya diangap melambangkan ciri kesenimanan?

Pada masa hidup penyair itu, sejumlah seniman kita – sastrawan, pelukis, dan komponis – tentunya juga mengalami hidup bohemian. Dalam bidang masing-masing, Ismail Marzuki, Affandi, dan Sudjojono tentu tidak bisa dianggap lebih rendah dari Chairil Anwar, namun dalam kehidupan bohemian ternayta penyair inilah yang dianggap mewakili mereka. Hal ini tentu erat kaitannya dengan kehidupan dan kematiannya; tampaknya Chairil Anwar bisa bergaul dengan seniman dalam bidang apa pun sehingga pada zamannya mungkin ia paling banyak dikenal di antara mereka; dan ia mati muda. Kematiannya itu, yang umumnya dipandang sebagai akibat kehidupannya yang bohemian, menyebabkan gambaran tentangnya sebagai “binatang jalang” tidak pernah berubah. Rekan-rekannya dikaruniai umur lebih panjang, suatu hal yang tentu bisa menggeser-geser gambaran masyarakat tentang mereka.

Chairil Anwar dan cara hidupnya yang “jalang” telah menjadi semacam mitos; kita suka lupa bahwa sajak-sajak yang ditulis menjelang kematiannya menunjukkan sikap hidup yang matang dan mengendap meskipun umurnya baru 26 tahun. Kita umumnya lebih suka membayangkan semangat hidup penyair ini seperti yang terungkap dalam sajak-sajaknya “Semangat” dan “Kepada Kawan”, padahal dekat-dekat kematiannya ia menulis larik-larik sebagai berikut:

DERAI-DERAI CEMARA

cemara menderai sampai jauh,
terasa hari jadi akan malam,
ada beberapa dahan di tingkap merapuh,
dipukul angin yang terpendam.

aku sekarang orangnya bisa tahan,
sudah berapa waktu bukan kanak lagi,
tapi dulu memang ada suatu bahan,
yang bukan dasar perhitungan kini.

hidup hanya menunda kekalahan,
tambah terasing dari cinta sekolah rendah,
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan,
sebelum pada akhirnya kita menyerah.

Penyair yang pada usia 20 tahun meneriakkan keinginan untuk “hidup seribu tahun lagi” ini, pada usia 26 tahun menyadari bahwa “hidup hanya menunda kekalahan … sebelum pada akhirnya kita menyerah”. Sajak ini merupakan semacam kesimpulan yang diutarakan dengan sikap yang sudah mengendap, yang sepenuhnya menerima proses perubahan dalam diri manusia yang memisahkannya dari gejolak masa lampau. Proses itu begitu cepat, sehingga “ada yang tetap tidak diucapkan” – sesuatu yang tentunya mengganjal di tenggorokan – “sebelum pada akhirnya kita menyerah”. Pengutaraan sajak ini pun tertib dan tenang: masing-masing bait terdiri dari empat larik yang sepenuhnya mempergunakan rima a-b-a-b. Citraan alam yang dipergunakan Chairil Anwar pun menampilkan ketenangan itu: suara derai cemara sampai di kejauhan yang menyebabkan hari terasa akan menjadi malam, dan dahan yang ada di tingkap merapuh itu pun “dipukul angin yang terpendam”. Dalam keseluruhan sajak ini, kata “dipukul” jelas merupakan kata yang paling “keras” – mengungkapkan masih adanya sesuatu di dalam yang “terpendam”, yang memukul-mukul dahan yang “merapuh”. Si aku lirik dalam sajak ini pun menyadari sepenuhnya bahwa hari belum malam, namun terasa “jadi akan malam”.



message 5: by miaaa, Moderator (last edited Aug 19, 2009 11:12PM) (new)

miaaa | 2354 comments Mod
Suasana yang mengendap dan pikiran yang tertib dalam sajak tersebut sama sekali berlainan dengan semangat yang teraduk dalam, misalnya, “Diponegoro” dan “Aku”. Namun dalam perkembangan puisi Chairil, perbedaan tersebut tidak membuktikan adanya perubahan yang mendadak. Benih kematangan perenungan itu sudah tampak sejak dini, bahkan pada sajak “Nisan”, yang ditulis pada awal kegiatannya sebagai penyair. Perbedaan antara “Nisan” dan “Derai-derai Cemara” mengungkapkan perubahan yang mendasar: dalam sajak yang ditulisnya tahun 1942 itu rahasia kehidupan diungkapkan dengan teknik yang belum dikuasai sehingga cenderung gelap, sedangkan sajak yang disusun menjelang kematiannya itu menunjukkan teknik persajakan yang sepenuhnya telah dikuasai sehingga terasa jernih.

Bagaimanapun, Chairil Anwar tampil lebih menonjol sebagai sosok yang penuh semangat hidup dan sikap kepahlawanan. Sajak-sajaknya yang paling sering terdengar dalam pelbagai acara pembacaan puisi mungkin adalah “Aku” dan sadurannya “Krawang-Bekasi”. Kita umumnya beranggapan bahwa “Aku” mencerminkan sikap individualistis penyair ini; boleh dikatakan berdasarkan sajak inilah ia dianggap seorang individualis. Tetapi sajak sadurannya “Krawang-Bekasi” sama sekali tidak menunjukkan sikap itu. Bahkan sebenarnya Chairil Anwar adalah salah seorang penyair kita yang memperhatikan kepentingan sosial dan politik bangksa. Beberapa larik “Krawang-Bekasi” berbunyi:

Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Sjahrir.

Sajak saduran ini ditulis tahun 1948, ketika kita semua berada dalam kesulitan dan kebanyakan pemimpin bangsa menghadapi bahaya. Tahun demi tahun keadaan politik pun bergeser, dan 15 tahun setelah ditulis, dua larik “Menjaga Bung Hatta/Menjaga Bung Sjahrir” itu tidak jarang dihapus dalam pembacaan puisi. Demikianlah, “binatang jalang” yang dahulu hidupnya bohemian itu menjadi tokoh yang diperhitungkan dalam percaturan politik, suatu kenyataan yang tentunya ia sendiri pun tidak menduganya. Perhatiannya terhadap perjuangan bangsanyalah yang telah mendorongnya menyusun sajak saduran itu, dan bukan kecenderungan untuk memihak kelompok politik tertentu. Dorongan itu pulalah tentunya yang telah menghasilkan sajak yang sama sekali tidak mencerminkan sikap individualistis dan jalang:

PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO

Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengar bicaramu, dipanggang
atas apimu, digarami oleh lautmu

Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak &
berlabuh


Penyair yang tidak pernah tersurat menyatakan keterlibatannya pada kegiatan politik pihak tertentu, yang pernah menulis larik-larik sajak yang menyatakan bahwa sejak Proklamasi ia “melangkah ke depan berada rapat di sisi” Bung Karno dan merasa bahwa ia dan Bung Karno “satu zat satu urat” itu, pada akhir paruh pertama tahun 60-an menjadi taruhan pelbagai pihak dalam kegiatan politik praktis. Pada tahun 1965, komisaris dewan mahasiswa sebuah fakultas sastra menyatakan bahwa gagasan kepenyairan Chairil Anwar bertentangan dengan gagasan faham Sosialisme Indonesia dan Amanat Berdikari yang digariskan Bung Karno; pernyataan itu kemudian dibenarkan oleh pimpinan fakultas yang berkaitan, bahwa kemudian menolak tanggal 28 April – hari kematian Chairil Anwar – sebagai Hari Sastra. Pada pertengahan yang sama, seorang tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat yang bernaung di bawah Partai Komunis Indonesia memuji keberanian pernyataan tersebut dan menyatakan bahwa pokoknya sesuai dengan sikap lembaganya yang tidak mengakui gagasan penyair terbesar ini.

Pada waktu itu pula, Roeslan Abdoelgani – masih seorang tokoh politik yang berwibawa – menulis sebuah karangan, “Chairil Anwar juga Milik Seluruh Bangsa Indonesia”. Sangat terasa, nasib si “binatang jalang” ini berada di tangan orang-orang politik. Pihak-pihak yang berebut kekuasaan ketika itu telah memilih penyair ini sebagai salah satu bahan taruhan berdasarkan pertimbangan yang masak. Sudah sejak semula Chairil Anwar dinilai sebagai penyair penting; dan antara lain berkat pandangan H.B. Jassin, ia kemudian dianggap sebagai penyair terbesar – setidaknya sesudah Perang Dunia II. Dalam kedudukan demikian, sikapnya berkesenian tentu bisa berpengaruh terhadap pandangan kesenian bangsa. Hal ini tentu tidak disukai golongan yang telah memiliki pandangan kesenian yang tegas, yang berpandangan bahwa kegiatan kesenian merupakan faktor sangat penting dalam serbuan politiknya. Pandangan politik pada masa itu tampaknya sulit sekali memisahkan Chairil Anwar dari “penemu”-nya, H.B. Jassin, yang menolak faham realism sosialis dan menawarkan humanisme universal.

Penolakan tanggal 28 April sebagai Hari Sastra menyiratkan kenyataan bahwa penyair ini memang sungguh-sungguh dianggap memainkan peranan menentukan dalam perkembangan sastra kita. Ia tumbuh di zaman yang sangat rebut, menegangkan, dan bergerak cepat. Peristiwa-peristiwa penting susul-menyusul; untuk pertama kalinya sejak dijajah Belanda negeri ini membukakan diri lebar-lebar terhadap segala macam pengaruh dari luar. Pemuda yang berpendidikan formalnya tidak sangat tinggi ini harus menghadapi serba pengaruh itu; dan ia pun tidak hanya mengenal para sastrawan Belanda yang dicantumkan dalam pelajaran sekolah, tetapi juga membaca karya sastrawan sezaman dari Eropa dan Amerika, seperti T.S. Eliot, Archibald MacLeish, W.H. Auden, John Steinbeck, dan Ernest Hemingway. Ia sempat menerjemahkan beberapa di antaranya, atau menyadurnya, atau mencuri beberapa larik dan ungkapannya.

Kecerdasan dan dorongan semangatnya untuk menjadi pembaru menjadikannya mampu mengatasi serba bacaan itu; ia tidak dikuasai sepenuhnya oleh yang dibacanya, tetapi berusaha benar-benar untuk menguasainya. Hasilnya adalah antara lain sajak saduran “Krawang-Bekasi” (dari karya MacLeish) dan terjemahan “Huesca” (dari karya John Cornford, seorang penyair yang tidak begitu terkenal). Sadurannya itu boleh dikatakan sudah menjadi milik umum di sini, sedangkan “Huesca” membuktikan keunggulannya sebagai penerjemah puisi. Dan ia telah pula berhasil mencuri dari khasanah sastra dunia demi puisi yang ditulisnya; kata T.S. Eliot, penyair yang salah sebuah sajaknya telah diterjemahkan Chairil Anwar, “penyair teri meminjam, penyair kakap mencuri”.

Seperti perubahan yang sangat cepat di sekelilingnya, Chairil Anwar pun tumbuh sangat cepat, dan raganya layu dengan cepat pula. Ketika meninggal, mungkin sekali ia sudah berada di puncak kepenyairannya, tetapi mungkin juga ia masih akan menghasilkan sajak-sajak yang lebih unggul lagi seandainya dia hidup lebih lama. Tetapi mungkin ia malah berhenti menulis puisi dan memasuki dunia politik atau dagang seandainya dikaruniai umur panjang. Sebaiknya, kita tidak usah saja membuat pengandaian. Chairil Anwar tidak bisa bekerja lebih lama. Ia telah meninggalkan sejumlah sajak untuk kita.

Tidak ada hasil kerja manusia yang sempurna. Sebagian besar sajak Chairil Anwar mungkin sekali sudah merupakan masa lampau, yang tidak cukup pantas diteladani para sastrawan sesudahnya. Namun, beberapa sajaknya yang terbaik menunjukkan bahwa ia telah bergerak begitu cepat ke depan, sehingga bahkan bagi banyak penyair masa kini taraf sajak-sajaknya tersebut bukan merupakan masa lampau tetapi masa depan, yang mungkin hanya bisa dicapai dengan bakat, semangat, dan kecerdasan yang tinggi.

Depok, akhir tahun 1985


message 6: by Pandasurya (new)

Pandasurya | 1361 comments waaahh ini dia buku dan penyair yang jadi favorit banyak orang..:-)

mo coba usul nih: puisi2 CA kan udah banyak tuh di postingan/blog2 orang di dunia maya, nah gimana klo tinggal co-pas ajah yg sesuai sama isi buku puisi ini?
urutannya disesuaikan dengan halaman di buku ini..jadi ga cape ngetik lagi gt..hehehe:-) kecuali puisi yg emang belom ada di dunia maya..
gimana, bu Roos dan miaa??


message 7: by Pandasurya (last edited Aug 20, 2009 01:15AM) (new)

Pandasurya | 1361 comments mo nyumbang gambar boleh ya..

description

Puisi Aku-Chairil Anwar itu ditulis di sebuah gedung di Belanda. Tepatnya di Kernstraat 17a (zijgevel), Leiden.



message 8: by miaaa, Moderator (new)

miaaa | 2354 comments Mod
ummm panda jr, aku sih mau aja tapi di buku ini ada catatan editornya soal beberapa versi sajak Chairil Anwar. contohnya sajak "Aku" versi DCD (Deru Campur Debu) yang dalam versi KT (Kerikil Tajam ...) atau sajak "Hampa". kalau aku sih mungkin lebih enak ngikutin bukunya ajah, berhubung udah ada di tangan daripada harus browsing lagi cari2 di internet :D

gimana kalo panda jr saja yang browsing hehe


message 9: by Pandasurya (last edited Aug 20, 2009 01:19AM) (new)

Pandasurya | 1361 comments yup..gw juga punya bukunya, mia:-)
iya sih, utk ngecek yg di buku sama ato engga dgn yg di dunia maya emang harus sambil pegang bukunya. dan buku gw di Bdg soalnya..hehehe:-)

klo browsing emang dapet banyak tapi ya itu tadi harus sambil megang bukunya kayanya.

ok d klo gt dilanjuuut ajah ngetik dari bukunya..:-)
maap ga bisa ikut bantuin..soalnya itu tadi, maksud hati ingin membantu, apa daya bukuku di Bdg..:-)


message 10: by miaaa, Moderator (last edited Aug 20, 2009 01:39AM) (new)

miaaa | 2354 comments Mod
Surat-Surat Chairil Anwar Kepada H.B. Jassin

15 Maret 1943

Jassin,

Tadi datang. Rumah kosong. Ada menungu kira-kira sejam. Sementara itu tentu ta' dapat melepaskan tangan dari lemari buku. Kubawa
1) H.R. Holst, De nieuwe Getroste
2) H.R. Holst, Keur uit de Gedichten
3) Huizinga, In de schaduw van Morgen
4) Huizinga, Cultuur Historische Verkenningen.

Maksud datang tentu dapat Jassin menerka. Minta terima kasih 1001 kali.
Kalau sempat besok datang ke Balai Pustaka.
Jassin,
Aku tak bertukar. Masih seperti dulu juga lagi. Tapi kalau 10 hari lagi dihukum tentu lemah & jinak.
Relaas perkaraku akan membuktikan aku ta' bersalah.
Apa?! Disumpahi Eros.
Kuminta padamu sekali lagi 1001 terima kasih.
Aku katakan: You are well.

Ch. Anwar


message 11: by miaaa, Moderator (new)

miaaa | 2354 comments Mod
(Kartu pos, 8 Maret 1944)
d/a R.M. Djojosepoetro
Paron
Jawa Timur

Jassin,
Dalam kalangan kita sipat setengah-setengah bersimaharajalela benar. Kau tentu tahu ini. Aku memasuki kesenian dengan sepenuh hati. Tapi hingga kini lahir aku hanya bisa mencampuri dunia kesenian setengah-setengah pula. Tapi untunglah bathin seluruh hasrat dan minatku sedari umur 15 tahun tertuju ke titik satu saja, kesenian.
Dalam perjalanan ini kudengar sudah bisa berkirim uang ke Sumatra - Jawa. Ini besar artinya bagiku, jiwaku tidak perlu kungkungan mengalami kantor setiap hari-hari seperti kebanyakan di antara kita sekarang.
Sekian

Ch. Anwar, dalam perjalanan
di Jawa Timur


message 12: by miaaa, Moderator (new)

miaaa | 2354 comments Mod
(kartu pos, 8 Maret 1944)
d/a R.M. Djojosepoetro
Paron

Jassin,
Tidak Jassin aku tidak akan kembali ke prosa seperti dalam pidato di depan "Angkatan Baru" dulu! Prosa seperti itu sebenarnya membubung, mengawang tinggi saja, karena keintensiteitan menulis serasa aku mendera jadinya, tetapi tiliklah setelitinya sekali lagi, dengan prosa seperti itu aku tidak sampai ke perhitungan (afrekening). Sedangkan maksudnya aku akan bikin perhitungan habis-habisan dengan begitu banyak di sekelilingku.

Dan gari-garisku sudah kudapat, harga sebagai manusia (menselijke waardigheid) dengan kepribadian. Lapanganku bergerak sudah kutahu pula, sebenarnya di mana-mana saja, tetapi jika dikususkan di lapangan kesusasteraan, seni rupa dan sandiwaralah.

Prosaku, puisiku juga, dalamnya tiap kata akan kugali-korek sedalamnya, hingga ke kernwoord, ke kernbeeld. (Sudah kumulai dengan sajak-sajak penghabisan, "Di Depan Kaca", "Fortissimo", dll.)
Sampai sini,

(tanda tangan Chairil Anwar)



message 13: by miaaa, Moderator (new)

miaaa | 2354 comments Mod
(Kartu pos, 10 Maret 1944)
d/a R.M. Djojosepoetro
Paron

Jassin,
Begini keadaan jiwaku sekarang, untuk menulis sajak keperwiraan seperti "Diponegoro" tidak lagi. Menurut oom-ku, sajak itu pun tidak baik!
Lagi pula dengan keritik yang agak tajak sedikit, hanya beberapa sajak saja yang bisa melewati timbangan.
Tapi tahu kau, apa yang kuketemui dalam meneropong jiwa sendiri? Bahwa dari sajak-sajak bermula hingga penghabisan belum ada garis nyata lagi yang bisa dipegang.
Jassin! Aku mulai dengan 10-15 sajak-sajak yang penghabisan di antara ada juga yang tidak bisa diterima sebagai sajak!!
Kita ketemu lagi,

(tanda tangan Chairil Anwar)


message 14: by miaaa, Moderator (new)

miaaa | 2354 comments Mod
(Kartu pos, 11 Maret 1944)
d/a R.M. Djojosepoetro
Paron

pagi

Jassin,
Kubaca sajak-sajakku semua. Kesal aku, sekesalnya..., jiwaku tiap menit bertukar warna, sehingga tak tahu aku apa aku sebenarnya...

______________________________________________________

sore

Terasa kesanggupanku untuk menulis studi-studi tentang kesusastraan.
Mesti ada yang memulai, bukan.
Takdir apalah yang sudah ditulisnya tentang kesusastraan, orang "pujangga baru" kebanyakan epigones dari '80..., epigones yang tak tentu tuju pula lagi.

Ch. Anwar, dalam perjalanan
di Jawa Timur


message 15: by miaaa, Moderator (new)

miaaa | 2354 comments Mod
10 April 1944*

Jassin,
Yang kuserahkan padamu - yang kunamakan sajak-sajak! - itu hanya percobaan kiasan-kiasan baru.
Bukan hasil sebenarnya! Masih beberapa "tingkat percobaan" musti dilalui dulu, baru sajak-sajak sebenarnya.

Ch. Anwar

______
*sampai buku ini dicetak, Editor tidak bergasil menemukan surat asli Chairil ini. Oleh karena itu, yang dimuat ini adalah kutipan dari buku H.B. Jassin, Kesustraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essei II (Jakarta: Gramedia, 1985, halaman 36) (Editor).


message 16: by gieb (last edited Aug 20, 2009 11:38PM) (new)

gieb | 743 comments Hoppla
-Goenawan Mohamad

… Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam.

Hari-hari ini, ketika ada rasa cemas bila puisi jadi suara yang tak taat dan seni tak alim, saya ingin mengingat Chairil Anwar. Ia meninggal, mati muda, 28 April 1949. Bagian penting dari 27 tahun dalam hidupnya intens, bergairah, gemuruh, dan khaotis.
Ada satu kalimat goresannya sendiri yang tertulis di secarik kertas:

…wijsheid + inzicht tidak cukup, musti stimulerende kracht + enthousiasme.

Chairil tak ingin cuma punya kearifan dan wawasan. Baginya manusia perlu ”daya rangsang” dan antusiasme.

Dalam sebuah pidato pada 1943 Chairil mendahului paragraf pertamanya dengan sebuah sajak:

Mari berdiri merentak
Diri-sekeliling kita bentak


Kehendak menggugah (me-”rentak” dan mem-”bentak”) itu bagian dari yang disebutnya sebagai ”vitaliteit” atau ”tenaga hidup”. Dalam seni, menurut Chairil, ”tenaga hidup” itu selalu muncul sebelum keindahan, berupa ”chaotisch voorstadium”, tahap pendahulu yang galau, yang khaotis.

Kreativitas memang diawali rasa gelisah mencari, kegalauan ingin menemukan, juga niat merombak. Sesuatu yang destruktif tersirat di dalamnya. Seorang ”pujangga”, kata Chairil (pada 1943 itu ia masih menyebut sastrawan demikian) tak gentar akan apa pun. ”Pohon-pohon beringin keramat” ia panjat. Bahkan ia akan ”memotong cabang-cabang yang merindang-merimbun tak perlu…”.

Inilah statemen Chairil: ”Aku berani memasuki rumah suci hingga ruang tengah! Tidak tinggal di pekarangan saja.”

Dengan keberanian menerobos itu ia pun mempertanyakan—bahkan sedikit mencemooh—ajaran agama.

Kita ingat sajak Sorga. Sang penyair mula-mula mengikuti tradisi orang tua: ia berdoa agar masuk surga. Sebab, ”kata Masyumi + Muhammadiyah”, surga itu ”bersungai susu” dan bertaburan beribu-ribu bidadari. Tapi dalam diri sang penyair ada suara yang ”nekat mencemooh”: benarkah dengan demikian surga lebih asyik ketimbang dunia? Tidakkah kehidupan yang berlimpah itu justru membuat manusia kehilangan gairah seperti ketika pelaut melihat ”gamitan dari tiap pelabuhan”?
Dalam pertanyaan itu, Tuhan praktis ”mati”: tak ada lagi satu sumber yang diakui sebagai maha-penjamin segalanya, juga hal yang paling ganjil.

Atau Tuhan telah redup: ”caya-Mu panas suci/tinggal kerdip lilin di kelam sunyi”, demikian kita temukan dalam sajak Doa. Atau Tuhan jadi penyebab tamatnya pengembaraan: sang kelana tak lagi menemui dunia dengan takjub dan cemas seperti di sebuah negeri asing. ”Aku mengembara di negeri asing,” kata Chairil. Tapi kemudian, ketika ”di pintu-Mu aku mengetuk/ aku tidak bisa berpaling.”

Dengan kata lain, setelah pintu itu, ”tenaga hidup” kehilangan rangsang untuk mencari, untuk gelisah, untuk berbeda. Tiap kekuasaan yang mengontrol cenderung membuat hidup terbatas pada yang hadir dan dikenali, berpegang pada satu ensiklopedia yang sudah tersusun rapi. Dengan demikian, pintu ditutup bagi kebenaran yang tak terduga-duga.

Tapi bisakah pengembaraan yang membuka diri bagi yang tak pernah dikenal itu dihabisi? Dalam adaptasinya atas sajak Hsu-Chih Mo (1897-1931), A Song of the Sea, Chairil menghadirkan seorang dara yang sendiri, ”berani mengembara/Mencari di pantai senja”. Ketika si gadis diseru agar pulang, ia menolak:

”Tidak, aku tidak mau!
Biar angin malam menderu
Menyapu pasir, menyapu gelombang
Dan sejenak pula halus menyisir rambutku
Aku mengembara sampai menemu.”


Penolakan itu menegaskan kebebasan. Tak mengherankan bila Chairil menyambut jatuhnya kekuasaan Jepang dengan teriakan, ”Hoppla!” Di bawah fasisme Jepang, yang tumbuh adalah ”kebudayaan paksaan.” Diawasi oleh sensor dan doktrin, sastra dan seni harus mengikuti arahan tertentu. Pada masa pendudukan Jepang, yang harus dipatuhi adalah ”garis-garis Asia Raya”, seruan agar rakyat menanam pohon jarak, melipatgandakan panen, menabung, bikin kapal…. Banyak seniman yang patuh. Bagi Chairil, mereka telah ”mendurhaka kepada Kata”.

”Kata” dalam pengertian Chairil bukanlah Logos. ”Kata” tak dibentuk oleh aku-yang-berpikir, tapi aku-yang-ada-di-dunia. Dalam pemikiran Chairil, ”Kata adalah yang menjalar mengurat, hidup dari masa ke masa, terisi padu dengan penghargaan, mimpi, pengharapan, cinta, dan dendam.”

Artinya ”Kata” praktis sama dengan ”hidup”. Maka ia tak bisa diperbudak; ia bebas-lepas. Tapi hidup juga selamanya riskan, bisa tak disangka-sangka, bisa gelap. Manusia dan ”Kata”-nya bukanlah makhluk yang transparan, lurus, dan koheren. Dalam satu coretan pendeknya yang dikutip H.B. Jassin dalam Chairil Anwar, Pelopor Angkatan 45, Chairil menyebut bahwa dalam diri manusia ada ”gedong besar dan gelap tempat jiwa kita yang sejati bersembunyi.”

Itu sebabnya ”Kata” atau ”hidup” punya sifatnya yang tak cerah, bahkan tragis. Dalam sajak Chairil yang terkenal, Aku, kita dapatkan manusia yang terbuang dan luka. Ia berlari, kesakitan, berteriak, ”aku ingin hidup 1000 tahun lagi”, tapi keinginan itu justru menunjukkan kekurangannya. Ia fana. Ia terbatas.

Mungkin itu sebabnya sajak Hsu-Chih Mo oleh Chairil diberi judul Datang Dara, Hilang Dara. Di balik kehadiran itu ada ketiadaan. Di akhir sajak, terdengar suara yang memanggil si dara dari tepi laut yang hampir gelap itu. Tapi ternyata

Di pantai, di senja, tidak ada dara
Tidak ada dara, tidak ada, tidak….


Sang penyair mengakui yang ganjil, yang misterius, dan tak terpahami di luar sana. Puisi jadi berarti bukan karena menjejalkan isi, melainkan karena menemui sebuah pantai senja yang kehilangan. ”Aku…,” kata Chairil kepada Ida [Nasution?:], ”bukan pendeta atau kiai tentang sesuatu.”

Sajak-sajak Chairil terus-menerus mempesona kita justru karena itu.

~Majalah Tempo Edisi. 37/IX/21 – 27 April 2008~




message 17: by Roos (new)

Roos | 2991 comments Oke aku mulai dengan Puisi-puisinya yah temans.

SAJAK-SAJAK CHAIRIL ANWAR 1942 - 1949


1942

Nisan (hal.3)

Untuk nenekanda

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertakhta.

Oktober, 1942


message 18: by Roos (new)

Roos | 2991 comments Penghidupan (hal.4)

Lautan maha dalam
mukul dentur selama
nguji tenaga pematang kita

mukul dentur selama
hingga hancur remuk redam
Kurnia Bahagia
kecil setumpuk
sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk

Desember,1942



message 19: by Roos (last edited Aug 21, 2009 12:19AM) (new)

Roos | 2991 comments 1943

Diponegoro (hal.5)

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu negeri
Menyediakan api

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditinda

Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai.

Maju.
Serbu.
Serang.
Terjang.

Februari,1943


message 20: by Pandasurya (last edited Aug 21, 2009 12:05AM) (new)

Pandasurya | 1361 comments favorit juga yg "Nisan"
bikin merinding bacanya..apalagi klo inget pas ada orang terdekat yg wafat..:-)

dan jd inget juga bait sajak Sitor Situmorang:

"kurasa kau tahu
lebih dari lagu
kebisuan lebih berkata dari duka.."


message 21: by Roos (last edited Aug 21, 2009 12:05AM) (new)

Roos | 2991 comments Puisi diatas paling sering dibacakan saat sekolah, entah memperingati Tujuhbelasan maupun hari pahlawan. Bikin semangat berkobar-kobar.


message 22: by Roos (last edited Aug 21, 2009 12:30AM) (new)

Roos | 2991 comments Tak Sepadan (hal.6)

Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros.

Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka.

Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak 'kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka.

February,1943



message 23: by Pandasurya (last edited Aug 21, 2009 12:31AM) (new)

Pandasurya | 1361 comments yup.."Sekali berarti sudah itu mati" kutipan fav lagih:-)

description


message 24: by Roos (new)

Roos | 2991 comments Yaiiii...Panda top banget nih. Banyak favorite-nya yah?

Sia-Sia* (Hal.7)

Penghabisan kali itu kau datang
membawa karangan kembang
Mawar merah dan melati putih:
darah dan suci.
Kau tebarkan depanku
serta pandang yang memastikan: Untukmu.

Sudah itu kita sama termangu
Saling bertanya: Apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti.

Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri.

Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.


________________________________
*Versi Deru Campur Debu (Editor)


message 25: by Pandasurya (new)

Pandasurya | 1361 comments pastinya, Roos..:-) CA salah satu all time fav-lah:-)


message 26: by Andri (new)

Andri (clickandri) | 665 comments Tiga puisi di atas (penghidupan, tak sepadan, sia-sia), menjadi pengantar bahwa pribadi seorang Chairil adalah pribadi yg pesimis. Murung. Dark. Namun jg kontradiktif, mengingat ungkapannya yg ingin hidup seribu tahun lagi.

Penghidupan, menggambarkan kondisi hidup yg sudah bekerja keras, melakukan yang terbaik, tapi hasilnya tak ada.

"mukul dentur selama
hingga hancur remuk redam
Kurnia Bahagia
kecil setumpuk
sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk"

Apakah ini tentang kehidupan secara luas ? atau dalam artian hubungan manusiawi antara 2 insan. Pernyataan terakhir gw, merujuk karena banyak puisi2 Chairil yang bernuansa cinta, pria, pada wanita.

Simak puisi berikutnya, Tak Sepadan.

Chairil seperti mengambil kesimpulan.. "beginilah jadinya. Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros. "

Apakah ini ungkapan Chairil karena hubungannya dengan "someone" yg berakhir ? bisa jadi. Dan dia tetap menjadi seorang petualang yang merangkaki dinding buta, tak ada pintu yg terbuka. Lalu diakhiri dengan penutup yang pasrah.

"Karena kau tidak 'kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka."

Sia-sia, lebih sulit untuk dipahami. Gw masih menangkap adanya perasaan yang terbuang karena hubungan yang berakhir. Tapi yang bikin sulit dipahami, si cewek telah datang menghampiri, dengan karangan kembang (gw suka dia pake kata kembang, bukan bunga), dengan satu kepastian : Untukmu. Ini bisa berarti si cewek memberikan cintanya untuk Chairil. Tapi apa yg terjadi ? Keduanya tak yakin bahwa itu adalah cinta. Lalu Chairil mengutuk diri sendiri.

"Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi."

Lanjut!

-andri-



message 27: by Roos (last edited Aug 21, 2009 08:06PM) (new)

Roos | 2991 comments Wah keren euy...*membungkuk hormat to Andri*, Tapi hebat juga tuh cewek berani menyatakan cinta ke Chairil meski dah bawa bunga dan ditolak tapi penyesalan gak datang dari tu Cewek. Kira-kira siapa ya? Jadi penasaran ma ni Cewek.

Puisi berikutnya dikomentari lagi yah. Meski agak bingung karena puisi selanjutnya adalah puisi yang sama seperti sebelumnya, cuma ada perbedaan pada Karangan Kembang yang disukai ma Andri. Oke aku lanjutkan.

Sia-sia* (Hal.8)

Penghabisan kali itu kau datang
Membawa kembang berkarang
Mawar merah dan melati putih
Darah dan suci.
Kau tebarkan depanku
Serta pandang yang memastikan: Untukmu.

Sudah itu kita sama termangu
Saling bertanya: Apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti.

Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri.

Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.

Februari,1943

______________________________________________
*Versi Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (Editor)




message 28: by Roos (new)

Roos | 2991 comments Ajakan (Hal.9)

Ida
Menembus sudah caya
Udara tebal kabut
Kaca hitam lumut
Pecah pencar sekarang
Di ruang legah lapang
Mari ria lagi
Tujuh belas tahun kembali
Bersepeda sama gandengan
Kita jalani ini jalan

Ria bahgia
Tak acuh apa-apa
Gembira-girang
Biar hujan datang
Kita mandi-basahkan diri
Tahu pasti sebentar kering lagi.

Februari,1943

__________________________
*Versi Naskah Asli (Editor)


message 29: by Wirotomo (new)

Wirotomo Nofamilyname | 2398 comments @ Roos:
Chairil beberapa kali di kumpulan puisi yg berbeda memasukkan karya yg mirip, kadang dgn judul yg sama, tapi ada beberapa kata/kalimat yg berbeda. Nah sang editor antologi puisi Chairil ini (Pamusuk Eneste kalau nggak salah) berusaha memasukkan semua versi jika memang dirasa ada perbedaan (jika ada 3 versi, hanya ditulis 2 versi yg paling beda).
Jadi inilah yg terjadi pada puisi "Sia-sia" yg ada 2 versi, di "Deru Campur Debu" dan di "Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus" :-)


message 30: by Roos (new)

Roos | 2991 comments Whoeeeee...Mas Tomo thanks infonya. Oke bisa dimengerti sekarang.

Sendiri (Hal.10)

Hidupnya tambah sepi, tambah hampa
Malam apa lagi
Ia memekik ngeri
Dicekik kesunyian kamarnya

Ia membenci. Dirinya dari segala
Yang minta perempuan untuk kawannya

Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga
Dalam ketakutan-menanti ia menyebut satu nama

Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?
Ah! Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu!

Februari,1943



message 31: by Roos (last edited Aug 21, 2009 09:31PM) (new)

Roos | 2991 comments Pelarian (Hal.11)

I

Tak tertahan lagi
remang miang sengketa di sini

Dalam lari
Dihempaskannya pintu keras tak berhingga.

Hancur-luluh sepi seketika
Dan paduan dua jiwa.

II

Dari kelam ke malam
Tertawa-meringis malam menerimanya
Ini batu baru tercampung dalam gelita
"Mau apa? Rayu dan pelupa,
Aku ada! Pilih saja!
Bujuk dibeli?
Atau sungai sunyi?
Mari! Mari!
Turut saja!"

Tak kuasa---terengkam
Ia dicengkam malam.

Februari,1943


message 32: by Roos (new)

Roos | 2991 comments Suara Malam (Hal.12)

Dunia badai dan topan
Manusia mengingatkan "Kebakaran di Hutan"*
Jadi ke mana
Untuk damai dan reda?
Mati.
Barang kali ini diam kaku saja
dengan ketenangan selama bersatu
mengatasi suka dan duka
kekebalan terhadap debu dan nafsu
Berbaring tak sedar
Seperti kapal pecah di dasar lautan
jemu dipukul ombak besar.
Atau ini.
Peleburan dalam Tiada
dan sekali akan menghadap cahaya.
.......................................
Ya Allah! Badanku terbakar --- segala samar.
Aku sudah melewati batas.
Kembali? Pintu tertutup dengan keras.

Februari,1943


________________
*Ciptaan alm.R.Saleh.



message 33: by miaaa, Moderator (last edited Aug 22, 2009 02:43AM) (new)

miaaa | 2354 comments Mod
Aku* (hal. 13)

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang perih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943

_________________________________
*Versi Deru Campur Deru (Editor).


message 34: by miaaa, Moderator (last edited Aug 22, 2009 02:43AM) (new)

miaaa | 2354 comments Mod
Semangat* (hal. 14)

Kalau sampai waktuku
kutahu tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu!

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulan terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang-menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari

Hingga hilang pedih dan peri.

Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi.

Maret 1943


____________________________________
*Versi Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (Editor).


message 35: by miaaa, Moderator (last edited Aug 22, 2009 02:44AM) (new)

miaaa | 2354 comments Mod
Hukum (hal. 15)


Saban sore ia lalu depan rumahku
Dalam baju tebal abu-abu

Seorang jerih memikul. Banyak menangkis pukul.

Bungkuk jalannya - Lesu
Pucat mukanya - Lesu

Orang menyebut satu nama jaya
Mengingat kerjanya dan jasa

Melecut supaya terus ini padanya

Tapi mereka memaling. Ia begitu kurang tenaga

Pekik di angkasa: Perwira muda
Pagi ini menyinar lain masa

Nanti, kau dinanti-dimengerti!

Maret 1943


message 36: by miaaa, Moderator (last edited Aug 22, 2009 04:26AM) (new)

miaaa | 2354 comments Mod
Taman (hal. 16)


Taman punya kita berdua
tak lebar luas, kecil saja
satu tak kehilangan lain dalamnya.
Bagi kau dan aku cukuplah
Taman kembangnya tak berpuluh warna
Padang rumputnya tak berbanding permadani
halus lembut dipijak kaki.
Bagi kita bukan halangan.
Karena
dalam taman punya berdua
Kau kembang, aku kumbang
aku kumbang, kau kembang.
Kecil, penuh surya taman kita
tempat merenggut dari dunia dan 'nusia

Maret 1943


message 37: by Ayu, Moderator (new)

Ayu Yudha (ayu_yudha) | 1292 comments Mod
aku juga punya buku ini. ikut bantuin nulis deh..

Lagu Biasa (hal. 17)

Di teras rumah makan kami kini berhadapan
Baru berkenalan. Cuma berpandangan
Sungguhpun samudra jiwa sudah selam berselam

Masih saja berpandangan
Dalam lakon pertama
Orkes meningkah dengan "Carmen" pula.

Ia mengerling. Ia ketawa
Dan rumput kering terus menyala
Ia berkata. Suaranya nyaring tinggi
Darahku terhenti berlari

Ketika orkes memulai "Ave Maria"
Kuseret ia ke sana....

Maret 1943


message 38: by Andri (new)

Andri (clickandri) | 665 comments Ini adalah puisi Chairil Anwar favorit gw. Puisi yg sederhana. Indah. Tentang cinta. Ketika banyak penyair lain suka dengan hal yang muluk-muluk dan full romantis tentang cinta, tidak untuk Chairil. Ketika banyak teman yang memfavoritkan "aku ingin" SDD sebagai puisi cinta favorit.., tidak untuk Andri.

Chairil mengibaratkan hubungan cinta nya dengan sang kekasih (pujaan hati, *twink twink*), sebagai sebuah taman. Menarik, karena tidak dipilih dunia misalnya, karena kata-kata dunia milik berdua adalah metafora yang umum dalam menggambarkan hubungan cinta. Tidak pula negeri, pulau, kota atau desa.. hanya cukup taman. Tentu kita tahu, taman bisa berbagai ukuran. Ada taman seperti di kebun raya yang luas dengan aneka pohon besar yang meneduhkan. Tapi juga bisa taman yang ada di belakang rumah, hanya berukuran 1 x 2 meter saja.. yang mungkin malah lebih meneduhkan dibanding taman yang luas. Lalu, seperti apakah gambaran "taman cinta" sang penyair ini ?

"tak lebar luas, kecil saja
satu tak kehilangan lain dalamnya."

Simpel. Kecil, tak perlu yang lebar luas. Tapi saling mengisi. Siapa yang saling mengisi ? tentu Chairil, dan sang kekasihnya itu. Hubungan cinta, bukanlah hubungan yang perlu gemebyar gegap gempita, karena itu akan kosong belaka, jika pihak yang terlibat di dalamnya tidak dapat saling mengisi. Dengan kata lain, jangan jadi sosok yang sudah lengkap, tapi jadilah sosok yang akan melengkapi, karena nanti kau akan dilengkapi. Dan itu hanya bagi sang pelaku, kau dan aku, cukuplah.

Chairil tidak ingin taman yang penuh warna. Rumputnya pun tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan permadani. Warna warni, gw menafsirkan sebagai hal-hal yang muluk-muluk. Cinta tak perlu yang muluk-muluk. Sementara rumput yang tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan permadani, adalah gambaran landasan, pijakan yang tidak perlu istimewa. Cukup yang biasa-biasa saja. Cinta harus dilandasi oleh sesuatu yang biasa, karena jika sudah terjadi komitmen berdua, yang biasa itu akan menjadi luar biasa. Yakinlah. Dan jika komitmen itu telah tercipta, tentu kesederhanaan itu bukan halangan.

"Karena dalam taman punya berdua
Kau kembang, aku kumbang
aku kumbang, kau kembang."

Ini menarik, Chairil mengulangi kalimat yang sama. Chairil kembang, sang kekasih kembang. Tak perlu diperdebatkan hal-hal yg berbau gerakan keseteraan gender atau feminisme, tapi buat Chairil, laki-laki ibarat kumbang yang menghinggapkan pilihan hati pada sang kembang.

"Kecil, penuh surya taman kita
tempat merenggut dari dunia dan 'nusia"

Chairil menutup dengan indah. Dia mengulangi pilihan taman yang kecil. Sederhana. Simpel. Kecil. Tapi kata berikutnya, penuh surya, adalah sebuah gambaran taman yang penuh dengan semangat kehidupan. Surya, matahari, adalah perlambang kehidupan yang memberi hidup pada hewan dan tumbuhan yang ada di taman. Hewan, kumbang, chairil. Tumbuhan, kembang, sang kekasih. Jadi meski berada dalam cinta yang sederhana, tapi tetap harus diisi dengan semangat untuk mengisinya menjadi bermakna. Penuh surya. Dan itu akan menjadi tempat istirah, tempat pelarian mereka berdua, merenggut dari dunia.. dan manusia. Hubungan cinta yang sederhana namun positif, akan menjadi pelarian dari mumetnya beban hidup di dunia dan ruwetnya kepentingan manusia.

Bintang 5 untuk puisi ini!

-andri-


miaaa wrote: "Taman (hal. 16)

Taman punya kita berdua
tak lebar luas, kecil saja
satu tak kehilangan lain dalamnya.
Bagi kau dan aku cukuplah
Taman kembangnya tak berpuluh warna
Padang rumputnya tak berbanding permadani
halus lembut dipijak kaki.
Bagi kita bukan halangan.Karena
dalam taman punya berdua
Kau kembang, aku kumbang
aku kumbang, kau kembang.
Kecil, penuh surya taman kita
tempat merenggut dari dunia dan 'nusia"





message 39: by miaaa, Moderator (new)

miaaa | 2354 comments Mod
wah ada ayu yang bantuin hehe makasih yah :D

@andri, bener ndri waktu ngetik *pasti sambil baca kan* puisi itu juga ngerasa gimanaaaa gitu hehe hayo ditunggu lebih lanjut tafsir2 puisinya yah


message 40: by Pandasurya (last edited Aug 24, 2009 06:47PM) (new)

Pandasurya | 1361 comments yihaaa..Ayu si anak baru ikut bantuin ngetik juga rupanya..hureeee..ayo lagi, yu,..ketik teruuuss..hihihi:-p

*sangat bertrimakasih kpd para pengetik..:-)


message 41: by miaaa, Moderator (new)

miaaa | 2354 comments Mod
mari dilanjuuuuuuut :D

Kupu Malam Dan Biniku (hal. 18)

Sambil berselisih lalu
menggebu debu.

Kupercepat langkah. Tak noleh ke belakang
Ngeri ini luka-terbuka sekali lagi terpandang

Barah ternganga

Melayang ingatan ke biniku
Lauta yang belum terduga
Biar lebih kami tujuh tahun bersatu

Barangkali tak setahuku
Ia menipuku

Maret 1943


message 42: by miaaa, Moderator (last edited Aug 24, 2009 09:27PM) (new)

miaaa | 2354 comments Mod
Penerimaan (hal. 19)


Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.

Maret 1943


message 43: by miaaa, Moderator (new)

miaaa | 2354 comments Mod
bisa jadi chairil anwar baca borges nih yang bilang cermin eh apa yg dia bilang soal cermin mas ronny? benda terkutuk yang membuat manusia menjadi dua kali lipat? gitu yah kalo gak salah *celingak celinguk nyari mas ronny*


message 44: by [deleted user] (new)

i'm here. iya betul: "cermin dan persetubuhan: dua hal yang melipatgandakan jumlah manusia"


message 45: by miaaa, Moderator (new)

miaaa | 2354 comments Mod
:D entar ditambahin di quote favorit ah hehe


message 46: by miaaa, Moderator (new)

miaaa | 2354 comments Mod
Kesabaran (hal. 20)


Aku tak bisa tidur
Orang ngomong, anjing nggonggong
Dunia jauh mengabur
Kelam mendinding batu
Dihantam suara bertalu-talu
Di sebelahnya api dan abu

Aku hendak berbicara
Suaraku hilang, tenaga terbang
Sudah! tidak jadi apa-apa!
Ini dunia enggan disapa, ambil perduli

Keras membeku air kali
Dan hidup bukan hidup lagi

Kuulangi yang dulu kembali
Sambil bertutup telinga, berpicing mata
Menunggu reda yang mesti tiba

Maret 1943


message 47: by miaaa, Moderator (new)

miaaa | 2354 comments Mod
Perhitungan (hal. 21)


Banyak gores belum terputus saja
Satu rumah kecil putih dengan lampu merah muda caya

Langit bersih-cerah dan purnama raya...
Sudah itu tempatku tak tentu di mana.

Sekilap pandangan serupa dua klewang bergeseran

Sudah itu berlepasan dengan sedikit heran
Hembus kau aku tak perduli, ke Bandung, ke Sukabumi...!?

Kini aku meringkih dalam malam sunyi.

16 Maret 1943


message 48: by miaaa, Moderator (new)

miaaa | 2354 comments Mod
Kenangan (hal. 22)


untuk Karinah Moordjono

Kadang
Di antara jeriji itu-itu saja
Mereksmi memberi warna
Benda usang dilupa
Ah! tercebar rasanya diri
Membubung tinggi atas kini
Sejenak
Saja. Halus rapuh ini jalinan kenang
Hancur hilang belum dipegang
Terhentak
Kembali di itu-itu saja
Jiwa bertanya: Dari buah
Hidup kan banyakan jatuh ke tanah?
Menyelubung nyesak penyesalan pernah menyia-nyia

19 April 1943


message 49: by Wirotomo (new)

Wirotomo Nofamilyname | 2398 comments Quotation ini dari Borges juga bukan ya (versi Inggrisnya ya, nggak tahu ya kalau bhs Spanyolnya :-)):
“To die for a religion is easier than to live it absolutely.”

Kaya'nya bagus juga nih kupasang di quote, biar bisa jadi pelajaran buat para pengebom itu. :-)


@ Andri:
terima kasih atas tafsir puisi Taman nya. Aku baru tahu kalau artinya itu hehe

Nyenengin juga ya mbaca antologi puisi ini satu persatu terus ada yg comment dan ngasih tafsirnya. Siip dah.




message 50: by [deleted user] (new)

yep. itu juga dari Borges


« previous 1 3
back to top