TIDORE, pulau yang hanya setitik kecil di peta Republik Indonesia ini telah sejak sekolah dasar diajarkan dalam mata pelajaran Sejarah. Tapi rasanya tak banyak warga negara ini yang tahu jika sepertiga wilayah NKRI dulunya merupakan daerah kekuasaan Kesultanan Tidore. Termasuk Papua dengan gunung-gunung emasnya.
Pun, sepertinya tak banyak kita yang tahu bahwa Tidore setengah milenium lalu menjadi tempat bertemunya Peradaban Timur dan Barat. Pusat persinggungan Asia dan Eropa. Sekaligus arena pertempuran berbagai bangsa yang sama-sama berhasrat menguasai perdagangan cengkih.
Dalam jurnal perjalanannya mengikuti Ekspedisi Magellan, penulis asal Venesia Antonio Pigafetta menyebut Tidore sangat masyhur di Eropa karena cengkih. Hanya ada lima pulau di dunia tempat pohon cengkih tumbuh subur, demikian tulis Pigafetta dalam jurnalnya. Kelima pulau tersebut adalah Tidore, Ternate, Maitara, Makian, dan Bacan.
Pesona cengkih inilah yang membuat pedagang dari berbagai bangsa mendatangi Tidore. Pada mulanya pedagang-pedagang Jawa dan Melayu membawa cengkih Tidore ke pelabuhan Palembang di Sriwijaya dan Malaka di Semenanjung Malaya untuk selanjutnya diteruskan peredarannya oleh pedagang-pedagang Arab, Tiongkok, dan Gujarat ke negara-negara lebih jauh.
Di Eropa, cengkih masuk melalui pelabuhan Venesia. Di sini harga cengkih, juga aneka rempah Maluku lainnya, bisa melonjak hingga 1.000% dari harga awal. Tak heran bila rempah-rempah masa itu bernilai setara emas. Hanya kalangan bangsawan dan saudagar kaya raya yang sanggup membeli.
Kesultanan Tidore pun makmur oleh perdagangan cengkih. Rakyat hidup sejahtera dari hasil kebun yang tak habis-habis dipanen sepanjang tahun. Nama Tidore harum di kancah perdagangan global sebagai produsen utama cengkih. Selama berabad-abad lamanya pulau kecil di tepi Laut Pasifik ini jadi tujuan ratusan kapal dagang dari Timur dan Barat.
Setelah Republik Indonesia lahir, cerita kegemilangan Tidore dengan cengkihnya nan wangi semerbak hanya diketahui segelintir orang, utamanya para peminat sejarah. Selebihnya bahkan tak tahu ada satu dari lebih 17.500-an pulau di negara ini yang bernama Tidore. Apatah lagi ihwal kengototan Presiden Soekarno meminta Belanda menyerahkan Papua Barat sebagai bagian dari Republik Indonesia.
Nama Tidore kembali naik daun ketika Bank Indonesia menjadikan gambar pulau ini, bersama Pulau Maitara, sebagai penghias bagian belakang (reverse) uang kertas Rp1.000 tahun emisi 2000. Tapi hanya sebatas itu. Keagungan Tidore di masa lalu tetap tersimpan rapat, serapat lipatan uang seribu rupiah yang cepat lusuh dan pudar karena terlalu sering dipakai bertransaksi.
***
PENYUSUNAN buku To Ado Re! ini merupakan satu upaya kecil dari kami, orang-orang yang pernah mengunjungi dan jatuh cinta pada Tidore, untuk menyegarkan ingatan bangsa Indonesia akan keagungan daerah ini di masa lalu sekaligus betapa besar potensinya di masa depan. Penerbitannya yang dibuat bersamaan dengan peringatan Hari Jadi Tidore ke-910 jadi bagian lain dari upaya itu.
Meski demikian, buku ini tak melulu bicara masa lalu Tidore. Tak cuma berisi sejarah. Masing-masing kami punya ketertarikan dan kesan berbeda-beda sehingga nyaris semua sisi Tidore tersaji di sini: keindahan alam, keramahan penduduk, kelezatan kuliner, keluhuran tradisi dan budaya, apa lagi? Baca saja sampai habis.
Eko Nurhuda, dilahirkan di Palembang, 10 Desember 1982, dari pasangan Woko Sudjarwo dan Sumiati. Setamat dari SMA Negeri 1 Muara Bulian, Jambi, pada tahun 2000, ia masuk ke Pendidikan Profesi Pariwisata YP UNY di Yogyakarta selama 2 tahun. Sempat mencoba merintis karir sebagai pemandu wisata, tapi dunia kepenulisan lebih kuat menarik minatnya. Dunia pariwisata ia tinggalkan untuk kemudian menimba ilmu jurnalistik di Akademi Komunikasi Yogyakarta (AKY).
Aktif menulis sejak SMP, karya-karyanya selalu menjadi langganan majalah dinding lalu meningkat ke majalah sekolah. Keaktifannya menulis membuat ia berulangkali dipercaya memimpin pengelolaan majalah dinding dan majalah sekolah semasa SMP dan SMA. Tulisan pertamanya dimuat di harian lokal Jambi Ekspres saat masih duduk di kelas 2 SMA. Sejak mengenal blog di akhir tahun 2007, ia jadi semakin aktif menulis tentang berbagai hal di blog pribadinya. Eko sempat pula mengecap dunia jurnalistik saat menjadi reporter di mingguan Malioboro Ekspres (sudah tidak terbit lagi) dan reporter magang di Harian Jogja edisi Minggu.
Sejak akhir tahun 2009 ia mencoba terjun di dunia penulisan buku. Dua buku pertamanya yang terbit berjudul "7 Langkah Mudah Mencari Uang lewat Blog" (Gara Ilmu, 2010) dan "10 Cara Efektif Mencari Uang dengan Blog Khusus Berbahasa Indonesia" (iN-Books, 2010). Sebelum menulis buku, ia telah lebih dulu menerbitkan beberapa buku digital (ebook) yang laris manis di-download sesama blogger. Diantaranya berjudul "Nge-Blog untuk Dollar", "Panduan SponsoredReviews untuk Pemula", "Mencari Duit di Internet, Mungkinkah?", dan "Panduan Custom Domain Blogger".
Saat ini tengah merintis sebuah usaha online yang masih ada kaitannya dengan dunia penulisan dan buku. Waktu luangnya banyak dihabiskan untuk membaca, menonton sepakbola, surfing internet, dan ngeblog.
Rasanya tidak berlebihan kalau disebut ini buku populer pertama tentang Tidore. Selama ini Tidore hanya masuk buku-buku pelajaran, atau buku sejarah. Di sini, Tidore disajikan secara lebih cair dari berbagai perspektif dan topik. Ke-17 kontributor menyampaikan kesan dan pengalamannya selama mengunjungi Tidore, dan dikemas sebagai tulisan ringan tapi detil.
Terima kasih banyak untuk teman-teman yang sudah turut mengupayakan terwujudnya buku ini.
Ini adalah buku pertama saya bisa terlibat langsung di dalamnya. Sebuah antologi yang memuat kisah-kisah para penulis selama di Tidore Kepulauan, Maluku Utara. Sangat senang bisa berkontribusi cerita personal di buku ini. Saya berterima kasih kepada Mas Eko Nurhuda dan teman-teman lain atas kesempatan berharga ini.