Bagaimana rasanya jika bermimpi didatangi oleh orang yang sudah lama meninggal, dan orang itu adalah kerabat terdekat kita sendiri? Dalam novel ini, Kemuning –tokoh utama –bermimpi didatangi Bundanya yang sudah lama meninggal di tahun ketujuh pernikahannya.
Ini adalah novel kedua Alicia Lidwina yang diterbitkan secara mayor setelah novel 3 (Tiga) diterbitkan Gramedia Pustaka Utama tiga tahun yang lalu. Pada masa jeda itu penulis menerbitkan Maybe Everything, buklet sepanjang 16 halaman berisi cerpen-cerpennya secara indie yang tidak dijual di toko-toko buku konvensional. Jeda yang lumayan panjang antara karya pertama dan keduanya yang diterbitkan secara mayor ini tentunya membuat penggemarnya penasaran, seperti apa perkembangan gaya penulisan dan penceritaan Alicia Lidwina.
Berbeda dengan 3 (Tiga) yang berseting di Jepang, Unspoken Words ini memiliki seting tempat dan karakter yang sangat lokal. Namun, ada pola yang mirip pada kedua novel ini: tokoh utama dihadapkan pada peristiwa kematian orang terdekatnya dan pembaca diajak merenungi tentang kematian, serta penyesalan yang berlarut setelah kematian tersebut. Alicia tampaknya cukup spesialis dalam menyuguhkan pesan moral: “sesuatu justru terasa lebih berharga setelah sesuatu itu tak lagi kita miliki atau hilang”.
Gaya penceritaannya pun mirip, alur maju-mundur yang membawa pembaca menelusuri kisah dari masa kini ke peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu sebelum isu kematian itu terjadi. Seperti 3 (Tiga) juga, alur flash back lebih mendominasi karena kejadian-kejadian di masa lalu itulah yang menyimpan kunci dari misteri pergolakan perasaan tokoh utama yang terjadi di masa kini.
***
Sejak buku ini sampai di rumahku sekitar akhir Desember 2017 (atau awal Januari 2018, ya?) aku langsung berusaha menyelesaikan buku ini. Saat itu aku sudah membaca buku sampai lebih dari separuhnya. Tapi kemudian aku memutuskan memberi jeda yang cukup lama sebelum melanjutkan membaca. Kenapa?
Getaran emosi yang kurasakan saat baca tiap adegan kenanga antara Kemuning dan ibunya kerasa banget. Sangat realis soalnya. Alicia Lidwina belum kehilangan "sihirnya" setelah novel 3 (Tiga) terbit tiga tahun yang lalu.
Peristiwa-peristiwa yang tersebar di sepanjang cerita demi membangun konflik anak-ibu di sini sangatlah sederhana. Tapi semua peristiwa itu tampaknya bakal relatable sekali bagi semua orang yang membacanya. Baik yang sudah berstatus sebagai orangtua, maupun masih berstatus sebagai anak. Protes karena masakan ibu yang tak sesuai selera (kalau di sini sayur bayam yang keasinan), keengganan membawa atau menghabiskan bekal bikinin ibu karena ingin bisa bersenang-senang dengan teman di kantin, cek-cok karena pilihan pasangan hidup, dan masih banyak lagi (insyaallah nanti aku akan berusaha mereview dengan lebih detail lagi). Semua drama itu bisa dan mungkin sudah terjadi pada kita semua.
Membaca semua rentetan kejadian itu membangkitkan beberapa kenangan yang terkubur akan interaksiku dengan orangtua sendiri. Dan aku terus dihantui perasaan berdosa dengan mengingat itu semua. Memang kebetulan mood-ku lagi dalam titik terendah saat pertama kali membaca buku ini.
So I stopped for a while. Not because it was a bad reading. But because I couldn't bear the pain of those memories.
Akhirnya setelah aku mulai bangkit lagi, kuteruskan membaca buku ini sekitar setengah tahun setelahnya (sebelumnya aku maraton membaca banyak novel ringan lain sebagai pemanasan). Aku memutuskan membaca buku ini dari awal. Kali ini semua adegan tak menghasilkan efek berlipat seperti sebelumnya. Tetap membangkitkan perenungan, tapi paling tidak enggak "sefatal" sebelumnya. Haha.
***
Kelemahan buku ini mungkin alurnya yang terasa sangat sangat lambat. Mungkin karena kenangan masa lalu dan adegan mimpi menjadi elemen paling dominan di sini. Dan tak ada terlalu banyak aksi pada adegan-adegan tersebut. Rasanya lebih pasif kalau dibandingkan dengan buku 3 (Tiga) yang bisa kuhabiskan dalam waktu sehari. Rasanya waktu jadi stagnan setiap kali aku membaca buku ini, terutama bab-bab menjelang ending.
Still, kayaknya ini perlu dijadikan semacam "buku bacaan wajib". Bagus kalau ada sekolah yang kepikiran memasukkan buku ini sebagai bahan diskusi pada mata pelajaran BI. Karena buku ini bisa membuat kita berpikir ulang akan bagaimana seharusnya kita memperlakukan orangtua kita selama ini. Jangan sampai kita mengalami rasa penyesalan menahun seperti Kemuning dalam novel ini. It's an unbearable pain!
Namun, sebelum aku mengecap Kemuning sebagai anak durhaka, aku mencoba mengingat-ingat apakah sang bunda di sini juga melakukan kesalahan fatal selain bersikap dingin pada Samudra yang merupakan suami Kemuning. Kusimpulkan sang bunda juga punya andil terhadap merenggangnya hubungannya dengan Kemuning, meskipun rasanya memang samar.
Ia kurang bisa dan mau menyelami kehidupan remaja Kemuning. Cenderung pasif dan terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Berat memang jadi single-parent, tapi buat anak seperti Kemuning, jalan-jalan berdua sampai membicarakan ini-itu pastinya bakal sangat membantu. Begitu banyak kesedihan yang menumpuk dalam buku ini. Baik pada diri Bunda maupun Kemuning. Dan itu semua tak pernah dihadapi dengan baik. Bunda seolah memaksakan diri untuk selalu terlihat tegar dengan menyembunyikan emosi negatif serta air matanya. Padahal, jika ia mau lebih membuka diri dan memperlihatkan emosinya secara lebih jujur pada Kemuning, mungkin anak ini juga bisa jadi lebih terbuka.
Apakah karena faktor keduanya adalah introvert? Sekali lagi apa yang terjadi pada Kemuning maupun ibunya sangat bisa terjadi pada kita semua. Ah...
***
Insyaallah kalau kepalaku lebih segar, review buku ini akan kutambahi lagi dengan berbagai macam adegan dan dialog yang quotable. Ada banyak hal yang ingin kutulis tentang buku ini, terutama soal prasangka antara anak-ortu, jarak yang terjadi justru pada kerabat terdekat, dan kebiasaan kita menunda menyambung lagi hubungan yang sudah renggang sampai semua kecanggungan memuncak dan yang ada hanya penyesalan.
Until later. Hopefully soon.