Aku memberanikan diri memajukan tubuhku. Meletakkan jari-jariku pada kepala dan ekor celengan ayam.
“Uang di ... sini, banyak tidak ... Bu?” tanyaku terpatah-patah.
“Emm, lumayan kayaknya.” Perempuan itu mengalihkan pandangan pada celengan ayamku. “Gimana kalau Alifa hitung dulu di rumah, setelah itu baru ke sini lagi sama Mama atau Papa?”
“Lumayan itu ... artinya ... banyak?”
Perempuan itu menatapku bingung. “Ya. Kira-kira begitu. Memangnya, Alifa menabung untuk apa?”
Novel: 1. Tarapuccino (bersama Rika Y. Sari, Penerbit Indiva Media Kreasi 2009) 2. Hati Memilih (Bukune 2011) 3. Izmi & Lila (Divapress 2011) 4. Persona Non Grata (Indiva Media Kreasi 2011) 5. Yang Kedua (Bukune 2012) 6. Ping! (bersama Shabrina WS, Bentang Pustaka 2012) 7. The Coffee Memory (Bentang Pustaka 2013) 8. Jasmine (Indiva Media Kreasi 2013) 9. A Cup of Tarapuccino (bersama Rika Y. Sari, Indiva Media Kreasi 2013) 10. First Time in Beijing (#STPC Bukune 2013) 11. Perjalanan Hati (Rak Buku 2013) 12. A Miracle of Touch (GPU, 2013) 13. Dear Bodyguard (Bentang Pustaka, 2013) 14. Gerbang Trinil (duet bersama Syila Fatar, Moka Media) 15. Rahasia Pelangi (duet bersama Shabrina WS, GagasMedia, 2015) 16. The Secret of Room 403 (Indiva Media Kreasi, 2016) 17. Love Catcher (Gagas Media ; 2017)
Non Fiksi : 1. Kitab Sakti Remadja Oenggoel (bersama Oci YM, Indiva Media Kreasi 2013) 2. Sayap-sayap Sakinah (bersama Afifah Afra, Indiva Media Kreasi, 2014) 3. Sayap-sayap Mawaddah (bersama Afifah Afra, Indiva Media Kreasi, 2015) 4. I Will Survive (bersama Oci YM, Indiva Media Kreasi, 2016) 5. Sayap-sayap Rahmah (bersama Afifah Afra, Indiva Media Kreasi, 2017)
Antologi : 1. LDR Crazylove (Bentang Belia, 2012) 2. My Stupid Love (Indiva Media Kreasi, 2013) 3. Jomblo Prinsip Atau Nasib (Indiva Media Kreasi, 2015) 4. Ramadhan in Love (Indiva Media Kreasi, 2015) 5. Jejak Kaki Misterius (Indiva Media Kreasi, 2016)
Beberapa penghargaan lomba menulis : 1. Pemenang I Resensi Indiva (2008) 2. Pemenang II Sayembara Cerber Femina (2008) 3. Pemenang Harapan Sayembara Cerber Femina (2009) 4. Pemenang Hiburan Feature Ufuk Dalam Majalah Ummi (2009) 5. Pemenang II Lomba Novel Inspiratif Indiva (2010) 6. Pemenang I Lomba Novel Remaja Bentang Belia (2011) 7. Pemenang Berbakat Lomba Novel Amore 2012 8. Pemenang 1 Indiva Reading and Review Challenge (2015) 9. Pemenang Harapan Lomba Menulis Novel Indiva (2015) 10. Pemenang 2 Lomba Resensi Novel "Pulang" (2015) 11. Pemenang 1 Lomba Blog StilettoBook (2016) 12. Pemenang 2 Lomba Resensi Novel "Ayat-ayat Cinta 2" (2016) 13. Pemenang 1 Lomba Resensi Buku "Cerdas Mengelola Keuangan Pribadi" (2016)
Saya selalu tertarik membaca Novel yang memenangkan Juara 1 Kompetisi Menulis Indiva. Membeli Ibu adalah pemenang pertama lomba tahun 2020 kategori remaja. Saya penasaran apa maksud judulnya. Novel ini bercerita tentang seorang gadis bernama Ifa yang ditinggalkan kedua orangtuanya. Si Ibu duluan meninggalkan Ifa untuk bekerja sebagai TKW, lalu menyusul Ayah pergi dengan alasan mencari pekerjaan. Ifa yang diurus Bibik Esih terpaksa dititipkan di panti asuhan karena kendala biaya hidup si Bibik. Lalu ada Fai tokoh lain yang baru menjalankan operasi miom di saat ia akan memulai kuliah. Operasinya itu membuat ia bersedih tapi tetap tegar. Kegemaran terhadap anak-anak dan taman baca membuat ia kembali bersemangat meski terkadang kembali kepikiran karena operasi membuat ia ‘tidak sempurna’. Cara penceritaan novel ini sangat unik karena selalu menggunakan sudut pandang aku tapi secara bergantian antara Ifa dan Fai. Pembaca jadi bisa menyelami perasaan masing-masing tokoh. Sepertinya bukan tanpa alasan penulis menggunakan teknik ini. Karena sudut pandang ‘aku’ bergantian ini seperti benang untuk mempertemukan Ifa dan Fai dan untuk menghindari serba kebetulan dalam bercerita. Kekuatan novel ini juga ada di judul. Dari awal sampai pertengahan cerita pembaca menjadi paham apa makna Membeli Ibu dan alasan si Ifa di cover novel memegang celengan ayam. Makna Membeli Ibu mengalami perubahan di pertengahan sampai akhir cerita. Apa itu Membeli Ibu? Ok, saya tidak mau memberi spoiler. Silahkan membaca sendiri. Saya sempat berpikir apa novel ini terlalu berat untuk dicerna remaja di bawah lima belas tahun? Mungkin saja tidak. Membeli Ibu mengajari banyak hal dan mengangkat isu penting dalam kehidupan yang tidak banyak ada di novel remaja lainnya. Riawani Elyta, si penulis, mengambil salah satu temanya tentang anak yang mengalami kesulitan belajar. Bahwa untuk menangani anak kesulitan belajar harus dengan pendekatan dan cara khusus. Sudah pasti harus menghadapi dengan kesabaran juga. Penulis membuat pembaca sadar tentang kecerdasan majemuk. Setiap anak bisa cerdas di bidang berbeda. Tidak harus di sekolah dan terkait dengan pelajaran membaca, menulis dan berhitung. Tema lainnya adalah duka anak memiliki orangtua TKW. Sebagai pembaca saya jadi bisa bersyukur memiliki orangtua yang tidak perlu merantau demi penghasilan layak. Saya yakin pembaca lain terutama yang masih anak-anak dan remaja insya Allah sadar masih berkumpul dengan orangtua menjadi terasa nikmat dibandingkan terpisah dari mereka apalagi harus tinggal di panti asuhan. Membeli Ibu memang penuh dengan hikmah atau pelajaran tanpa menggurui. Pantang menyerah, selalu ada harapan dan berserah diri kepada Yang MahaKuasa. Itu hikmah yang saya dapat juga dari novel ini. Untuk yang tidak suka dengan cerita ‘melankolis’ tenang, buku ini tidak seperti itu. Alur ceritanya mengalir dengan enak. Tidak terasa membaca lebih dari dua ratus halaman. Setiap bab memiliki arti dalam membangun ceritanya. Tidak ada cerita terkesan tempelan demi persyaratan jumlah halaman novel. Memang beberapa tahun ini cerita dengan tema lokalitas masih menjadi favorit. Sama halnya dengan Membeli Ibu. Latar belakang cerita di Tanjung Pinang dan cara berbicara para tokoh dengan logat melayu membuat saya ingin suatu waktu mengunjungi ibu kota provinsi Kepulauan Riau itu. Buku ini tidak ada ilustrasi tapi yang menarik kadang percakapan melalui ponsel atau surat si Ibu dibuat dalam kotak-kotak. Sangat unik. Jadi tidak terlalu capek membaca dengan adanya keunikan itu. Suspen tentang bagaimana cara membeli ibu mengaduk emosi saya saat membacanya. Berhasilkah Ifa ‘Membeli Ibu’?
Kaya informasi, kaya pengetahuan, kaya emosi, kaya kehidupan. Kontennya betul-betul rich dari awal sampai akhir. Yang saya rasakan selama hingga selesai membaca novel ini cuma satu: so wholesome.
Novel ini mempunyai dua karakter utama, Ifa si anak 14 tahun pengidap disleksia yang buta arah dan Fai, gadis 18 tahun yang rahimnya diangkat setelah operasi miom. Dulu saya mengikuti seminar literasi Indiva di mana Mbak Riawani Elyta bercerita tentang novel ini, dan di seminar itu beliau sempat menyinggung alasan kenapa karakter utama novel ini ada dua. Waktu itu saya belum paham maksudnya karena novelnya belum terbit. Tapi setelah baca ... saya jadi mengerti. Pemilihan teknik itu tepat karena hanya dengan teknik itulah ceritanya works best. Dan Mbak Riawani Elyta berhasil mengeksekusinya dengan sangat mulus.
Dalam semua review saya untuk novel yang ditulis menggunakan dua sudut pandang orang pertama dari dua karakter utama yang berbeda, saya selalu menekankan betapa pentingnya "pembedaan suara" antarkarakter yang lagi cerita itu. Narasi antara karakter A dan karakter B yang bercerita itu harus, wajib, kudu terasa berbeda dan bisa dibedakan. Novel Membeli Ibu ini termasuk yang berhasil dalam hal itu. "Suara" Ifa dan Fai terasa beda dan sukses membangun karakter masing-masing dengan baik sesuai dengan background karakternya. Hanya satu kali saja saya disorientasi, sempat lupa ini lagi bagian Ifa atau Fai? Sampai saya harus balik ke halaman judul untuk melihat itu lagi bagian siapa. Tapi, kalau disorientasinya cuma sekali, bagi saya teknik dua POV orang pertama-nya berhasil. Soalnya ada novel-novel lain yang bikin saya disorientasi berkali-kali saking nggak ada bedanya suara karakter A dan B yang POV-nya dipakai.
Dan saya saluuut banget dengan keberhasilan Mbak Riawani Elyta dalam mengeksekusi dua POV orang pertama tersebut. Menulis dengan POV orang pertama itu banyak tantangannya. Satu aja banyak, apalagi dua. Penulis harus menulis dengan dua circumstances, menjelma menjadi dua kepala karakter. Apalagi di sini karakternya beda banget. Ifa begini, Fai begitu. Hidup yang mereka jalani juga beda jauh. Makanya saya kagum--hal ini merujuk ke kata-kata pembuka review ini: kaya. Untuk mengeksekusi dua kehidupan langit dan bumi menjadi sesuatu yang saling berkelindan, apalagi dituliskan dari sudut pandang orang pertama, rasanya luar biasa sekali. Saya jadi bertanya-tanya risetnya seberat apa sampai bisa menuliskan dua kehidupan seperti itu dengan begitu hidupnya. T_T
Saya juga suka banget sama alur ceritanya. Sungguh nggak pasaran. Ceritanya terasa dekat seperti kehidupan sehari-hari, di sisi lain juga mengangkat suatu kehidupan yang tidak semua orang mengalami (yaitu ). Apalagi pengemasannya mengandung semi-misteri. Pembaca dibuat penasaran terus, sebenarnya apa sih misteri yang melingkupi Ifa? Apa maksud dari frasa "membeli Ibu"? Untuk sampai ke revelation, adegan demi adegan dibangun perlahan, satu per satu, tidak buru-buru tapi juga tidak terlalu lambat. Bisa dibilang pace cerita ini sangat sempurna dengan kerangka alur yang keren sekali pembangunannya, juga pengemasannya.
Dan di samping alur utama, ada pula subplot-subplot yang menambah bumbu, seperti konflik antara Ifa dengan Putri, atau kisah Fai dengan Azriel. Semua subplot itu lumayan oke dan mendapat penyelesaian yang baik ().
Yang saya sukai lagi adalah latarnya, baik latar tempat maupun latar waktu. Senang aja gitu membaca novel yang kental nuansa kearifan lokalnya, dengan dialog-dialog yang benar-benar mencerminkan cara bicara orang daerah tersebut. Latar waktunya saya juga suka. =D Tahun 2008, ketika medsos yang dominan masih hanya Fb. Pemilihan tahun yang pas, Mantap deh pokoknya.
Terus ... ya, saya harus menyampaikan ini. Sebagai Sarjana Ilmu Perpustakaan, saya HEPI BANGET ada novel yang menggambarkan TBM dengan sebegini idealnya. T_T Rasanya Taman Baca Sakinah-nya Fai itu mewujudkan konsep taman bacaan ideal yang dulu kami pelajari dan diskusikan zaman kuliah: sebuah taman baca yang bukan cuma tempat orang-orang datang membaca atau meminjam buku, melainkan tempat belajar dan pemberdayaan masyarakat. Kegiatan-kegiatannya melibatkan masyarakat sekitar, meningkatkan minat baca, bahkan sampai ada masyarakat yang bisa "berdaya" kayak si Jamila itu. So happy! T_T
Saya juga suka banget sama ending-nya, merujuk ke penyelesaian konfliknya. Realistis banget. Memang kemungkinan seperti itu yang akan terjadi di dunia nyata. Keajaiban memang mudah dalam fiksi, tapi yang realistis seperti ini lebih "nampol" dan meninggalkan kesan mendalam. Meskipun penyelesaian konfliknya seperti itu, epilognya sangat menyenangkan dan menginspirasi. Bikin perasaan jadi penuh dan berbunga-bunga. Kerasa banget character growth-nya Ifa .... sebelum the real ending yang bikin nyengir lebar. Perfect.
Kekurangan novel ini .... Apa, ya? Saking bagusnya, baik dari segi teknik maupun konten, saya nggak menemukan kekurangan besar yang gimana-gimana. Mungkin ada beberapa salah ketik aja seperti kata "di-" penunjuk tempat yang lupa dipisah ("diatasnya", "disampingnya"). Tapi dikit banget kok. Kalo dari aspek lainnya, nggak ada. Novel ini salah satu novel remaja lokal terbaik yang pernah saya baca, dan saya akan merekomendasikan ini kepada siapa pun--baik remaja, maupun orang dewasa--untuk membacanya dan mereguk kisah penuh inspirasi di dalamnya.
Dalam novel “Membeli Ibu” karya Riawani Elyta, tokoh utama yang memiliki gangguan disleksia, mendapat porsi besar dalam keseluruhan cerita. Uniknya, sang tokoh berasal dari keluarga tidak mampu. Hal ini tentu memberi sentuhan konflik yang lebih rumit. Karena bila anak penderita disleksia berasal dari keluarga berada, tentu mudah saja menjalani terapi demi mengatasi kesulitannya dalam belajar. Sementara Athifa, tokoh penyintas disleksia ini, alih-alih mendapat terapi, sekadar dipahami kesulitannya pun tidak. Karena bisa dimaklumi, golongan masyarakat bawah tentu tidak tahu menahu mengenai gangguan disleksia. Yang dilihatnya, hanyalah si anak yang bodoh, tidak bisa membaca dan menulis.
Demikian yang dialami Athifa. Ia harus mengalami tinggal kelas dua kali. Menginjak usianya pada angka 14, ia masih berseragam putih merah. Ia memendam masalahnya sendiri dalam kerinduan yang pekat terhadap ibunya.
Sejak kecil Athifa ditinggal ibunya yang pergi ke negeri seberang mengadu nasib sebagai TKW. Athifa lalu tinggal bersama ayahnya, yang kemudian meninggalkannya pula, dengan alasan mencari kerja ke kota. Selanjutnya Athifa hidup bersama Bibik Esih, adik tiri ayahnya, dan kedua anak Bibik Esih yang masih kecil-kecil.
Lama kelamaan Bibik Esih tidak sanggup menanggung hidup Athifa. Bibik Esih harus berjuang mencari nafkah sendiri karena suaminya telah wafat. Akhirnya, Bibik Esih menyerahkan Athifa ke sebuah panti asuhan.
Tinggal di panti asuhan, membuat hidup Athifa semakin rumit. Ketidakmampuan bersosialisasi dan terutama gangguan disleksia yang dialaminya, membuat Athifa menarik diri. Tak seorang pun memahami apa yang dialami dan dirasakannya.
Pada suatu hari, tersebab kesulitannya mengingat arah, Athifa tersesat. Maksud hati pulang menuju panti asuhan, namun kakinya malah melangkah menjauh. Kondisi itu membawanya pada perkenalan dengan seorang pemilik dan pengelola taman bacaan, bernama Fairuz, yang akrab disapa Fai.
Fai yang memiliki ketertarikan kuat pada hal-hal yang berbau psikologi, mengendus sesuatu yang lain pada diri Athifa. Hubungan Fai dan Athifa terus berlanjut hingga menggiring pada peristiwa-peristiwa serius, yang bahkan melibatkan polisi hingga hubungan diplomatik Indonesia dengan negara lain.
Kepiawaian Riawani Elyta dalam meracik cerita memang sudah tak diragukan lagi. Maka tak heran bila novelnya ini menyabet predikat juara pertama dalam Lomba Menulis Indiva. Secara keseluruhan unsur intrinsik pembangun novel, memiliki kualitas di atas rata-rata. Bahkan sejak pemilihan judul. “Membeli Ibu” merupakan frasa yang tak biasa. Judul ini memiliki daya tarik yang menyedot rasa penasaran pembaca. Sebuah poin yang patut diacungi jempol.
Dalam hal cover pun, novel ini sudah berbicara. Tampak Athifa, gadis cilik beranjak remaja, memegang celengan ayam sebagai lambang kerinduan dan kegigihan untuk dapat bertemu dengan ibunya. Di sekitarnya beberapa pucuk surat melayang menandakan harapannya yang tiada pupus. Lalu, di sampingnya berdiri Fairuz, gadis belia yang baru menapak di dunia kampus, namun tidak berkesempatan menimba ilmu yang didambanya sejak lama. Wajahnya diilustrasikan dengan raut sendu, menandakan kepedihannya, yang juga berhubungan dengan sosok ibu. Fai dilanda pilu yang teramat sangat, mendapati dirinya tak akan mampu menjadi seorang ibu. Penggambaran ekspresi berbeda dari kedua tokoh ini tentu mengundang rasa ingin tahu pembaca.
Novel ini berkisah tentang dua remaja dengan dinamika masalah yang tak biasa. Tentang Athifa, gadis empat belas tahun pengidap disleksia, yang pendiam dan kurang percaya diri karena disorientasi arah. Garis nasib membawanya tinggal di panti asuhan, terpisah dari keluarga dan sanak saudara. Dengan keterbatasan yang dimiliki, ia berjuang memperbaiki diri dan menyimpan harapan besar untuk ‘membeli’ ibu. Tentang Fairuz, remaja yang baru menamatkan masa putih abu-abunya. Masa yang seharusnya penuh keceriaan, tetapi justru berhadapan dengan kenyataan harus kehilangan sesuatu yang berharga dari dirinya dan meletakkan cita-citanya menjadi psikolog anak.
Bagi Athifa, kehadiran ibu sangatlah berharga, tak terbeli. Dan bagi Fairuz, kemungkinan menjadi seorang ibu bagaikan peribahasa ‘jauh panggang dari api’. Karena itulah ada ‘sesuatu’ yang membuat dua tokoh ini saling terhubung secara batin. Tampaknya, pengarang sangat lihai melihat benang merah ini, alasan mengapa mereka harus dipertemukan dan saling memberi warna bagi satu sama lain.
Novel yang berhasil menyabet Juara I Lomba Menulis Indiva 2020 Kategori Novel Remaja ini juga mengambil latar yang tak biasa, yaitu kota kecil Tanjung Pinang, ibukota Provinsi Kepulauan Riau. Sebagian besar, novel-novel remaja yang ada berlatar kota besar dengan lika-liku kisah cinta merah jambunya. Menjadi semakin berbeda dengan novel remaja pada umumnya karena tema yang diangkat pengarang cenderung rada ‘berat’ untuk ukuran remaja, yaitu tentang perjuangan para wanita menghadapi ujian hidup masing-masing, dikombinasikan dengan isu sosial mengenai Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang mendapat perlakuan tidak adil di luar negeri. Namun, tema yang rada ‘berat’ ini berhasil dikurangi kadarnya karena pengarang mengemas cerita dengan tetap memasukkan unsur-unsur cerita khas remaja pada beberapa babnya.
Dua tokoh utamanya, Athifa dan Fairuz adalah remaja dengan karakter yang humanis, jauh dari kata sempurna. Mereka sama-sama memiliki ketakutan dan keresahan menghadapi masa depan karena beban psikis akibat sakit yang diderita. Tokoh-tokoh lainnya yang turut memberi warna, rata-rata juga wanita yang dituntut untuk mandiri dan tidak menyerah atas nasib.
Alur novel ini bergerak maju, yang dituturkan dengan sudut pandang orang pertama, berganti-gantian antara Athifa, Fairuz dan sesekali diselipi ‘kehadiran’ ibu Athifa melalui surat-suratnya. Surat-surat yang mengawali segala konflik dalam diri Athifa. Sebagian besar konflik yang ada memang berkutat pada konflik batin dua tokoh utamanya. Sementara, konflik eksternal, seperti konflik keluarga, kehidupan di panti asuhan dan sosial budaya merupakan penguat dan alasan dari konflik internal tersebut. Selalu ada penjelasan atau latar belakang mengenai suatu masalah. Jadi, nyaris tak ada plot yang berlubang.
Karena menggunakan sudut pandang orang pertama, pembaca seolah-olah dapat melebur dan hanyut menyelami pikiran tokoh-tokohnya dengan maksimal. Tokoh terasa lebih nyata, sehingga ‘penyusupan’ amanat cerita terasa soft and smooth. Ini merupakan salah satu kepiawaian pengarang, yang secara total melebur ke dalam cerita.
Saya salut dengan Riawani Elyta yang konsisten dengan idealismenya. Pengalaman membaca puluhan karyanya semakin mengukuhkan stempel yang selama ini saya sematkan pada novel-novelnya, sebagai novel yang santun dan cerdas. Hal itu terlihat dalam setiap tuturan kata dalam narasi, deskripsi maupun dialognya. Ada semacam batasan koridor yang selalu dipatuhi. Dan satu hal yang pasti, elemen Ketuhanan dan nilai-nilai kebenaran tak pernah luput ia sisipkan, yang secara bernas menjiwai novel-novelnya. Maka saya tak ragu menyebut, Membeli Ibu adalah novel remaja inspiratif sarat makna.
“Membeli Ibu” merupakan novel juara pertama pada Kompetisi Menulis Indiva 2020. Dari segi judul novel ini memang sudah mengundang penasaran. Saya sendiri ketika melihat judul ini sebagai salah satu pemenang langsung bertanya apa maksud dari kata “Membeli Ibu” Dan akhirnya rasa penasaran itu terjawab setelah membaca novel ini. Novel ini sendiri menceritakan tentang Athifa—lebih sering disapa Ifa—yang merupakan penderita disleksia, yaitu gangguan yang terjadi karena adanya kelainan saraf pada otak, sehingga mengalami kesulitan dalam proses belajar yang ciri-cirinya kesulitan saat menulis, membaca dan mengeja. Namun Ifa ini selain kesulitan dalam membaca ia juga kesulitan dalam mengenal arah. Oleh sebab itu ia pun jadi mudah tersasar ketika bepergian. Karena kekurangannya itu, ia harus rela tinggal kelas selama dua kali. Jadi tidak heran ketika usianya sudah empat belas tahun, ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Karena itu pula, banyak orang yang menganggap Athifa aneh. Sehingga ia pun selalu menjaga jarak dari orang-orang. Suatu hari karena keadaan Ifa dibawa bibinya untuk tinggal di Panti Asuhan Al-Fitrah. Sejak ditinggal sang ibu menjadi TKW, dan ayahnya yang menghilang entah kemana Ifa tinggal dengan Bibik Esih. Namun karena bibinya sudah cukup kesulitan dalam masalah ekonomi, maka terpaksa ia melepas Ifa. Meski sedih Ifa tidak dapat berbuah apa-apa. Padahal jika ia tinggal dengan bibinya, setidaknya ia dapat menabung. Dan mungkin suatu saat ia dapat bertemu sang ibu, ‘membeli ibunya’ sebagaimana yang pernah ayahnya katakan. Namun karena berada di panti tersebut, Ifa bertemu Fairus, yang merubah seluruh episode hidupnya. Fairuz, gadis yang penuh semangat, yang ingin menjadi psikolog, yang tidak menganggap kekurangan Ifa sebagai keanehan, Fairuz yang selalu baik terhadapanya. Bersama Fairuz pula pembaca akan diajak menelusuris teta-teki tentang makna dari ‘membeli ibu” Secara keseluruhan novel ini sangat menarik, seru dan sangat berbeda dari kebanyakan novel yang ada. Selain kisah Ifa, kita juga dapat menemukan kisah Fairuz yang tidak kalah kompleks dan menarik untuk disimak. Gadis yang membangun Taman Baca Sakinah, yang nampak ceria dan kuat ternyata juga menyimpan kesedihan mendalam karena takdir Allah telah membuatnya kehilangan sesuatu yang paling berharga bagi seorang wanita. Selalu suka dengan novel Mbak Riawani Elyta. Mbak Ria ini selalu memiliki kisah yang tidak sama dengan kebanyakan penulis lainnya. Misalnya dalam novel The Secret of Room 403 yang mengangkat tragedi tanjung berdarah 1984 (yang juga termasuk pemenang harapan dalam LMNI 2014). Atau novel Rahasia Pelangi yang mengangkat isu konflik antara gajah dan manusia. Begitu pula dengan novel ini. Mbak Ria memilih tokoh utamanya sebagai sosok disleksia dan gadis penderita kanker.
Skor asli 3,5/5 bintang. Tapi aku genapkan jadi 4 bintang karena engaging banget dan berhasil bikin aku mewek. Aslinya aku kurangin 1/2 juga karena ada beberapa hal yang gak dijelaskan gamblang di ending, kan jadi penasaran ya :(
Membeli Ibu ini dikisahkan dari dua sudut karakter. Fai, gadis 18 tahun yg terpaksa membatalkan rencana kuliah ke luar pulau karena operasi miom. Serta Ifa, anak 14 tahun pengidap disleksia yang buta arah. Untuk novel yg ditulis dari dua sudut pandang karakter utama, Membeli Ibu dieksekusi dengan baik. Kedua karakter terasa berbeda, dan narasi mereka juga berbeda sesuai latar belakang keduanya. Jadi, buku ini sangat enak sekali dinikmati meski alurnya agak lambat.
Sepanjang cerita, aku tuh penasaran kenapa ambil judul "Membeli Ibu". Apakah ada hubungannya dengan operasi Fai? Lalu hubungan sama Ifa apa? Kenapa harus ada dua karakter? Meski awalnya agak lambat, memasuki konflik pace bukunya semakin cepat dan pembaca juga sudah bisa mulai mengira alasan judulnya. Walau demikian, ketika sampai bagian akhir itu tetap aja aku shock. Nggak nyangka banget pokoknya 😭
Secara keseluruhan, novel ini punya latar keseharian yang relate dengan pembaca tapi menyuguhkan sisi kehidupan yang asing juga. Aku menikmati dinamika hubungan Fai dan Ifa yang pelan-pelan menghangat. Juga gimana keberadaan Jamina yg sering bikin ketawa, tapi sebagian miris dan mengharukan.
Sayangnya akhir ceritanya agak terburu-buru dan ada beberapa hal yang nggak jelas di akhir. Padahal penulis punya ruang 'epilog' tapi masih ada pertanyaan subplot yg menghantuiku selepas menutup buku ini. 😔