Midah, pada awalnya berasal dari keluarga terpandang dan beragama. Karena ketidakadilan dalam rumah, ia memilih kabur dan terhempas di tengah jalanan Jakarta tahun 50-an yang ganas. Ia tampil sebagai orang yang tak mudah menyerah dengan nasib hidup, walaupun ia hanya seorang penyanyi dengan panggilan “si manis bergigi emas” dalam kelompok pengamen keliling dari satu resto ke resto, bahkan dari pintu ke pintu rumah warga. Dalam kondisi hamil berat, Midah memang tampak kelelahan. Tapi manusia tidak boleh menyerah pada kelelahan. Hawa kehidupan jalanan yang liar dan ganas harus diarungi. Dan ujung-ujungnya Midah memang kalah (secara moral) dalam pertaruhan hidup itu.
Pramoedya Ananta Toer was an Indonesian author of novels, short stories, essays, polemics, and histories of his homeland and its people. A well-regarded writer in the West, Pramoedya's outspoken and often politically charged writings faced censorship in his native land during the pre-reformation era. For opposing the policies of both founding president Sukarno, as well as those of its successor, the New Order regime of Suharto, he faced extrajudicial punishment. During the many years in which he suffered imprisonment and house arrest, he became a cause célèbre for advocates of freedom of expression and human rights.
Bibliography: * Kranji-Bekasi Jatuh (1947) * Perburuan (The Fugitive) (1950) * Keluarga Gerilya (1950) * Bukan Pasarmalam (1951) * Cerita dari Blora (1952) * Gulat di Jakarta (1953) * Korupsi (Corruption) (1954) * Midah - Si Manis Bergigi Emas (1954) * Cerita Calon Arang (The King, the Witch, and the Priest) (1957) * Hoakiau di Indonesia (1960) * Panggil Aku Kartini Saja I & II (1962) * The Buru Quartet o Bumi Manusia (This Earth of Mankind) (1980) o Anak Semua Bangsa (Child of All Nations) (1980) o Jejak Langkah (Footsteps) (1985) o Rumah Kaca (House of Glass) (1988) * Gadis Pantai (The Girl from the Coast) (1982) * Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (A Mute's Soliloquy) (1995) * Arus Balik (1995) * Arok Dedes (1999) * Mangir (1999) * Larasati (2000)
Lagi.. Pramoedya menjadikan perempuan sebagai tokoh utama..Midah adalah tokoh yang akan kita bicarakan disini, cantik rupawan dan manis wajahnya, ia adalah kesayangan orangtuanya..itu dulu..jauh sebelum adik-adiknya lahir kedunia..dan Midah menjadi satu-satunya anak kesayangan orangtuanya..Ia mencintai musik..ia mencintai Umi Kalsum..seorang penyanyi Arab yang juga disenangi oleh ayahnya Hadji Abdul..
Midah terpikat lagu keroncong..ketika ia bermain dijalanan..dan seketika itu juga, Umi Kalsum dilupakannya..ia langsung jatuh cinta pada keroncong..tapi ayahnya menentangnya..musik haram! Kata ayahnya..tak lama berselang..sang gadis manis dinikahkan pada seorang Hadji..Hadji Terbus, orang paling terkenal di Cibatok, desa tempatnya tinggal..pernikahan itu tidak lama berselang..Midah melarikan diri! Dengan janin yang ada diperutnya ia mengembara pergi ke Jakarta..
Bergabung bersama seniman keroncong jalanan..sampai anak lelakinya lahir didunia..ia namai Rodjali..susah dan tragis hidupnya..ia jalani dijalanan ibukota..sampai ia bertemu dengan lelaki yang ia pikir..mencintainya..Ahmad..tapi yang terjadi lelaki itu malah pergi meninggalkannya..dan Midah lagi..lagi.. aahhh.. Malang benar nasibmu..Midah!
Manusia tidak boleh menyerah pada kelelahan..!!
Midah adalah sosok yang ingin digambarkan Pramoedya sebagai sosok seorang perempuan yang kuat untuk bertahan hidup..seorang perempuan yang tak mudah ditaklukan oleh apapun..
Midah..
Kesusilaan dan ketertiban peradaban antara baik dan buruk yang dibawanya dari rumahnya, kini tidak bangkitkan pikiran lagi padanya..
Sejarah Midah..Simanis Bergigi Emas Mulai dari sini sebagai penyanyi..
Sejarah Midah..Simanis Bergigi Emas Telah lenyap sebagai wanita..
Ini merupakan novel pertama Pram yang saya baca dan saya rasa tidak kecewa membacanya. Pram menonjolkan seorang wanita bernama Midah yang cuba keluar daripada kerangka kesenangan dirinya dan ingin berjuang secara bersendirian dan bebas. Namun, kebebasan yang dicarinya sedikit tragis kerana dia juga seolah-olah cuba keluar daripada kemuliaan Islam dengan mendekati sesuatu yang halal tetapi dibuat secara haram. Pram mengajak saya berfikir secara terbuka tetapi mengajak juga berfikir di luar kotak sehingga ada ketika saya tidak bersetuju dengan Midah yang menjadi watak utama cerita ini.
- Mempunyai pendirian sendiri adalah berhadapan dengan pendapat umum. Bertambah kuat pendirian seseorang, bertambah banyak ia memanggil penentang. -
Entah kenapa saya terpaku dengan cerita ini dan membacanya hanya dalam beberapa jam saja. Apakah karena pesona Pram, atau ceritanya yang membuat penasaran? Sungguh, saya tidak penasaran, karena alurnya mudah ditebak.
Midah manis, membayangkannya seorang perempuan cantik yang hamil, dan harus berjalan ke sana ke mari untuk menghidupi dirinya sendiri. Keputusan sepihak yang diambilnya untuk hidupnya.
Sungguh saya tidak habis pikir, kenapa ia memilih jalan untuk lari, lari dari kemewahan dan kenyamanan yang ia miliki. Tapi saya tidak munafik lah, karena apa yang dia alami nggak sama dengan yang saya pikirkan. Bisa saja tingkat kesabaran dia sudah sampai batas di mana dia sudah tak bisa menanggungnya lagi.
Lari, mungkin itu pemecahan yang terbaik menurutnya. Tidak bergantung pada siapapun, selain dirinya sendiri. Lari, butuh pertimbangan mental yang cukup, karena godaan dan ancaman akan selalu datang. Tapi apakah lebih baik lari daripada menyelesaikan? Entahlah, hidup itu pilihan. Dan tanggung jawablah pada pilihanmu sendiri.
Buku ke sekian karya Pram yang akhirnya kubaca,tepat 2 tahun setelah di beli...hmmm. Menyedihkan.
Buku ini pertama kali diterbitkan tahun 1954 dan bersetting pada tahun 1950-an. Diceritakan dengan sederhana, namun isinya sendiri tidak sederhana. Terbayang, pada masa itu, seorang perempuan muda anak seorang saudagar yang relijius, lari dari suaminya dan mengandung anak yang lahir bukan karena cinta. Midah, perempuan itu, harus berjuang menghidupi dirinya dan calon anaknya dengan modal suara dan lagu-lagu haram yang dilarang diputar di rumahnya.
Midah anak Haji Abdul, pada akhirnya memang kalah (secara moral) dalam pertarungan hidup. Sejarah Midah si manis bergigi emas telah lenyap sebagai wanita.
Cetakan 1, Juli 2003 Cetakan 5, Februari 2010 Jakarta : Lentera Dipantara, 2003 134 hlm. ; 13 X 20 cm
Di rak buku saya ada 2 karya Pram yang belum saya baca yaitu “Panggil Aku Kartini Saja” dan “Midah, Simanis Bergigi Emas”. Awalnya saya ingin menyelesaikan “Panggil Aku Kartini Saja” terlebih dahulu, yang rencananya akan saya selesaikan sebelum Hari Karitni 21 April. Dengan niat saat hari Kartini reviewnya sudah selsai. Namun apa daya, kesibukan saya yang tidak jelas membuat “Panggil Aku Kartini Saja” tertunda. Apalagi buku itu cukup tebal dan “berat". Maka saya memutuskan untuk menylesaikan “Midah Simanis Bergigi Emas” terlebih dahulu. Buku ini cukup tipis dan “ringan”.
Novel ini ditulis Pram pada warsa 50-an dengan seting tempat di Jakarta. Nama tokoh utama dalam novel ini bernama Midah. Hanya Midah. Kulitnya kuning wajahnya agak bulat. Kalau tersenyum, ih manisnya. Cantik parasnya, lentik suaranya dan kuat hatinya.
Midah dilahirkan dari keluarga yang taat beragama. Haji Abdul nama bapaknya. Fanatik terhadap musik yang berbau Arab. Umi Kalsum yang menjadi penyanyi favoritnya. Haji Abdul termasuk orang sukses. Ah, hidup ini alangkah manis kalau cita demi cita terampas di tangan kiri dan kebesaran demi kebesaran dikuasai di tangan kanan.
Hingga Midah berumur Sembilan tahun, keluarga Haji Abdul belum mendapatkan anggota keluarga baru. Mulai saat itu kebimbangan merayap dalam hatinya, bahakan sekali Haji Abdul pernah berkata , “Biarlah semua aku korbankan, asalkan mendapat anak lagi—terutama lelaki.” Dia merasa menyesal telah megatakan itu, dia merasa tidak bersyukur sepenuh hati kepada apa yang telah Tuhan berikan. Beberapa malam dia tidak bisa tidur. Untuk mencegah kemungkinan murka Tuhan, ia terus menerus berzikir.
Pada suatu hari istrinya datang padanya dan berbisik, “Tuhan telah mengabulkan permintaanmu. Aku mengandung. Akhirnya anak kedua lahir dan belum setahun kemudia Haji Abdul mendapat anak kembal laki-laki. Setahun kemudian ia memperoleh anak perempuan. Terus menerus.
Midah merasa sudah mulai tidak dimanjakan. Sudah tak dapat lagi perhatian seperti dulu. Dia mulai mencari indah dan nikmat itu diluar rumah. Hingga akhirya ia jatuh cinta pada musik kroncong. Musik kroncong yang menurut bapaknya adalah suatu yang haram. Karena melihat Midah menyanyi mengiringi lagu kroncong ditamparlah Midah oleh bapaknya. Dihancurkanlah piringan hitam Midah yang berisi lagu kroncong.
Midah dikawinkan oleh seorang yang kaya kenalan bapaknya. Orang tersebut bernama Haji Tarbus dari Cibatok—seorang yang berperawakan gagah, tegap, berkumis lebat, dan bermata tajam. Haji Tarbus bukanlah bujang dan muda. Bininya telah tersebar di seluruh Cibatok. Ini di ketahuinya setelah mengandung tiga bulan.
Midah akhirnya minggat dari rumah suaminya. Tetapi tidak pulang kerumah melaikan kerumah bekas babunya yang bernama Riah.Tak berapa lama Midah tinggal di tempat Riah. Midah kemudian pamit dengan kondosi mengandung. Midah lebih memilih hidup di jalan, dia terkenang dengan rombongan kroncong. Kini tarikan untuk memasuki kehidupan tanpa kesulitan itu makin terasa. Kehidupan yang hanya mengabdi kepada kenikmatan, kegiranganm dan keriahan tingkah keroncong.
Sebagai pengamen kronocong, memang begitu di hinakan. Sedangkan mereka tidaklah mengemis. Mereka membagi keriangan kepada pendengar dan minta perhatian dari pendengar dengan sedikit penghargaan.
Midah kemudian bergabung dengan rombongan kroncong yang di temuinya di wilayah Senen. Ketika rombongan kroncong itu menanyakan nama dari Midah, dia tidak menjawab. Karena wajah Midah yang cantik dan manis. Maka mereka sepakat memanggil Midah dengan sebutan Simanis. Ketika masuk rombongan untuk menyaingi vokalis yang sudah ada yaitu Nini. , Midah mengganti sepasang taringnya dengan emas. Sebelumnya Nini juga bergigi emas.
Dalam rombongan kehamilan Midah semakin membesar, ini membuat Midah tidak mampu mengikuti rombongan. Ini merupakan suatu hamabatan. Apalagi ketika Midah melahirkan, semua tampak tidak sepakat dengan kehadiran bayi tersebut. Ketika malam mereka merasa terganggu. Ketua rombongan juga tidak mampu berbuat banyak, dia memutuskan agar Midah keluar dari rombongan. Sebenarnya itu tidak akan terjadi jika Midah mau menerima lamaran ketua rombongan. Tapi Midah selalu menolak.
Midah melanjutkan hidupnya dengan bernyanyi sendiri di kawasan Jatinegara. Ketika itu dia bertemu dengan polisi lalu lintas bernama Ahmad. Ahmad berjanji akan melatih Midah bernyanyi dan membaca not balok. Karena Ahmad adalah seorang seniman juga.
Kehidupan yang keras dan kejam selama itu ia hadapi dengan keberanian. Kini masanya datang bagi Midah untuk jatuh cinta. Dia tertarik dengan sikap Ahmad yang lurus dan tingkahnya yang bebas. Hampir tiap hari Ahmad mengajarkannya bernyanyi. Cinta yang terpendam dalam dadanya memperlunak kekerasan kehidupanya selama itu. Kehidupan Midah selama di jalanan memang beradab. Midah berujar, “walau aku hidup di jalan, aku bukan orang jalanan..” Namun sikap Ahmad berubah, dia ingin menodai cinta Midah. Dia ingin menikmati tubuh Midah, akhirnya mereka larut dan “tenggelam” dalam cinta. Beberapa jam kemudian anak Midah (Rodjali) yang masih bayi menangis. Ketiga-tiganyapun terbangun. Mulai pula berangan nafsu Ahmad mengamuk di dalam dada. Dan mulai lagi kedua orang itu jatuh tenggelam. Tangisan Rodjali diartikan oleh Midah yaitu menyaksikan bagaimana untuk pertama kali kerena cinta ibunya dinodai. Dan yang menodainya adalah engkau (Ahmad). Sejak saat itu Ahmad bukan hanya melatihnya bernyanyi, tetapi juga bertindak sebagi tamu yang terus-terusan menagih.
Haji Abdul dan istrinya merasa menyesal telah menelatarkan anaknya. Apalagi ketika mendengar Midah sebagi penyanyi kroncong di jalanan dan sekarang di radio. Mereka ingin bertemu dengan Midah dan cucunya—Rodjali. Akhirnya ibu Midah berhasil medapatkan rumah tempat dimana Midah tinggal. Namun yang hanya bisa ditemui hanya Rodjali. Sedangkan Midah masih bernyanyi di tempat pernikahan. Ibu Midah pun membawa cucunya pulang kerumah.
Suatu ketika Midah mengandung. Buah cinta terlarang antara dia dengan Ahmad. Namun Ahmad tidak mau bertanggung jawab. Akhirnya Midah diusir dari tempat kediaman Ahmad oleh orang tua Ahmad. Midah semikin kalut, dia memutuskan untuk kembali kerumah orangtunya. Pikirannya timbul tenggelam dalam bayang-bayang Djali, Haji Tarbus, Ahmad dan dirinya sendiri. Dan seketika tergantikan oleh pengetian yang disukainya dan dibencinya yaitu : cinta, dendam, ketakutan, kekhawatiran.
Kadungan dari hasil buah cinta Ahmad semakin membesar, dan Midah merasa bahwa tidak sepatutnya dia merusak nama baik orangtuanya sendiri. Akhirnya Midah minggat untuk kedua kalinya. Ketika Haji Abdul tidak dirumah yang ada hanya ibunya. Midah pergi dalam keadaan mengandung dan membawa Rodjali anaknya. Sekuat tenaga ibunya mencegah, namun Midah tetap bertahan pada pendirianya untuk meninggalkan keluarganya. Akhirnya ibunya mengizinkan dengan catatan bahwa Rodjali tetap tinggal. Midahpun sepakat, ”hanya doa ibu aku harapkan. Hanya restu bapak aku inginkan.” Setelah beberapa bulan Midah—Simanis Bergigi Emas—tak pernah terdengar diradio. Kini nama Midah mulai bergelombang dari penjuru ke penjuru. Midah dalam sepotong hidupnya telah bertemu banyak lelaki. Kesusilaan dan ketertiban peradaban antara baik dan buruk yang di bawa dari rumahnya, kini tidak membangkitkan pikiran lagi padanya. Kepopuleran namanya berkuda dengan kepopuleran dalam pergaulan dengan lelaki.
Dalam akhir novel Pram menulis, Sejarah Midah—simanis bergigi emas—mulailah dari sini sebagai penyanyi. Sejarah Midah—simanis bergigi emas—telah lenyap, sebagai seorang wanita.
Novel ini cukup ringan namun sarat akan nilai moral dan kemanusiaan. Dimana terdapat juga cerita tentang kebusukan moralis yang miskin dengan sikap humanis. Bacaan yang ringan dengan khas gaya penulisan Pram yang tidak terlepas dari peristiwa sejarah. Hidup memang keras…!!!!
This entire review has been hidden because of spoilers.
Saya membaca buku ini dalam versi Bahasa Indonesia.
Di bab pertama, saya sudah tercabik-cabik sama latar belakang keluarga Midah. Midah lahir di keluarga haji ternama. Pokoknya apapun yang dilakukan di rumah itu, hiburan pun harus yang Arab gitu. Hubungan orang tua dan anak jadi renggang cuma karena masalah MUSIK. It goes down from there. Cuma gara-gara piringan hitam keroncong..
Bapaknya ga peduli, ibunya ga melindungi, dijodohkan sama suami yang poligami. Dari yang awalnya anak orang kaya malah jadi hidup di jalanan.
Jujur nacanya emotional draining banget. Midah hamil terus ikut kelompok pengamen keroncong, setelah melahirkan malah dihina dan ditelantarkan. Kepala rombongannya juga napsu aja pengen minta nikah, ga paham dia trauma sama suami lamanya heuheu.
Banyak poin tentang kehidupan yang dialami cuma sama cewek. Di buku ini, digambarkan bahwa cowok menganggap (1) Cewek itu bukan buat dihormati, cuma buat pemuas nafsu mata maupun yang lain-lain. Kalo gamau kawin ya ngapain "dilindungi". Semua cowok disini ga ada yang baik hhhh (2) Banyak cewek akhirnya beralih "profesi" ya karena masalah ekonomi. Keluarga malu buat nampung, anak harus keluar dari rumah, fast money ya apalagi. Kalo wanita tampil di depan umum, cowok berasumsi bahwa lo bisa diapain aja. (3) Masalah privacy tentang kehidupan pribadi yang diangkat juga masih relevan sampe sekarang!! Ngomongin "kapan punya anak" lah, nanyain "eh kamu ngapain aja", kan itu ranah personal...
Kesimpulan: Buku ini OKE BANGET dibaca kalo lo mau tau sisi lain pikiran Pram. I think I really like him because he was out loud. He was calm but at the same his writing 🔥🔥🔥🧨
Buku pertama yang saya baca di tahun 2020. Hasil tukar poin Telkomsel tahun lalu :D
Seperti biasa, Pram banyak bercerita tentang perempuan, setelah membaca Larasati saya putuskan untuk mengawali tahun dengan membaca novela ini. Midah seorang anak dari keluarga berkecukupan, sebelum dia akhirnya punya adik-adik dan lari dari rumah, lalu dijodohkan dengan laki-laki beristri banyak. Cerita yang biasa memang, sudah banyak mungkin yang pernah baca cerita seperti ini. Cerita perjalanan Midah dan keputusan-keputusannya ini membuat saya sebagai perempuan sedikit geram, kesal tapi ya memang begitu ceritanya, Midah memang naif sekali.
Pram memang peracik cerita hingga menjadi menarik, saya menyelesaikan baca buku ini dalam beberapa jam saja.
Memilih lari dari masalah memang salah satu tabiat manusia dan itu tidak dapat dipungkiri. Penokohan Midah di novel tipis ini memang menggambarkan betapa seseorang memiliki batas kesabaran dan mengikuti kata hati untuk pergi dari rumahnya menuju kehidupan luar yang dia bahkan sendiri belum pernah merasakannya. Namun, dari kehidupan 'jalanan' yang telah ia lalui, Midah menemukan bahwa tidak melulu kehidupan itu sesuai dengan impian dan kenyataan pahit harus diterima bagaimana pun juga.
Midah seorang gadis yang dilahirkan dan dibesarkan oleh keluarga yg kuat agamanya. pada awalnya midah hanya anak semata wayang di keluarganya dan ayah ibunya sangat memanjakannya.. namun semua itu berubah ketika ibunya melahirkan adik seterusnya.. perhatian orang tuanya terbagi..ia merasa mereka tidak menyayanginya lagi..
Beranjak remaja, Midah memiliki kegemaran menikmati musik keroncong berbeda dengan orangtuanya yg menyukai musik ummu kalsum.. keroncong adalah hal yg membuatnya hidup namun hatinya harus teriris2 perih setelah ayahnya merusak piringan hitam koleksinya menjadi berkeping-keping.. selain itu, ia dipaksa untuk menikah dengan pria pilihan ortunya yg pada akhirnya midah meninggalkan suaminya dikala hamil muda.. mencoba mengadu nasib dijalanan menjadi penyanyi keroncong yg dikenal sebagai "Si manis bergigi emas"
novel ini mengangkat tema kegigihan dan keteguhan hati seorang wanita dalam mempertahankan passionnya di dalam bermusik.. meski ya begitu jadi seniman yg hidup dengan pergaulan bebas (ada disini yg dia menginap sekamar/serumah dengan laki2) dibayar dengan kehamilan tak terduga dan midah memutuskan jd single parent.. novel ini saya berikan 3 dari 5 bintang oke deh :*
Midah, simanis yang pintar nyanyi, melarikan diri dari suaminya ketika tau dirinya dimadu.
Hidup memang berat, walaupun pada akhirnya Midah sampai berpisah dengan anaknya dan pergi mengelana bersama kandungan anak kedua yang tidak diakui oleh kekasihnya, ia tetap tegar.
Hidup memang berat, jadi hadapailah dengan senyuman. Pantang menyerah, jangan mengeluh, sama seperti Midah yang kuat demi hidup layak dan kebebasan untuk anak yang dikandungnya.
Lari, jika kau ingin lari. Berhentilah, jika engkau lelah. Namun jangan menyerah dan janganlah berputus asa. Midah saja bisa, kenapa kita tidak bisa?
Tanpa sadar menghela napas panjang begitu sampai di titik terakhir. Pram dengan gamblang mengajarkan bahwa perempuan harus punya pendirian, berani ambil sikap dan bertanggung jawab atas hidupnya sendiri.
Di sisi lain, digambarkan juga betapa kasih orang tua amat sangat sepanjang masa. Terlepas dari yang sudah dilakukan Midah, Haji Abdul dan istrinya tetap menerima anaknya pulang, walaupun harus melewati pergolakan batin yang mereka ciptakan sendiri. Pun menekan ego sedemikian rupa, hanya demi anaknya pulang.
Buku ini terlalu tipis untuk ketegaran Midah, juga segala lika-liku cerita hidupnya. Amat sangat puas! <3
Novel Pram saya yg pertama, dan menyuguhkan sebuah kepahitan hidup di balik kerangka muda bernama Midah. Penggambaran kekejaman hidup yang ditulis secara blak-blakkan mampu mengiris hati pembaca yang hanya bisa mengikuti kisah dari satu halaman ke halaman yang lain. Akhiran yang muncul rupanya tidak seperti yang diimpikan para pembela humanis, namun semakin membentuk rasa cerita yang pahit namun gurih mengenai pilihan hidup seorang wanita yang mampu bersalaman dengan kelamnya dunia.
Keluarga, dalam lingkup sempit; orang tua, memegang peranan yang sangat penting bagi masa depan anaknya. Terutama cara mengajari anak waktu masih kecil, itu yang akan menancap terus di kepala anak.
Midah, anak dari seorang yang alim, Haji Abdul. Dididik dengan teramat keras dan taat beragama. Membuat Midah takut orang tua sedari kecil. Takut bukan dalam artian hormat, namun takut secara harfiah. Takut beneran. Semakin anak takut, semakin pula ia akan tumbuh bertolak belakang dengan apa yang diharapkan orang tuanya, sebagai tindak perlawanan selaku individu yang harusnya merdeka bahkan sejak menghirup nafas pertama di dunia.
Saya punya pesen aja sih untuk kaum moralis yang taat beragama, habis membaca buku ini; 1. Anak cuma titipan kan menurut agama? Jangan terlalu dikekang dan digiring sedemikian rupa lah. Kan dia juga berhak mengambil keputusan sendiri di hidupnya. Orang tua sifatnya hanya menyarankan saja. 2. Istri boleh patuh suami tapi TETAP TIDAK BOLEH ABSTAIN dalam pengambilan keputusan keluarga. Situ ayam apa istri? Kalau disuruh manggut-manggut doang? 3. Anak paling penurut dan baik sekalipun bisa menjadi bejat total apabila tidak mendapatkan rasa "aman" dan "penerimaan" dari keluarga serta orang terdekat. 4. Bedakan lelaki yang PDKT karena cinta atau karena hanya ingin memenuhi kebutuhan burungnya. 5. Hadeh banget kalau ada orang taat beragama tapi miskin rasa kemanusiaan, akalnya sudah tumpul.
Cara menulis dialog di buku ini tanpa tanda kutip (") lucu, mirip buku No Country For Old Men. Dulu saya pikir penerjemahnya rada bego karena bikin bingung mana dialog mana isi hati, ternyata gaya menulisnya memang seperti itu.
Secara keseluruhan buku ini bagus tapi biasa aja tidak berkesan.
Menceritakan tentang Midah, seorang gadis kecil yang selama 9 tahun hidupnya selalu dimanja dan disayang oleh kedua orangtuanya, terlebih sang Ayah. Tidak beberapa lama, lahirlah sang adik yang dianggap Midah mencuri seluruh perhatian Ayahnya hingga tak bersisa. Ditinggalkan oleh perhatian semua orang, Midah kemudian berteman musik keroncong hingga mengkoleksi piringan-piringan hitam yang membuatnya lupa akan rasa sedih terhadap keluarganya. Sayangnya, Ayah Midah menganggap musik keroncong itu musik yang musyrik dan tidak seharusnya didengarkan. Kesedihan nampaknya enggan meninggalkan Midah sendiri. Beranjak dewasa, Midah dijodohkan dengan teman sebaya Ayahnya. Tidak mendapatkan kebahagiaan yang seharusnya, Midah akhirnya kabur dari rumah suaminya dengan perut yang membuncit berisi buah hatinya menyambangi rumah bekas pembantunya. Tujuan utama Midah adalah mencari kebahagiaan dari teman lamanya, musik keroncong. Berkeliling dari pasar ke pasar, restoran ke restoran, akhirnya Midah bertemu dengan segerombolan musisi keroncong dan menyanyi bersama. Dengan julukan baru, Simanis, suara merdu Midah membuat seorang polisi pun jatuhhati dan menjanjikannya ketenaran.
Namun seperti layaknya di cerita-cerita fiksi lainnya, janji hanyalah janji yg pada akhirnya berujung kesedihan pada sang tokoh utama, Midah. Sekian bulan Midah habiskan bersama gendongan berisi bayi laki-laki yg hingga beberapa bulan tak bernama. Sekian bulan Midah habiskan dengan lelaki yang hanya menginginkan tubuhnya. Sekian bulan pula Midah habiskan hanya berteman musik keroncong yang ia cintai sejak kecil.
Novel ini menjelaskan bagaimana kuatnya Midah sebagai seorang wanita ditengah kerasnya Jakarta dan kerasnya prinsip serta idealisme di sekitarnya. Membaca novel Pram selalu merangsang imajinasi dan menggugah keingintahuan tentang masa lalu yang memberi aneka rasa hingga masa sekarang. Namun, sebagai pembaca, saya kurang puas dengan akhir dari novel Pram yang satu ini. Kisah Midah begitu menarik untuk hanya berakhir dengan ketenaran Midah. Seperti layaknya pembaca lainnya, yang mau lagi dan lagi, tambah dan tambah
an easy read for a classic, unexpectedly, not much of complicated words involved. The first half book was basically over explaining the synopsis of the book but I was still really invested with the story considering her (Midah's) tragic background although the ending was unexpected and kinda dissapointing.
Midah - Simanis Bergigi Emas Pramoedya Ananta Toer 132 hlm Lentera Dipantara - Cetakan ke 4
Menyempatkan waktu tiga jam disela pagiku untuk merampungkan 132 halaman. Bercerita tentang kisah seorang remaja manis bersuara merdu yang tersesat kehilangan arah sebab ketimpangan kasih sayang orangtua yang tiba-tiba terenggut darinya. Lahir dari keluarga religius menjadi sebuah cibiran ketika Midah memutuskan menekuni kesenangannya bernyanyi keroncong dari satu tempat terusir ke tempat lain.
Sebagai buku PAT pertama yang aku baca, aku (lekas sok tau) merasa sudah mengenali gaya tulisan beliau, diksinya, caranya menjelaskan latar yang lugas dan tak berbelit-belit, konflik yang mengguncang namun terurai dalam kalimat yang sederhana, meski sederhana tetap saja mengguncang pembacanya.
Ada banyak luka yang ingin disampaikan disini, namun lebih banyak kasih sayang yang sering diabaikan, yang mencoba dijelaskan disini.
"Ah sudara, manusia ini kenal satu sama lain, tapi tidak dengan dirinya sendiri. Memang tidak ada hasilnya untuk kemakmuran kita hendak mengenal diri, karena dia takkan menghasilkan kekayaan.”
Bukunya lumayan tipis sekitar 150an hlmn bisa dibaca sekitar 1 jam atau 2 jam-an atau bahkan kurang dari itu, tetapi isinya lumayan memberikan kesan yang sangat mendalam. Menceritakan seorang perempuan bernama Midah dari keluarga yang taat beragama yang awal nya mendapatkan kehidupan yang berkecukupan baik dari materi ataupun kasih sayang dari kedua orangtua nya, bahkan lebih. Hingga akhirnya semua berubah setelah Midah memiliki adik, sejak itu, ia merasa tidak dipedulikan lagi oleh orang tua nya dan mulai mencari kesenangan dan kebebasan diluar sana. Hingga ketika diwaktu orang tua nya memutuskan menikahkan Midah dengan orang yang tidak dicintainya hingga akhirnya ia benar² memutuskan hidup dijalanan dengan melanjutkan hidupnya menjadi penyanyi keroncong rombongan. Akan tetapi ternyata hidup dijalankan tidak semenyenangkan yang Midah pikirkan apalagi dengan keadaannya yang sedang berbadan dua, hingga ia dipertemukan dengan beberapa lelaki yang membuat Midah merasa ia hanya dijadikan pemuas nafsu saja. Tapi dengan keteguhan hatinya ia tetap menjalani prinsip hidupnya dengan penuh kerja keras walaupun pada akhirnya ia memiliki keputusan sendiri atas kelanjutan hidupnya.
Dari buku ini bisa kita dapatkan nilai hidup, seperti, masih menjadi hal biasa jika seorang perempuan dijadikan sebagai orang "kedua" dimana kebebasan nya direnggut oleh sistem sosial dan juga agama. Dirasa perempuan diciptakan hanya dijadikan sebagai objek pemuas nafsu oleh beberapa pihak. Serta pentingnya perlakuan orang tua yang ternyata dapat menetukan kearah mana anak akan tumbuh, berikanlah kebebasan memilih kepada anak selama orang tua masih bisa mengontrol dan selama anak masih bisa menjunjung norma agama dan sosial. Dan terakhir, bagaimana pun orang tua tetap lah orang tua, ia akan menyayangi anak nya dan memiliki hati yang lapang untuk memaafkan.
Buku Alm. Eyang Pram masih menjadi buku favorit saya begitupun dari beberapa buku beliau yang sudah saya baca. Akan tetapi dibuku ini saya menemukan banyak diksi yang saya kurang paham walaupun masih bisa saya cerna.
Midah, Simanis Bergigi Emas karya penulis lagenda Indonesia, Pramoedya Ananta Toer ini pertama kali diterbitkan pada 1954 di Indonesia. Ceritanya berputar disekitar Djakarta pada tanggal 50an mengisahkan perihal hidup seorang gadis manis yang bernama Midah. Midah datang dari sebuah keluarga yang berada dan kuat pegangan agamanya. Sedari kecil dia ditatang bagai minyak yang penuh oleh kedua orang tuanya, namun semua perhatian itu mulai pudar setelah kelahiran adik-adiknya. Dipendekkan cerita dia akhirnya dikahwinkan dengan sorang lelaki yang ternyata cuma menjadikannya sebagai seorang isteri yang entah keberapa. Kerana ketidakadilan rumah tangga, dia memilih jalan untuk lari dan membawa jasad yang mula terbentuk di bawah jantungnya di jalanan Jakarta. Lari dari suami, dari keluarga dan dari kemewahan. Demi minatnya terhadap nyanyian, dia mengikuti kumpulan nyanyian mengembara dari bandar ke bandar untuk mempersembahkan kelunakan suaranya. Dia dikenali dengan panggilan Simanis kerana senyumannya yang memikat sesiapa sahaja selain suaranya yang dianggap anugerah. Dari kemewahan ke jalanan pasti memberi seribu kepayahan kepada Midah, ditambah dengan kelahiran Djali, satu-satu anak kesayangannya. Namun Midah bukan gadis yang mudah menyerah dan mudah lelah. Baginya kehidupan jalanan yang liar dan ganas harus ditempuhi.
"manusia ini kenal satu sama lain, tapi tidak dengan dirinya sendiri" - Pramoedya Ananta Toer
Novel tentang sosial ini sangat dekat dengan kehidupan nyata kita. Bagaimana seorang yang alim namun ternyata kealimannya diliputi oleh kesombongan dan keserakahan mengakibatkan anaknya yang cantik dan manis memberontak pada kehidupan keluarganya.
Tidak tanggung-tanggung Midah langsung terjun di dunia jalanan, menjajakan suara emasnya demi rupiah tak seberapa. Namun dijalanan Midah belajar banyak. Belajar tentang kekuatan, tentang keadilan, tentang kebohongan, tentang cinta dan tentang tanggung jawab.
Kehidupan yang pilu yang dihadapi Midah membuatku tak pelak merasa tergores pula. Bagaimana tidak, saat naluri kepedulian kita tersentil saat itulah kita menyadari bahwa kaki kita telah menapaki kesombongan tiada surut. Menapaki keangkuhan dunia yang semrawut.
Mau sampai kapan?
Dan sebagai orang tua kita pasti tersindir bahwa perhatian yang berlebihan, kesenjangan cinta dan kasih sayang, menimbulkan banyak dampak pada buah hati kita tercinta.
Jangan sampai terlambat! Baca dan pelajari makna dari buku ini.
Mungkin sebagian orang tak biasa dengan kemasan yang dibawa Pramoedya, namun pelajaran yang dikandungnya bisa diambil oleh siapa saja. ya siapa saja yang berniat berubah ke arah kehidupan yang lebih baik.
Dan kehidupan yang lebih baik bukanlah kehidupan yang penuh gelimang harta dan pujian...tapi kehidupan yang memiliki arti tidak hanya bagi diri sendiri tapi juga bagi keluarga, anak cucu dan lingkungan sekitar.
The book is composed of 90% tragedy. It even reminded me of some Indonesian soap opera that I watched when I was a kid. I'm not sure if it's an Indonesian kind of thing. The book is written in the 50s, maybe things were so awfully hard back then.
The interesting things about this story is the moral picture of Indonesia in the past. Where everything is about ethic, code and honour. I was quite surprised at some scenes, thinking, how ancient these people are... and pretty much that's what I really like about the book. That's what I learned from it. On the other hand, storywise.... I'd just say.... what's the deal with golden teeth?
Now, I've never been a fan of Pram's prose style... even thought I must say it's suitable to modern readers: brisk, short, and sharp (pretty much like Hemingway). But then Pram's too theatrical. It seems that everything loses its sense of reality. To read Pram's work is like watching a live theatrical with artificial background and light.
However, if you're Indonesian, I think you ought to read some of Pram's work (no matter what I'd say, he was constantly nominated for the Nobel Prize in literature). This one is good for starters—light and enjoyable.
ini merupakan buku pertama Pramoedya Ananta Toer yang saya baca. Dan saya pikir,saya tidak kecewa. Novel ini mnenyuguhkan kenyataan dan kepahitan hidup yang harus dihadapi oleh Midah, anak saudagar kaya yang relijius. Karena ketidakadilan yang dirasakannya, ia kabur dari keluarganya dan juga dari suaminya. Ia kabur ke jalanan jakarta ketika tengah mengandung anak dari penikahan paksa kehendak orang tuanya itu. Dari novel ini saya belajar banyak tentang keteguhan hati dari tokoh Midah. bertahan pada prinsip hidup ketika berada di posisinya pasti sangat sulit, apalagi Midah mempunyai alasan yang cukup kuat untuk memberontak dari apapun dalam hidupnya. Novel ini tipis, sekali baca habis, dan dituturkan dalam bahasa yang sederhana. Menurut saya ini keren karena isi ceritanya jauh dari sederhana. Saya sedikit sedih (bukan kecewa) dengan akhir cerita tentang Midah (semua orang yang humanis pasti setuju dengan saya!). Tapi bukankah hidup ini memang demikian? akhiran novel ini justru yang membuat cerita tentang midah menjadi realis. mengingat buku ini ditulis di era 1950an, saya pikir pengarangnya memang benar benar luar biasa. tidak heran buku ini mendapat belasan (atau bahkan lebih ya?) penghargaan di tingkat internasional. awesome!
Midah is the only daughter of a religious family. Haj Abdul is a public figure in the community where they live, and also a success businessman. Money is not a problem. However, He still has time for his family, his daughter especially. He always spend time together with Midah after he went home.
This situation was changed... Haj Abdul wants to have son(s). He prayed diligently, but nothing. He, once said that he will give everything to have son(s). And God gives the temptation. God lets his wife to get pregnant over and over again, though it doesn't mention how many they have.
Like the old times, community considers social and creativity as nothing. Unimportant and useless. That's why Midah was slapped by her father after singing keroncong, though it was also because she sang non-religious song.
It reminds me how to speak up our mind and how big and endless our parents' love. "Normal" parents will do anything they can for their children. They will strive their best, no matter what!!!
Memang sangat berbeda apabila dibandingkan dengan roman2 Pramoedya yang lain, terutama Tetralogi Pulau Buru-nya. Novel ini berkisah nasib perempuan Midah dengan keelokan, tetapi memiliki nasib kurang beruntung. Pertama, dikekang hobinya yaitu menyanyi oleh ayah kandungnya snediri. Kedua, dijodohkan dengan orang yang tidak disukai dan sudah beristri. Lantas lari dan ikut rombongan pengamen keroncong. Nasbnya terlunta-lunta, hingga bertemu dengan Pak Polisi Ahmad yang diam2 mengincar kemolekan tubuh Midah. Ketiga, tentu menemukan kontradiksi ketika ia mencintai Ahmad tetapi Ahmad hanya mengincar nafsu. Dan akhirnya Midah menanggung kebuntuan untuk hamil meski tanpa ada suami.
Di Novel ini aku menangkap kasih sayang orang tua (Ayah Midah dengan Midah, dan antara Midah dan anaknya Djali serta yang masih dikandung). Meski sekali duduk habis ini novel, tetapi tidak mengurangi keindahan dan kecerdasan Pramoedya.
Hal utama yang sangat mencolok adalah Pramoedya tidak membubuhkan apostrof ("..") dalam kalimat langsung berupa percakapan si tokoh. Semua dinarasikan, GREAT!
📖 Judul Buku: ¬¬_*MIDAH, Si Manis Bergigi Emas*_ ✍🏻 Penulis: Pramoedya Ananta Toer (PAT) 📇 Penerbit: Lentera Dipantara 📆 Tahun: 2003 📚 Tebal Buku: 138 halaman 🧕 Reviewer : Fionna Christabella --------------------------- Midah, biduan berwajah manis bulat berkulit kuning dengan senyum yang mampu menawan hati semua lelaki, merupakan nama tokoh utama yang dipilih PAT untuk novelnya. Nama yang singkat dan mudah diucapkan. Novel ini ditulis di pertengahan 50an dengan setting ibu kota Djakarta. Lahir dari keluarga kaya, ayahnya bergelar Hadji bernama Abdul. Hadji Abdul pemilik usaha kulit yang cukup ternama. Ia adalah ayah yang taat beragama demikian juga dengan ibunya. Hadji Abdul penikmat fanatic music – music Arab dan Umi Kulsum adalah penyanyi favoritnya. Hampir setiap sore Hadji Abdul memutar piringan hitam di gramafon miliknya sementara Midah duduk di pangkuannya. Sampai umur 9 tahun Midah adalah anak tunggal keluarga tersebut. Sebagai anak satu satunya saat itu, Midah berlimpah kasih sayang dan perhatian. Akan tetapi, keadaan tersebut tidaklah berlangsung lama, adik – adik Midah lahir saat umurnya menginjak 11 tahun. Setelah itu, hampir setiap tahun ibu Midah melahirkan anak – anaknya, ada yang kembar lelaki sampai rumah Midah menjadi riuh. Adik – adik tersebut kemudian merebut kasih sayang dan perhatian yang pernah didapatnya dengan mudah. Segala upaya Midah untuk menarik perhatian ayah dan ibunya sia – sia. Bahkan ia cenderung diabaikan karena dianggap paling dewasa. Syahdan, Midah mencari perhatian di luar rumah. Ketertarikan ayahnya pada music ternyata menurun pada Midah, tetapi ia tidak hanya sekedar penikmat tetapi juga seniman music alami. Suatu hari ia bosan dengan suara Umi Kalsum, lalu ia tertarik dengan music keroncong karena rombongan pemusik jalanan yang ia lihat dan ikuti sangat menarik hatinya. Kebebasan, keleluasaan, keindahan dunia seakan melekat pada mereka. Oleh karena itu, ia memborong piringan hitam lagu – lagu keroncong dan memutar di rumahnya. Saat ayahnya mengetahui hal tersebut beranglah ayahnya dan memarahi Midah serta menghancurkan dan membuang semua piringan hitam keroncong dengan mengatakan bahwa Keroncong adalah haram. Peristiwa tersebut menggoncangkan hatinya, dan merubah pandangannya pada ayah dan ibunya. Ia menjadi gadis kecil liar. Ia mengurung diri kamarnya. Saat umurnya menginjak 18 tahun ia dinikahkan oleh lelaki pilihan ayahnya, Hadji Terbus dari Cibatok, tempat kelahiran ayah Midah. Lelaki berperawakan gagah, tegap, berkumis lebat tersebut ternyata memiliki bini yang tersebar banyak di seluruh Cibatok. Ini diketahui Midah saat mengandung tiga bulan. Tanpa pikir panjang, ia kabur dari rumah suaminya dan kembali ke Djakarta tetapi tidak berani kembali ke rumah orangtuanya. Selanjutnya cerita berkembang dengan kisah pengembaraan Midah berbadan dua menjadi penyanyi keroncong jalanan dengan panggilan _si manis bergigi emas¬_. Banyak hal ia lalui dengan keteguhan hati bahwa ia hidup utk dirinya dan anak yang dikandungnya. PAT ingin memperlihatkan keteguhan tokoh perempuan lewat tokoh Midah, seorang yang tetap menjadi dirinya utuh meski hidup di jalanan dan tidur sekamar dengan beberapa teman lelakinya satu kelompok keroncong. Dalam pikiran Midah, ia pergi dengan utuh dan kembali kepada orangtuanya dengan keadaan tanpa kekurangan suatu apapun. Apakah Midah sanggup mempertahankan prinsip hidupnya tersebut? Dan apakah Midah akan kembali pada orangtuanya ? Semua akan terjawab di akhir cerita.
"Tiap orangtua akan mengampuni kejahatan anaknya, asal saja dia pandai menyatakan alasan yang sebenarnya. Tiap orangtua akan mencuci anaknya hingga bersih setelah anak itu terjatuh dalam selokan lumpur." (Hal.115) . Midah adalah seorang gadis Jakarta yang berasal dari keluarga terpandang dan religius. Kehidupan masa kecilnya penuh dengan canda tawa dan hal-hal menyenangkan lainnya. Menjadi anak pertama dan lama tidak memiliki adik menjadikan kasih sayang orangtua surplus untuknya. Namun semuanya berubah tatkala adik-adiknya satu persatu lahir. Ia mulai merasa tidak diperhatikan oleh orangtuanya. Belaian kasih orangtuanya kini direnggut oleh adik-adiknya yang lahir bak hujan lebat. . Midah mulai mencari kesenangan di luar. Walau kerapkali pulang larut, orangtuanya tetap tak acuh. Hal itu menyebabkan ia semakin senang berada di luar rumah, hingga akhirnya ia jatuh hati pada musik keroncong yang ia dengar dan saksikan dari pengamen jalanan. . Malapetaka datang saat ia tengah asyik mendengarkan musik keroncong dari gramafon yang ada di rumahnya. Rumah yang selama hidupnya hanya tersentuh oleh dendangan lagu khas timur tengah yang dinyanyikan Umi Kulsum —salah satu biduan Mesir yang terkenal pada masa itu, namun kali ini seluruh penjuru rumah disesakkan oleh alunan musik keroncong, saat itu pula Hadji Abdul sang ayah yang terkenal religius lantas murka sembari berteriak-teriak "Haram! Haram". Didapatinya Midah, si sulung tengah asyik berjoget dan berdendang ria, melayanglah tangan si ayah menampar pipi anak gadisnya. Anak gadis yang selama ini selalu dikasihi, mendadak mendapatkan tamparan yang menembus hingga hatinya. Tak cukup sampai di situ, Midah pun dinikahkan dengan Hadji Terbus, seorang pria yang taat beribadah serta kaya raya. Walau saat kandungan Midah berusia tiga bulan, ia baru tahu bahwa Hadji Terbus memiliki istri di mana-mana. Akhirnya Midah kabur dan kembali ke Jakarta namun tidak ke rumah orangtuanya. Ia memilih menjadi bohemian, dan saat itulah petualangan hidupnya dimulai. . Di antara karya-karya Pram lain yang pernah kunikmati, bisa dikatakan bahwa karya yang satu ini memiliki dosis yang sangat ringan. Meski tentu saja, Pram tetaplah Pram. Ia akan tetap fokus pada pembahasan kehidupan sosial rakyat kecil dan wanita yang terkungkung budaya patriarkal. . Jika ditarik benang merah dari buku ini maka pesannya sederhana saja: pribadi seseorang akan berubah 180 derajat saat masalah yang dahsyat menimpa dirinya. Semula lemah, menjadi tangguh; semula sombong, menjadi tawadhu; semula manja, menjadi mandiri. . Akhir yang getir membuat pembaca buku tipis ini diminta untuk menebalkan sudut pandang dalam menilai seseorang, terutama mereka yang dalam pandangan kesusilaan berada pada posisi yang rendah. . Kelemahan buku ini terletak pada tiadanya tanda kutip pada tiap dialog, sehingga pembaca diminta untuk teliti mana kalimat dialog dan bukan.
Mempunyai pendirian sendiri adalah berhadapan dengan pendapat umum. Bertambah kuat pendirian seseorang, bertambah banyak ia memanggil penentang. ~ Pramoedya Ananta Toer - Simanis Bergigi Emas (halaman 121)
Midah, tokoh utama dalam novel ini, adalah seorang perempuan yang perasa namun sangat teguh dalam menjalani kehidupannya yang keras. Dia mendambakan kebebasan dan tidak menyukai aturan-aturan yang mengikatnya, baik aturan kesusilaan yang berlaku di masyarakat maupun aturan agama. Meskipun, Midah dibesarkan dalam keluarga agamis nan moralis.
Masa kecil Midah membahagiakan. Namun keindahan masa kecil itu berubah semenjak ibunya melahirkan adiknya, dan seterusnya, dan seterusnya. Midah menjadi dihiraukan dan kehilangan kasih sayang kedua orangtuanya. Bahkan, ketika Midah menjadi liar di jalanan, kedua orangtuanya masih tidak begitu mempedulikan kemana Midah selama ini.
Midah menyukai kehidupan jalanan yang bebas dn bahagia. Dia selalu mngikuti dari jauh, gerombolan musik keroncong yang mengelilingi jalanan. Kmudian dia membeli piringan hitam musik keroncong dan memutarnya di rumah. Haji Abdul, bapaknya Midah, menjumpai anaknya memutar musik keroncong. Dia menjadi sangat murka karena musik keroncong yg baginya haram, diputar dlm rumahnya. Ketakutannya terhadap amarah Tuhan menjadikannya kalap. Midah ditampar dn dimarahi tanpa ampun. Midah tdk menyangka, bapaknya bisa menjadi orang yg sangat kejam.
Haji Abdul dan istrinya adalah orang yang moralis. Mereka selalu berzikir, berpuasa, bersedekah, dan melakukan amalan2 agama dengan sangat taat. Namun minim rasa kemanusiaan seperti yang telah mereka lakukan kepada Midah. Berbeda dengan Midah, yang tumbuh menjadi orang yang humanis. Walau secara moral, Midah dinilai menyimpang.
Saya sangat mengagumi tokoh Midah. Dia memang orang yang liar dan tinggal di jalanan. Namun selamanya dia bukanlah perempuan rendahan, jalang, dan tdk bermartabat. Selamanya dia perempuan yg baik, mandiri, tak ingin menyusahkan siapapun. Rasa pedulinya yang tinggi terhadap orang lain, membuat Midah rela mengorbankan kehidupan dan nama baiknya, agar orang-orang yang dicintainya tetap bisa dipandang sebagai orang baik-baik.
Ini menampar saya sebagai pembaca, bagaimana selama ini banyak manusia yang berusaha mempertahankan dan amat menyembah nama baik, kekayaan, dan amalan agama; namun hatinya sesungguhnya kotor dan perbuatannya bisa berlaku amat keji, terlebih jika sampai menghalalkan darah manusia lain. Dalam hal seperti ini, ada kecacatan logika dalam tubuh orang-orang moralis.
Novel ini, favorit saya. Membacanya membuat saya lebih berpikir dan menyadari tentang kehidupan, kebebasan, perempuan, dan manusia.
Pram kembali mengeluarkan novel "perempuan" setelah "Larasati" yang diambil dengan setting 1945. Kali ini Midah Simanis bergigi emas mengambil setting paska revolusi, tahun 1950an. Novelnya sarat akan aneka suku adat budaya.
Midah sendiri lahir dari keluarga tajir, Haji Abdul asli Cibatok. Berparas cantik, Midah dipaksa kawin, dijodohkan dan hamil. Biasa didengarkan musik khasidah Umi Kalsum, kali ini Midah ternyata menyukai musik keroncong. Dia mengikuti instingnya dan kabur dari rumah suaminya. Midah berkelana dari jalanan, bertemu rombongan pengamen keroncong dan menjadi penyanyi dadakannya. Hidup sangat berat kala itu, anaknya lahir, dinamai Rodjali dan dibawa terus dalam gendongannya sembari mengamen. Beruntung, dia bertemu Ahmad, pemusik yang menjanjikannya menyanyi di radio. Namun, sama seperti lelaki yang mendambakan tubuh molek Midah, Ahmad "mencicipi" Midah atas nama cinta. Padahal, Midah benar-benar jatuh cinta padanya dan berharap Ahmad ikut menjaga kehormatan Midah.
Selagi Midah berjuang sendirian, usaha kelontong bapaknya bangkrut, satu persatu karyawan dipecat, sampai akhirnya jatuh sakit malaria. Selentingan kabar Midah menjadi pengamen jalanan pun sampai di telinga orang tuanya. Mereka mencari Midah dan membawa bayi Rodjali pulang. Midah marah, dia mendatangi rumah dan kembali lari dari rumah. Midah terkenal bukan saja karena suara emasnya namun juga "pergaulannya" dengan lelaki. Semua ras dari Tionghoa, Arab dan lainnya dia jajaki. Midah benar-benar berakhir tenar, tidak hanya sebagai penyanyi tapi meroket menjadi bintang film. Tapi sampai akhir cerita, hidup Midah sepertinya terus saja "berlari", entah dari "masalah" apa dia terus menghindar.
Pram berhasil dan lancar menggambarkan tokoh-tokoh antagonis seperti haji mulia tapi pelit dan rakus harta, rajin dzikir tapi menyakiti keluarga. Midah diberikan peranan sebagai tokoh utama yang kuat namun sebenarnya Midah sangat "rapuh" di dalam, terus lari dan lari.
Sejarah Midah-Simanis Bergigi Emas-mulailah dari sini sebagai penyanyi. Sejarah Midah-Simanis Bergigi Emas-telah lenyap, sebagai wanita.[] . Midah begitu menggemari keroncong sementara ayahnya, Hadji Abdul yang begitu taat akan Tuhan menganggap bahwa keroncong adalah sesuatu yang haram. Ia dinikahkan dengan pria terpandang bernama Hadji Trebus yang kemudian memadunya. Kaburlah ia yang pada saat itu tengah mengandung. Ia terhempas di jalanan Jakarta yang ganas sebagai pengamen keliling dari satu resto ke resto lain bersama kelompoknya. Sementara itu, perutnya kian membesar. . Pram, dengan jelas, menitikberatkan kisah dalam buku ini pada perjuangan seorang wanita yang tak lelah meski dihunjami beribu-ribu cobaan. Midah, dengan wataknya yang keras, selalu mampu memenangkan pertaruhan hidup sedikit demi sedikit, meski pada akhirnya seperti yang tertuang dalam blurb novel ini, ia kalah secara moral. Sulit sekali bersimpati pada Midah. Hanya sekali pada saat ia memutuskan pulang ke rumah, saat itulah saya merasa bahwa Midah melakukan hal yang sangat tepat namun ia patahkan lagi rasa simpati itu dengan hal lain. Kisah Midah yang terhempas ke jalanan akibat perlakuan orang-orang moralis yang miskin akan nilai kemanusiaan memberikan satu pesan berharga. Bahwa, hidup itu berat dan bertanggungjawablah.