“ Mengapa akhirnya saya harus membela Kurawa….?” itulah mungkin suara hati yang selalu terngiang di nurani Prabu Salya, terutama ketika menjalani hari demi hari perang dahsyat Baratayudha.
Sebuah perang yang begitu hebat, puluhan ribu orang tewas, ratusan ksatria senapati menemui ajal, karena Baratayudha, perang antar saudara ras bangsa Manusia yang seharusnya tak perlu terjadi.
Tapi bagi Salya, perang itu masih tidak seberapa. Peperangan yang sebenarnya, baginya sudah dimulai jauh sebelum Baratayudha. Bahkan sejak muda ketika dirinya masih dipanggil sebagai Narasoma.
Sebuah hingar bingar pertempuran yang terjadi dalam kurun waktu begitu lama, di kesunyian lubuk hati nurani dirinya. Salya, seorang raja besar Mandraka yang harus selalu mengalami pertentangan batin selama hidupnya.
Membaca, membuatnya tergerak untuk juga menuangkan ide, pikiran dan gagasannya dalam bentuk tulisan. Sejak tahun 1997 dia banyak menulis artikel yang lebih banyak bertema pemberdayaan diri terutama dalam lingkup diri dan keluarga. Sejak tahun 2006, Pitoyo mulai menulis buku yang mengangkat kembali falsafah dan nilai kearifan budaya Jawa yang tersalut dalam kisah-kisah Dunia Wayang.... profil selengkapnya
bercerita tentang kehidupan Narasoma atau Prabu Salya, dari Novel ini banyak yang kita ketahui tentang Prabu Salya, sejak muda sampai ajal menjemputnya...
Romantisme Pitoyo Amrih dalam menuliskan kisah Narasoma sungguh luar biasa menurut saya. Setelah begitu banyak bab menceritakan mulyanya Narasoma sejak muda, akhir kematiannya membuat saya meneteskan air mata. Sungguh begitu apik dan elok seperti halnya cerita novel-novel masa kini. Penggambaran fisik tokoh dan latar belakang yang begitu mendetail membuat novel ini bisa dibaca sendiri, tanpa harus hafal atau membaca kisah Mahabharata atau Bharatayudha.
Kekurangannya adalah karena terlalu mendetail menyebutkan karakter fisik tokoh2nya, saya jadi merasa membaca hal yang terlalu redundan karena diulang berkali2 yang kadangkala ada di bab yang sama. Cerita jadi agak membosankan kalau dibaca sekali jalan karena pengulangan karakter fisik setiap pemainnya yang dideskripsikan terlalu detail dan berulang2.
Secara garis besar saya suka buku ini dan ceritanya yang membuat saya bisa mengerti lebih tentang Narasoma/Prabu Salya versi Jawa ini. Recommended terutama bagi penikmat wayang yang bahasa Jawa halusnya tidak sebagus itu untuk menonton langsung pertunjukan wayang.
Novel ini adalah sebuah gambaran manusia yang penuh dengan kegaluan. Ironi kenyataan yang setiap hari kita jalani. Dimana sulit sekali untuk memilih, pilihan yang seperti memakan buah simalakama. Narasoma harus memilih antara kebaikan/kebenaran Pandawa dan anak-menantunya serta hutang budi pada Hastina. Pilihan yang begitu sulit. Novel yang merefleksikan kehidupan saat ini, dimana pilihan yang kita miliki adalah kebenaran/kebaikan dengan kepentingan yang sifatnya pribadi. patut dibaca sebagai sebuah cermin diri.
Another wayang story by Pitoyo Amrih. Those who used to read RA Kosasih's comic about Mahabharata would definitely fall in love with Pitoyo's art of work. Perbedaan yg jelas antara karya RA Kosasih dgn Pitoyo adalah kesan yang timbul di karya Pitoyo menciptakan bayangan bahwa cerita wayang bukanlah sebuah dongeng dgn kisah yg muluk2 didalamnya. Pitoyo berhasil membuat cerita wayang menjadi lebih "down-to-earth" dgn gaya berceritanya. Termasuk jg dalam karyanya yang satu ini yang bercerita tentang kehidupan Raden Narasoma. Tokoh utama cerita ini adalah Prabu Salya, yang pada masa mudanya lebih dikenal sbg Raden Narasoma. Beliau adalah seorang maharaja yang melalui masa mudanya dengan penuh tantangan hidup. Diusir oleh ayahnya sendiri untuk kemudian mengembara dan akhirnya berguru pada seorang begawan sakti yang adalah keturunan raksasa. Pada akhirnya dia mengawini putri dari begawan tersebut yang cantik rupawan. Bahagia hidupnya namun disatu sisi juga resah karena sadar bahwa tidak mungkin dia kembali ke kerajaannya dgn membuka kenyataan bahwa sang calon permaisuri adalah seorang keturunan raksasa. Itu barulah awal dari sekian banyak kebimbangan hidup yg akan dia jumpai nanti didalam selang perjalanan hidupnya. Dan puncaknya adalah pada saat dimana ia harus memilih dalam perang besar Bharatayudha apakah ia harus berpihak kepada menantunya, Duryodana, pemimpin Kurawa atau kepada keponakan kandungnya, Nakula dan Sadewa, bungsu kembar Pandawa.
Setelah membaca novel ini, Narasoma langsung menjadi tokoh favorit saya dalam pewayangan. Kesaktiannya yang bisa dianggap setara dengan Pandu, takdirnya yang begitu pahit, dan kematiannya yang sangat kesatria meski dipandang banyak orang tidak baik karena dia berada di sisi Kurawa, berhasil membuat saya kagum.
Rasanya banyak keputusan Narasoma (Prabu Salya ) yang tidal masuk akal hanya karena dia tidak berani menjelaskan dan menerima konsekuensi Dari penjelasannya itu.