A Fine Balance in 100+ Books in 2025

Apr 13, 2008 eve rated it it was amazing · review of another edition

Shelves: private-collection, indian-lit

A Fine Balance oleh Rohinton Mistry
Penguin Books, 2003, ISBN 0-571-21878-4
Resensi oleh Eve Tedja (http://blogbelog.wordpress.com)

Dalam satu dekade terakhir, penerbitan karya sastra oleh penulis-penulis berkebangsaan India menjadi suatu fenomena di seluruh dunia. Nama-nama seperti Arundhati Roy, Salman Rushdie, Jhumpa Lahiri dan Kiran Desai menjanjikan pesona eksotis di telinga para pembaca karya sastra di dunia barat. Kalimat-kalimat yang mereka ciptakan tersusun dengan indah, tanpa keraguan dan A Fine Balance oleh Rohinton Mistry
Penguin Books, 2003, ISBN 0-571-21878-4
Resensi oleh Eve Tedja (http://blogbelog.wordpress.com)

Dalam satu dekade terakhir, penerbitan karya sastra oleh penulis-penulis berkebangsaan India menjadi suatu fenomena di seluruh dunia. Nama-nama seperti Arundhati Roy, Salman Rushdie, Jhumpa Lahiri dan Kiran Desai menjanjikan pesona eksotis di telinga para pembaca karya sastra di dunia barat. Kalimat-kalimat yang mereka ciptakan tersusun dengan indah, tanpa keraguan dan dengan fasih bercerita tanpa penerjemah dalam bahasa global dunia. Beberapa diantara mereka dijuluki penulis poskolonialisme seperti Anita Desai atau V.S.Naipaul. Tidak dapat dipungkiri bahwa tokoh-tokoh karya mereka terbentuk dan ‘menjadi’ oleh globalisasi, kolonialisme dan tradisi.

Untuk saya, apa yang mereka suarakan terdengar familiar dan dekat dengan apa yang saya rasakan sebagai rekan negara tetangga yang pernah terjajah oleh bangsa asing berabad-abad lamanya. Kita merdeka, tak lama mereka pun merdeka. Kita mengalami kekacauan politik, mereka pun terbelah oleh hal yang sama. Rohinton Mistry mengangkat era kekacauan politik di India para era 70an sebagai latar belakang untuk novel ketiganya, A Fine Balance.

Novel setebal 613 halaman ini dengan pahit dan manis berkisah tentang empat orang tokoh utama, yang oleh situasi dan nasib, bertemu dan berbagi dalam satu apartemen kecil di kota Mumbai. Adalah Dina Dalal, seorang janda yang harus bertahan hidup dari menjahit meskipun memiliki keterbatasan penglihatan. Pekerjaan menjahit untuk perusahaan ekspor mempertemukannya dengan dua lelaki, paman dan keponakan, Ishvar dan Omprakash Darji. Dua lelaki desa yang akibat desakan ekonomi dan ketidakberuntungan kasta, memilih untuk hijrah ke kota dengan bekal kemampuan mereka menjahit. Pertemuan pertama mereka di atas kereta dengan Maneck Kohlah, pelajar muda yang “nge-kos” di apartemen mungil milik Dina Dalal, seolah menggariskan persahabatan yang kelak membantu mereka berempat dalam menjalani kehidupan yang tragis pada “Masa Darurat” pimpinan Indira Gandhi.

“Masa Darurat” adalah periode dua tahun (1975-1977) dimana terjadi kekacauan politik yang dimanfaatkan secara sewenang-wenang oleh mereka yang memiliki kekuasaan. Karakter Ishvar dan Omprakash adalah korban langsung dari “kebijakan-kebijakan” pemerintah. Kala pemerintah menggalakan program “mempercantik kota”, gubuk kumuh mereka yang pertama diratakan menjadi tanah oleh aparat dan orang yang sama, yang menyewakan gubuk itu kepada mereka. Bersama mereka, beberapa tokoh tragis lain turut diberikan porsi cerita seperti Pria Topeng Monyet yang hidup bersama seekor anjing dan dua keranya. Akibat pemaksaan aparat agar para penghuni daerah kumuh itu ikut menghadiri rally politik, kedua kera berharga itu ditemukan mati tercerai berai digigit si anjing yang kelaparan. Pengemis tanpa kaki, pemulung pengumpul rambut dan polisi preman, turut memperkeruh skizofrenia kehidupan mereka di Mumbai.

Maneck Kohlah, mahasiswa yang belajar untuk menjadi teknisi pendingin ruangan, juga dikisahkan memiliki masalahnya sendiri. Anak tunggal dari keluarga mampu yang memiliki toko kelontong, ia disekolahkan ke kota oleh keinginan orang tuanya. Tanpa pilihan, ia mengenyam pendidikan seadanya dan tinggal bersama “Dina Aunty”. Hubungan keduanya digambarkan secara alami dan bukannya tanpa sedikit pretensi seksual di baliknya (I was right last night, she thought, nice strong arms. And such a handsome body. Then she blushed confusedly… young enough to be my son – pg.200). Kehadiran kedua penjahit yang bekerja secara ilegal di apartemennya menghadirkan kecurigaan si empunya gedung dan menimbulkan konflik berkepanjangan hingga akhir cerita. Perlahan, keempat tokoh ini saling mengenal, berbagi cerita dan impian serta oleh permainan politik, dibentuk menjadi sebuah keluarga.

Hingga tanpa bisa dihindari, kelulusan Maneck memisahkan keluarga tanpa ikatan darah ini. Ishvar, yang setelah berhasil mengumpulkan cukup uang, berniat untuk kembali ke desa mereka guna mencarikan keponakan satu-satunya itu seorang istri. Pada akhir cerita, keempat tokoh itu dipertemukan kembali, dengan beban dan tragedi mereka masing-masing.

Rohinton Mistry menceritakan kehidupan empat tokoh tersebut dengan gamblang dan menggunakan keempat tokoh utamanya sebagai sarana berkisah tentang kompleksitas kehidupan di Mumbai. Ia menyelipkan humor dan keluguan yang menyentuh di beberapa kejadian yang tragis sekalipun. Akan tetapi A Fine Balance tetap bukan sebuah bacaan yang mudah untuk dicerna karena pembaca tahu bahwa Dina, Ishvar, Omprakash dan Maneck adalah nyata. Untuk saya, A Fine Balance adalah judul yang tragis karena bila ada keseimbangan, maka pada akhir cerita Omprakash seharusnya telah menikah bahagia dan Ishvar menjadi kakek dari dua cucu.

Bukan buku yang mudah diterima tapi tetap harus dibaca. Kesuksesan sebuah karya sastra, bagi saya, adalah bukan dari bahwa buku itu menjadi best-seller di seluruh dunia atau berhasil memenangkan sederet penghargaan. Kesukesan sebuah karya sastra terletak lebih kepada kejujuran sang penulis bercerita serta pencerahan dan empati yang dituangkannya lewat tokoh-tokoh rekaan di dalamnya. Tokoh-tokoh yang pada akhir cerita terus menghantui pembaca. A Fine Balance akan saya seterusnya ingat sebagai karya sastra yang memberikan iluminasi pada apa yang dapat terjadi saat kekuasaan berada di tangan yang salah, saat moral kemanusiaan dilupakan dan korupsi merajalela. ...more

3 likes · Like · see review

Sep 19, 2009 Robert rated it really liked it · review of another edition

Punch to the stomach, anyone? How about several?
I would put this on a shelf with Paul Bowles, Kiran Desai, Jhumpa Lahiri, Arundhati Roy. Beautiful writing about living through horrible times. the horrors are often matter-of-fact. Things happen to the main duo as to Don quixote and Sancho Panza. And they soldier on. Towards what?

At times you will probably look away. Passages about lives of beggars are especially rough.

Highly recommended.

Like · see review

Sep 13, 2013 Amy added it · review of another edition

I really wanted to like this book. I am fascinated with India and wanted to sink into a really good book. So many words with nothing happening. Being an editor, I have a hard time getting into a book that is overly descriptive and doesn't say anything. By 50 pages in I wasn't interested in continuing. ...more

Like · see review