Sesekali dalam hidup ini kita akan menjadi saksi perubahan. Dari hal-hal kecil yang mengubah kebiasaan sampai revolusi besar yang diam-diam mematikan suatu peradaban. Seperti kata Stephen Elop (Nokia), "Kami tidak melakukan kesalahan apa pun; tiba-tiba kalah dan punah."
Suatu revolusi kini menghadang jutaan pembangun merek dan pemilik reputasi yang dulu tak tergoyahkan. Seperti Blue Bird yang harus menghadapi gempuran mobil-mobil yang tak terlihat bermerek taksi, tak berpelat nomor kuning, dan tak tampak beroperasi sebagai taksi. Tahu-tahu revolusi ini sudah besar dan mengoreksi kesejahteraan kita.
Perusahaan-perusahaan lain menghadapi lawan-lawan yang langsung door-to-door. Kepala-kepala daerah yang cerdas telah menjelajahi gelombang ketiga internet melalui smart city, bio-chips, dan internet of things.
Kehebatan pun berpindah. Secepat angin bertiup, yang tak hanya membunuh, tapi membuat kita terhenyak. Suatu peradaban baru yang menuntut manusia mengubah pola pikirnya, a disruptive mindset. Yang tak hanya harus sedia setiap saat, real time, on demand, dan terbuka. Suatu peradaban yang dibentuk oleh hukum Moore, yang mengubah kecepatan menjadi eksponensial, yang berhadapan dengan pribadi-pribadi yang masih berpikir secara linear.
Inilah buku yang pantas dibaca oleh para pengusaha, eksekutif, aparatur sipil negara (ASN), abdi masyarakat, pegiat sosial, guru, dan orangtua untuk mencegah kegagalan dalam melangkah, membangun karier, serta menciptakan masa depan anak-anaknya, perusahaannya, perekonomiannya, dan bangsanya. Kita tak mungkin menapak ke masa depan yang sungguh-sungguh berbeda dengan kebiasaan-kebiasaan yang tak lagi relevan.
Saya membaca buku ini di kuartal terakhir tahun 2017. Buku ini dibagikan oleh perusahaan kepada sejumlah karyawan karena isinya dianggap relevan dengan situasi yang sedang dihadapi oleh perusahaan (selain itu, perusahaan tempat saya bekerja pada saat tersebut juga dijadikan contoh yang disebut di dalam buku ini). Saya pun mendapat kesempatan untuk meminjam dan membaca buku ini sampai tuntas.
Pada periode waktu tersebut, kehidupan sehari-hari saya sudah diwarnai dengan berbagai kemajuan teknologi dari perusahaan start-up, misalnya Go-Jek/Grab/Uber, Tokopedia, atau Airbnb. Teknologi yang disediakan oleh perusahaan tersebut banyak menimbulkan perubahan dan kemudahan dalam kehidupan saya sehari-hari.
Di saat yang bersamaan, teknologi tersebut juga mengubah bagaimana orang-orang menjalani mata pencahariannya. Go-Jek menggeser ojek pangkalan (sampai saat tulisan ini dibuat, masih banyak resistensi terhadap ojek online di kota tertentu), Tokopedia mematikan toko retail (tapi sekaligus mengembangkan penjualan via toko online), Airbnb semakin mencekik hotel (karena harganya yang jauh lebih murah).
Sebagaimana buku-buku karya prof. Rhenald Kasali lainnya, buku ini membahas tentang terjadinya perubahan. Konsep yang digunakan sebagai referensi utama adalah disruption theory dari Clayton Christensen, seorang profesor dalam bidang administrasi bisnis di Harvard. Teori tersebut dikatakan sebagai teori yang paling berpengaruh dalam bidang manajemen di abad ke-20. Tidak heran, Christensen pun mendapatkan banyak penghargaan karena hasil pemikirannya tersebut.
Inti konsepnya begini: dalam suatu periode waktu tertentu, akan tercipta inovasi yang melakukan "disruption" terhadap pasar yang sekarang sudah ada, sehingga mengubah industri yang selama ini sudah berjalan. Terciptanya mobil membuat industri transportasi berkurang, sebagaimana halnya sekarang ojek online mengubah cara kita menggunakan transportasi umum.
Proses ini sudah terjadi sejak lama dan cenderung akan terus berulang. Bedanya, dengan perkembangan teknologi saat ini, siklusnya menjadi lebih cepat sehingga kita harus lebih cepat tanggap terhadap perubahan yang akan terjadi. Konsep sharing economy (kebalikan dari owning economy) juga banyak dibahas sebagai salah satu solusi yang timbul atas kebutuhan masyarakat saat ini.
Di dalam buku ini, Prof. Rhenald Kasali menjelaskan konsep disruption dalam 5 bagian. Bagian pertama menceritakan bagaimana latar pasar industri telah berubah, karena banyak pemain baru yang sebelumnya tidak pernah terlihat. Bagian kedua membahas tentang perjalanan terciptanya disruption theory dan juga kritik terhadap teori tersebut. Bagian ketiga dan keempat menceritakan tentang sikap yang dapat kita ambil ketika menghadapi perubahan (menyerang/diserang dan mindset). Bagian terakhir menceritakan tentang dampak yang dapat terjadi dalam proses disruption.
Prof. Rhenald Kasali menjelaskan bahwa saat ini kita tengah memasuki suatu akhir jaman. Bukan akhir jaman dalam pengertian kiamat, tapi maksudnya kita telah memasuki jaman yang baru yang ditandai dengan adanya perkembangan teknologi informasi. Mereka yang tidak segera menyadari perubahan jaman ini akan terperangkap dalam masa lalu, merasa cemas, dan bersikeras bersikap resisten terhadap perubahan (yang sebenarnya tidak bisa dilawan juga).
Tiap bagian tersebut dijelaskan dengan menggunakan studi kasus yang ada di Indonesia maupun luar negeri. Selain perusahaan start-up yang merupakan pemain baru, contoh-contoh perusahaan yang mencoba melakukan disruption terhadap dirinya sendiri (misalnya Telkom atau Kompas-Gramedia) dipaparkan secara singkat di sini.
Ada juga beberapa artikel beliau yang sebelumnya pernah diterbitkan di koran dan dilampirkan kembali karena temanya sejalan dengan isi buku ini. Penjelasannya disampaikan dengan bahasa yang tidak terlalu rumit sehingga kita mudah untuk memahaminya, terlebih lagi konsep yang sama juga diulas kembali dalam bab berikutnya. Contoh-contoh yang diberikan juga cukup relevan, meskipun ada bagian yang terasa seperti iklan (IndonesiaX, Kitabisa.com).
Ada hal yang saya harapkan tapi masih belum sepenuhnya terpuaskan dalam buku ini: saya mengharapkan adanya prediksi masa depan yang lebih konkrit, sebab contoh yang diberikan masih berupa contoh-contoh di masa lalu. Hal ini bisa memberikan kesan bahwa kebenaran teori ini diperoleh hanya dengan mencocok-cocokkan saja antara teori dengan hasil yang ada. Tapi pada dasarnya teori berada di ranah abstrak, sehingga memang wajar jika prediksi contoh konkrit di masa depan tidak bisa dibuat terlalu banyak.
Bagi mereka yang bekerja di berbagai industri, terutama mereka yang ada di tingkat middle-upper management karena mereka bisa mempersiapkan diri melakukan pengembangan produk dan kebijakan agar siap menghadapi disruption. Namun, mereka yang bukan berada di posisi pengambil keputusan strategis (staf, mahasiswa, dan lainnya) pun tetap dapat memperoleh manfaat dengan membaca buku ini.
Pada akhirnya buku ini membawa kita pada pesan, " Lebih baik kita berdamai dan menciptakan cara-cara baru untuk menyambut era baru yang lebih inklusif pada hari esok, pada abad 21 yang baru kita mulai ini."
Sepertinya untuk menyambut era ini, kata-kata Darwin sangat relevan, "bukan yang kuat yang akan bertahan, melainkan yang paling cocok dengan keadaan di luar (lingkungannya)" dan buku ini membuka mata kita tentang kemungkinan apa yang kita hadapi dan strategi apa saja yang bisa kita lakukan. Hal terpenting adalah sebagai orang akan menghadapi segala kemungkinan ini, sangat perlu bagi kita untuk memiliki pikiran terbuka, keberanian menghadapi perubahan dan menerima resiko.
Sangat baik dibaca untuk memastikan langkah terbaik bagi mereka yang siap menyambut masa depan yang penuh dengan berbagai kemungkinan.
Apa yang terjadi ketika suatu hari nanti, profesi atau tempat bekerja kita hilang dan tidak beroperasi lagi karena ada orang atau organisasi lain yang sudah menggantikan bahkan melakukan dengan lebih baik apa yang kita kerjakan? Ya, Anda boleh menyangkal bahwa hal itu tidak akan terjadi. Sama seperti Nokia, Kodak, dan juga Blackberry yang menyangkal akan adanya lawan yang tak terlihat di luar mereka. Dan akhirnya kita sama-sama tahu nasib mereka hari ini.
Membaca buku “Disruption” karya pakar manajemen perubahan, Rhenald Kasali, bagi saya seperti belajar untuk menerima bahwa kemungkinan kisah di atas adalah pasti terjadi. Kabar baiknya, penulis bukan saja menyajikan kemungkinan terburuk sebagai akibat disruption, tetapi juga membekali dengan berbagai jurus ampuh agar kita justru menjadi pemenang dari fenomena tak terelakkan ini.
Buku ke-32 penulis yang mendirikan institusi Rumah Perubahan ini terbilang segar karena baru diterbitkan Januari tahun 2017. Dengan tebal hampil 1 rim (496 halaman) buku ini mengupas tuntas segala hal yang berhubungan dengan disruption. Buat yang awan tentang disruption sekali pun, buku ini bisa menyulap Anda seakan menjadi pakar disruption jika Anda bersedia untuk membedah dan mengeksplorasinya dalam-dalam.
Tersusun atas 16 bab dengan 5 pembagian utama. Jika diumpamakan sebuah film bioskop, kira kira alurnya seperti ini. Pada bagian pembuka (bab 1 s.d 3) penulis memberikan shock therapy kepada pembaca tentang hadirnya setingan baru dunia kita hari ini. Ada lawan-lawan yang tak terlihat yang membuat pasar digital (digital marketplace) baru serta penjelasan fenomena disruption yang bahkan sudah terjadi sejak lama sebelum teori ini ditemukan.
Pada bagian kedua (bab 4 s.d.7), keluarlah keahlian mengajar penulis di dalam kelas, karena beliau seakan mengajar di dalam kelas untuk 1 mata kuliah berjudul “Disruption”. Mulai dari kisah pada saat Clayton M. Christensen melahirkan bayi teori disruption pada tahun 1997, kritik yang muncul atas teori tersebut, sampai pertarungan teori tersebut dengan teori-teori lainnya sampai hari ini, 20 tahun usianya. Menariknya, penulis menyajikan dengan gaya bercerita (story telling) yang menarik, sehingga kuliah dalam kelas berubah seperti membaca sebuah novel perjuangan heroik.
Lanjut ke bagian ketiga (bab 8 s.d 10) giliran kita belajar jurus ampuh menghadapi serangan disruption. Tag line-nya “disrupting or disrupted” (bukan lagi “change or die”). Startegi pertama adalah self disruption atau melakukan disruption pada diri kita sendiri. Hal yang terdengar agak aneh karena sebaik apa pun keadaan kita hari ini, kita dipaksa untuk mengakui bahwa masih ada banyak kekurangan yang menuntut segera diubah.
Kelak kita akan menyadari bahwa memang justru itu yang harus dilakukan. Strategi berikutnya yaitu “reshape” dan atau “create” sesuatu yang baru pada organisasi atau perusahaan kita demi melawan gelombang disruption tersebut.
Pada bagian keempat (bab 11 s.d 13) alur konflik dalam “film” disruption pada buku ini mulai menurun. Saya membayangkan jika pada bagian sebelumnya otak kita panas, tegang, dan kacau balau membaca fakta, data, analisis, dan prediksi tentang disruption, maka pada bagian ini semuanya ditata kembali sehingga menjadi disruptive mindset yang tertanam kuat. Membantu kita memiliki cara pandang baru tentang disruption sedang yang terjadi di sekitar kita dan bahkan di masa mendatang.
Bagian ke lima (bab 14 s.d 16) adalah penutup dari “pentas lakon” disruption. Sedikit antiklimaks sepertinya. Namun isinya sangat Indonesianis. Bercerita tentang individu atau organisasi pemerintah dan swasta di Indonesia yang sudah berhasil melawan gelombang disruption. Dan semuanya ditutup dengan fenomena perubahan yang mengarah pada trend break atau akhir zaman yang berkembang di dunia saat ini dengan ciri 3S (Speed, Surprise dan Sudden shift).
Penyajian buku ini memiliki gaya yang khas yaitu kaya dengan data dan fakta yang relevan dan tepat di setiap analisisnya. Diselingi dengan beberapa artikel penulis yang terbit di berbagai media nasional sebelumnya atau kutipan dari buku-buku yang pernah ditulisnya. Namun yang tidak kalah penting adalah kemampuan penulis mengambil dan menempatkan konteks ke-Indonesia-an dari fenomena besar yang terjadi di dunia.
Buku ini sangat direkomendasikan bagi siapa saja pengambil kebijakan di berbagai organisasi pemerintah, swasta dan non profit di Indonesia. Baik itu “pemain besar” agar tidak mudah limbung karena kesombongan yang sudah ditampilkan banyak contoh sebelumnya. Atau juga para “pemain baru” yang akan memasuki dunia persaingan sehingga tidak berkecil hati melihat raksasa-raksasa besar kompetitornya hari ini.
Dalam perspektif sempit saya, mindset “Sadar Disruption” ini penting kita miliki sebagai individu. Karena sejatinya fenomena ini bukan hanya berlaku untuk organisasi atau perusahaan saja. Terlebih lagi adalah bagi kita manusia yang hidup di zaman baru ini. Agar kita tidak kehilangan eksistensi atau bahkan mati.
“Pernah lihat orang mati? Ya, orang mati kaku dan dingin. Kalau Anda masih hidup tapi “kaku” dan “dingin”, sebenarnya Anda sudah mati” (Rhenald Kasali, hal. 193).
Buku ini sangat menarik untuk dibaca, menceritakan tentang banyaknya perubahan-perubahan yang telah terjadi. Mengajak kita untuk bergerak cepat, berpikir cepat, dan kreatif dalam menghadapi masa-masa disruption ini.
perubahan-perubahan di Buku ini juga menceritakan para incumbent yang terjebak dengan pemikiran lama mereka, namun ada juga yang berhasil mengganti bisnis mereka untuk menghadapi ancaman perubahan ini.
Disruption di buku ini lebih ke arah inovasi atau Ancaman para incumbent. Disruption menggantikan pasar lama industri, dan teknologi dan menghasilkan suatu kebaruan yang lebih efisien dan menyeluruh, karena itulah selalu ada yang hilang, memudar, lalu mati. Semua ini menakutkan sekaligus bisa membuat kita membentengi diri secara berlebihan. Disisi lain ada hal baru yang hidup, yang membutuhkan kreativitas, semangat kewirausahaan, dan cara-cara baru.
Salah satu contoh disruption yang diceritakan di buku ini adalah Blue Bird, yang tergantikan dengan hadirnya Gojek atau Grab, beralihnya pemakai Yellow Pages ke mesin pencari google. hilang nya kodak perusahaan nomor 1 didunia fotografi, terutama rol film. BlackBerry dan Nokia termasuk juga perusahaan yang tidak bisa menghadapi perubahan yang terjadi.
Dibuku ini juga menjelaskan proses perubahan yang bisa dilakukan dan perubahan itu akan menuntut 3 hal sekaligus, yaitu melihat, bergerak, dan menyelesaikan sampai tuntas.
Perubahan bukan cuma bergulir di dalam industri dan dunia usaha, melainkan juga di sektor pemerintahan. Dibuku ini mencontohkan Singapura ditangan Lee Kuan Yew (Mantan perdana Menteri Singapura) yang berhasil merubah Singapura menjadi daerah investasi dan perdagangan yang ramai.
Kemudian di dunia penerbangan, berkat pendatang baru dalam bisnis penerbangan, “Kini Setiap orang Bisa Terbang”. Didunia pariwisata ada Airbnb, yang menyediakan kamar dalam jumlah besar bagi pelancong mancanegara dan banyak contoh lainnya yang diceritakan di buku ini.
Dibuku ini juga menjelaskan era disruption ini, perubahan menjadi amat cair dan bergerak mengikuti karakter 3S :Speed, Surprise, dan Sudden Shift.
Apakah teori Disruption juga akan mengubah cara kita bersilaturahmi?
Review buku "Disruption" Penulis: Rhenald Kasali Tahun terbit: 2017 Penerbit: Gramedia Tebal: xxiv + 512
Masih dalam suasana lebaran. Hari ini adalah hari kedua lebaran, tradisi memasak ketupat, semur daging, dan sayur godog/sayur pepaya masih kami jalankan. Namun, ada pemandangan yang berbeda di meja tempat ibu saya meletakkan kue-kue lebarannya. Tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya, di meja ini biasanya terdapat dodol, dodol cina, wajik, geplak. Namun lebaran kali lini, yang memenuhi meja adalah biskuit-biskuit bermerek aneka rasa. Biskuit-biskuit yang bisa ditemukan di supermarket besar dan minimarket dekat rumah. Ada juga sirup-sirup beraneka warna, yang juga mudah ditemukan di supermarket. Dodol-dodol yang biasa ibu beli memang tidak bermerek, namun ibu saya tahu dimana tempat memperoleh dodol dengan kualitas rasa terbaik di wilayah kampung kami. Wajik empuk, kue dari campuran ketan dan gula jawa yang sangat enak jika dinikmati dengan teh hangat juga tak tampak di antara kue-kue lebaran ibu. Biasanya dalam momen lebaran, dodol merupakan simbol lebaran. Memberikan dodol dengan kualitas terbaik kepada kerabat atau guru merupakan bentuk penghormatan kita kepada orang lain. Proses pembuatan dodol cukup rumit, menyita biaya, waktu, tenaga, keahlian, dan ruang yang cukup luas. Itulah sebabnya dodol menjadi simbol perayaan lebaran dan menjadi sesuatu yang berharga untuk diberikan kepada orang yang dihormati. Namun lebaran kali ini, di antara biskuit-biskuit bermerek, saya hanya melihat 1 potongan dodol pemberian saudaranya. Apa yang terjadi dengan kue-kue tradisional yang biasa saya temui sejak saya kecil. Apakah sudah jarang orang yang membuatnya, atau karena peminatnya semakin berkurang? Saya sadar, saya sedang menjadi saksi perubahan dalam budaya berlebaran di kampung saya sendiri. Kue-kue tradisional buatan orang kampung tak bermerek itu terdisrupsi oleh biskuit-biskuit bermerek buatan pabrik.
Sambil menikmati hari raya, saya membaca buku Disruption yang ditulis Rhenald Kasali. Penulis buku best seller Change! Buku ini menyadarkan saya, bahwa sebenarnya kita sedang menjadi saksi perubahan-perubahan besar dalam kehidupan kita. Misalnya pertama, Perubahan dalam cara kita mencari informasi. Dulu kita mencarinya dari buku cetak, majalah, surat kabar. Namun kini kita bisa mencari informasi apa saja melalui mesin pencari Google. Kita sedang menyaksikan perubahan bentuk bacaan dari kertas ke digital. Perubahan juga terjadi dalam transaksi keuangan. Kini kita bisa memanfaatkan internet banking untuk bertransaksi, tidak perlu harus mengantri untuk menghadap teller bank. Semua dikerjakan dalam satu perangkat smartphone. Taksi-taksi konvensional, mulai kehilangan penumpang yang beralih memilih taksi online. Toko-toko online mulai menggantikan toko-toko ritel.
Sebenarnya, bukan daya beli konsumen yang menurun, namun yang sedang terjadi adalah perubahan perilaku konsumen. Konsumen mungkin sudah tidak membaca majalah versi cetak. Namun pembaca tetap membutuhkan informasi, dia akan mencari informasi tersebut melalui internet, lebih praktis dan lebih cepat. Beberapa waktu lalu beredar kabar mengenai banyaknya toko-toko di Glodok yang tutup. Kenapa toko-toko komputer dan elektronik yang dulu sangat berjaya banyak yang tutup. Sebenarnya, konsumen bukannya tidak berminat belanja perlengkapan komputer, namun masyarakat kini lebih gemar memilih untuk berbelanja secara online daripada pergi ke toko-toko. Bukannya daya beli konsumen yang turun, namun ada perubahan perilaku konsumen. Kita sedang menyaksikan sebuah perubahan, perubahan dari cara lama dengan cara-cara baru. Toko online menggantikan toko ritel. E-money menggantikan uang fisik. Taksi online menggantikan taksi konvensional. Kita sedang menghadapi zaman baru yang tidak lagi terikat waktu dan tempat. Disruption sedang terjadi.
Apa itu sebenarnya disruption?
Disruption adalah sebuah inovasi. Inovasi yang akan menggantikan seluruh sistem lama dengan cara-cara baru. Disruption menggantikan teknologi lama yang serba fisik dengan teknologi digital yang menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru. Disruption menggantikan ‘pasar lama’, industri, dan teknologi, dan menghasilkan suatu kebaruan yang lebih efisien dan menyeluruh. Ia bersifat destruktif dan creative! (Clayton Christensen) (hal 34). Teori mengenai Disruptive Innovation dipublikasikan Clayton M. Christensen pada 1997. Selama 20 tahun perjalanan, ternyata banyak hal semakin memperkuat teori disruption. Disruption bukan sekadar change biasa. Disruption menyandang sejumlah konsekuensi akibat teknologi informasi dari kehadiran para wirausaha muda yang beroperasi lintas batas di dunia global bersama kaum millenials (hal 137). Proses perubahan sebenarnya sudah kita saksikan, misalnya ketika kamera berfilm berganti dengan kamera digital, telepon rumah dengan ponsel, sekolah konvensional dengan sekolah online, uang tunai dengan kartu plastik, dan seterusnya. Namun bedanya dengan saat ini adalah, gelombang inovasi digital terus terjadi tiada henti, metode pembayaran, aliran barang, bahkan jenis-jenis jasa dan cara berbisnis berubah total. Disruption tidak hanya terjadi dalam aspek bisnis, investasi, dan keuangan. Ini juga terjadi kait-mengait dalam banyak bidang kehidupan, baik pemerintahan, politik, dunia hiburan, maupun sosial.
Lalu bagaimana sebaiknya kita merespon disruption ini? Pertama adalah kita harus mampu “melihat.” Maksudnya menyadari/membaca perubahan yang sedang terjadi di luar sana dan di sekitar kita. Mungkin perubahan itu tengah terjadi di tempat yang jauh, yang kurang diperhitungkan. Mungkin yang berubah baru komponen-komponen kecil dan secara perlahan-lahan, mungkin itu terjadi di luar pakem yang berlaku. Bisa jadi pula sesuatu sudah terjadi di depan mata Anda, tetapi Anda menyangkal dan tidak mempercayainya. Hal ini bisa terjadi karena seseorang terlena, terperangkap pada pandangan-pandangan lama.
Selanjutnya, mengubah atau melatih mindset. Mindset bukan hanya harus dipahami, tapi juga harus dilatih. Studi yang dilakukan Dweck (2013) menemukan bahwa terdapat dua jenis mindset bagi setiap pembelajar, fixed mindset dan growth mindset. Ada pembelajar yang melakukan sesuatu karena dinilai dan ada yang melakukan karena ingin hidupnya berubah (hal 338). Mindset tetap (fixed mindset) berbeda dengan mindset yang tumbuh (growth mindset). Fixed maindset memiliki sikap: mudah menyerah, menghindari tantangan, melihat usaha sebagai hal yang sia-sia, merasa terancam dengan keberhasilan orang lain, dan mengabaikan kritikan yang membangun. Growth mindset memiliki sikap: Siap menerima tantangan baru, tahan menghdapi rintangan, melihat usaha sebagai bagian untuk jadi mahir, belajar dari kritikan, mendapatkan pelajaran dan inspirasi dari kesuksesan orang lain. Umumnya, orang-orang pemilik growth mindset ini amat suka tantangan baru, dan kalau menghadapi kesulitan, mereka tak mudah menyerah. Pemilik growth mindset selalu terbuka dan mampu “melihat” kesempatan-kesempatan baru dalam setiap perubahan.
Buku ini memang banyak menggunakan brand/perusahaan besar sebagai contoh dan studi kasus. Namun banyak hal yang bisa kita praktekkan untuk pribadi yang akan bermanfaat dalam cara pandang kita, cara kita belajar, dan bagaimana kita mengambil keputusan.
Saya ajak Anda kembali kepada tema lebaran yang saya sampaikan di awal tulisan ini. Terus terang saya pribadi merasa kehilangan atas absennya beberapa kue tradisional di rumah kami. Kerabat yang berkunjung tidak lagi membawa kue-kue tersebut sebagai buah tangan. Mereka membawa biskuit-biskuit bermerek aneka rasa buatan pabrik yang banyak dijual di supermarket/minimarket. Perayaan lebaran terasa “kurang bumbu” jika tidak ada kue-kue tradisional itu.
Lalu apa hubungannya teori disruption dengan hari raya Idul Fitri. Yang ingin saya sampaikan di sini adalah, apakah teori disrupsi juga akan mengubah cara kita bersilaturahmi. Apakah teknologi perangkat komunikasi bisa menggantikan kehadiran kita di hadapan orangtua dan kerabat kita di kampung halaman? Apakah komunikasi dengan video call bisa menggantikan kehadiran kita dalam silaturahmi dengan orangtua. Menurut saya, yang diinginkan orangtua adalah pelukan hangat dari anaknya. Kehangatan kebersamaan saat makan bersama, mengobrol panjang lebar bersama anak-anaknya yang sudah jarang ditemui. Orangtua ingin melihat cucunya secara langsung, bukan hanya berupa kiriman foto atau video melalui smartphone. Tangan-tangan keriput orangtua kita ingin merasakan langsung genggaman tangan mungil cucunya. Orangtua kita ingin merasakan cucunya bergelayut di kakinya. Mendengar tangisan dan celotehnya secara langsung. Mereka bisa merasakan bedanya “kehadiran” dengan “kiriman.” Kemajuan teknologi hakikatnya adalah untuk memudahkan pekerjaan manusia. Bukan mengbah dan mengurangi sifat-sifat kemanusiaan kita.
Entah apa lagi yang akan berubah di perayaan lebaran tahun depan. Mari kita jaga hal-hal tradisional yang seharusnya menjadi kekuatan ciri khas/karakter kita, dari gempuran disrupsi modernitas. Selamat merayakan lebaran dengan ciri khas budaya masing-masing.
Sudah lama ada keinginan untuk membaca buku karya Prof Rhenald Kasali sejak buku ini pertama kali diterbitkan awal Januari 2017 lalu. Namun baru akhir-akhir ini keinginan tersebut muncul kuat sekali, terutama ketika saya selesai menonton salah satu serial di BBC Earth Asia, The Secret of Silicon Valley, yang membuka “borok” dari visi utopianisme para owner perusahaan teknologi di Silicon Valley, apalagi kalau bukan disruption. Bahkan, oleh Jamie Bartlett, sang pembawa acara, “disruption” dianggap sebagai filosofi, agama, pegangan hidup para perusahaan teknologi Silicon Valley. Disruption, alih-alih memberikan manfaat, malah justru merusak tatanan sosial masyarakat. Benarkah demikian? Untuk itulah saya mulai membaca buku ini. Di awal buku, Rhenald Kasali memberikan pengantar bahwa perubahan itu selalu eksis dalam sejarah peradaban kita sebagai umat manusia. Ia memberikan contoh mulai dari perubahan transportasi manusia dari kereta kuda menjadi mobil bertenaga bensin di abad 20 sampai dengan perubahan penguasa pangsa pasar telepon genggam dari Nokia ke Android di awal millennium ketiga. Namun, di abad 21 ini, perubahan dirasa semakin cepat saja, terutama ketika tumbangnya banyak perusahaan terkenal tanpa mereka melakukan kesalahan apapun. Saat itu, orang-orang bertanya: apa yang salah? Penulis kemudian menjelaskan bahwa ternyata dari dalam sistem organisasi sendiri seringkali muncul penolakan terhadap kenyataan berubahnya dunia, ya apalagi kalau bukan penolakan terhadap disruption. Buku ini terdiri atas 5 bagian. Bagian pertama terdiri atas tiga bab. Bab pertama penulis memaparkan peradaban Uber yang memiliki ciri-ciri: real time dan eksponensial, sharing economy, on demand economy, supply-demand dengan jejaring, dan lawan yang tidak terlihat. Mengutip Clayton Christensen, penulis mendefinisikan disruption sebagai inovasi, ia menggantikan ‘pasar lama, industri, dan teknologi, dan menghasilkan suatu kebaruan yang lebih efisien dan menyeluruh. Ia bersifat destruktif sekaligus kreatif. Di bab 2 yang berjudul “Pasar yang Baru” penulis-mengutip Gurley (2012) memaparkan sepuluh syarat agar digital marketplace terbentuk. Menariknya, di setiap syarat penulis isi dengan contoh-contoh perusahaan atau start-up yang menjalankan syarat tersebut. Di bab 3, penulis menceritakan nasib kontras antara perusahaan telekomunikasi dengan perusahaan operator taksi. Mengutip Christensen (sepertinya penulis menggunakan Christensen sebagai rujukan utamanya) perusahaan telekomunikasi lebih sering menghadapi disruption, mulai dari telegraf, kemudian telepon kabel, dan telepon nirkabel/selular. Sedangkan, perusahaan operator taksi terbelenggu oleh regulasi yang harus tetap berdiri di dua kaki, kaki kiri di incumbent pemilik taksi konvensional dan kaki kanan di taksi online. Padahal dua usaha ini memiliki model bisnis yang sama sekali berbeda. Bagian kedua buku ini terdiri atas 4 bab. Di bab 4 penulis menjabarkan model-model bisnis yang saat ini sedang nge-trend, mulai dari subscription model, freemium model, sampai dengan ecosystem model. Di bab 5, penulis kembali mengemukakan pendapatnya mengapa setiap keberhasilan sulit dipertahankan. Ekonomi memiliki kini menjadi tidak relevan akibat munculnya ekonomi berbagi. Alih-alih memiliki banyak aset, perusahaan abad 21 kini menerapkan sistem sharing dalam kepemilikan asetnya, sehingga harga dapat ditekan, dan konsumen pun mendapat barang atau jasa yang baik sekaligus murah. Di bab 6 penulis lebih banyak menjelaskan mengenai perbedaan antara sustaining innovation dengan disruption innovation. Di akhir bab, penulis mengutip framework 6 Ds milik Peter H. Diamandis: digitize, deceptive, disruptive, demonetize, dematerialize, dan democratize. Di bab 7, penulis menghimpun beberapa koreksi dan respon dari Teori Disruption Christensen, terutama yang berasal dari King dan Baatartogtokh. Bagian ketiga terdiri atas 3 bab. Bab 8 menjelaskan beberapa pilihan strategi yang dapat digunakan dalam menghadapi gelombang disruption. Bagi saya yang menarik di bab 8 ini adalah tabel strategic agility yang menjelaskan 6 tipe organisasi. Selain itu, grafik empat tipe SDM atau pemimpin juga membantu kita untuk memetakan potensi SDM di setiap organisasi atau perusahaan. Bab 9 menjelaskan tentang dua tanggapan yang harus diambil ketika menghadapi disruption: reshape or create. Untuk tanggapan create, dibahas secara khusus di bab selanjutnya (bab 10). Di bab 10 ini penulis menjelaskan studi kasus Go-Jek, perjalanan Kitabisa.com-yang CEOnya ternyata mantan mahasiswa penulis, dan gagasan berdirinya AirBnb. Bagian keempat diberi judul Mindset. Ada 3 bab di bagian keempat ini. Bab 11 membujuk pembaca untuk merubah pola pikir, dimulai dengan cerita perlombaan antara dua Norwegia dan Inggris, yang sedang balapan siapa dulu yang mencapai Antartika. Lalu, penulis menjelaskan strategi “melihat-bergerak-menyelesaikan”. Di bab 12, penulis mengemukakan pertentangan yang pasti akan terjadi ketika kita ingin merubah pola pikir. Konfrontasi, resiko, perangkap pola pikir masa lalu, pengalaman tak terelakkan, dan believing menjadi strategi utama dalam perjalanan mengubah pola pikir. Bab 13 menjelaskan tentang disruptive marketing, disruptive bureaucracy, dan disrupted society. Bagian 5, yang merupakan bagian terakhir buku ini, terdiri atas 3 bab. Bab 14 menjelaskan akibat-akibat dari disruption di bidang pangan, pemerintahan, olahraga, dan pendidikan. Bab 15, yang diberi judul “No Ordinary Disruption”, menjabarkan 4 hal mengapa disruption hari ini menjadi tidak biasa karena enam hal: yang pertama ada teknologi, kekuatan uang yang menjadi ilusi, Asia dalam gempuran urbanisasi, hadirnya kaum muda yang panjang umur, arus global, dan wajah-wajah baru pemimpin dunia. Akhirnya, buku 16 bab ini ditutup dengan suatu judul “Akhir Suatu Zaman”. Perubahan-perubahan yang disaksikan umat manusia di sepanjang peradabannya seringkali memunculkan pemikiran berakhirnya bahwa hidup akan segera berakhir, kiamat. Namun setiap zaman lama ditutup, ia menghadirkan kembali zaman yang sama sekali baru. Dalam era disruption, zaman baru ini muncul semakin cepat, mengejutkan dan tiba-tiba. Buku ini sebagian besar mengambil referensi dari Clayton Christensen, sang pencetus teori disruptive innovation lewat bukunya yang berjudul The Innovator's Dilemma. Buku ini banyak menghadirkan quote-quote motivasi. Mulai kutipan dari Steve Jobs, Christensen-sang penemu teori disruption, bahkan peribahasa dari negeri Jepang pun menghiasi buku ini. Di setiap bab pasti terdapat kutipan (entah penuh atau sebagian) artikel yang pernah penulis terbitkan di berbagai media massa nasional atau buku-buku yang sebelumnya beliau tulis. Artikel yang ditampilkan biasanya memiliki relevansi topik dengan bab yang sedang dibahas. Banyak topik dalam buku ini yang diulang di setiap bab. Mungkin ini strategi yang dipakai penulis untuk menegaskan topik-topik yang ia anggap penting. Serupa dengan hal itu, banyak contoh kasus yang disajikan dalam buku ini hanya itu-itu saja. Misalnya, contoh kasus perusahaan yang dipakai sering berkisar pada Kodak, Fujifilm, Telkom, AirBnB, Uber, AT&T, Western Union, atau Kitabisa.com. Perlu penggalian lebih lanjut agar semakin kaya dengan contoh kasus yang beragam. Menurut saya buku ini mengandung terlalu banyak porsi optimisme. Penulis rasa-rasanya menggambarkan disruption itu selalu hadir dan tak terelakkan dalam peradaban manusia. Disruption harus diterima sebagai kenyataan yang suka tidak suka harus dihadapi. Seperti visi utopianisme para tech gods di Silicon Valley: disruption make our world more better. Pertanyaan yang patut direfleksikan lebih lanjut dari buku ini adalah: jika kompetisi selalu membuahkan winner and loser, lalu mau dikemanakan para loser ini? Karena ketika ketika meagung-agungkan kesuksesan para winner yang telah mengambil keuntungan dari disruption era ini dan secara bersamaan menafikan para loser, maka kita telah mengundang terjadinya kegaduhan, kerisauan, huru-hara. Alih-alih mendamaikan, disruption justru malah melahirkan malapetaka!
Buku ini saya temukan di Gramedia Matraman ketika sedang mencari buku motivasi. Sebagai seorang yang masih terbilang fresh graduate dengan pengalaman bekerja kurang dari dua tahun, saya merasa perlu menemukan first step yang tepat buat saya untuk merintis karir. Ketika melihat cover-nya, saya tertarik dengan visual abstrak yang diberikan, seolah menggambarkan disrupsi itu sendiri, sebagai suatu ketidakpastian dan kekacauan.
Dimana ada perubahan, pastilah disana akan timbul gejolak pro dan kontra. Begitu pun dengan perubahan era yang sedang kita alami saat ini. Di dalam buku ini dibahas secara tuntas apa itu disrupsi, sejarah perubahan (revolusi) di berbagai penjuru dunia, contoh kasus beberapa perusahaan dalam beradaptasi, hingga strategi yang diperlukan untuk menghadapi era baru ini.
Kita sering mendengar istilah revolusi industri 4.0, yang kita sedang berada di era ini. Tapi tahukah Anda apa sesungguhnya revolusi indusri 4.0 itu? Revolusi industri pertama yang sering disebut 1.0 dimulai dengan adanya penemuan mesin uap oleh James Watt. Kemudian muncul penemuan-penemuan lainnya seperti listrik pada revolusi 2.0 dan selanjutnya mesin pada revolusi 3.0. Setiap revolusi melahirkan pemain-pemain baru (entrant) dengan semangat baru, yang perlahan mengikis pemain lama (incumbent), sebesar apa pun kejayaannya dulu. Kehadiran entrant selalu membawa solusi bagi permasalahan yang dihadapi masyarakat pada zamannya. Begitu pun pada era sekarang ini. Pasti ada battle yang akhirnya melahirkan sang pemenang yang telah teruji mentalnya.
Dalam buku ini, Prof. Rhenald menyajikan teori dan juga data terkait perubahan yang telah terjadi dalam hidup yang kita jalani masa ini. Teori yang menjadi dasarnya adalah dari seorang profesor di bidang administrasi bisnis, Clayton Christensen, yang menyebut disrupsi sebagai suatu keniscayaan. Bahwa akan selalu ada inovasi baru dalam pasar, yang mampu mengubah habit konsumen, sehingga terbentuk pasar yang benar-benar baru. Proses seperti ini sudah terjadi sejak dahulu, dan dipercepat dengan dukungan teknologi yang terus berkembang secara masif.
Contoh-contoh kasus yang dibahas dalam buku ini begitu real dan dekat dengan kehidupan kita, khususnya para millennials yang berusia 20-27 tahun. Saya pun menyaksikan betapa jayanya sebuah brand beberapa 5 tahun lalu, namun kini hilang secara tiba-tiba, tergantikan. Dan uniknya pergantian itu terjadi makin cepat, mengutip istilah Prof. Rhenald, bukan lagi dalam kecepatan linier, melainkan eksponensial. Dan kita sebagai generasi muda diharapkan mampu merespons segala perubahan yang terkesan mendadak dan tidak terduga.
Banyak kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari, mulai sepinya pasar tradisional, retail, bahkan pusat perbelanjaan. Beberapa outlet terpaksa gulung tikar karena besar pasak daripada tiang. Kemana perginya para konsumen? Apakah benar isu bahwa daya beli masyarakat menurun? Atau hanya pasarnya saja yang berpindah ke suatu tempat yang kasat mata? Buktinya penjualan di berbagai online marketplace mengalami peningkatan yang signifikan. Artinya konsumen tidak berkurang jumlahnya, hanya berubah habit-nya.
Lalu apa yang harus kita lakukan untuk menghadapi era yang penuh kejutan ini? Pada bagian akhir buku ini dibahas tips dalam beradaptasi dengan perkembangan yang serba cepat sekarang ini. Intinya mindset perlu diubah, bukan lagi fixed mindset, melainkan growth mindset. Keinginan untuk terus belajar, berani mengambil risiko, fleksibilitas, dan agility menjadi modal utama.
Terima kasih untuk karya yang membuka mata saya tentang apa yang sedang dihadapi saat ini dan ke depannya. Saya sangat merekomendasikan buku ini khususnya kepada teman-teman millennials. Salam!
Buku ini penuh dengan informasi yang menarik, menjelaskan fenomena sosial yang terdampak oleh "disruption". Disruption adalah sebuah inovasi yang akan menggantikan cara-cara lama dengan cara-cara baru. bahkan mungkin kita bagian dari orang-orang yang terdisruption, karena itu sebaiknya kita membaca buku ini, untuk bisa berbenah, karena semua berubah begitu cepat, inovasi terjadi setiap hari, kita harus mampu membaca keadaan dan berani memiliki distruptive mindset untuk berubah lebih baik
Perubahan ini tak perlu ditangkal dengan "menyangkal" lebih baik kita berdamai dengan cara-cara baru yang lebih inovatif dan membuang cara-cara lama yang tak lagi relevan
"kalau perekonomian masih tumbuh sementara usaha anda mengalami kemunduran itu pertanda ada lawan-lawan baru yang tak terlihat. Temukanlah. gunakanlah ilmunya untuk menciptakan sesuatu yang baru" (steve jobs)
Buku "Disruption: Tak Ada yang Tak Bisa Diubah Sebelum Dihadapi Motivasi Saja Tidak Cukup" oleh Rhenald Kasali adalah buku yang membahas tentang perubahan besar yang terjadi di dunia saat ini, yang disebut sebagai "disruption".
Buku ini mengungkap bahwa perubahan ini tidak hanya terjadi di bidang teknologi, tetapi juga di berbagai aspek kehidupan, seperti sosial, ekonomi, dan politik. Rhenald Kasali menjelaskan bahwa disruption terjadi karena adanya kekuatan-kekuatan tak terlihat yang mendorong perubahan, seperti: •Teknologi, •Globalisasi, •demografi, •perubahan iklim.
Rhenald Kasali menekankan bahwa menghadapi disruption tidak hanya membutuhkan motivasi, tetapi juga strategi dan tindakan nyata. Buku ini mengajak pembaca untuk berpikir kritis, kreatif, dan adaptif dalam menghadapi tantangan dan memanfaatkannya sebagai peluang untuk maju.
Sebagai pembaca yang sangat awam dengan bisnis dan ekonomi, buku ini membuat aku memiliki pengalaman membaca yang unik terutama dari cara Prof. Rhenald Khasali menyajikan pandangannya mengenai perubahan-perubahan serta pergembangan bisnis dan ekonomi. Beliau mengulik dengan dalam dan menyajikan contoh - contoh kondisi - kondisi bisnis yang terdistrupsi dan bisnis yang masih bertahan hingga saat ini. Contoh - contoh yang disajikanpun lekat dengan keseharian kita. Tidak hanya itu, beliau juga membagikan beberapa story menteenya yang sukses dalam bidang sosiopreneur. Buku ini mengajak kita untuk mengenal mindset kewirausahaan dan disruptive mindset yang sejatinya tidak hanya perlu dimiliki oleh para pebisnis, tetapi untuk semua orang agar kita tidak terdisrupsi.
Dalam buku ini Si prof Rhenald Kasali dengan keren menjabarkan fenomena Distruption pada berbagai bidang yang sudah, sedang dan agaknya akan berlanjut terjadi hingga beberapa tahun ini. Distruption bukanlah hal baru. Proses ini selalu muncul pada akhir dan permulaan suatu peradaban. Dari jaman revolusi industri dan sekarang jaman informasi, proses Distruption selalu hadir dan memenangkan pendatang baru dengan inovasi yang merusak tatanan lama dari sebuah incumbent..
Masalahnya kita pingin jadi yang mana? Hanya ada dua pilihan Pihak yang mendestrupsi atau malah jadi pihak yang terdestrupsi..
Buku ini menarik untuk sebagian orang yang mencoba mencari jawaban atas kejadian yang tengah berlangsung saat ini: transportasi online, penurunan daya beli masyarakat, rendahnya penjualan di mall, tumbuhnya start-up yang digerakkan oleh anak-anak muda, dan mulai hilangnya ritel konvensional. Buku ini menyampaikan dengan bahasa yang mudah mengenai fenomena ekonomi yang digerakkan oleh teknologi informasi dan ekonomi berbagi "sharing economy", yang tidak kita sadari telah alami bersama. Tidak hanya deskriptif, buku ini memberikan juga preskripsi yang di-highlight dengan "motivasi saja (cat: untuk berusaha/berbisnis) tidak cukup".
Barangkali ini pendapat saya saja, buku ini cenderung selektif dalam menganalisis data. Fokus yang condong pada internet of things (IoT) dan munculnya generasi millenials sebagai key driving factors perubahan di atas mungkin cenderung dilihat berlebihan. Dengan kondisi saat ini, dengan jumlah pengguna internet yang besar di Indonesia, siapa yang dapat membantah fakta pengaruh internet terhadap bisnis, selain kehidupan sosial.
Selain itu, argumentasi atas peran generasi millenials yang mendominasi barangkali perlu penelitian serius. Mereka ini adalah golongan yang menikmati kenyamanan yang dihasilkan oleh satu sampai dua generasi-generasi di atas mereka, yang telah berjuang keras bagi perbaikan kualitas hidup yang ada sekarang. Generasi-generasi ini punya sisi baik dalam kreativitas, yang berulang kali dituliskan dalam penyampaian Profesor Kasali, namun seberapa jauh kualitas peran tersebut mungkin perlu bukti lebih lanjut.
Buku yang bagus, membuka mata tentang kondisi ekonomi yang tanpa kita sadari sedang bergejolak di sekitar kita, membuat kita berpikir selangkah lebih maju dan "out of the box". Diulas dengan bahasa yang mudah dimengerti, perumpamaan dan contoh-contoh kejadian seperti ambruknya perusahaan nokia, kodak, munculnya startup online, gojek, dll adalah bagian yang menarik untuk dibaca. Ada banyak pengulangan kalimat di setiap babnya, tetapi malah bikin kita tambah nyerap ilmunya sih. Good job Pak Rhenald Khasali.
studi kasus yang diangkat didalam buku membantu sekali dalam menggambarkan dan memetakannya pada pekerjaan yang saya jalani. Hanya saja masih banyak penulisan yang salah dalam penyetakannya, tetapi maksud dari penyampaiannya masih dapat di tangkap. buku ini memberi saya arahan pentingnya untuk berubah apa lagi saya bekerja di perusahaan rintisan yang menuntut untuk bekerja secara kreatif, jam kerja tak lagi di patok dari jam 8 - jam 5 sore, jobdesk dan atau timeline tidak lagi di gerakan dari SOP melainkan inisiatif dan eksplorasi, dan lain sebagainya.
Buku ini mengajak pembacanya untuk melihat perubahan dari sudut pandang yang lebih positif dan agar kita semua bersiap menghadapinya, membaca tanda-tandanya dan menyusun strategi agar menjadikan perubahan sebagai batu lompatan. Bukan hanya untuk anak ekonomi tapi buat siapaun yang mau jadi pemimpin masa depan, banyak memberikan gambara konkrit yanh terjadi di masyarakat. Bahasa mudah dipahami, banyak motivasi terutama untuk kaum muda di dalamnya
Hanya ada dua pilihan 'disrupting' atau 'disrupted'
Menarik melihat bahasan tentang bagaimana banyak pemain lama (incumbent) dalam berbagai bidang dibuat kocar-kacir oleh pemain-pemain baru (entrant) dengan gerak yang nyaris tidak trerlihat.
Untuk bertahan pun kita harus berubah, butuh mental pembelajar yang tangguh, adaptif dan inovatif! Selamat datang di zaman baru!
Buku yang sangat direkomendasikan untuk melihat dan membaca perubahan yang tidak disadari telah berlangsung secara eksponensial dan tak terprediksi. Bacsan wajib bagi regulator, pengusaha, mahasiswa —FEB khususnya—, stakeholder, akademisi untuk menciptakan cara pandang baru di tengah perubahan tidak hanya pada sektor ekonomi, tapi berbagai lini kehidupan.
Saya tidak menyangka orang yang membuat buku sebagus ini ternyata adalah orang indonesia yaitu prof rhenald kasali. Dari buku ini saya menjadi sangat mengagumi beliau atas dampak positif apa yang telah di berikan di lingkungan sekitar. Prof Rhenald Kasali sangat menginspirasi untuk menjadi orang yang sangat bermanfaat seperti beliau sendiri.
Buku ini cukup membuka pandangan, jika dunia ini terus berubah dan berbenah. Perubahan ini menawarkan dua sisi, ketermudahan dan ketersingkiran. Ketermudahan bagi mereka yang mampu beradaptasi; ketersingkiran bagi mereka yang berada di sisi seberang.
Salah satu buku yang bisa memberi saya gambaran tentang keadaan tren ekonomi (pwning economy/sharing economy) yang perubahannya bergerak sangat cepat beberapa tahun belakangan ini. Sekaligus buku yang cukup provokatif untuk mengajak pembacanya merubah mindset lama ke mindset yang lebih baru.
Sebuah karya yang menjelaskan keadaan di saat ini. Sudah agak terlambat membaca ini di 2019 karena dunia bisnis new model mulai bergerak di 2016. Tapi ini betul-betul memberikan pandangan terhadap cara kerja bisnis saat ini
Sebuah sentilan bagi keadaan bangsa Indonesia ini dengan data - data yang aktual dan relevan. Saya sangat suka dengan bagaimana Pak Rhenald menyajikan berbagai macam perspektif tentang keadaan yang dialami oleh kebanyakan perusahaan, negara, dan pihak - pihak yang dilanda badai distrupsi
Not a economics expert whatsoever but this book certainly change my view about future and things around me. Luckily the book naration is not hard for me to follow. Glad Indonesia have Rhenald Kasali. Such a national treasure 💛
Banyak insight terutama untuk management stategis. Cocok untuk para praktisi, akademik maupun enterpeneur. Buku ini berbicara seputar inovasi dan strategi dalam melihat perubahan sebagai sesuatu yang tidak bisa terelakan. Recomended!
Baca di perpus kantor. Mungkin sy telat baru baca buku ini di tahun 2021. Dr awal sampe akhir isi buku ini mayoritas potret kisah-kisah disrupt lokal maupun dunia, plus quotes inspiratif ttg disruption management.
Buku ini merupakan buku yang bagus untuk di baca, karena buku ini memberikan pemikiran kita, gimana supaya bisa menjadi sosok visioner yang bisa membaca celah pada permasalahan masa saat ini dan memperbaikinya di masa yang akan datang.
Buku yang membahas tentang competitive advantage di zama internet of things. Kembali membuktikan bahwa kapitalisme pasti akan menemukan kehancurannya. Saatnya sharing economics 😄