Tea for Two adalah perusahaan makcomblangmilik Sassy. Baginya, tak ada tanggung jawab dan kebahagiaan yang lebih besar daripada mempertemukan dua orang yang awalnya saling tak mengenal kemudian mengantarkan mereka pada kehidupan yang di idam-idamkan. PERNIKAHAN! Hidup bahagia selama-lamanya. Begitulah moto Tea for Two yang terdengar manis. Tapi.....eits tunggu dulu! Apakah benar pernikahan adalah satu-satunya jalan terindah bertabur bunga yang diimpikan dan dicita-citakan semua orang? Ternyata tidak semua orang menyikapi hal itu dengan kata setuju. Celakanya, pernikahan Sassy sendiri mengandung rangkaian rahasia kecil yang berbuntut menjadi kebohongan besar-besaran. KDRT, Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Semuanya diawali dengan romantisme yang menggebu dan berakhir dengan kekejaman tiada banding....
Clara Ng adalah pengarang sejumlah novel dewasa dan juga buku anak-anak. Ibu muda berbintang Leo ini lahir di Jakarta tahun 1973. Lulusan di Ohio State University jurusan Interpersonal Comunication ini tidak pernah bercita-cita jadi penulis, namun kini karya-karyanya mengalir tanpa henti. Novel-novel dewasa yang sudah diterbitkan adalah Indiana Chronicle: Blues, Indiana Chronicle: Lipstick, Indiana Chronicle: Bridesmaid, The (Un)Reality Show, dan Utukki: Sayap Para Dewa. Buku anak-anaknya yang sudah terbit adalah Seri Berbagi Cerita Berbagi Cinta.
Malam penuh temaram bintang, angin berhembus pelan, dan cahaya bulan yang menyinari. Mendapati seorang pria bersimpuh dihadapanmu, dengan seikat bunga mawar di tangan dan berkata "would you marry me??" itu adalah impian hampir seluruh perempuan normal di muka bumi ini. Pernikahan adalah sebuah kata keramat dan sakral untuk sebagian orang. juga menjadi tema yang terlalu sensitif untuk sebagian yang lain. terutama untuk kaum perempuan. Ketika usia mulai mengejar, diantara perjuangan hidup, karir, persahabatan dan gunjingan orang sekitar. tetapi apakah pernikahan adalah awal dari kebahagiaan dan hidup seorang perempuan?? Ibarat ending kisah2 dongeng. Happy Together, Ever After. Ataukah malah ternyata lelaki yang kita anggap sebagai Mr. Right, ternyata adalah seorang Mr. Totally Wrong?? Pernikahan memang menjadi sebuah babak baru dalam kehidupan seorang perempuan, entah itu babak yang membahagiakan atau bahkan menjadi awal sebuah kisah menyedihkan, tragis dan menguras airmata. seperti kisah telenovela ataupun dorama asia.
Membaca kisah ini membuatku merasa beruntung dengan kesendirianku yang sekarang. bukan berarti pernikahan adalah sebuah kata yang tidak untukku, karena walaubagaimanapun, aku tetaplah seorang perempuan normal. tetapi, paling tidak, aku tidak terburu-buru dalam memutuskan. pernikahan tidaklan seindah yang sering dibayangkan orang. Pernikahan bukanlah awal dari sebuah kisah Happy forever, Ever After. Ketika orang yang awalnya kita anggap Mr. Right, berubah menjadi Mr. Totally Wrong. Ketika sebuah pernikahan merubah kehidupan seorang perempuan. Atas nama cinta, perempuan terpaksa banyak mengalah, ketika seorang perempuan menghadapi penghianatan, KDRT dan perselingkuhan. Atas nama cinta, banyak perempuan menjadi kehilangan dirinya sendiri.
Membaca kisah ini, membuatku senjadi bersikap semakin kritis thd sebuah lembaga yang namanya pernikahan. Karena buat perempuan, pernikahan ibarat persetujuan menjadi “babu” secara legal dan formal. Dan itu semua dilakukan atas nama cinta. Aku bukanlah penganut feminisme semu, apalagi aku bukanlah aktifis perempuan yang gemar meneriakan emansipasi dan kesetaraan gender. Aku hanyalah aku. Manusia biasa yang ingin dicintai dan mencintai. Kalaupun akhirnya aku harus masuk ke dalam lembaga yang kukritisi sendiri, paling tidak aku ingin itu adalah pilihan terbaik yang Tuhan berikan untukku. Kalaupun akhirnya aku harus menjadi ‘pelayan’ dalam sebuah pernikahan, aku ingin menjadi ratu yang melayani raja yang cerdas, bijaksana dan tidak semena-mena. Dan sebaliknya kalaupun kata pernikahan itu tak juga untukku, aku akan dengan berani mengatakan “I’m single, brave, beauty, smart, confidence and very happy"
Hahaha kok review ini malah berubah menjadi media curhat sih. pokoknya hati-hati sebelum memilih. Daripada mengalami KDRT. Never judge a book by it’s cover, but by it’s price. Ups I did it again…hahahaha.
Semua dongeng ala H.C. Andersen yang kita telan mentah-mentah waktu kecil telah meracuni pikiran kita bahwa pernikahan antara dua tokoh utama, seperti Pangeran Tampan dan Cinderella misalnya, adalah akhir yang bahagia dari sebuah cerita... And they live happily for ever after... The End.
Are you kidding?
Apa iya cinta pada pandangan pertama, hanya dengan melihat penampilan fisik, sudah cukup untuk sebuah pernikahan?
Pangeran jatuh cinta pada Upik Abu yang kelihatan glamour karena special effect tanpa tahu sifat aslinya seperti apa. Untung saja Cinderella gadis yang baik hati, tidak sombong, dan pandai menabung... kalau ternyata psikopat maniak gimana...?
Sebaliknya, Cinderella juga begitu berharap dapat pergi ke pesta dansa untuk bertemu, berdansa, dan jatuh cinta dengan sang Pangeran. Padahal seperti apa sifat Pangeran itu sebenarnya, mana dia tahu? Dansa sebentar tak cukup untuk mengenal karakter seseorang.
Bagaimana kalau Pangeran yang tampak luar kelihatan tampan, tampak samping kelihatan baik hati, dan tampak atas kelihatan bijaksana itu ternyata... pelaku KDRT? Who knows?
Nggak kebayang deh, kalau di balik kalimat they live happily for ever after itu ternyata Cinderella mengalami hal yang lebih buruk daripada yang didapatnya dari ibu tiri dan kedua saudari tirinya. Seperti keluar dari mulut harimau masuk ke mulut hiu... dan pembaca/pendengar dongeng takkan pernah tahu kebenarannya... (Jadi dapat ide buat parodi tragedi dongeng ala The Book of Lost Thing, nih...)
Bedanya dengan kisah Cinderella di atas, di Tea For Two, adegan KDRT sudah disajikan dari awal, baru flashback deh. Jadi pembaca sudah tahu takkan mendapat cerita roman ala Harlequin.
So... apakah tidak cukup tes kesehatan fisik untuk pasangan yang akan menikah? Apakah perlu ditambah psikotest juga?
There's not much to say about a book with its entire reading experience can be condensed in the first tell-all chapter.
But I can say a lot about the catch-22's involved in writing about domestic violence.
#1: It's hard to make a victim of a domestic violence as a lovable main character. Because, she (I'm aware that in reality, victims of domestic violence can be males or females, but I'm using "she" to refer to the main character in this book. Plus, it's silly to use "she/he" all the time just to be politically correct) will repeat the same mistakes over and over again until the reader screams, "GET OUT OF THIS RELATIONSHIP ALREADY!"
#2: If the author manages to make the main character lovable, the reader will miss the point. Because domestic violence usually involves sapping the victim's power and spirit to the point that she makes illogical decisions. The resolution only comes after she stops victimizing herself and makes a stand.
Sebenarnya sempat putus harapan ikut baca bareng Tea For Two yang menjadi Forum baca bulan April karena sampai tanggal 17 April belum juga dapet bukunya padahal sudah hunting saat masih proses Vote, sudah pesan di Gramedia, ke TGA sampai ke toko buku-toko buku kecil dikotaku, bahkan sempat dateng ke toko buku tulis dan kitab agama sampai dibilang “gak jual novel”. Dan walaupun tahu buku ini adalah buku baru yang terbit Februari 2009 kucari juga di kios-kios buku bekas, berharap kutemukan disana, mau nyari di harian Kompas sayang banget gak langganan Kompas. Mau curhat dan minta tolong di thread buku ini, malu, soalnya sudah pernah dibantuin untuk dua bulan sebelumnya. Baca buku bulan Januari ditolong Amang dapetinnya, Drunken Monster diberi oleh Roos. Jadi khawatir kalo curhat disangka sengaja karena ngarep bantuan...., he..he.. sorry ya temans bukannya suuzhon...
Alhamdulillah tanggal 18 saat mulai hunting nyari buku yang masuk dalam daftar polls bulan Mei, aku justru lihat buku ini, dan dikasih tahu customer servicenya kalo buku Tea for Two sudah ada. Waw, seneng dong...., akhirnya jadi juga ikutan baca bareng, jadi inilah reviewku :
Jatuh cinta, suatu keadaan yang bisa membuat seseorang jungkir balik dari kondisi kesehariannya, yang semula keras hati bisa jadi sentimentil, yang semula tidak percaya bisa jadi orang yang begitu optimis, yang semula miskin bisa merasa kaya, kaya akan sejuta perasaan yang indah, yang bisa menghadirkan segala mimpi dan harapan... Itulah yang dirasakan Sassy saat bertemu Alan.
Sassy, pemilik Tea for Two, sebuah perusahaan makcomblang yang semula memanfaatkan ketergantungan manusia akan perasaan cinta untuk kepentingan bisnisnya malah menemukan perasaan jatuh cinta pada seorang pria justru di perusahaan miliknya sendiri.
Alan, seorang pria dengan postur tinggi, berdada bidang, berhidung mancung dan sudah mapan adalah tipe seorang pria yang bisa membuat perempuan jatuh hati. Seorang pria yang pandai menyanjung hati perempuan dengan berbagai hadiah dan perhatian yang romantis.
Romantis, sikap impian setiap perempuan sekaligus kelemahan, karena sungguh banyak perempuan luluh karena sikap romantis sang pujaan. Mengalahkan logika dan pertimbangan, membuat hati tertutupi oleh perasaan tersanjung dengan berbagai bentuk perhatian yang kalau saja mau dicermati terkadang sangatlah berlebihan, bahkan terkadang mengabaikan sinyal-sinyal peringatan dari hati sanubarinya sendiri, seperti yang tertulis dihalaman 83 :
“Bisakah kamu bayangkan bagaiman rasanya kalau pasanganmu memenuhi hari-harimu sehingga rasanya ruang gerakmu menjadi terbatas? Tapi anehnya kamu tidak merasa keberatan. Kamu merasa sangat fine, malah rela memberi lebih semakin banyak setiap hari........... Tapi lama-lama, dia meminta sedikit lebih banyak. Tentu saja kamu rela memberikannya. Sedikit lebih banyak lagi. Tidak ada yang salah! Kamu memberikannya......”
Begitulah efek jatuh cinta, beruntunglah kalau perasaan seperti itu diimbangi dengan setimpal dari sang pujaan hati, setiap pasangan sepantasnyalah selalu memberi lebih banyak kepada pasangannya, dan berbahagia adalah akhir yang didambakan setiap insan yang saling jatuh cinta.
Tapi, malanglah yang diterima jika harapan tak sesuai kenyataan. Cinta yang besar dibalas dengan ketidak jujuran bahkan kecemburuan yang tidak beralasan, dan kemalangan itu akan bertambah besar bila dibarengi dengan kekerasan dalam rumah tangga. Bukanlah kebahagiaan yang didapat tetapi kiamat bagi rumah tangga.Sungguh
Sebenarnya jika jiwa perempuan tidak tertutupi dengan harapan terlalu tinggi kita dapat mengenali siapa sang pujaan hati ini sebelum melangkah ke gerbang pernikahan. Jika sang pujaan tidak mau berkenalan dengan orang-orang terdekat kita mulailah pasang mata lebih lebar untuk mengamati si Dia, karena laki-laki yang berniat baik tentu akan mau melebur tidak hanya dengan diri kita sendiri tapi dengan lingkungan disekitar kita. Bila si Dia jika mulai mempermasalahkan pilihan pekerjaan kita, dan menyalahkan orang-orang disekitar kita, egois tanpa menghiraukan pendapat kita maka lampu merah sudah menyala tanda peringatan berbahaya. Sayangnya terkadang sisi kewanitaan kita mengalahkan sinyal peringatan tersebut dengan harapan bahwa semua itu akan berubah pada akhirnya. Padahal pernikahan tidak akan merubah kepribadian seseorang, justru pernikahan itu ada karena perbedaan dan bagaimana menyatukan dua perbedaan tersebut dengan tujuan yang sama bukan mengubahnya.
Lalu bagaimana jika KDRT itu terjadi setelah pernikahan? Inilah dilema yang dihadapi, banyak istri malu untuk mengungkapkan apa yang terjadi karena menganggap bahwa itu adalah aib keluarga yang tidak pantas diungkapkan kepada siapapun, banyak juga yang khawatir mengambil sikap berpisah karena alasan anak-anak seperti yang dikisahkah Clara dalam buku ini. Lebih banyak lagi karena faktor ekonomi, kekhawatiran akan masa depan jika bercerai memaksa banyak perempuan untuk membiarkan perlakuan kasar yang diterimanya terlebih jika suamilah satu-satunya yang menopang kehidupan istri dan anak-anak. Sepantasnyalah bila kita mencari solusi bila KDRT telah terjadi, bisa dimulai dengan membangun komunikasi terbuka, ungkapkan keberatan kita, ungkapkan juga tujuan kita berumah tangga, kalau suami tidak bisa diajak berkomunikasi maka sudah waktunya untuk meminta pertolongan, bisa kepada keluarga, psikolog atau badan-badan perkawinan yang dapat membantu, dan kalaupun tidak bisa ditemukan upaya untuk bersatu maka tidak perlu takut untuk berpisah, karena kita berhak untuk berbahagia, sehingga anak-anak pun akan berbahagia pula karena tidak pernah ada baiknya anak yang dibesarkan dalam rumah tangga yang penuh dengan kekerasan.
Jadi bagi perempuan yang masih single, please pasang mata selebar-lebarnya dan jangan biarkan rasa cintamu membutakan seluruh hatimu, berikanlah cintamu pada laki-laki yang tepat, dan berdoalah untuk dipertemukan dengan jodoh yang membawamu dalam keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah...
Sebagai seorang pemilik perusahaan biro jodoh, Sassy pastinya menginginkan hal yang terbaik untuk para kliennya, baik dalama menjalin hubungan awal sampai masa pernikahan. Rupanya itu tak terjadi dalam kehidupannya sendiri. Pernikahan yang sempurna dalam bayangannya tak sesuai dengan kenyataan yang dijalaninya. Masa pacaran yang romantis ternyata bertolak belakang dengan yang dialami pada masa pernikahan bahkan sejak awal masa pernikahan. Perlakuan Suami yang melecehkan baik secara fisik maupun mental telah dapat membalikan dunia Sassy. Perlakuan KDRT ternyata dapat mengubah sikap dan pribadi seorang Sassy yang optimis dan penuh percaya diri menjadi pribadi yang lemah dan selalu menyalahkan diri sendiri. Berkat bantuan dan dorongan semangat dari para sahabat, ibu tercinta dan bantuan terapi dari orang profesional dan teman2 yang mempunyai pengalaman yang hampir sama dalam berumahtangga, perlahan-lahan Sassy dapat mengembalikan rasa percaya diri dan semangat hidupnya ,dia siap untuk bercerai dengan suami dan bangkit untuk mulai hidup baru lagi.
Apa yang istimewa dalam buku ini?
Walaupun cara Clara Ng bercerita dalam buku ini biasa saja tidak terlalu istimewa tapi mudah dimengerti, namun ada yang bisa menyadarkan kita bahwa perlakuan / pelecehan / KDRT dari orang terdekat akan sangat membahayakan selain fisik terutama mental korban apalagi jika hal itu dilakukan terus menerus. Pada kenyataannya hal ini banyak terjadi disekeliling kita, tanpa diketahui oleh orang sekitar, latent dan memang ada. Apa yang harus kita perbuat jika mengetahui hal ini terjadi pada orang yang ada disekitar kita ? Terpanggilkah untuk membantu ?
Read this novel first then i guarantee that if you are planning to get married then you're going to think about it twice or more after read this novel.
How deep you know someone which actually really close to you to make them as the important person on your whole life...sedalam dan sejauh apa? sampai ke sisi terdalamnya? bagaimana sisi gelapnya? this novel succeed to make some one to feel afraid of marriage. You just known your bf and gf let say for 10 years or more, even the family who have been living with you the whole of your life, still many things about them that you do not know.
Novel ini telah sukses menampilkan segala sesuatu yang ada dalamnya dalam sisi yang berbeda. BAgaimana pernikahan yang semula merupakan kehidupan impian banyak orang sehingga mereka sangat bahagia untuk menyambutnya malah berubah menjadi mimpi terburuk yang berubah menjadi kenyataan yang mencekam. Bagaimana pribadi yang terlihat menawan sebenarnya menyimpan kegelapan yang menyerap orang lain terseret ke dalam kegelapannya? mitosnya wanita yang modern, punya karir yang baik, berpendidikan terjebak pada kekerasan rumah tangga? bukannya KDRT itu hanya biasanya terjadi pada wanita lemah, tak berpendidikan tinggi, atau rumahan?
This novel leads the reader to see the different perspective about marriage. one of a worth reading indonesian novel!
Yah namanya juga cerbung koran ya... jadi ceritanya dibikin dengan nuansa se-"ringan" ini. Menurut saya cerita ini agak kurang "hidup" walaupun tema yang diangkat sangat riil. Mungkin juga karena saya udah pernah baca novel lain tentang KDRT yang jauh lebih emosional sehingga baca ini kerasa datar aja. Anyway tokoh Alan sangat patut dibenci. Pengin melenyapkan dia selamanya -_-
saya sering banget mengumpat gitu tiap scene Alan sok merayu dan mengucapkan kata cinta. ingin rasanya saya tiba-tiba ada di dalam buku itu dan berkata ''makan tuh cinta!'' tapi gak bisa.
baca ini ngilu banget :'(
sebagai anak yang kebetulan sama seperti sassy (eh bener gak sih i lupa namanya), dan pernah tumbuh dengan disakiti melalui kata-kata, saya jadi benar-benar bisa menghayati dan merasakan dengan baik perihnya sassy saat mendapat kekerasan verbal oleh suaminya.
sedikit true story, keluarga saya juga mengalami yang demikian. bedanya, ibu saya adalah alan. sementara ayah saya adalah sasya :'(
surem. baca ini beneran ngilu, sedih, mewek kejer banget tapi juga terhibur dengan Naya.
saya punya gak ya sahabat yang kayak Naya, Rose dan yang lainnya ini, hiks.
baca ini juga, jadi sedikit banyak tercerkan soal pernikahan sih. trus saya juga sering mikir, gila ini sassy yang mandiri dan powerful gini aja bisa disakiti. apalagi w yang madesu begini hhh. memang semua orang harus bergantung pada dirinya sendiri dah.
hh, asli, saya membayangkan, ini mbak Clara Ng pas nulis ini tuh apa ya yang ada dipikirannya. suka banget sama buku inii!
beberapa kutipan kesukaan;
''pernikahan adalah harapan menuju hidup yang baru. selalu tumbuhkan harapan itu di hati. kalau kita nggak punya harapan, itu sama saja kita bunuh diri. kita stress terus''
''.....jaka sembung bawa gitar, gak nyambung jrengg'' asli pas baca ini nih ya, saya keselek airmata+ingus saya. lagi asik2 nangis tiba2 naya datang dengan lawakannya yang garing abis. juara banget asil mbak Clara menciptakan sosok Naya ini :')
'' ini kali pertama aku mendengarkanmu mengucapkan kata jatuh cinta. kata itu keramat,tahu! itu membuatku jadi serius. selain itu kamu juga terlihat serius banget. cowok ini pasti luar biasa sehingga kamu mengucapkan jatuh cinta'' HHMMMMMMMMMM ini saya merenung lama banget karena saya terlalu mudah mengucapkan jatuh cinta. dengan definisi yang absurd versi saya sendiri tentunya.
jadi penasaran, Rangga kapan dan saat apa ya sampai akhirnya dia bisa sadar bahwa ia telah jatuh ''cinta''
''jangan pernah sinis dengan pernikahan. apa pun itu, pernikahan juga menawarkan kebahagiaan. like the other side of the coin'' hmmm
selesai baca ini saya juga jadi sedih karena teringat dengan salah satu teman saya yang saat ini kebetulan-kami sedang putus hubungan; karena pacarnya tidak suka dengan saya. katanya saya membawa pengaruh negatif.
yang membuat saya sedih adalah bahwa teman saya lebih memilih dan mengamini pendapat pacarnya itu. padahal mereka baru 1 tahun kenal dan 3 bulan pacaran. sementara kami sudah bersahabat jalan 7 tahun dan bahkan sudah tau dengan baik segala macam rahasia (bahkan sampai rahasia seluruh keluarganya).
sedih karena ia lebih memilih kekasihnya.
tapi ya sudahlah, barangkali memang dia bukan sosok yang tepat untuk menjadi sahabat saya. dan barangkali mungkin memang sosok "Naya'' akan bisa saya temukan dalam orang lain; bukan pada sosoknya.
terima kasih telah menulis buku yang bagus mbak Clara!
Semua orang ingin hidup bahagia. Kadang-kadang kita sendiri yang mempersulit keadaan untuk menjadi bahagia. (hlm 268).
Tea For Two. Saya memutuskan untuk membaca buku ini tanpa tahu apa yang akan dibahas di dalamnya. Genre Metropop pada labelnya membuat saya berpikir bahwa ini adalah kisah seorang wanita metropolitan yang mungkin saja memiliki sebuah hubungan pernikahan yang manis. Saya membayangkan kalau judul Tea For Two ini sesederhana sang istri menyiapkan dua cangkir teh untuk suaminya di pagi hari. Betapa manis dan sederhana, kan?
Tapi ternyata dugaan saya salah. Ini bukan buku soal romantisme pernikahan yang manis. Ini buku pembelajaran yang cukup realistis.
Tea For Two punya gambar sampul yang dilematis. Semacam gambar ala tumblr yang deep meaning. Aura gelap dan suram memang sudah terlihat, tapi saya lambat menyadari hal ini. Warna orange yang mengimbangi sampul bukunya mungkin membantu untuk menyingkirkan kesan suram itu sendiri. Jadilah saya terlena pada gambar sampulnya.
Pada prolognya, siapapun yang membacanya akan terkesima pada gaya hidup sepasang suami istri yang berbulan madu ke Bali. Ini bukan suatu masalah sih... karena penggambaran ini akan memunculkan imajinasi bagi orang-orang, seperti, "Wow, honeymoon ke Bali!" atau "Romantis banget sih honeymoon-nya". Dan sungguh prolog ini akan lebih menyenangkan lagi kalau kalian membaca hanya sampai disitu.
Tokoh utama dalam buku ini adalah seorang perempuan muda, Sassy, pengusaha biro jodoh yang dinamakan Tea For Two. Jadi, disinilah semuanya bermuara. Tea For Two adalah nama biro jodoh dan agensi wedding organizer. Sassy sendiri berusaha mempertemukan orang-orang yang lajang dalam sebuah pertemuan yang diatur dan menbantu mereka yang akan melangsungkan pernikahan dengan bisnis WO-nya ini. Bisnis khas kaum urban yang melihat peluang semacam ini sebagai pundi keuntungan.
Sebagai seorang wanita karir yang mapan, saya sungguh sangat mengagumi tokoh Sassy ini. Di usianya yang udah lewat 25, dia punya karir yang bagus untuk bisa bertahan di kehidupan ibu kota yang keras. Namun, yang belum dimiliki adalah kekasih. Apakah memang problem perempuan kebanyakan seperti ini ya? Ada beberapa bacaan yang menunjukkan kalau laki-laki seringkali mundur apabila perempuan yang didekatinya memiliki status (baik pendidikan maupun pekerjaan) yang lebih tinggi darinya? Hm, mungkin ini yang menjadi penyebab perempuan pintar banyak yang single. Eh, tapi, nggak gitu juga sih. Mungkin hanya soal circle life yang berbeda aja kali ya. Perempuan berkarir bisa aja kan jadiannya sama lelaki berkarir juga? Iya, nggak, sih?
Kembali ke Tea For Two, saat Sassy sedang mengurusi salah satu klien yang mau menikah, ia bertemu dengan seorang laki-laki bernama Alan—yang merupakan saudara dari kliennya. Di pertemuan kedua, Sassy sudah merasa luluh dengan sikap romantis Alan. Kalau kalian baca bukunya, mungkin kalian akan diabetes seketika, saking manisnya sikap Alan ke Sassy. Mulai dari kasih kejutan, makan malam di restoran romantis, jalan-jalan ke luar kota, sampai kata-kata manis yang sungguh membentuk kecurigaan di pikiran saya. Iya, kadar manisnya si Alan ini berlebihan banget. Kalau saya mungkin bakalan bosen di hari ke-7 deh menghadapi 'serangan' kayak gitu.
"Izinkan aku menjadi bilangan primamu. Bilangan prima yang hanya bisa dibagi dengan bilangan itu sendiri, atau dibagi dengan angka satu. Angka saru adalah kamu, satu-satunya dan selalu menjadu nomor satu." - Alan, (hlm. 96).
Sassy menganggap sikap Alan adalah bentuk dari perhatian dan sebuah cinta untuk dirinya. Ia sendiri juga sudah mendefinisikan bahwa dirinya jatuh cinta pada Alan. Hal ini bahkan ditertawakan oleh Naya, sahabat dekat Sassy, yang tau persis bagaimana Sassy selama ini.
Ya, perempuan mana yang bisa menolak lelaki mapan, tampan, dan manis seperti Alan? Bahkan Sassy pun dengan ikhlas menerima Alan ketika ia melamarnya. Sassy menikah dengan Alan, lelaki yang dicintainya—meski baru ditemuinya beberapa waktu.
"Cinta yang sehat adalah cinta yang mengeluarkan arus positif untuk dapat saling menghidupkan. Cinta yang penuh penderitaan bukanlah tanah yang gembur untuk dapat menumbuhkan benih apa pun. Benih akan mati tercekik di tanah liat yang kekurangan air." (hlm. 278).
Sesungguhnya ada yang saya kurang pahami dalam hubungan Sassy-Alan. Pasalnya, ketika mereka akan menikah dan Sassy sempat menaruh curiga pada sikap Alan—yang manis tapi juga posesif ini—kenapa Sassy tidak berusaha mencari tahu kepada saudara Alan yang menjadi klien di WO-nya? Kenapa tiba-tiba Sassy sudah memutuskan untuk menikahi Alan tanpa dijelaskan bagaimana mereka saling mengenal keluarga masing-masing? Oh, oke, ini hanya kegelisahan saya saja. Mungkin ceritanya tidak akan seru kalau sifat Alan yang sesungguhnya terbongkar di depan.
Membaca Tea For Two adalah sebuah pembelajaran. Menikah itu butuh pertimbangan banyak hal, bukan cuma soal perasaan, tapi juga tentang siapa yang akan kita nikahi. Dalam hal ini saya banyak belajar bahwa pernikahan tidak selalu baik-baik saja; pernikahan tidak selalu manis dan adem ayem; pernikahan itu... membuka masalah baru, terlebih kalau kita memang tidak mengenal siapa orang yang kita nikahi.
"Pernikahan memang perlu diperjuangkan, tapi pernikahan tidak butuh kematianmu untuk dipertahankan." (Hlm 280).
Buku ini memberikan sudut pandang baru untuk saya. Mencintai itu harus rasional, walau kadang emosional. Mencintai itu bukan berarti kita tutup mata dengan segala keburukan pasangan. Mungkin benar, kita harus selalu memaklumi keburukan pasangan kalau sudah menikah, tapi kalau sikap dan sifat buruk pasangan malah membuat kita tidak nyaman, ya, buat apa? Bukankah menikah itu untuk saling membuat nyaman? Eh, iya, nggak sih?
Pada akhirnya, buku ini memang berkisah seputar Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Ada laki-laki yang bermanis-manis sebelum menikah, romantisnya bukan main, tetapi kemudian berubah drastis setelah menikah; jadi suka main tangan dan/atau menyakiti pasangan, baik fisik maupun batin. Oke, mungkin nggak cuma laki-laki yang jadi pelaku, tapi perempuan juga bisa jadi pelaku, meski kebanyakan perempuanlah yang jadi korban. Dalam buku ini tentu saja perempuan yang jadi korban KDRT.
"Pada banyak kasus, cinta juga memberikan efek candu, membuat orang-orang tergila-gila dengan rasa dan suasananya. Tidak heran banyak yang mengejar cinta seperti mengejar kekayaan. Saat efek dari rasa dan suasana cinta mulai luntur, maka dia akan jatuh cinta lagi agar tubuh dan jiwa tetap terstimulasi. Tapi pada peristiwa KDRT, yang menjadi candunya adalah penyiksaan itu. Respons adrenalin yang menderas gila-gilaan membuat hidup menjadi lebih hidup." (Hlm. 295).
"Saat pasangan kita menjadi abusif, dia mengambil bagian yang sangat besar dari apa yang kita miliki di dalam diri kita. Seseorang hang abusif pandai mengeruk dan memaksa pasangannya untuk menyerahkan bagian-bagian itu. Mulanya mungkin kita memberikannya dengan pasrah karena cinta. Tapi lama-lama, kita terbiasa memberikan itu sehingga rasanya tidak ada yang aneh." (Hlm. 296).
Sayangnya, yang dijelaskan di buku ini adalah... perempuan selalu tutup mata dengan dalih 'masih mencintai suami' atau dengan harapan 'suaminya bisa berubah seiring berjalannya waktu'. Saya sungguh-sungguh ingin merukyah perempuan yang berpikir seperti ini. Semacam, 'lo udah disiksa begitu sama suami lo, masih aja ngarep dia berubah. Gak bakal!'
Siapapun, saya nggak akan bahas ini dari sisi agama. Ketika dalam rumah tangga sudah terjadi KDRT dan si pelaku terus menerus melakukannya, jalan keluarnya cuma berpisah. Mempertahankan pun belum tentu ada gunanya. Bagus banget kalau si pelaku KDRT ini bisa benar-benar tobat, kalau cuma tobat di mulut tapi besok mengulangi lagi? Mau sampai kapan? Sampai kehilangan nyawa? Hm.
"Jodoh memang misterius. Beberapa orang butuh bantuan untuk dicarikan jodoh. Seperti cinta, mungkin jodoh juga mempunyai tanggal kedaluwarsa. Itulah yang menyebabkan jodoh harus berganti atau didaur ulang." (Hlm. 309).
"Nggak mau kawin karena nggak mau kawin. Aku nggak bisa membayangkan membagi hidupku dengan orang lain sampai aku mampus. Aku inhin hidup sendiri. Kenapa sih perempuan harus menikah? Emangnya pernikahan ini menjamin apa? Kebahagiaan? Aku bahagia kok sekarang. Aku nggak yakin kebahagiaanku berlipat ganda dengan menikah." - Rose (hlm. 307).
Ya, saya setuju nggak setuju sama kalimat penolakan dari Rose. Pertama, saya setuju karena saya juga percaya sebelum menikah pun saya sudah bahagia dan nggak yakin kalau setelah menikah bakalan lebih bahagia—tepatnya saya nggak tau. Kedua, saya nggak setuju karena hari ini pun saya sudah membagi hidup saya dengan orang lain; orang tua, adik-adik, teman-teman, sahabat. Toh membagi hidup bukan hanya soal pasangan, kan? Hehehe.
Soal jodoh yang kedaluwarsa, saya pernah dengar dari seseorang di grup ketika kami berdiskusi soal jodoh. Jodoh itu bukan hanya perihal manusia, tapi juga kesempatan, pekerjaan, sampai rezeki. Dan kenapa jodoh harus didaur ulang? Ya, memang karena masa berlakunya sudah habis, tapi yang saya ingat, jodoh dengan manusia itu bisa diusahakan. Bukan semata-mata ketika sudah menikah bisa cerai begitu saja dengan dalih "kedaluwarsa". Nggak gitu. Untuk yang satu itu, kita emang harus menjaga supaya berjodoh terus. Gitu nggak sih?
Yak, sekian review buku Tea For Two. Semoga kalian semua yang sudah menikah maupun akan menikah selalu dilimpahkan kebahagiaan dan mendapat ridho dari Allah. Aamiin.
Ada tidak yah yang merasa karakter-karakter di buku ini berisik sekali? Sepertinya mereka tidak henti-hentinya berbicara dan semakin membuatku mempercepat proses speed reading-ku!
Arti sahabat bagi seorang Mia adalah sesuai moto bersama kami, 'Teman senang kita senang, teman susah kita lebih senang!' Dan karena telah mengalami banyak hal bersama, terkadang tidak membutuhkan percakapan yang bertele-tele seperti yang dilakukan Sassy dan Nay karena bisa membaca pikiran satu sama lainnya.
Cinta, maen yuk Aku baru bisa keluar pukul lima Ada film bagus? Entar aku beli tiketnya
Atau mengalami hari yang aneh bersama, misalnya saat aku sedang flu dan demam sementara dia terserang gejala tipes untuk kesekian kalinya tapi kami harus mencari hadiah ulang tahun buat sahabat kami yang satunya.
+ Cinta, tadi aku diam kaya orang bego di depan elevator. Mikir kok aku gak bisa naik ini elevator ya?! - ... + Yah gimana mo naik kalo elevatornya ternyata yang turun - Hahaha ... Nyampe langsung ke toilet, aku muntah lagi + ... - Aku lupa Premium ada di lantai berapa jadi aku muter-muter gitu capek dan berhenti aku ternyata berdiri di depannya! + Kita ke Semanggi aja yuk, gak ada yang sreg nih buat si Nyonya
Dan kami pun ke Plaza Semanggi, berkeliling ke sana kemari, nongkrong dan ngobrol lalu pulang. Kemudian di taksi dia bertanya, "Bukannya tadi kita ke sini mau cari hadiah buat si Nyonya?" Kami saling bertatapan dan tertawa terbahak-bahak karena jelas melupakan tujuan utama kami ke tempat tersebut. Terpaksa deh besoknya kembali lagi!
Dari pertama Alan mengajak Sassy kencan harusnya dia sadar, lelaki itu dengan caranya sendiri memaksakan kehendaknya. Membuat Sassy mengikuti maunya. Aku kecewa sebenarnya, karena sempat berharap Alan adalah seorang psycho jadi kan lebih tegang gitu ceritanya huh ternyata cuma bajingan hidung belang duh!
Oh yah cerita ini mengingatkanku pada empat sekawan dari film Sex in The City, terutama adegan Rose melindungi Sassy. Seru ya punya sahabat yang selalu siap membantu di titik terendah dalam hidup kita.
Echa sayang thanks udah ngirimin buku ini pake kecepatan kilat ala Flash Gordon, kapan-kapan nongkrong di Arion yah :D
first time i red this story from daily newspaper. because i was not patient enough to read one part to another part, i decided to buy that book instead of read it from the news..
my impression about this book for the first time is the uniqueness of the cover, background of two persons separated by distance combined with strong orange color.
the content itself is interesting, though i found it is hard to believe that violence in a relationship between husband and wife is really EXIST in such a cruel way..
what i like from this book is Clara Ng described the story very well, with such a good Indonesian grammar, she managed the plot from backward and up down situations for the central character of the story, Sassy, from the first time she met her husband, Alan, how Alan treat her very well, until the moment of proposal. But everything changed since they got married, what makes me wondered is why did Sassy never aware that her husband going to be will have tendency to do harsh things both physically and verbally.
although this book has minor erroneous words, like the place of Kafe di Atas Laut on the other page turn into Kafe di Bawah Laut, or the change of plot of view from Sassy to Naya or vice versa.
But the best part i love most from this book is at the end of this book: When Sassy said to her best friends, Naya, at Naya's wedding:
"Nay! Whatever happens on your marriage, just remember, i always by your side." (very touching, indeed)
"Nay, never be cynical on marriage, whatever it is, marriage also offers happiness. The other side of the coin, right?"
talk to ur husband or wife..talk and talk in any situation...being honest...not too much saying things such as I love yaaa eeuuhh...love isn't just word it's verb or it can be anything else too...verbal or physical abuse are not allowed man! be a real gentleman, find the way to get win-win solution.
Kebutuhan untuk memiliki pasangan menjadi kesempatan untuk menjadikannya sebagai lahan bisnis. Tea for Two adalah sebuah perusahaan pencari jodoh milik Sassy. Sassy yang terpedaya oleh indahnya perasaan jatuh cinta. Pria tampan, mapan dan romantis membuat mata hati tertutup dan logika tidak dapat berjalan. Perhatian kecil, perhatian lebih besar bahkan pengekangan masih dianggap wajar. Tanda-tanda untuk berhati-hati diindahkan, semua dianggap sebagai wujud perhatian dan kasih sayang. Saat semuanya telah terjadi dalam rumah tangga, kesalahan itu baru disadari. Sassy menjalani hidup berumah tangga yang jauh dari apa yang disebut indah. Kekerasan dalam rumah tangga memporak-porandakan semuanya.
Bagiku ini karya Clara Ng yang paling mengecewakan. Di bab awal semua sudah diceritakan sehingga saat terus membaca, tidak ada kejutannya lagi. Bahkan gaya menulis Clara yang ringan dan biasanya menyihir untuk terus-menerus membacanya seakan tidak kutemukan di sini. Berbeda dengan Dimsum Terakhir dan Gerhana Kembar yang membuat penasaran, dan memiliki karakter kuat serta believable, Tea for Two ya... begitu saja.
Jadi apa yang kulakukan? Membaca beberapa bab awal, kemudian membaca bab akhir, dan ternyata memang seperti yang disentil di awal. No surprises.
Kenapa ya saya kasih bintang 2? Pertama karena yang paling saya ingat dari kisah ini adalah cara penceritaan yang membingungkan. Kadang Sassy -tokoh utama cerita- jadi orang pertama, lalu tahu2 jadi orang ketiga. Dan gaya bahasanya aneh sekali. Eh, biasa saja sebenarnya, mendekati Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tapi tidak hidup kalau disesuaikan dengan setting zaman sekarang.
Lalu... saya harus baca ulang dulu, agar bisa menuliskan hal-hal lain yang tidak saya ingat sekarang.
Tidak ada yang sempurna dalam hidup. Baik di satu sisi, ada kurangnya dalam hal yang lain. Sassy punya segalanya, kecantikan, mapan secara financial, tapi kurang beruntung dalam pernikahan. Buku ini mengajarkan bahwa perempuan harus punya bargaining position dalam menetukan kebahagiannya.
Untung aja cerbung Tea for Two ini dibukukan. Soalnya, pas dulu masih jadi cerbung di Kompas, gue kagak bisa ngikutin dengan lengkap. Hehehe. Buku ini udah gue baca pada 2011 silam. Review-nya yang terlihat agak sotoy itu pun udah pernah gue post di note FB gue ( https://www.facebook.com/notes/naufal... ). Maaf ya, kalau sotoy. Maklum pas baca masih mahasiswa semester... berapa, ya? Lupa! Hahaha. Well, daripada kelamaan, beginilah review-nya...
Novel of The Day: Tea for Two, Mengungkap Sisi Lain Pernikahan; KDRT!
Senin, 19 Desember 2011
Well, sok iye banget dah, judul review gue kali ini. Pernikahan? KDRT? Hallooo! Inget, Pal! Elu itu cuma cowok biasa yang kebetulan aja hobi banget baca buku. Umur pun baru genap 21 tahun di 2011 ini. Dengan sok tau, elu malah melahap novel dewasa bertema KDRT. Aje gile, masih berani pula elu membedah novel ini. Hahaha.
Buat yang (mungkin) baca review ini, maap banget nih, kalau ada hal-hal yang mungkin nggak ngenakin. Secara gue belum nikah juga gitu. Pacar aja nggak punya (curcol!). Hahaha. Review ini emang pure pandangan gue setelah baca novel metropop ini. Bukan mau sok-sokan seputar dunia pernikahan atau KDRT. Ish. Yang penting mah, kuliah dan kerja dululah yang bener. Baru deh, abis itu nyari calon bini. Hahaha.
Langsung aja, ya. Kali ini, gue me-review karya kesebelas dari Clara Ng, yaitu Tea for Two. Secara pribadi, gue emang mengagumi karya-karya penulis wanita yang mempelopori lahirnya gendre Metropop ini. Secara hampir semua novelnya emang mantep-mantep banget. Ya Utuki, ya Trilogi Indiana, Dimsum Terakhir, dsb.
Kebetulan, gue emang udah penasaran banget sama Tea for Two sejak cerita ini dijadikan cerita bersambung (cerbung) di koran Kompas pada medio Oktober 2008-Februari 2009. Yap, udah dari awal-awal kuliah gitu gue pengin banget menikmati kisah ini. Tapi, karena gue nggak selalu beli Kompas, jadi gue sering tertinggal cerita beberapa edisi. Kan bacanya nggak nikmat kalau longkap-longkap dan nggak berurutan.
Terlebih setelah dibukukan di tahun 2009. Gue kembali nggak bisa menikmati secara utuh karena terbentur masalah nggak ada duit buat beli novel ini. But, thank God ternyata perpus pusat kampus gue mengoleksi Tea for Two. Langsung aja gue sikat. Suramnya, gue baru baca kisah seru ini empat tahun kemudian. Yeah, kira-kira di Juli 2011 ini. Sungguh, ketinggalan banget sih, gue.
Ceritanya sendiri secara garis besar tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Yap, ternyata KDRT emang ada loh. Beneran terjadi di beberapa pasangan suami-istri di masyarakat kita. Mungkin emang terdengar ironis. Serius, tuh? Suami-istri kan, seharusnya rukun karena udah nikah. Tapi, kenapa malah sampai ribut-ribut kayak gitu? Well, inilah kenyataan di lapangan.
Kisahnya begini. Sassy Karenina, wanita muda khas metropolitan yang berkarier secara mandiri. Dia adalah pemilik perusahaan makcombalng yang bernama Tea for Two. Sassy jatuh cinta pada Alan Nasher. Pertemuan mereka terjadi nggak sengaja, saat Sassy sedang berurusan dengan salah satu kliennya yang ingin menikah.
Nah, Tea for Two sendiri emang perusahaan yang menawarkan jasa mencari jodoh untuk para lajang ibukota. Nggak cuma itu. Biasanya, setelah para lajang udah menemukan jodohnya (karena jasa perusahaan ini pastinya), maka mereka akan meminta Tea for Two kembali untuk mengurusi pesta pernikahannya. Yap, selain perusahaan makcomblang, Tea for Two juga bergerak sebagai Wedding Organizer.
Sebuah ide yang mantep bila dibawa ke dunia nyata. Tapi, perusahaan jenis ini emang masih sangat jarang di kehidupan kita. Namun yang sangat disayangkan, penjelasan seputar Tea for Two masih sangat kurang. Cuma sepintas dan sekilas doang digambarkannya. Kan seru tuh, kayaknya kalau pembaca disuguhi detail tentang Tea for Two. Gokil banget deh, Clara Ng. Kepikiran aja membuat perusahaan kayak Tea for Two.
Well, kembali ke Sassy. Singkat cerita, Sassy dan Alan menikah. Namun, pernikahan mereka nggak semanis seperti saat mereka PDKT. Di hari kedua bulan madu aja, Alan udah menampar Sassy. Yap, itulah awal KDRT di kisah ini. Aksi kasar Alan itu dipicu karena kecemburuannya melihat istrinya mengobrol dengan seorang pria bule. Yeah, lagi-lagi cemburu jadi alasan. Tapi, berawal dari situ, serangkaian KDRT yang diterima Sassy terus berlanjut, bahkan tambah parah. Wanita itu kerap mendapat siksaan baik verbal maupun nonverbal.
Banyak adegan KDRT yang emang dituangkan di novel setebal 312 halaman ini. Mulai dari Alan yang mengatai Sassy sebagai pelacur atau perek, kontak fisik yang kasar, sampai sesuatu yang membuat seorang istri terluka amat dalam, yaitu perselingkuhan suami. Dalam novel terbitan Gramedia ini, ternyata Alan selingkuh dengan sekretaris di kantornya, Malla. Tragis! Padahal, Alan selalu menuding istrinya selingkuh dengan pria lain. Tapi, dirinya sendiri malah ada main dengan wanita lain.
Gue juga nggak abis pikir sama Alan karena masih aja berbuat kasar sama istrinya pas Sassy sedang hamil. Bahkan, pas Sassy udah melahirkan Emma, anaknya, KDRT tetap berlanjut dalam keseharian mereka berdua. Sungguh, kacau! Pernikahan yang tidak sehat, menurut gue.
Menurut gue, yang jadi konflik adalah pertentangan batin Sassy. Sebagai orang yang selalu mengantarkan orang-orang menuju gerbang pernikahan, justru dia sendiri malah mengalami ketidakbahagian dalam pernikahannya karena KDRT. Oleh karena itu, tiga sahabatnya (Naya, Rose, Carmanita) dan Mamanya udah sering menganjurkan agar meninggalkan Alan untuk selamanya. Sebab untuk apa mempertahankan rumah tangga yang penuh kekerasan? Namun, ini tidak mudah bagi Sassy. Benakah perceraian merupakan langkah tepat untuk mengakhiri penderitaannya dari KDRT?
Terlebih sejak terungkap bahwa saat kecil dulu, Sassy pun pernah mengalami ditinggal oleh Ayahnya. Orangtuanya itu meninggalkannya dan Mamanya untuk menikah dengan wanita lain. Hati Sassy terluka, terlebih Mamanya. Berdasarkan pengalaman pahit tersebut, sulit sekali untuk Sassy berpisah dari Alan. Ditambah lagi kehadiran Emma. Sassy tidak mau anaknya mengalami sesuatu yang pernah Sassy alami: tidak memiliki orangtua yang lengkap. Sassy jelas gamang.
Sesungguhnya, dia sendiri tidak tau harus berbuat apa. Ingin mempertahankan pernikahannya, namun siksaan dari suami semakin menjadi. Ingin pergi selamanya dari Alan, tapi dia ingat Emma dan rasa cinta pada suaminya. Apakah Sassy tetap mempertahankan pernikahannya? Atau malah bercerai dari Alan?
Well, pada penasaran, ya? Makanya, baca aja novelnya! Hahaha. Hati-hati buat para lajang atau yang mau nikah. Dijamin deg-degan dah, pas baca. Apalagi buat yang cewek. Hati-hati kalau dapet suami yang ringan tangan alias hobi nyiksa istri. Mungkin dengan baca novel ini, jadi tau harus berbuat apa kalau (amit-amit) nanti mengalami KDRT juga. Dan, buat kaum lelaki. Jadilah suami yang baik dan tidak kasar. Gini aja deh, kalau berani jangan sama cewek. Mendingan sama cowok sekalian. Ribut-ribut dah, sampai mati. Ngelawan cewek mah, sama aja banci. So, nggak usahlah pakai KDRT kalau udah nikah nanti. Hahaha. Sok iyenya kumat.
Sekali lagi, dijamin yang belom nikah pasti gemeteran baca Tea for Two. Ternyata pernikahan nggak selalu indah. KDRT bisa aja terjadi pada pasangan suami-istri mana aja. Well, inilah sisi lain pernikahan: KDRT! Jadi, masih beranggapan kalo pernikahan itu adalah satu-satunya jalan terindah bertabur bunga yang diimpikan dan dicita-citakan semua orang? Hahaha. Jangan pada takut nikah, ya. Tapi, kalau pun ada yang mau nggak nikah seumur hidupnya, ya itu sih, terserah dia. Hidup-hidup dia. Yang penting, jangan ada lagi deh, KDRT. Horas!
Sebelum mengakhiri review ini, gue memberi nilai tiga bintang dari lima bintang. Yeah! Prok prok prok. Selain karena seru, menurut gue, cara Clara Ng dalam menceritakan KDRT juga apik banget. Terus, novel ini juga pake dua sudut pandang. Unik, dah. Jadi, tokoh sentral tetep Sassy. Tapi hampir di tiap bab, selalu ada dua penceritaan. Pertama, pakai sudut pandang orang ketiga. Dan kedua, pakai sudut pandang orang pertama, yakni Sassy menggunakan kata ganti ‘saya’. Kedua point of view tersebut diceritakan secara bergantian. So, kita bisa lebih tau konfik batin Sassy secara mendalam. Namun, jangan takut kebingungan karena kedua sudut pandang tersebut dibedakan dengan font yang tidak sama.
Well, lagi-lagi gue menyerukan buat anak Untirta yang penasaran atau bahkan tertarik mau baca novel ini, sok atuh dipinjam di perpus pusat kampus kita. Geura disikat! Hahaha.
Judul: Tea for two Penulis: @clara_ng Penerbit:@bukugpu Dimensi: 312 hlm, 20 cm, cetakan keempat Maret 2010 ISBN: 9789792243321
"Kamu pikir #perempuan cerdas takkan mungkin terjerumus di pusaran kegilaan seperti ini? Kamu pikir hanya perempuan miskin & tak berpendidikan yang rentan KDRT?"
Tea for two adalah perusahaan makcomblang milik Sassy. Sudah banyak #pasangan yang berhasil mereka jodohkan & happily ever after. Di sana pula, Sassy menemukan Alan, pria yang kelak menjadi suaminya.
Bayangan #pernikahan yang indah & sempurna, ternyata tidak terjadi pada Sassy. Di hari kedua honeymoon, Alan menampakkan sisi kelamnya. Ternyata itu pun awalan saja. Selanjutnya, Sassy terjebak dalam #KDRT & diselingkuhi. Namun ternyata tak mudah untuk keluar begitu saja dari pernikahan itu. Entah mengapa, tiap kali Alan meminta maaf & berjanji manis untuk berubah, ia kembali percaya. Hingga hadirlah Emma, anak mereka. Mama Sassy, beserta sahabatnya: Naya, Rosi, & Carmanita, mulai melihat kejanggalan dalam pernikahannya. Mereka meminta Sassy gugat cerai. Namun, apakah semudah itu menggugat #cerai Alan?
Dengan gaya bahasa yang ringan & lucu ala metropop, penulis bisa mengemas #konflik yang cukup berat & sering terjadi di Indonesia dengan baik. Tema KDRT, cerai, & bertahan dalam pernikahan yang buruk demi anak sungguh menarik.
Saya pun pernah ada di posisi sahabat yang menyarankan cerai. Meski dulu saya belum menikah. Sebab saya tidak ingin melihat teman saya mati karena lebam tiap hari.
Namun, bukan berarti novel ini berpandangan sinis terhadap pernikahan. Meski ada tokohnya yang memilih tidak menikah, dan alasannya kurang sreg di hati saya. Cuma dari latar belakang agama memang berbeda. Juga covernya yang agak kurang menarik buat saya.
Saya apresiasi 4 dari 5 bintang.
"Aku #menikah dengan alasan yang salah. Aku melarikan diri dari masa lajangku, bukan melepaskannya." (H.243)
"Jangan takut mengatakan kebenaran, jangan takut memperbaiki kehidupan, jangan takut untuk menjadi baru." (H.290)
"Kalau ada apa-apa, jangan ragu-ragu cerita. Kalau nggak cerita, siapa yang tahu? #Diam tidak akan mampu melindungimu dari kekerasan." (H.291)
Kisahnya membuat saya terluka. Sebagai seorang perempuan, dikasari adalah yang paling tidak saya inginkan. Baik secara fisk, verbal maupun mental. Apalagi jika hal tersebut dilakukan oleh orang yang dicintai dan paling dipercayai, suami sendiri.
Untuk kasus Sassy, sejak membaca kisah masa pacarannya dengan Alan saya sudah dapat menangkap ada yang tidak beres dengan sikap dan sifat laki-laki itu. Jujur sebagian hati saya merasa kesal sekali dengan tokoh Sassy yang tak dapat menyadari hal tersebut, selebihnya saya kasihan dengannya. Mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang luar biasa hebatnya.
Dikomentari, dicaci maki, dihina bahkan direndahkan harga dirinya hingga dipukul tanpa perasaan. Bisa dibilang saya mencak-mencak banget baca buku ini. Apalagi kekasaran tokoh Alan amatlah keterlaluan. Tidak memandang kondisi dan keadaan, entah istrinya benar salah atau tidak, sehat atau sedang kesakitan.
Dalam kehidupan sehari-hari, kekerasan dalam rumah tangga sudah banyak diberitakan dan menjadi kasus yang ditangani pihak kepolisian maupun perlindungan perempuan. Kengerian tentu saja membayangi diri saya kala mendengarnya atau menontonnya di televisi, tapi rasa ngeri yang sebenarnya baru benar-benar saya rasakan dalam buku ini.
Sedikit banyak saya jadi mempertanyakan kehadiran beberapa laki-laki dalam hidup saya dan meragukan kebaikan hati mereka. Jadi parno istilahnya. Meski belum menikah saya paham sekali bahwa menjalani biduk rumah tangga bukanlah hal yang mudah.
Buku ini sama sekali tidak bermaksud menakut-nakuti walau saya akui saya jadi sedikit takut juga, tapi merupakan nasehat tersirat yang ditujukan kepada kaum perempuan bahwa kita benar-benar harus mempertimbangkan secara matang apabila nanti memutuskan untuk membagi hidup kita bersama seseorang yang disebut suami dan pemimpin dalam keluarga. Selain itu, buku ini juga dapat dijadikan motivasi bagi perempuan mana saja yang apabila sedang mengalami kejadian yang sama seperti yang Sassy alami, bagaimana seharusnya bersikap dan bertindak.
“Pernikahan memang perlu diperjuangkan, tapi pernikahan tidak butuh kematianmu untuk dipertahankan.” (Carmanita, hlm. 280)
Sassy, pengusaha muda yang sukses dengan perusahaan makcomblangnya justru mengalami penderitaan dalam pernikahannya. Lelaki yang disangkanya sebagai wujud Mr. Right yang diidam-idamkan para gadis, nyatanya tak lebih dari seorang monster yang sedikit demi sedikit menghancurkan jati diri dan hidup Sassy.
***
Covernya bagi saya kurang menarik. Kalau bukan karena nama Clara Ng, mungkin saya tidak akan membeli buku ini. Opening dibuka dengan adegan hari kedua bulan madu Sassy dan Alan yang menjadi awal malapetaka. Lembar-lembar selanjutnya berupa flashback semenjak keduanya belum saling mengenal. Diksinya renyah dengan celetukan dan adegan lucu baik melalui narasi maupun dialog. Terutama mengenai Sassy dan para sahabat. Suasana muram mulai terbangun setelah Sassy melewati gerbang pernikahan. Saya dibuat geram pada karakter Alan. Gemas pada karakter Sassy yang berubah menjadi wanita tak berdaya dan enggan keluar dari situasi pelik yang menderanya. Bagi kita sebagai orang luar yang tidak mengalami sendiri, pasti merasa bahwa Sassy teramat bodoh, tapi saya bisa memahami wanita seperti Sassy yang terjebak dengan lelaki psikopat seperti Alan akan sulit melepaskan diri. Seperti terjebak dalam lumpur hisap. Menggunakan dua sudut pandang orang ketiga dan orang pertama, Sassy, bagi saya tidak ada efek berarti. Seandainya hanya menggunakan POV 3 pun, tidak akan mengurangi feel yang hendak dibangun sebab perasaan Sassy sudah tergambar dalam tiap narasi dan dialog. Empat bintang.
Suka sama Clara Ng karena cerita imajinatifnya yang pernah saya baca, yaitu Jampi Jampi Varaiya. Kaget juga kalau Clara Ng menulis yang genrenya romance begini. Menyelami kisah Sassy di part-part awal seperti merewind balik miniseri “Single Happy” (lupa sih judulnya ini apa bukuan, pernah tayang di Kompas TV dang yang main Dinda Kanya). Part favorit saya adalah tragedy microwave yang sungguh sangat mengock perut (Hem..mungkin karena pernah bersinggungan dengan experience yang sama tentang microwave ini di kantor kali ya).
“Aku ingin hidup sendiri. Kenapa sih perempuan harus menikah? Emangnya pernikahan itu menjamin apa? Kebahagiaan? Aku bahagia kok sekarang. Aku nggak yakin kebahagianku berlipat ganda dengan menikah” Suka banget sama dialog Rose yang di atas. Perjalanan kehidupan Sassy dari lajang sampai kahirnya memutuskan untuk mengambil langkah perceraian diceritakan detail di sini. Agak membosankan sih, tetapi feel gregetnya lumayan dapet.
"Beberapa luka tidak pernah sembuh oleh waktu." (Halaman 212)
Awalnya saya pikir karena ini metropop, akan sama saja dengan kebanyakan metropop yang sudah saya baca. Nyatanya, saya terjebak pada kisah KDRT, perselingkuhan, kepercayaan, kejujuran, dan pilihan.
Bahwa terkadang seseorang memilih tinggal saat tersakiti bukan hanya karena ia takut atau merasa semua akan baik-baik saja selama masih ada cinta, tapi juga karena sudah 'terbiasa' dengan rasa sakit itu.
Pertama kali baca bukunya Clara Ng, ekpektasinya rada tinggi sih. Baca sinopsisnya kayaknya menarik. Tapi pas dibaca koq bahasanya kurang enak dicerna ya. Dialognya juga kaku banget.
Saya menyipan harapan besar ketika baca buku ini. Udah sangaaaatt lama ga baca novel sejenis metropop, chicklit, apalagi teenlit, saya beli novel ini dengan harapan dapat menyegarkan suasana hati yang belakangan buruk terus, karena biasanya tema novel sejenis ini ga berat-berat amat jadi ga perlu mikir terlalu keras. Sekaligus mengembalikan saya ke fitrah umur yang sesungguhnya, karena saya terlalu sering baca buku cerita anak-anak.
Harapan saya kandas, bahkan ketika saya baru tiba di bab pertama. Tooo much useless words. Saya bukan orang yang benci detail, suka malah. Seringkali, buat saya, cerita lebih hidup dan saya lebih mudah berimajinasi kalo cerita ditulis mendetail. Tapi disini bukan detail sih, lebih ke kalimat-kalimat ga penting yang ganggu banget. Terlalu banyak isi kepala Sissy yang, punten punten ieu mah, rasanya ga perlu lah buat ditulis. Toh ga penting juga. Ga ngaruh sama sekali ke cerita juga. Niat awalnya kalimat itu buat jadi joke sepertinya, cuma kok ya kata saya sih garing banget. Hhe.. Saya juga ga yakin dengan alasan kenapa saya bereaksi negatif sama joke-joke Clara Ng ini. Mungkin karena, tak lain tak bukan dan lagi-lagi, suasana hati yang buruk, atau karena belakangan ini saya lebih akrab dengan sarkasme. Surem bener idup saya.. -_-
Bagian ketika Alan pedekate ke Sissy juga ngga suka. Mawar putih dan makan mewah dan deskripsi Alan yang sempurna (tapi ternyata sangat ga sempurna) dan banjir kata-kata manis romantis bikin saya kena diabetes akut. Lebay banget elaahh.. Ini sih mudah dideteksi sebagai rasa iri. Da aku mah apa atuh ga pernah diromantisin siapa-siapa... *lalu ngaspal jalan* Pengaruh abis baca Dilan-nya Pidi Baiq ngaruh kali ya. Mulai lebih seneng sama tindakan dan kalimat sederhana tapi bikin melting, daripada kalimat-kalimat puitis berbunga-bunga. Sepanjang baca novel ini, tiap mulai menggambarkan Sissy yang jatuh cinta (dan belakangan jadi bodoh karena cinta), saya pasti rolling eyes. Keseringan rolling eyes ternyata bikin migren loh. Hati-hati ah.
Ceritanya ketebak sih. Dari awal pun. Sampe akhir pun. Tapi mulai berkembang dan jadi ada emosinya sejak sisi psikopat Alan keliatan. Walaupun terus terang, karena kepalang males duluan sama setengah awal buku, saya udah banyak skip, tapi saya cukup nangkep gimana Clara Ng berusaha menggambarkan galau dan gundahnya perempuan korban KDRT. Antara pengen cerai tapi malu, antara pengen ngelawan tapi takut, antara mikir “ini udah kelewatan” tapi “namanya juga hidup, ga ada yang sempurna”, antara “kamu jahat!” tapi “aku cinta kamu”... Hvft. Menjadi dewasa memang ruwet. Bagaimana jika saya menolak dewasa dan balik lagi baca buku anak aja? Baca ini malah kena diabetes karena romantisnya yang lebay, malah pengen ngomenin jokenya yang banyakan garing, malah jadi takut sama lelaki yang keliatannya sempurna (walaupun jaman sekarang, lelaki yang outlooknya sempurna kayak Alan lebih sering dikira gay duluan sebelum dipedekatein), malah jadi parno sama yang namanya cinta (APA ITU CINTA?? APA??!! HIH!!), malah jadi takut mau nikah (padahal pacar aja ga punya), malah makin males baca metropop dan sejenisnya, malah inget skripsi ga kelar-kelar, malah inget kam.......er mandi belom disikat. Hahahaha, engga saya inget kamu kok, yeee.. Hahahahahahahaha *tercium bau dusta yang pekat pada tawa tadi.
Terakhir, sebelum saya tutup aja review (??) ini karena mulai ikut garing dan mulai curhat, saya hanya ingin mengungkapkan pesan moral yang saya dapet dari sini. Bahwasannya.... persahabatan bagai kepompong, mengubah ulat menjadi naga.