Puisinya paling normal dibandingkan pujangga series lain versi Comma Books ini. Aku suka bagaimana penulis menarik benang merah puisi2nya dari nama-nama sungai dunia bawah dalam mitologi Yunani. Secara, ini yang bersajak dosen filsafat gitu.
Pengennya baca satu-dua halaman tiap hari, gabisa. Yang batasin baca buku ini sebagai rutinitas kalau lagi ada rapat kepanitiaan di kampus adalah karena situasi mengharuskan perhatian kepada presidium yang lagi jelasin kronologi waktu itu. Singkat cerita buku ini menemani saya mencuri kesempatan menenggelamkan diri dalam kata-kata yang dikemas ke dalam buku kecil berwarna hijau ini. Kalau istirahat makan, malah diambil teman dan sempat sampai tanya2 ke grup angkatan apa ada yg megang? Ternyata udh di tangan presidium ahahaha, dy juga penasaran. Intinya buku ini bisa banget bawa saya ke dunia lain, bikin waktu cepat berlalu.
Bener kan, baca puisi itu kadang gak bisa cepet, buku ini begitu. Perlu beberapa kali mengulang berbagai kalimat untuk tahu gimana maksudnya, apa yang ingin disampaikan.
Beberapa puisi awal saya suka, lalu di tengah tiba-tiba kok ya biasa aja, trus di bagian akhir baru terasa lebih enak. Tapi ya, memang menyelami hati seseorang itu sulit, terasa dari tiap puisi yang ditulis Agung Setiawan di sini.
I felt like I should be in love with someone to finally able to feel the emotions brought by these poetry. But it still nice to read somehing different from other poetry people seems to made these days.....