Diam-diam, saya pernah berharap, seandainya saja Tuhan memberi anak dengan menyertakan buku manual, sepertinya hidup akan lebih mudah.
Gwendolyne adalah putri pertama saya dan John. Harus saya akui, sebagai seorang ibu baru, saya clueless-tidak tahu apa-apa. Apalagi, ketika kemudian saya mendapati kenyataan bahwa Gwen memiliki gangguan pendengaran.
Dengan harapan tersisa di dada, saya mendekap Gwen erat-erat dan membawanya pergi ke arah yang benar-benar berbeda. Saya ingin Gwen seperti layaknya manusia tanpa gangguan pendengaran. Dan, semustahil apa pun itu kedengarannya, harapan di dalam diri saya menolak untuk menyerah.
Inilah awal perjalanan hidup yang tak pernah diduga-duga. Kata-kata bijak itu memang benar, kehadiran seorang anak lambat laun akan memengaruhi seluruh anggota keluarga. Dan, Gwen tanpa sadar, baru saja mengajarkan ayah-ibunya tentang satu hal: jika keajaiban tak kunjung datang, berarti tugas kitalah untuk mencari sendiri dan memperjuangkannya....
Feby Indirani, Journalist and Writer, started to write since elementary school, beginning with a diary. When in high school, she got 2nd place in an essay contest for teen organized by Gadis magazine, and was actively involved in a school publication. She went to Universitas Padjadjaran, majoring in journalistic, and joined djatinangor student publication. Feby won an Essay Writing Competition for Students in 2001, organized by Toyota Astra Foundation. Late 2002, she received a grant from the Asia Foundation and the Study Center for Religion and Civilization (PSAP) Muhammadiyah, through a call for papers on Women and Muhammadiyah.
May 2003 through June 2004, Feby worked as a reporter in Trust magazine. July 2004, Feby joined the Tempo Group when the organization started reactivating Tempo Center of Data and Analysis (PDAT). As a team, the PDAT published three books with Feby involved as writer. Among the titles is Ahmadiyah: Keyakinan yang Digugat (A Faith Accused), where Feby joined in a research trip to an Ahmadiyah village.
August 2006 through April 2011, Feby worked as a journalist in Business Week Indonesia (recently renamed as Bloomberg Businessweek Indonesia). Feby has published several works, started by a novel titled Simfoni Bulan (Bulan’s Symphony 2006). She also wrote two film-adaptation novels, a novel adapted from a lyric of a song, and a how-to on modeling. No, she never actually had a try at modeling, but she did systemize and codify the experience of Arzetti Bilbina, an Indonesian top model.
One of her book is titled I can (not) Hear: Journey of a Hearing-Impaired to a World of Sounds. was featured in the Kick Andy TV show in October 2009, and won the Anugerah Pembaca Indonesia Award 2010 from Goodreads Indonesia in best non-fiction.
Saya rasa Gwen adalah anak yang beruntung memiliki seorang ibu yang kuat, tegas disiplin tapi juga lemah lembut hatinya. Juga mempunyai ayah dan nenek yang selalu mengerti, menjaga, dan mendukung apa pun yang menjadi keinginan dan kebutuhan Gwen. Saya juga salut terhadap kejelian orangtua terutama sang Ibu dalam menempatkan Gwen dengan memilih lingkungan yang tepat meski tidak mudah agar Gwen tumbuh dengan maksimal, seperti keputusan tinggal di Australia selama hampir 3,5 tahun ataupun keputusan untuk menempatkan JIS sebagai sekolah pilihan untuk Gwen.
Buku ini juga mengingatkan pengalaman-pengalaman awal saya sebagai fisioterapi di sebuah Stroke Center. Bagaimana perjuangan pasien stroke untuk mengatasi atau lebih tepatnya beradaptasi dengan keterbatasannya bukan dengan cara menghilangkan atau mengubah keterbatasan tersebut. Tetapi memanfaatkan keterbatasan tersebut dengan maksimal sehingga para pasien tidak dianggap sebagai orang yang disable atau cacat. Meskipun dengan usaha dan perjuangan mental, pikiran dan tenaga untuk mencapai hasil yang maksimal benar-benar bukan usaha yang mudah. Itu yang saya lihat dari Gwen sejak ia berusia bayi, Gwen menunjukkan kemampuan belajar yang luar biasa. Juga Ibu Gwen yang tanpa lelah mengajarkannya untuk berbicara yang benar, baik itu dari intonasi maupun kejelasan kata sehingga Gwen tidak terlihat sebagai anak yang tuna rungu, lebih terlihat seperti anak yang normal.
Saya sempat menitikkan air mata ketika membaca kejadian Gwen bersikeras tidak mau memakai stokingnya di buku ini. Dan ibu, nenek bahkan ayahnya,John sempat memukul Gwen gara-gara masalah tersebut. Bagi saya, di sinilah penting perhatian dan komunikasi antara orangtua dan anak. Ketika itu Gwen akhirnya terpaksa mau memakai stoking gara-gara diancam akan ditinggal di rumah sendiri oleh orang tuanya. Pada saat malam, seusai acara, ketika sang ibu membantu Gwen melepaskan stoking, ia baru mengetahui alasan mengapa Gwen menolak memakai stoking. Ternyata alasan Gwen tidak mau memakai stoking adalah karena tidak ingin merusak kuteks di kuku jari-jari kakinya. SanSan dan John sangat menyesal terpaksa memukul Gwen sebelumnya karena salah mengartikan keinginan Gwen.
Buku yang membuat saya kagum terhadap seorang ibu, seperti SanSan. Tidak saja suka dukanya, tapi perjuangannya dalam menghadapi Gwen dan perjuangannya untuk berbagi pengalaman dengan orangtua anak-anak tuna rungu di Indonesia. Salut.
saya kira, hidup itu hanya terdiri dari momen-momen. ada saatnya kita tak berdaya. ada saatnya kita bergerak menuju. tetapi semua dirangkum dalam satu kata 'hidup'. kadang, orang malah menyalahkan cermin. karena dia tidak bisa menerima hidup yang telah di-given-kan. hidup ibarat kereta. berhenti dari stasiun satu ke stasiun lain. menemui orang dan kejadian serta kesendirian yang tak kekal. tapi di atas semua itu ternyata hidup digerakkan oleh semangat. hidup memang menunggu mati. sambil menunggu mati, kita harus bekerja keras untuk memuliakan hidup.
buku ini, saya kira, punya potensi untuk kita lebih menghargai kehidupan. tidak menyerah dalam keadaan apapun. buku ini mencoba membedah konsep tawakal yang lazimnya kita dengar. yaitu tentang proses menyerahkan diri kepada Pencipta. pertanyaannya, apakah yang sudah kita serahkan kepada Pencipta tadi? orang yang malas bekerja tentu tidak punya apa-apa untuk diserahkan. tapi san, john, dan gwen, adalah sosok yang mewujudkan konsep tawakal itu dengan ikhtiar yang tak henti-henti. tentu ada kalanya lahir jeda kelelahan dan kemarahan yang meletup. tapi saya kira, itu masih menjadi satu kesatuan dengan konsep tawakal tadi. bahwa tuhan adalah sesuatu yang bisa diajak kompromi. meski itu kadang melelahkan.
gwen, lahir dengan keterbatasan pada indera pendengarannya. san, sang ibu, awalnya jelas menolak kenyataan ini. bahkan cenderung menyalahkan diri sendiri. bahwa dia adalah seorang ibu yang tidak bisa menjaga kesehatan anaknya sendiri. pergolakan san sebagai ibu, saya kira, patut kita contoh dan sebarkan kepada orang lain. sekaya apapun dia. semiskin apapun dia. san mempunyai semangat yang luar biasa. yang pada akhirnya membawa sifat empati dia terhadap orang-orang yang 'senasib' dengan gwen.
perjuangan, kesedihan, kemarahan, keputusasaan, seorang ibu adalah ayat tuhan yang kadang tidak kita temukan dalam kitab suci. san telah mengajarkan itu semua. bersama gwen, dan john.
this is a journey to the listening world. this is about something that bigger than hope. this about how far you try to make your dream come true and refuse to give up.
moreover, this story is not only about hearing, but also listening.
then, the question bounces back to us, would we care to stop for a while and listen to this story?
This entire review has been hidden because of spoilers.
Pernahkah anda mendengar ada orang meninggal karena di gigit gajah? hampir tidak pernah. Tetapi berapa ratus ribu orang meninggal hanya karena gigitan nyamuk?
Beberapa pertanyaan itu saya kutip dari seorang Mario Teguh minggu lalu di sebuah televisi. Selang tiga hari kemudian saya diminta teman editor mereview sebuah buku yang akan diterbitkan Gagas Media, berjudul I Can (not) Hear –Perjalanan Anak Seorang Tuna Rungu Menuju Dunia Mendengar- yang diambil dari kisah nyata.
Usai membacanya saya teringat lagi ucapan Mario Teguh itu, bahwa hal sekecil apapun jika disepelekan begitu saja bisa membawa sebuah petaka besar di masa yang akan datang, lalu sebaliknya hal sebesar apapun akan berlalu begitu saja jika dihadapi dengan kesabaran.
Adalah Gwendolyne yang terlahir dalam keadaan tuna rungu dan segala cara agar membuatnya seperti orang normal inilah yang menarik dari buku ini. Tentang bagaimana perjuangan Mommy menyembuhkan anaknya, menutupi kekurangannya, merancang masa depannya. Tak pelak, anak adalah titipan Tuhan betul-betul dijaga oleh Mommy Gwen.
“Mommy`s writing. Do you want to write?” “Mommy`s reading. Do you want to read?”
Tak henti-hentinya Gwen memanggil ibundanya dengan kata ‘Mommy’ meski harus melalui proses pengejaan ‘e-i’,’i-i’,’a-i’,’ma-i’,’a-mi’ sampai akhirnya ‘ma-mi’. Disinilah proses perjalanan manusia dipertontonkan. Saya mungkin juga lupa bagaimana kedua orang tua saya mengajarkan cara berdiri, duduk, merangkak, berlari bahkan mengajarkan ejaan huruf-huruf secara abjad dan angka. Mungkin ini yang dimaksud dengan ‘dunia mendengar’. Saya pun seperti sedang dibukakan sebuah ayat dalam Al-Qur`an, Iqra bismirabbikalladzi kholaq
Gwendolyne, nama yang menurut Mommy diambil dari sebuah serial Malory Towers karangan Enid Blyton ini dilahirkan dengan cara caesar. Mommy pernah merasa frustasi dan menyalahkan dirinya sendiri, mengapa anaknya dilahirkan dalam keadaan demikian? Padahal keluarganya tidak ada satupun yang memiliki keturunan tuna rungu.
Tidak ada gunanya melawan takdir, hanya akan membuat saya letih dan tak berdaya, ucapnya lirih saat menerima kenyataan Gwen harus melalui aneka macam terapi dan itu terlihat menyedihkan untuk ukuran anak bayi seumurannya.
Dari buku ini pun saya baru mengetahui bahwa anak kecil yang masih menyender tidak bisa dikatakan sudah bisa duduk dengan benar. Juga hal-hal kecil lainnya tentang perkembangan motorik anak sepeti merangkak, refleks gerakan tangan dan lain sebagainya. Seperti sedang berkaca pada cermin. Bukankah dengan begitu kita pun berarti memahami siapa diri kita? Dan siapa yang menciptakan kita?
I Can (not) Hear mengajarkan kita bersyukur tentang sebuah Karunia.
Judul Buku: I Can (Not) Hear Penulis: Feby Indirani dan San C. Wirakusuma Editor: Christian C. Simamora Penerbit: Gagas Media Tebal: 352 halaman Cetakan pertama, Oktober 2009
***
Memiliki seorang anak yang normal secara fisik dan psikis, kemungkinan (besar) tak akan mendatangkan banyak masalah, terutama dalam mengajaknya berkomunikasi, belajar, bahkan bermain. Para orang tua tinggal menentukan suatu pola pembelajaran dan pendidikan yang tepat, maka kemungkinan (besar) anak itu akan baik-baik saja. Sebuah keluarga yang bahagia pun terbentuklah. Namun, berbeda dengan Sansan, panggilan akrab San C. Wirakusuma. Ia memiliki anak yang tuli karena sebuah serangan virus. Anaknya itu bernama Gwen.
Oleh keterangan Dokter Goh yang ada di Queen Mary Hospital Hongkong, penyebab ketulian Gwen adalah sebuah virus bernama CMV (cytomegalovirus). Begitu mendapatkan kabar ini, maka Sansan dengan segenap daya-upayanya mencari kesembuhan. Ia dan suaminya telah mencoba berbagai pengobatan alternatif, berdoa memohon kesembuhan, menghadapi seorang dokter yang ketus, mengurusi tugas-tugas rumah tangga yang berat dan anak yang susah diajak berkomunikasi dan mengerti. Namun kesembuhan tetap tak terjadi pada Gwen.
Pada usia 17 bulan, akhirnya Gwen dipasangi cochlear implant, sebuah alat bantu pendengaran yang canggih, yang membuatnya kian mahir berkomunikasi. Namun, tantangan tak berhenti di situ. Gwen perlu banyak berlatih memperhatikan, mendengarkan dan berbicara. Sebelum itu, beberapa alat bantu pendengaran telah dipasang, namun hasilnya tidak maksimal. Upaya mendatangkan kesembuhan bagi Gwen pada akhirnya membuat Sansan mengambil keputusan membawa Gwen ke Australia, berpisah dari suaminya, membesarkan anak itu seorang diri.
Kisah-kisah bagaimana Sansan mendidik putrinya ini dihadirkan cukup menyentuh oleh kedua penulis. Tidak diceritakan sekilas proses kreatif penulisannya: apakah buku ini ditulis dengan cara Sansan menuturkannya kepada Febi Indirani, atau mereka menuliskannya bersama-sama. Namun, tanggal, kejadian, ekspresi orang-orang, cuaca dan situasi di hampir semua kejadian yang ada di buku ini terkisahkan dengan cukup detil dan menarik. Pembaca dibawa untuk masuk dalam kehidupan keluarga Sansan.
Kisah-kisah Sansan dan Gwen akan menginspirasi para pembaca, utamanya para guru Sekolah Luar Biasa, para pendidik, dan para ibu tentunya. Kisah ini sudah cukup baik tergarap dari awal hingga akhir, namun sayang dalam beberapa halaman masih tampak beberapa kesalahan penulisan berupa tanda baca dan ejaan. Editor dan penulis kiranya dapat memperhatikan dan memperbaiki kesalahan-kesalahan ini bila nantinya buku ini dicetak ulang.
Hal-hal yang berkaitan dengan dunia kedokteran, pendidikan, atau psikologi tak banyak dikisahkan dengan detil dalam buku ini. Porsi terbesar adalah penggambaran kondisi sebuah keluarga yang memiliki anak yang "tak sama" seperti anak yang lain. Dari sinilah buku ini memiliki keunikannya tersendiri. Kita diajak untuk menghayati dan belajar bagaimana mendidik seorang anak yang tak bisa mendengar; juga memahami perasaan ibu yang melahirkan dan membesarkannya.
Contohnya ketika suatu hari Gwen diundang pada pesta ulang tahun temannya bernama Aaron. Waktu itu Gwen masih menggunakan alat bantu pendengaran yang lebih sederhana daripada cochlear implant. Oleh terapisnya yang bernama Ivy, Sansan diminta untuk selalu mengenakan alat itu pada Gwen. Namun, karena alat itu tentunya akan mengundang berbagai reaksi dan pertanyaan dari orang di sekitar Gwen, Sansan tak memasangkan alat tersebut di pesta ulang tahun Aaron.
Suasana pesta yang riuh dan penuh keriangan tak dinikmati oleh Gwen yang tak bisa mendengarkan apa-apa. Sansan tidak memasangkan alat bantu pedengarannya karena ingin Gwen tampak seperti anak normal lainnya. Namun, keinginan ini justru membuat Gwen tampak tak seperti anak lain: Gwen tidak menikmati pesta yang sedang berlangsung, sementara mereka yang lain bergembira ria. Sansan mengalami dilema.
Ya, pergulatan batin seorang ibu dikisahkan dengan baik dalam buku ini. Demi cintanya kepada si anak, Sansan mengambil lagi kuliah S2 jurusan Special Education, sebuah jurusan yang banyak mempelajari tentang pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Saat-saat ia membesarkan anaknya sendirian sambil kuliah, ia mengenang: "Masa-masa itu saya harus benar-benar disiplin, membagi waktu antara kuliah, mengerjakan tugas-tugas makalah, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan mengurus serta melatih Gwen."
Dengan lugas Sansan juga menguraikan argumen-argumennya yang penting tentang perlakuan yang harus kita berikan kepada tiap anak agar memperoleh kesempatan yang sama untuk bertumbuh-kembang menjadi pribadi yang seutuhnya. Anak-anak adalah anugerah Tuhan, dan para orang tua yang berbahagia adalah mereka yang menghargai anugerah itu dengan berjerih lelah mendatangkan kebahagiaan dan masa depan yang indah bagi mereka. -- Sidik Nugroho
A very interesting tale to read. Buku ini menggambarkan dengan cukup spesifik kesulitan apa saja yang dimiliki seorang anak yang dilahirkan dengan kondisi tuna rungu. Meskipun (untungnya) perkembangan teknologi sudah maju, tetap saja banyak kendala yang harus mereka hadapi.
Buku ini menarik karena membuat saya teringat dengan materi kuliah saya dalam mata kuliah psikologi pendidikan lanjutan dan juga psikologi keluarga.
Kondisi yang dialami oleh Gwen tidak saja hanya mempengaruhi dirinya, tetapi juga mempengaruhi sistem yang ada di dalam keluarganya. Banyak sekali masalah keluarga yang harus mereka hadapi, tapi saya senang karena keluarga ini berhasil melewatinya (tentunya dengan usaha yang extra keras! :D)
Saya juga jadi menyadari bahwa materi kuliah yang saya pelajari mengenai kondisi tuna rungu masih sangat-sangat... superfisial sekali. Saya cuma tahu hal-hal yang sederhana saja, seperti definisi tuna rungu dan keterbatasan apa yang mereka alami. Saya baru tahu jenis-jenis terapi dan alat-alat apa saja (cochlear implant, misalnya) yang dapat mereka gunakan setelah membaca buku ini.
Seringkali dalam hidup kita hanya mendapatkan dua pilihan, berjuang terus atau menyerah begitu saja. San bisa saja menyerah dan mengajari putrinya bahasa isyarat daripada mencoba semua kemungkinan, sekecil apapun kesempatan itu, agar Gwen bisa hidup normal layaknya anak-anak lain.
Tapi dia tidak melakukannya dan di buku ini semua terungkap. Seluruh usaha seorang ibu, tanpa kenal lelah, tidak ingin menyerah, dengan rintangan yang begitu luar biasa agar Gwen bisa mendengar dan berkomunikasi dengan baik. Walau akhirnya menyadari putrinya tetap memiliki keterbatasan, San tidak berhenti di situ. Karena ia tahu ada banyak anak-anak lain yang tidak seberuntung Gwen.
I can say this such a detail book. Honest and can be powerful for those who may have disabilities child.
I ever met, even teached children with disabilities in Yogya, kinda autism or something like that, so, i can feel what happen is in this book.
Have a nice man/woman who loves u, parents do too, than have a baby ...beautiful baby with cute smile and laugh. and suddenly u found that the baby can not hear.
U have two options, cryin out every time u see the baby and askin urself or medical reason why it can be happen ...or....u think u have to move on, and this baby have to grow up like a normal kid.
Life is about choice, is about sacrifice....so, u decide how to sacrifice something for the right choice.
Apa, ya? Mungkin cuma mau bilang kalau ini adalah buku non-fiksi pertama yang aku suka, pake banget. Mba Feby emang juara. Penulisannya jauh dari kata membosankan meskipun ada beberapa hal yang nggak sinkron kayak penggunaan saya yang nanti-nanti jadi aku. But it doesn't really matter after all.
Cerita ini tipe-tipe cerita yang menggugah hati, inspiring, dan pastinya membuat kita bersyukur dengan apa yang kita punya, juga untuk nggak mudah menyerah. Karena usaha adalah jawaban dari segalanya.
Terimakasih Mba Feby untuk tulisan ini, Gwen, Mba SanSan dan suami yang sudah berbagi. Titip salam sayang untuk Gwen, I fell in love with her smile ^^
Klo udah baca buku ini sampe tuntas dan ngeliat Gwen secara langsung pasti gak percaya klo Gwen selain cantik banget *turunan org tuanya kayanya jg anak yg cerdas, aku udh ngeliat Gwen secara langsung soalnya tahun lalu... menurutku guru2 disekolah umum sekali2 harus dikasih pengarahan biar gak mandang anak yg punya keterbatas sebelah mata karena mereka pun sama normalnya kaya anak lain kadang justru mereka lebih cerdas...
Aduh baca buku ini jiwa emak-emak saya terpanggil, belum lagi Gwen di cover moe banget, saya sampai bolak-balik buka cover buat bayangin anak kecil cantik yang lahir dengan kekurangan. Oke sip, buku ini bagus banget, apalagi buat para calon ibu (...) dan para wanita, dan siapapun yang punya kepedulian terhadap kaum difabel. Ceritanya dibuat runtun, sederhana tapi kompleks juga. Pokoknya ini memoar yang bagus banget buat dibaca.
(... tumben lah saya ngasih review singkat dan nggak ngaco)
A very touchy true-story. Betapa perjuangan & kasih sayang seorang Ibu pada anaknya ditulis secara sempurna dalam buku ini. Wajarlah memang kalau surga dibawah telapak kaki Ibu. Hebat yah mbak @febyindirani ini, sudah cantik, cerdas pula nulisnya :)