Gabungan 3 buku seri Dukuh Paruk: Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari & Jantera Bianglala.
Semangat Dukuh Paruk kembali menggeliat sejak Srintil dinobatkan menjadi ronggeng baru, menggantikan ronggeng terakhir yang mati dua belas tahun yang lalu. Bagi pedukuhan yang kecil, miskin, terpencil dan bersahaja itu, ronggeng adalah perlambang. Tanpanya dukuh itu merasakah kehilangan jati diri.
Dengan segera Srintil menjadi tokoh yang amat terkenal dan digandrungi. Cantik dan menggoda. Semua ingin pernah bersama ronggeng itu. Dari kaula biasa hingga pekabat-pejabat desa maupun kabupaten.
Namun malapetaka politik tahun 1965 membuat dukuh tersebut hancur, baik secara fisik maupun mental. Karena kebodohannya, mereka terbawa arus dan divonis sebagai manusia-manusia yang telah mengguncangkan negara ini. Pedukuhan itu dibakar. Ronggeng berserta para penabuh calung ditahan.Hanya karena kecantikannya Srintil tidak diperlakukan semena-mena oleh para penguasa penjara itu.
Namun pengalaman pahit sebagai tahanan politikmembuat Srintil sadar akan harkatnya sebagai manusia. Karena itulah setelah bebas, ia berniat memperbaiki citra dirinya. Ia tak ingin lagi melayani lelaki manapun. Ia ingin menjadi wanita somahan. Dan ketika Bajus muncul dalam hidupnya sepercik harapan muncul, harapan yang semakin lama semakin besar.
Ahmad Tohari is Indonesia well-knowned writer who can picture a typical village scenery very well in his writings. He has been everywhere, writings for magazines. He attended Fellowship International Writers Program at Iowa, United State on 1990 and received Southeast Asian Writers Award on 1995.
His famous works are trilogy of Srintil, a traditional dancer (ronggeng) of Paruk Village: "Ronggeng Dukuh Paruk", "Lintang Kemukus Dini Hari", and "Jantera Bianglala"
On 2007, he releases again "Ronggeng Dukuh Paruk" in Java-Banyumasan language which is claimed to be the first novel using Java-Banyumasan. Toward his effort, he receives Rancage Award 2007. The book is only printed 1,500 editions and sold out directly in the book launch.
Bibliography: * Kubah (novel, 1980) * Ronggeng Dukuh Paruk (novel, 1982) * Lintang Kemukus Dini Hari (novel, 1985) * Jantera Bianglala (novel, 1986) * Di Kaki Bukit Cibalak (novel, 1986) * Senyum Karyamin (short stories, 1989) * Bekisar Merah (novel, 1993) * Lingkar Tanah Lingkar Air (novel, 1995) * Nyanyian Malam (short stories, 2000) * Belantik (novel, 2001) * Orang Orang Proyek (novel, 2002) * Rusmi Ingin Pulang (kumpulan cerpen, 2004) * Mata yang Enak Dipandang (short stories, 2013)
sekitar taun 2003 ato 2004 (lupa lagi tepatnya) ada seorang anak sotoy yang lagi asik nongkrong ama temen-temennya dapet sms dari adik cewenya. Sms-nya kurang lebih seperti ini "Beliin bukunya Ahmad Tohari yang judulnya Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dinihari ama Jentera Bianglala. Kudu dapet semuanya! Tar duitnya diganti. Buruan!". Si Anak Sotoy ini sedikit dongkol juga dapet sms bernada memerintah dari adiknya. Berani-beraninya dia nyuruh-nyuruh, gitu pikirnya. Tapi toh akhirnya si anak sotoy ini pergi juga nyari itu buku.
Sasaran pertama tentu saja Gramedia di jln Merdeka. Karena lagi males, si anak sotoy ini langsung aja minta bantuan petugas minta dicariin ketiga buku itu. Tak lama kemudian si petugas datang dengan membawa sebuah buku berwarna oranye. "Cuman satu? dua lagi mana?" tanya si anak sotoy "Maap, Lintang Kemukus ama Jenteranya lagi kosong." "Wah, gimana ya? saya perlu tiga-tiganya. Trilogi soalnya." "Tapi buku Belantik ama Bekisar Merah sih ada stoknya." "Eh? buku apa itu?" "Karangan Ahmad Tohari juga." "Ooh." *mangap ~ baru tau* Si anak sotoy ini sms adiknya ngasi tau kalo bukunya cuman ada satu. Sms balasan bunyinya kek gini.. "Gak mao! Percuma kalo satu mah, kudu tiga-tiganya! Cari di Gunung Agung BIP!" Dan si sotoy ini balik lagi ke petugas yang masih megang2 itu buku dan mengatakan gak jadi beli buku berwarna oranye itu.
Si Anak Sotoy ini nyebrang ke Gunung Agung, tapi disana sama aja, cuman ada buku yang berwarna oranye. Dapet sms lagi.. "Cari di Palasari!" Si anak sotoy mulai gahar juga disuruh-suruh dan menolak pergi ke Palasari *jauuuh* Akhirnya si adik nyuruh nyari di Tobucil. Heh? Tobucil? apaan tuh? ada emang Tobucil? gitu sms si anak sotoy ke adiknya. Dasar payah! Tobucil di jalan Kyai Gede, khusus jualan buku sastra. Pokokna kudu tiga-tiganya!.. gitu balasan sms adiknya.
Setelah sempet nyasar ke Dipati Ukur *ngaku-ngaku urang bandung tapi teu nyaho kyai gede ~ ngerakeun pisan* dan tanya sana sini akhirnya si anak sotoy nyampe juga di Tobucil dengan kondisi capek ama dongkol berat ama adiknya. Tanpa ba bi bu lagi dia langsung nanyain buku itu. "Oh.. ada. Sebentar ya." kata petugasnya Akhirnya Tak lama kemudian si petugas datang dan menyodorkan buku berwarna oranye. "Ini bukunya. Bagus banget ceritanya." katanya sambil tersenyum Loh?! ini kan sama ama buku yang di Gramedia. Dengan sedikit dongkol si anak sotoy ini menjawab.. "Wah, buku yang gini sih tadi Gramedia juga ada. Saya kan dah bilang saya nyari tiga-tiganya." "Di Gramedia ada ya? begini.. "Gak ah, saya pengen sekaligus tiga buku." "Begini... " "Tau sendiri pan, kal cuman baca satu buku jadinya nanggung. kita gak tau cerita keseluruhannya." "Iya, tapi ini buku.." Lagi-lagi si anak sotoy ini memotong omongan penjaga toko. "Saya gak mau baca buku yang endingnya nanggung, iya kalo buku 2 ama 3 nya besok2 udah ada. Kalo gak ada? Nanti deh saya beli kalo dah ada tiga-tiganya" "Umm.." "Saya udah ke Gramedia, Gunung Agung.. Palasari juga (Bo'onk alias wadul!) semuanya cuman punya buku ke satu doang. Buku dua ama tiganya gak ada." Si penjaga toko sepertinya memutuskan untuk mendengar ceracau si anak sotoy yang jelas2 terlihat gahar ini. "Heran juga, buku satunya koq banyak sekali. Buku dua ama tiga nya kok gak ada? *masih nyerocos* Si penjaga tetap menunggu anak sotoy ini nyerocos dengan sabar.. "Begini Kang, ini buku edisi terbaru, silakan baca sinopsis dibelakangnya." katanya sambil tersenyum setelah si sotoy ini beres nyerocos sambil menyodorkankan buku berwarna oranye ini. Kamsut lo? Dengan ogah-ogahan si anak sotoy ini menerima buku itu dan untuk pertama kalinya sepanjang hidupnya dia memegang buku berwarna oranye itu dan mulai membalik cover belakangnya... Mata si anak sotoy nyaris copot dan napasnya langsung megap2 begitu ia membaca bagian akhir sinopsis yang berbunyi..
Novel ini merupakan penyatuan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dinihari, dan Jentera Bianglala, dengan memasukan kembali bagian-bagian yang tersensor selama 22 tahun.
Bang! Bang! You're dead!
Waktu berputar terasa begitu lama bagi si anak sotoy ini. Dia gak mau mengangkat mukanya, terus aja tertunduk terpaku pada cover belakang bukunya. Dari sudut matanya si anak sotoy ini melihat si penjaga buku sepertinya lagi berpura-pura ngecek daptar buku yang lain sambil tersenyum-senyum sendirian.. OMG.. mati angin ....... mati rasa ....... mati kutu ...... mati gue!
Segitu aja. Dialog lanjutannya gak diterusin ah. Pokoknya si anak sotoy ini pulang sambil nenteng itu buku berwana oranye dengan lesu seperti jendral yang baru saja mengalami kekalahan dalam sebuah perang sambil mencoba kembali mengais-ngais harga diri dan wibawanya yang hancur berkeping-keping sambil mengutuki ke sotoyan sendiri. Asu buntung.. bajul buntung..
coba adik gue gak nyuruh beli buku ini.. coba tadi di gramedia baca dulu cover blakangnya.. coba kalo tadi petugas gramedianya tau soal ini buku.. coba tadi gak ke tobucil.. coba tadi dengerin dulu kata penjaga tokonya.. coba tadi gak nyerocos gak karuan.. apa coba?
Komentar adik si anak sotoy pendek saja setelah dia kena damprat kakaknya yang dongkol berat (dia ngomongnya sambil cekikikan)
"Makanya.. Jadi orang jangan sotoy..." ------------------------------------- Review-nya pendek aja.. *moga-moga*
Buku yang menceritakan tentang perjalanan hidup seorang Srintil, ronggeng kebanggaan Dukuh Paruk. Dukuh Paruk, desa yang larut dalam mimpi cabul, berceracau dalam segala bentuk sumpah serapah, tersungkur dalam kubangan kedunguannya.
Para lelaki berlomba-lomba untuk bertayub dengan Srintil, dan jika punya uang lebih banyak dari yang lain mereka berhak menikmati gelinjang seorang Srintil. Pun para wanitanya, mereka justru bangga jika suami mereka bisa bertayub dengan Srintil. Keputusan Srintil untuk menjadi ronggeng mengecewakan seorang Rasus, teman sepermainannya yang menganggap Srintil adalah jelmaan dari sosok ibu yang dirindukannya. Kekecewaan itu membuat Rasus pergi meninggalkan Dukuh Paruk.
Cerita menjadi semakin rumit dan menarik ketika Dukuh Paruk terseret dalam gonjang ganjing politik di tahun 65. Dukuh Paruk dan semua warganya dinistakan karena dianggap pendukung komunis. Sebuah stigma tak berampun bagi siapapun pada masa itu.
Ceritanya sendiri berakhir dengan begitu getir dan tragis.. gis.. gis. Srintil.. oh.. Srintil.. malang nian nasibmu. Haduuuh, baca endingnya ini perut seksi gue serasa kena tonjok pukulan uppercut Mike Tyson ketika masih jaya, dan kepala pening seperti digetok godam raksasanya si kaori.
Tabik buat Ahmad Tohari. Beliau mampu merangkai sebuah cerita dengan deskripsi yang menakjubkan. Buat saya pribadi deskripsinya begitu... bening. Sarat dengan keindahan alam pedesaan dan kicauan burung.
Pendeknya, saya baru nyadar kalau ternyata perasaan saya setelah membaca buku ini persis sama dengan perasaan ketika dulu menyelesaikan Les Mis-nya Victor Hugo. Bedanya Les Mis berakhir dengan kegetiran yang "manis" (bagi Valjean) sementara buku ini berakhir dengan kegetiran yang tragis (bagi Srintil) :D
penuh mistis dari halaman pertama hingga halaman terakhir
Alam dukuh Paruk berhasil merasuki saya Kecabulan penduduk dan kleniknya cara hidup mereka membuat saya mengucap istighfar berulang kali Saya kira saya akan menemukan kisah Kinanthi dan Ajuj dalam buku ini Perkiraan saya tidak sepenuhnya salah Kisah cinta yang bermula dari desa miskin nan terpencil juga dialami Srintil dan Rasus Tapi nuansa yang dibawakan Dukuh Paruk sungguh jauh berbeda Keprimitifan yang diusung Ahmad Tohari benar-benar mengakar pada setiap karakter Bahkan Rasus yang bertahun-tahun meninggalkan Dukuh Paruk tak mampu menampik keinginan untuk selalu kembali ke desa mesum ini
Demi cinta nya pada Srintil, ronggeng karena nasib terasuki indang.. Demi Neneknya yang pikun Demi celotehan nakal Kang Sarkum saat memainkan calungnya Demi menyadarkan Sakarya dan Kartareja dari keserakahan Demi darah Ki Secamenggala yang mengalir pada setiap tubuh rakyat Dukuh Paruk
Dongeng yang mencengangkan Berkesan sederhana dari bahasa penyampaiannya tapi kerumitan konfliknya sungguh menyita perhatian Bahkan peristiwa G30SPKI pun turut meracuni perjalanan Srintil dan Rasus Saya tak mampu mengalihkan mata sepanjang perjalanan dari Perumnas Klender ke Pasar Rebo dan sebaliknya Bahkan sampai rela tidak sarapan
Mirisnya, saat dibawa ke akhir cerita, saya masih tercengang Saya terbawa mabuk, sungguh
banyak gambaran tentang alam sekitar dukuh paruk ini. tapi kesan ironis dari alam itu sendiri juga hadir. hukum alam. rantai makanan. pembunuhan terjadi di udara yang lengang, di atas dukuh paruk. burung pipit yang dikejar alap-alap, burung celepuk yang menukik memburu katak lalu setelah kenyang bersuara seperti hantu, anak ayam yang disambar burung elang, tupai dengan seekor kaki seribu tergigit dimulutnya, bahkan hingga sepasang burung madu yang jantannya dimangsa ular hijau setelah tuntas kawin dengan sang betina.
konon, moyang semua orang dukuh paruk adalah ki secamenggala, seorang bromocorah yang sengaja mencari daerah paling sunyi sebagai tempat menghabiskan riwayat keberandalannya...tempat menitipkan darah dagingnya. itu riwayat yang mengawali terbentuknya dukuh paruk. dukuh paruk berkembang jadi tempat dimana para suami akan beroleh kebebasan untuk meniduri ronggengnya (yang ini sih tempat impian semua laki-laki barangkali ya?), dimana asal usul 'siapa anak siapa' tak akan dipermasalahkan, tempat dimana ronggeng dielukan dan dimanjakan tidak hanya oleh keluarga sang ronggeng tapi hampir seluruh penduduk kampung termasuk kaum perempuannya. dan disitulah srintil tinggal. gadis kecil yang jadi dewasa sebelum waktunya. mendendangkan lagu-lagu kebanggaan ronggeng, lagu erotik, seperti anak-anak lain di desanya sementara para orang tua nembang kidung. dan disanalah dia bertemu rasus. bocah yang usianya kira-kira 3 tahun lebih tua darinya.
ironis ketika rasus- yang mencari figur 'mulia' dari seorang perempuan- menyukai srintil yang tumbuh jadi seorang ronggeng. sosok yang seperti jadi 'milik umum'. seperti ketika rasus memberikan warisan yang paling berharga- sebuah keris antik- untuk seorang srintil agar tampak lebih cantik dan pas saat menari baladewa, menyenangkan hati srintil dan mendapatkan perhatiannya. sementara di sisi lain, keris itu malah dipercaya dapat membuat seorang ronggeng manapun jadi terkenal. dan rasus mengetahuinya belakangan. ironis saat keperawanan srintil diperjualbelikan di malam bukak klambu, dan rasus memenangkannya dibalik layar lalu melepas srintil kembali ke jalur hidupnya jadi seorang ronggeng karena bocah usia dia tidak memiliki daya apapun untuk menahannya. kemudian hari, dia juga bahkan menganggap 'malam itu' tak berkesan sementara srintil berpikiran lain. ironis ketika rasus berhasil mengubah kebenciannya terhadap dukuh paruk- dengan semua kemelaratan, kemiskinan, kebodohan dan alasan yang menghantuinya seputar kepergian ibu rasus yang tak jelas -memutuskan untuk meninggalkan srintil dan memberikan dukuh paruk seorang ronggeng kembali.
sekarang saya baru akan memasuki buku kedua. tunggu lanjutannya ya. ps. saya menemukan kata 'renjana' di buku ini. 'renjana berahi'.saya kenal kata tsb dari lirik lagu kla project jadul. lol. atas perbincangan dgn rekan durjana artinya 'rasa hati yg kuat'.
kata diatas bukan sesuatu yang bisa dipinjamkan oleh orang lain. bukan milik umum. tapi milik pribadi. seperti kata hati seorang srintil yang mulai memutuskan hanya meronggeng-- menari-- tanpa berlanjut ke tempat tidur, kesadaran seorang priyayi yang dendam karena ajakannya ditolak srintil dan mengubah rencana untuk menghabisi nyawa srintil menjadi balasan 'berimbang' dengan mempermalukannya, hingga ke naluri para kamitua dukuh paruk-- sakarya dan kartareja, kakek srintil dan sang dukun -- yang akhirnya mencium ketidakberesan dalam keterlibatan ronggeng dukuh paruk di tiap pementasan acara-acara rapat; berisi propaganda politik yang sama sekali tidak mereka mengerti. 'ditunggangi' kepentingan pihak lain karena ketidaktahuannya, lalu dukuh paruk terseret ikut hancur.
sialnya, tak peduli apapun naluri, kata hati, atau kesadaran tiap pribadi, gelap atau terang, benar atau salah, pada akhirnya akan 'bertemu' juga dengan milik pribadi2 lainnya. dalam satu dan banyak rangkaian peristiwa. hasilnya?
baru lanjut buku ketiga.
------------------------------------------------------------------- buku ketiga. jantera bianglala.
secara keseluruhan, trilogi ini menarik lah. setting tempat yang pedesaan, sederhana, tapi dengan alur cerita dan tokoh2 yang kuat.
masih ironis dan tragis hingga ke akhir kisah. kedua tokoh utama srintil dan rasus ini akhirnya punya 'kesempatan' kok. hanya tinggal masalah waktu saja. waktu yang ditinjau dari sudut pembaca (imajinasi maksudnya), atau yang tertulis di kisah buku ini sendiri. :P
All truths are easy to understand once they are discovered; the point is to discover them. -Galileo-
Sesungguhnyalah saya kesulitan menemukan kata pujian yang tepat untuk novel ini. Sebuah drama kehidupan seorang perempuan cantik bernama Srintil yang harus berakhir tragis. Kisah yang menguras habis emosi saya. Dahsyat...
Karya terbaik (menurut saya lo) Ahmad Tohari ini merupakan novel trilogi. Masing-masing berjudul : Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari dan Jentera Bianglala. Ketiganya pertama kali diterbitkan secara terpisah. Oleh PT Gramedia Pustaka Utama diterbitkan kembali menjadi satu novel panjang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk.
Dukuh Paruk adalah sebuah dusun kecil di Jawa Tengah (saya tidak tahu pasti, dukuh ini benar-benar ada atau hanya rekaan penulisnya saja) yang hidup dengan kemandirian sejak awal kelahirannya. Ia eksis dengan segala sumpah serapah cabul, kepercayaan pada mistik dan takhyul, norma-norma seksual yang longgar serta kemelaratan abadi. Terpencil dari segala hiruk-pikuk kota besar, orang-orang Dukuh Paruk adalah manusia-manusia lugu yang percaya pada pengaturan alam. Percaya pada karma. Percaya bahwa segala sesuatu di dunia ini berpasang-pasangan, berkebalikan. Kesenangan berpasangan dengan kesedihan. Terang dengan gelap. Malam dengan siang.
Di sanalah Srintil terlahir sebagai ronggeng sejak berusia dua belas tahun. Telah lama sejak kematian ronggeng sebelumnya, Dukuh Paruk tak lagi memiliki ronggeng. Maka ketika alam mendaulat Srintil menjadi ronggeng, segenap penghuni dusun sederhana itu menyambutnya dengan penuh rasa syukur dan kegembiraan. Dunia kecil mereka akan kembali hidup.
Ronggeng di Dukuh Paruk bukan sekedar menari sambil menembang lagu-lagu diiringi irama musik calung yang meriah meliuk-liuk, namun juga berarti melayani para lelaki yang ingin tidur dengannya. Sudah begitu tradisinya. Dan Srintil melakukan semuanya dengan kesadaran penuh serta kebanggaan seorang perempuan menaklukkan banyak lelaki hanya dengan sampur dan kerlingan nakalnya. Tak ada yang tabu bagi seorang ronggeng secantik dirinya melakoni semua itu. Orang-orang di Dukuh Paruk bangga memilikinya, ronggeng cantik dan terkenal. Tak ada kecemburuan para istri, justru kebanggaan bila suami mereka bisa bertayub atau tidur bersama Srintil. Hanya ada seorang pemuda yang menentangnya. Ialah Rasus. Ia tak rela Srintil, kawan kecilnya, menjadi ronggeng. Karena itu berarti Srintil menjadi milik umum. Menjadi milik banyak lelaki. Rasus cemburu.
Dalam buku pertama (Catatan Buat Emak), Rasuslah yang berkisah sebagai aku. Melalui mata seorang bocah lelaki duabelas tahun, ia mengisahkan keberadaan tanah air kecilnya dengan segala keunikan tradisi yang telah mengakar sekian lama tanpa seorangpun berniat mengubahnya. Termasuk kesenian ronggeng tersebut.
Maka pada malam dinobatkannya Srintil sebagai ronggeng - disebut malam bukak klambu - Rasus menjadi saksinya. Malam bukak klambu adalah bagian terpenting yang harus dilewati seorang ronggeng yang baru dinobatkan agar sah secara tradisi. Pada malam itu, ronggeng baru tersebut harus menyerahkan keperawanannya kepada seorang lelaki yang berani membayarnya dengan harga tertinggi. Sebuah tradisi konyol yang menempatkan perempuan pada posisi rendah : diperjualbelikan. Pelacuran memang telah ada sejak lama, bahkan di tingkat masyarakat paling primitif sekalipun. Ia sama tuanya dengan dunia ini.
Buku pertama lebih banyak berkisah tentang pencarian Rasus terhadap figur ibu yang tak pernah dilihatnya, di samping cerita awal Srintil menjadi ronggeng. Ibunya, sepeti juga orang tua Srintil, meninggal ketika ia masih belum bisa mengingat peristiwa apapun. Ia hanya tahu dari cerita nenek dan tetangga-tetangganya bahwa ibunya mati karena keracunan tempe bongkrek buatan ayah Srintil. Ia mencarinya dalam sosok teman kecilnya, Srintil. Dan Srintil telah menghancurkan citra ibu itu begitu dirinya memutuskan menjadi ronggeng. Tak sanggup Rasus membayangkan ibunya sebagai ronggeng. Sama tak sanggupnya membayangkan ibunya lari dengan laki-laki lain. Ia pun pergi dari kampung yang melahirkannya dengan membawa segenap kekecewaan dan luka hati.
Buku kedua bercerita tentang sang ronggeng di puncak kejayaannya. Beribu pentas membawa Srintilke tangga ketenaran paling atas. Beribu lelaki menidurinya, memashurkan namanya, bermimpi berbagi berahi dengannya. Kesenangan hidup dengan cepat diraihnya. Sampai suatu ketika petaka itu datanglah. Saat itu tahun 1965, tahun penuh gejolak politik, tak terkecuali di Dukuh Paruk. Memanfaatkan kepolosan dan ketidaktahuan orang-orang Dukuh Paruk akan segala riuh rendah gemuruh perpolitikan, PKI menyebarkan propaganda di sana. Menggunakan ketenaran Srintil untuk menghimpun massa di setiap rapat akbar partai tanpa dipahami sepenuhnya oleh gadis itu. Ia, Srintil, hanya tahu bahwa ia sekedar melakukan tugasnya sebagai ronggeng. Saat pecah huru-hara G 30 S/PKI, Srintilpun ditangkap, dianggap terlibat partai terlarang itu dan dipenjara selama dua tahun. Rasus yang telah jadi tentara, tak banyak diceritakan. Hanya sesekali muncul lewat lintasan pikiran Srintil.
Buku ketiga adalah klimaks tragedi kisah ini. Penjara telah membuat Srintil (dan siapapun) kehilangan kepercayaan diri. Menjatuhkan martabat dan harga dirinya ke titik nadir. Srintil tak berani menatap lagi dunia di luar dirinya. Tak henti-hentinya dihantui rasa bersalah dan terhukum. Mengubahnya menjadi pemurung meski kecantikannya masih mampu menjerat para lelaki. Ia kini bukan lagi ronggeng. Ia ingin meninggalkan dunia masa lalunya. Ia punya mimpi lain menjadi seorang istri dari seorang lelaki baik-baik. Tak ada lagi Srintil si penakluk lelaki. Yang tertinggal adalah seorang perempuan dengan kerinduan pada kehidupan normal. Seorang perempuan yang ingin menjadi manusia biasa. Namun, jalan lurus menuju kebaikan itu, amatlah terjal. Bahkan bagi perempuan dengan cita-cita sederhana seperti Srintil.
Ronggeng Dukuh Paruk adalah potret suram kehidupan rakyat kecil pedesaan di Jawa dengan segala persoalannya. Kelaparan dan kebodohan di sana adalah akibat kemiskinan yang terus mendera sepanjang waktu. Kondisi masyarakat seperti ini adalah lahan empuk bagi siapa saja yang ingin memanfaatkannya. Perut yang lapar gampang dibeli dengan imbalan uang dan materi. Kesulitan ekonomi dengan tingkat paling parah adalah ladang subur bagi penyebaran pengaruh dan ajaran-ajaran yang menjanjikan perubahan.
Novel luar biasa ini mengangkat beragam persoalan manusia, seperti : cinta, kemanusiaan, gender, tradisi, kebudayaan dan politik. Seluruhnya terjalin padu dalam sebuah kisah apik yang mengalir wajar tanpa paksaan. Dukuh Paruk adalah sebagian wajah negeri kita. Teramat banyak jumlah orang-orang miskin seperti di Dukuh Paruk itu menghuni pelosok-pelosok tanah air. Tak terjangkau. Tak tersentuh. Terpinggirkan selamanya.
Ahmad Tohari, terlepas dari ada atau tidaknya Dukuh Paruk yang sebenarnya, telah menggambarkan keberadaan desa tersebut dengan sangat real. Ia begitu paham seluk-beluknya. Seperti ia sendirilah yang tinggal di sana. Kita seperti benar-benar bisa mencium bau tubuh orang-orang desa itu. Seperti benar-benar merasakan hembusan angin dan melihat gugurnya daun-daun bambu. Begitu nyata dan hidup. Penceritaan yang nyaris sempurna itu membuat kita dapat memaafkan kekeliruan-kekeliruan kecil seperti misalnya dari mana air susu Srintil berasal sehingga ia bisa menyusui Goder, anak tetangganya, padahal tidak pernah melahirkan? Atau saat menggambarkan bianglala pagi hari yang ada di langit timur. Kita bisa melupakannya dan menganggapnya sebagai satu kesalahan logika kecil yang tak berarti dari satu maha karya indah.
Dari kecil sampai SMA, aku tinggal di daerah--ya bisa disebut kampung juga. Oleh karenanya, membaca buku ini memberikan pengalaman yang intim. Aku seperti kembali bersama teman-teman kecilku: main layangan, ngobor belut di sawah, bikin mainan dari benda-benda alam, petak-umpet di bawah sinar rembulan. Ah, rindu.
Aku dengan bangga menyebut Ahmad Tohari adalah salah satu penulis favoritku. Aku suka ketika beliau mendeskripsikan latar khas pedesaan. Nama-nama pohon dan perilaku pertumbuhannya. Nama-nama binatang dan kelakuan mereka. Benda-benda alam dan kearifannya. Musim-musim yang hadir saat itu. Setiap kalimat deskripsinya mau tak mau membuatku merasa sejuk--meninggalkan kamar kos pengap di masa pandemi 2021.
Ahmad Tohari juga pandai mengungkapkan perasaan manusia. Kadang memang diksinya terlalu muluk-muluk, menghubungkannya dengan semesta dan takdir; gaya filosofis bercorak alam. Namun, justru di situlah aku merasa apa yang sedang dihayati tokohnya teramat penting dan bukan main-main--membuat setiap tokohnya menjadi manusia utuh dan nyata. Ketika aku paham akan seorang tokoh, maka aku akan betah mengikuti garis kehidupannya.
Ronggeng Dukuh Paruk bisa dibilang character driven story. Buku ini sejatinya bundle dari 3 judul.
Judul pertama adalah "Catatan Buat Emak" mengisahkan Rasus yang jatuh cinta dengan Srintil yang waktu itu sedang berproses menjadi ronggeng. Namun, cintanya Rasus ini begitu suci--bahkan dihubungkan dengan sosok Emak yang tak pernah Rasus jumpai--sehingga sangat bertentangan dengan fungsi ronggeng yang merupakan wanita milik bersama (beneran milik bersama, bisa dipakai lelaki siapa saja). Jadi, di bagian pertama ini isinya pergolakan batin dia: antara mewujudkan perasaannya atau merelakannya. Suka banget bagian ini.
Judul kedua adalah "Lintang Kemukus Dini Hari", yang kali ini cerita berpindah ke pihak Srintil. Bagian ini gantian hati Srintil yang bergolak antara pensiun dari ronggeng untuk menjadi wanita secara fitrah atau terus menjadi wanita milik bersama penakluk kelelakian--jadi ikut-ikutan diksi Mbah Tohari, hehe. Bagian ini menguras emosiku--oh Tuhan.
Judul ketiga adalah "Jentera Bianglala" yang menjadi bagian pamungkas untuk mempertemukan Rasus dan Srintil kembali. Walaupun, porsi terbesar masih diisi kekalutan Srintil pasca dirinya menjadi aib masyarakat (bahkan negara). Bagian terakhir ini benar-benar membuat mataku berkaca-kaca. Why oh why.
Ada banyak hal yang membuatku kadang berhenti membaca dan merenung. Satu yang sering adalah soal menjadi lugu dan berpuas diri, mengikuti suratan takdir. Apakah cara hidup seperti itu memang lebih tenteram? Seperti orang-orang Dukuh Paruk. Ataukah kita manusia harus berubah-ubah mengikuti perkembangan zaman? Ada sih jawabannya di akhir perenungan Rasus.
Buku ini juga bisa masuk ke historical fiction. Sejarah yang menjadi latar adalah peristiwa G30S/PKI. Apa-apa yang terjadi di dukuh paruk, persis seperti cerita yang dituturkan Bapak dan Ibuku. Bagaimana orang-orang yang sedikit saja bersinggungan dengan partai rakyat itu diciduk dan dieksekusi--dan kalau selamat, di jidatnya seolah dicap sebagai pengkhianat bangsa.
Memang aku bias dengan buku ini karena latar belakangku. Namun, rasanya bolehlah aku rekomendasikan buku ini untuk kamu yang ingin mengikuti cerita berlatar pedesaan dan sejarah, kisah cinta mengharu-biru, dan sosok wanita yang tersesat.
Excellent!! Sebuah karya tulis yang solid. Penceritaannya mengalir lancar. Penokohannya kompleks.
Dukuh Paruk adalah sebuah mikrokosmos dengan tata nilainya yang khas. Ronggeng - yang diluar dukuh paruk dikonotasikan dengan kecabulan - adalah sebuah institusi yang wajar dan diterima, bahkan dibanggakan dalam tata nilai tersebut. Fenomena ronggeng adalah simbol power dalam Dukuh Paruk. Srintil, sang Ronggeng, dengan kecantikannya menjadi pujaan para pria dan berkuasa untuk mengendalikan, menerima atau menolak permintaan pemuasan kebutuhan birahi mereka. Dia juga menjadi kebanggaan para wanita yang memproyeksikan 'ketidak-berdayaan' mereka terhadap lelaki dalam konteks seksualitas tradisional. Lewat Srintil-lah mereka bisa berangan-angan untuk membuat para lelaki takluk dan menuruti kemauan perempuan. Dukuh Paruk dengan kemelaratan dan kebodohannya memiliki tabiat yang sangat liberal. Penulis novel ini berhasil membangun mikrokosmos tersebut.
Dunia kecil Dukuh Paruk lantas ditempatkan dalam konteks yang lebih besar, yaitu Indonesia pada masa gonjang-ganjing PKI 1965. Dukuh Paruk, yang diwakili Ronggengnya, yang buta huruf dan buta politik, terseret dalam sebuah fitnah besar yang membuat mereka harus dihukum dan direndahkan. Cap komunis adalah sebuah dosa tak berampun hingga penyandangnya (sadar atau tidak) harus dihukum dan direndahkan martabatnya. (Btw, bagian inikah yang disensor pada masa Suharto?)
Gonjang-ganjing yang menjungkirbalikkan kehidupan di Dukuh Paruk itu menjadi latar dari perjalanan dalam ruang batin tokoh Srintil sendiri. Proses penemuan bakat ronggengnya mengingatkanku pada disiplin geisha yang dipotret dalam cerita Memoir of A Geisha (aku baru melihat filmnya saja), mulai dari pelajaran menyanyi, menari dan merias diri sampai sayembara bukak klambu. Perjalanan cinta sejatinya kepada Rasus pada puncak karier keronggengannya malah menerbitkan sebuah impian mustahil untuk menjadi ibu rumah tangga. Kemudian pengalaman dipenjara sebagai tahanan politik semakin menambah kuatnya hasrat untuk meninggalkan dunia ronggeng dan meraih impian mustahil tadi. Pada titik ini penulis punya pilihan untuk mewujudkan impian tersebut dan layaknya sebuah dongeng everyone will live happily ever after. Namun ternyata tidak, kisah ini adalah sebuah tragedi. Semua pergulatan batin tokoh utama tersebut dituliskan dengan baik.
Tokoh-tokoh pendukungnya juga diolah dengan baik. Rasus diberikan masa lalu yang membuat gambarannya terhadap Srintil cukup tidak sehat (Freudian analysis here?). Hal inilah yang berperan penting pada tragedi kehidupan Srintil. Sakum sang tukang calung, pasangan Sakarya, pasangan Kartareja, dan lain-lain, semuanya menguatkan penggambaran dunia kecil Dukuh Paruk tersebut.
Dari semua paparan diatas, aku setuju dengan Sapardi yang dalam blurb nya mengatakan bahwa novel ini menunjukkan kepiawaian Ahmad Tohari dalam mendongeng. Ini adalah karya yang juga layak untuk diapresiasi dunia internasional.
To me personally, Indonesia doesn't have many literary books that can make me bit my lips in excitement and finish 150 pages towards the end (I finish the remaining 50 pages the next day) in 2 hours. A very deep Javanese philosophy of life reflected from a life of a traditional sensual dancer (Ronggeng) that we all can learn from from the "eyes" of the writer. Reading can be slow as the style follows Javanese culture: slow, polite, but it doesn't mean it can't incite desire.
The dancer's life touched upon sexuality of both men and women that is far from our imagination, where we also tend to forget that sexuality plays a very big role in politics and a country's economy. Something that I have been always telling everyone about. Something that people don't talk about here in Indonesia, especially, but which "can turn a table upside down".
On 1965 tragedy, a tragedy that most Indonesian are hesitant to talk about, Ahmad Tohari provided a different angle than Pramoedya did. A rather subtle angle, yet, representing a number (I am not sure about this amount, perhaps can be big) of people, whom with their innocence and faithfulness towards their culture, were dragged into the darkness of life one would never want to experience nor remember.
I can elaborate more and more, but I'd like to keep it for something else :)
Please read it. Recommended for Indonesian, or those wanting to learn more about Indonesia from a different perspective.
Penulis adalah pelukis dengan mata penanya. Demikian kalimat yang saya temukan di sebuah buku tentang menulis. Kalimat yang sangat tepat ditujukan kepada Pak Toh dengan buah karyanya yang penting ini. (intro yang sempat kepikiran tapi lupa ditulis)
Finish, 31 Jan 2009 Buku ini tamat dengan segenap perasaan. Deskripsinya yang detil. Tokoh yang matang dibangun. Latar sosiologisnya, keterpencilan Dukuh Paruk adalah jagat kecil di mata semesta lain bernama Dawuan dan dunia luar. Eksotika konstruk dunia kecil itu demikian jelas dalam deskripsi novel ini. Eksotika yang guncang ketiga Tregedi 1965 merobeknya.
Jagat Ronggeng: Jagat perempuan dalam semesta hubungan lelaki dan perempuan. Srintil-Rasus menjadi wayang yang geraknya sempurna dalam latar demikian. Gambarannya menggugah kesadaran akan banyak hal yang tak kasat jika terlampau cepat menghakimi. Dibangun atas dasar sudut pandang Srintil, ronggeng adalah dunia yang ada karena sebuah alasan. Bukan mengambaikkan sisi normatif, tapi eksotika hubungan lelaki-perempuan membuka ruang penafsiran budaya yang memunculkan "ronggeng".
Satu catatan kecil lain yang tidak bisa diabaikan: hubungan priyayi-kawulo dalam sketsa Dukuh Paruk - Pemerintah adalah sebuah sketsa sosiologis dunia jawa yang menempatkan nuansa lain. Pijar hubungan yang berbeda digarap oleh beberapa novel lain. Dalam Para Priyayi, sudut pandang perubahan hubungan priyayi-kawulo dunia Jawa pasca-kolonial dibangun dari sudut pandang priyayi baru pasca-kemerdekaan. Dalam Ronggeng Dukuh Paruk, hubungan itu dilihat dari sudut pandang kawula yang pada kesehariannya jauh dari sentuhan amongan priyayi. Dukuh Paruk adalah sebuah desa ketika negara tak ada bayangannya. Priyayi sebagai representasi negara dalam dunia kawula Dukuh Paruk adalah representasi negara yang jauh dari keseharian mereka yang melarat. Bahkan ketika Dukuh Paruk geger dan diadu domba, amongan yang didapat pun tidak kunjung tiba. Ujungnya Ronggeng Dukuh Paruk ikut dalam gelombang amok yang dikembangkan demi kepentingan partai yang gemar mengatas namakan rakyat (kawula). Representasi priyayi (aparat negara) pasca-65 bagi Dukuh Paruk lebih menyeramkan lagi. Derap kedatangan mereka kerap disandingkan bayangan penangkapan.
Ah...negara yang tak pernah memberi bagi Dukuh Paruk, ketika hadirpun hanya ketakutan yang dibawanya.
Itu dulu kali yah. Mau lebih panjang tapi bingung menentukan sudut pandang. Alih-alih panjang, yang ada meracau tanpa simpul yang jelas. Masih terpukau pada keutuhan novel ini soalnya. :D
26 Jan 09 Lama-lama buku ini menjadi seperti itu lendir yang meluntjur djikalau otak kita sangat entjer. Keentjeran jang tak ada hubungannja dengan ketjerdasan tetapi karena sedang didera demam perubahan tjuatja. Naik-turun rak to read-currently reading. Bila buku ini ibu-ibu hamil, bentjana besar buat si djabang baji. Tapi biarlah. Naiklah lagi.
Entah djadi apa kepala saija. Berisikan nasionalisme jawa, ronggeng, dongeng, kehumasan, dan epos ramajana jang diboboti pesan jang tak ringan dari romo sindhu. Dalam waktu bersamaan. Duh, duh, mugo-mugo odjo mbludrek sirah mu to!
22 Jan 09 Diturunkan ke rak to read bukan karena menunggu rekan durjanawati mendapatkan buku ini. Tapi karena ketularan interestnya Ratna :D
***
Saya mengusulkan buku ini jadi bacaan wajib bagi trio durjana sekalian. karena kita nampaknya tidak pernah menyentuh buku yang tenar ini.
hehehe
Mari malu bersama....:D
Meski belum membaca, saya akan membaca reviewnya semua di gudris. Meski belum membacanya, saya sudah membaca ulasannya di banyak media dan majalah sastra. Meski belum membacanya, saya pernah melintasi gambaran kesenian serupa di daerah saya: cokek.
tetapi tetap saja saya belum membacanya...
mari malu bersama...
Jadi mari membelinya, karena berulang buku hadir di depan mata dengan harga berulang kali didiskon dan tidak didiskon. Menimbangnya di tangan, membacanya ringkasan di sampul belakangnya, saya belum tergerak membelinya.
Kini....
seorang rekan durjanawanwati telah berani menaikan buku ini di rak to readnya. Saya akan mengekornya. Membacanya dengan semangat kedurjanaan. Membacanya didepan sebuah konser cokek kali ya.....
konsen apa enggak ayo...?
yang terakhir gak janji ah.
Dengan semangat kedurjanaan, kami angkat buku ini ke rak to read.
durjana, durjana, durjana, HUH!
Nant'S- Durjanawan Pemilik Buku Ronggeng Dukuh Paruk yang belum pernah liat cokek apalagi ronggeng.
*update selasa 20 Jan 09*
Kalimatnya ringkas namun jelas menggambarkan Dukuh Paruk. Kalimat ringkas SPOK, bahkan tak jarang hanya SP saja. Namun daya gugahnya tetap luar biasa. Saya tetap bisa merasakan suasana di mana Srintil menari. Sayup daun pohon bambu, teduh tempat srintil menari dan mengupahi ketiga nayaganya dengan kecupan manis, pematang yang lapang yang memencilkan dukuh itu dari pedukuhan lainnya.
Kalimatnya merupakan pendorong kuat untuk terus membaca buku ini. Ingin cepat sampai ke halaman yang pernah disensor. Halaman yang menjadi tabu di rejim lalu. Seperti apa tabu itu?
Selesaiiiii! Dan sukaaa juga 😧. Jadi penasaran sama filmnya apalagi ada Oka Antara. Aku cukup suka cara berceritanya meskipun kadang pake bingung sejenak ditambah bahasa Jawa yang nggak berhasil aku temukan di Google 🫣. Cuman aku sedikit terganggu di beberapa pengulangan 😊. Aku akan cerita sedikit menurut pandanganku selama baca ya ☺️. Baca ini sedih juga lihatin orang-orang Dukuh Paruk yang nggak tau apa-apa, yang hidupnya sudah pas-pasan masih juga ada yang manfaatin. Mereka terlalu percaya sama orang yang berbuat baik ke mereka apalagi kalau sampai dikasih barang, mereka merasa seperti berutang budi 😖. Dari novel ini jadi tau berbagai karakter manusia dari yang serakah dari muda sampai tua ada, yang dikirain baik ternyata setan berwujud manusia juga ada, sungguh ini paling kejam 😵💫, yang dikirain tukang jajan ternyata masih punya nurani pun ada, yang dendam banget tapi masih punya nurani pun ada. Yang paling bikin greget tu hubungan Srintil sama Rasus dan sosok Rasus mengingatkan aku sama Soke Bahtera apalagi waktu Rasus dimintain tolong mencari dan menyelamatkan Srintil 😍. Aku suka Sakum meskipun dia punya kekurangan tapi baiknya itu 👏🏼. Aku baca novel ini karena suka sama Perempuan Yang Menangis Kepada Bulan Hitam, Gadis Kretek, juga Tarian Bumi. Novel ini boleh loh dibaca bagus juga untuk perempuan. Akhir kata mohon maaf bila ada kata yang kurang berkenan 🙏🏼☺️. . Tentang riwayat hidup seorang manusia misalnya, maka sejarah pertama-tama mencatatnya pada kepribadian si manusia itu sendiri. Pengalaman-pengalaman yang lembut dan santai mungkin tidak tercatat dalam garis-garis kehidupan secara nyata. Namun pengalaman-pengalaman yang keras dan getir tentu akan tergores dalam-dalam pada jiwa, pada sikap dan perilaku, dan tak mustahil akan mengubah sama sekali kepribadian seseorang. (Hal 277). . “Jangan tertawa terlalu terbahak-bahak, sebab nanti akan segera menyusul tangis sedih.” (Hal 184).
Membaca buku ini ketika magang di Perpustakaan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tahun lalu, namun terpaksa berhenti di tengah jalan. Tetapi, yang namanya rezeki tidak pernah lari. Hadir ke acara Indonesia Readers Festival 2014 bulan Desember kemarin, aku malah mendapat satu kopi buku ini. Awalnya aku kira buku yang aku terima adalah versi movie tie in cover, setelah aku buka dari bungkus plastiknya, ternyata itu hanyalah book jacket! Iya! Bukunya masih dengan kaver oranye itu <3
Gaya Bahasa dan Kosa Kata Poin inilah yang membuat aku jatuh cinta dengan novel Ronggeng Dukuh Paruk. Pertama kenal karena begitu seringnya cuplikan cerita ini ada di buku bahasa Indonesia semasa sekolah dan soal-soal ujian. Permainan diksinya yang indah sekaligus asing dalam duniaku membuatku ingin terus melanjutkan membaca. Aku suka dengan bagaimana cara Ahmad Tohari melukiskan suatu kejadian, suatu tempat dengan permainan kata-katanya. Indah.
Penokohan Disini aku hanya ingin berbicara tentang 2 tokoh utamanya, yakni Srintil, si Ronggeng Dukuh Paruk itu sendiri, dan Rasus, bocah lelaki yang kemudian merantau menjadi tentara di kala negeri kita dilanda krisis tahun 1960an. Keduanya memiliki kekuatan masing-masing yang sama-sama saling mendukung. Srintil memiliki alasan untuk hidup, begitu pula dengan Rasus. Memang, cerita ini berfokus pada Srintil. Diceritakan dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga. Namun di akhir cerita, bagaimana cerita ini ditutup malah diungkapkan dari sudut pandang orang pertama, yakni Rasus itu sendiri. Aku suka bagaimana penggambaran Srintil merasa ada pergolakan dalam batin mengenai mana yang memang merupakan batas perempuan dan mana yang dianggap adalah suatu keharusan dalam adat Dukuh Paruk. Sedangkan Rasus, setelah dirinya menjadi lebih "pintar" dengan jalan menjadi seorang tentara ternyata masih sayang dengan kampung halamannya itu. Tokoh-tokoh lainnya memang juga memiliki peran penting, namun dalam hal ini tidak terlalu mendominasi pemikiran keduanya.
Plot Plot dalam kisah ini berjalan maju. Hanya sesekali menoleh kebelakang seperti mengingatkan pembaca mengapa hal buruk itu terjadi di perdukuhan seperti Dukuh Paruk. Menggunakan latar waktu tahun 65-70, aku kira itu tidak terlalu jauh berbeda dengan keadaan masa kini.
Yang Menarik Aku suka caranya bercerita. Bagaimana kisah ini dituturkan dengan kehalusan diksi meski di dalamnya terselubung sesuatu yang berbau erotika. Aku malah tenggelam dengan bagaimana Ahmad Tohari menggambar suatu lokasi pedesaan dengan begitu mendetil. Membuat pembaca serasa ikut bersamanya.
Yang menarik lagi adalah konsep dan ide cerita yang diangkat oleh Ahmad Tohari. Penulis mengusung tema pedesaan dan orang-orang desa yang hidupnya tidak pernah bersinggungan dengan permasalahan politik. Secara tidak langsung, pembaca diajak mengetahui sisi lain dari Indonesia. Apalagi Dukuh Paruk masih berada di pulau Jawa, yang katanya pusat pemerintahan dengan tempat yang paling maju. Akan tetapi yang ada malah Dukuh Paruk penuh dengan sesuatu yang bahkan kita kira tidak pernah terjadi di Jawa. Melalui cerita ini, Ahmad Tohari ingin membukakan mata pembacanya.
---
Mau dikata apa lagi? Aku sudah terlanjur jatuh cinta dengan tulisan Ahmad Tohari. Jangan heran jikalau aku beri 5 bintang untuk tulisan ini. Bagaimana akhir cerita ini ditutup juga membuatku tercengang.
Berlatar sebuah dusun di tanah jawa beserta isinya yang khas.. tumbuhan di sana sini, burung-burung berkicau dan kegiatannya yang bisa detail di ceritakan dalam novel, membuat pembaca merasa seolah-olah berada di Dukuh Paruk saat itu. Pikiran menjadi liar saat membayangkan menonton pertunjukan Ronggeng, seperti apa sih suasananya? seperti apa sih ronggeng yang hebat itu? apa seperti konser dangdut? yang penyanyinya yang sering tampil meliuk-liuk erotis?
Tentang kisah perjalanan seorang ronggeng cantik sejak masa kanak-kanak hingga menjadi seorang wanita seutuhnya. Dari saat dia belum mengenal lelaki – menjadi milik semua lelaki – hingga saat dia ingin hanya dimiliki oleh seorang lelaki. Yang terakhir inilah yang tidak mudah walau untuk seorang mantan ronggeng yang cantik.
Srintil nama ronggeng itu. Sebagai orang Dukuh Paruk dia menerima garis hidupnya yang mesti menjadi seorang ronggeng. Tanpa tertib susila yang di tempat lain bisa jadi aib, tapi di Dukuh Paruk malah biasa, apalagi untuk ronggeng – ya semestinya begitu. Namun Srintil tetap seorang perempuan, walaupun cukup mandiri- termasuk dalam hal financial- dia tetap membutuhkan rasa damai bersama seorang lelaki, bukan sekedar birahi atau tertantang. Sayang, Belum cukup cobaan hidup saat dia dibui dan di cap PKI, dalam masalah hati pun, disaat Srintil berada di puncak kebahagiaan karma mampu mencintai dan merasa dicintai.. nasib kembali main curang.. tidak adil.
Rasus, apa yang salah denganmu? Saat kecil dia terobsesi oleh figur emak yang tidak dimilikinya. Jadilah citra emak dia kenakan pada Srintil, namun citra ini hancur saat Srintil diwisuda jadi ronggeng dan musti melewati prosesi bukak-klambu segala. Dia tidak mampu membuat Strintil hanya untuk dirinya – bukan untuk semua lelaki – dia pergi meninggalkan Dukuh Paruk untuk mengejar kehidupan yang lebih layak. Tidak pernah mau mengakui bahwa dia mencintai Srintil – padahal pembaca bisa menebak dari awal – meski jelas-jelas dia tahu cinta nya tidak bertepuk sebelah tangan. Hatinya dingin dan tidak jujur – Rasus yang tidak berani jujur pada dirinya sendiri hingga saat itu berlalu dan oh,… terlambat.
...lain-lainnya...
Ketidak tahuan atau tidak mau tahu membawa diri kepada situasi yang bisa lebih buruk. Pemanfaatan oleh pihak- pihak yang berkepentingan rentan terjadi dan mereka ini tidak peduli apapun kecuali tujuannya tercapai. Penciptaan kesan yang dilakukan para penguasa sejarah terhadap orang-orang yang dicurigai terkait PKI berhasil dengan gilang gemilang, dan bertahan hingga beberapa dasawarsa (masih kah sekarang?). Bersentuhan dengan orang-orang yang di cap ini seperti terciprat liur anjing.. atau mungkin lebih parah.
True to your heart..bersusah payah lakon Rasus dalam novel tersebut padahal kuncinya hanya kejujuran pada dirinya sediri.. cinta yang telat disadari memang tidak berguna.
Tragic stories are not my favorite, because for me it is an injustice deliberately made by the author for their own sick satisfaction.
When a story ends in a sad way, I think that is just what the author wants us to see that there is nothing left for the character to live on. While in the real life, it is not like that – if it is not hope that would sooner emerge, the change of time would eventually makes someone stronger to continue.
I know that the author has to stop somewhere, lest the pages became too much for the readers to read. I just wish that the choice of ending could be when life of the characters became dull and boring, where feelings are not happy or sad. That’s when. Boring. Period.
The novel by Ahmad Tohari is a tragic story too. The female character loses her sanity, and the male character becomes this pathetic man who forever carries regrets and questioning ‘what if’ as the final period given. But Mr. Tohari gives me more than just a sad ending.
When the first time I read the novel ‘Ronggeng Dukuh Paruk’ in Bahasa Indonesia version, I did not taste merely the devastation of two humans – in fact their feelings were given a smaller portion compared to the frame of the novel. It was the complete description of what life was like in the 60’s, in impoverishment where mostly the politics upheaval couldn’t reach that far, and the honest explanation of how society treated the innocent victims of time during that era, that gives rich aftertaste of the novel. The characters are there for simply because they are there, so insignificant and at the same time important for the sake of having a focus for the flow of the story.
This novel is one of many Indonesian books I consider as my favorite. Its bluntness on inappropriate matters is presented in ways that only Bahasa Indonesia could deliver. Before I found the English version, I was already sure that unless the reader could read Bahasa Indonesia, there is no other way to communicate the greatness of this novel.
And so far, I am still certain of that.
The English version translated by Rene T. a. Lysloff could only send half of the real flavor. It was not bland, as the translation of the Idiot by Fyodor Dostoyevsky published by Random House brought (although I cannot read Russian but I’m sure what Mr. Dostoyevsky wrote was not as tasteless as the book I read), but it doesn’t carry the sense of inappropriateness that could make me cringe while reading. But I should add that in languages, there is limitation for translations one has to admit that it could never completely copy the original taste and that it would cut out certain percent of the flavor along.
I should not say anymore, until I find another English translation of this book that is far less representing of the original one.
Tidaklah berlebihan apabila saya merasa sangat iba dan masygul, tatkala ikuti perjalanan pengalaman tokoh Srintil di trilogi ini. Rasus, kekasih dan tambatan hati ronggeng nan ayu tersebut, yang selalu berada dalam angannya dan tak lepas walau sedetik itu, tidak pernah sekali pun mempunyai perasaan yang sama pada dirinya. Lelaki mana tidak senang jika melihat wanita idamannya mau melakukan apa saja demi dia? Bahkan Srintil tanpa sedikit pun rasa malu dan canggung menanggalkan setiap kain yang menempel di tubuhnya, tampil bugil dengan tidak menyisakan sehelai benang pun di hadapan Rasus saat kedua sejoli itu sedang berduaan.
Meskipun Srintil telah bertelanjang bulat dan sampai rela serahkan keperawanannya yang seharga sekeping emas itu pada Rasus, pria itu tetap tak bergeming. Ia hanya menempatkan Srintil di bawah naungan bayang-bayang sosok ibu kandungnya, yang wajahnya tak muncul dalam ingatannya sejak masa kecil akibat telah piatu. Ketiadaan figur seorang ibu dan kehausannya akan kasih sayang tulus orang tua membuat Rasus melihat ilusi.
Di dunia khayalinya, Srintil bukanlah kekasih. Ia muncul selaku belenggu masa lalu yang menutup mata hati dan batinnya akan cinta dan romansa. Di sana pula ia memproyeksikan imaji idealisme kerinduannya akan sosok yang dapat mengayomi. Sudah pasti kalau Rasus itu buta.
Dengan dalih tugas militer dan pengabdian kepada bangsa serta negara, Rasus makin menjauh, memberi jarak, bahkan membangun tembok tebal untuk Srintil. Impian Srintil untuk bersama Rasus mengarungi bahtera rumah tangga, dan hidup tenteram hingga maut menjelang tak lagi bisa kesampaian. Kandaslah sudah cita-cita sukmanya. Bayangkan saja, ia hanya bertepuk sebelah tangan selamanya.
Kita semua pasti tahu dan bisa sepakat bahwa ada hal yang lebih menakutkan daripada kematian. Buktinya Srintil mengalaminya. Kesepian. Gadis belia itu harus menanggung koyakan sepi yang merobek jiwanya nestapa, kian hari bertambah lebar menganga luka perih yang mesti ditahannya seorang diri, hingga akhir hayatnya.
Andaikata Srintil mengerti bahwa cinta deritanya tiada akhir, mungkin perempuan itu akan tetap bersikeras mencintai Rasus sekuat tenaga. Wanita memang begitu bila sudah terlanjur kasmaran. Gelora api asmara yang membara selalu mampu membakar habis logika dan rasionalitas di atas segalanya. Ia memabukkan. Terkadang juga memuakkan. Maka wajar saya menaruh kasihan pada Srintil, sang korban waktu dan perasaan tak berbalas setimpal.
Selanjutnya, melalui penokohan Srintil di karya ini pun Tohari menyajikan tema lain yang juga signifikan dan dominan. Jikalau tadi saya membahas aspek psiko-analisis dan filosofis lewat lensa dinamika relasi antara kedua tokoh utamanya, kali ini saya coba telaah Ronggeng Dukuh Paruk dari perspektif feminisme. Ditinjau dari sudut pandang feminis, Srintil merupakan representasi dari kaum perempuan yang terkungkung gelembung ketidakadilan tatanan nilai patriarkal masyarakat sekitarnya.
Merangkum kembali gambaran besar ceritanya, dalam hikayat tragis ini terkisahlah seorang ronggeng, atau penari tradisional Jawa, bernama Srintil yang masih perawan kencur, belum pernah dijamah oleh lelaki mana pun. Akibat statusnya sebagai ronggeng terpilih di desa kecilnya, ia diwajibkan menghibur para warga pedukuhan itu, utamanya meladeni gejolak nafsu setiap pasang mata laki-laki cabul di kampungnya dengan lenggak-lenggok kemolekan gerak tarian sasmita, yang rada erotis. Ia pun harus turut juga ambil bagian dalam rangkaian upacara adat istiadat setempat. Dengan demikian, otomatis Srintil muda yang baru berumur sebelas tahun itu, kini tak lagi mendapat kendali atas kehidupan pribadinya sendiri. Selama jabatan ronggeng itu masih terus diemban di pundaknya, ia adalah laiknya properti milik khalayak penghuni buana pedesaan itu.
Sebelumnya, saya sempat menyebutkan soal nilai tukar kesucian Srintil yang setara sekeping emas itu. Nah, hal ini juga merupakan salah satu bentuk penindasan yang diterima Srintil dalam lingkungan tempat ia tinggal. Maksud saya, dalam susunan norma yang dianggap normal di Dukuh Paruk, keperjakaan laki-laki tidak pernah dipergunjingkan karena hal itu dianggap tak penting pun bernilai sama sekali. Para lelaki di pedukuhan itu bebas untuk tidur dengan wanita mana pun yang dikehendaki hati mereka, tanpa takut dicap stigma buruk di masyarakat karena sudah tidak lagi perjaka.
Namun, pandangan ini berubah 180 derajat kala menyangkut virginitas wanita, apalagi untuk seorang ronggeng. Kegadisan Srintil itu seumpama sebuah piala kebanggaan untuk sang juara, seseorang, siapa pun dia yang bisa membayar lunas sekeping emas supaya dapat tidur satu malam dengan dirinya, guna memetik bunga virgin dara teruni tersohor tersebut. Bagi pria yang mampu memenuhi syarat pemberian upeti itu, ia berhak merasa tinggi hati karena berhasil meraih kemasyhuran dalam persetubuhan dengan seorang ronggeng bernilai mahal. Dengan kata lain, sangat kentara bahwa tak ada bedanya perempuan ronggeng dengan komoditas dagangan semata.
Dilucuti atas semua hak dan pilihan bahtera hidupnya sebagai manusia bebas, Srintil hanya bisa berpasrah ketika raganya pun dijadikan hadiah sayembara oleh keluarga Kartareja, dukun ronggeng pengurusnya. Dan lagi, semenjak dihibahkan oleh sang kakek, Sakarya, untuk jadi ronggeng dengan imbalan harta kekayaan, Srintil yang telah yatim-piatu itu pun mesti tunduk pada aturan-aturan baru yang mengikatnya. Ia tak boleh membantah dan melawannya, sekali pun itu tak masuk akal. Tak masuk di nalar seperti saat secara mistis Kartareja dirasuki ruh leluhur. Kasar merengkuh penuh berahi badan mungil Srintil, tiada sanggup ia berontak dan meronta melepaskan diri.
Di sini kita bisa menemukan betapa Tohari sebagai penulis ingin menyoroti kecenderungan keberpihakan rakyat di daerah lokal terpencil, atau dalam lingkup lebih luas Indonesia tentunya, yang takzim akan budaya bermoda patriarkis. Mencontoh tokoh Srintil, perempuan yang adalah kelompok minoritas, didiskriminasi dalam banyak segi gelombang hidup mereka, masih sering dikesampingkan hak-haknya karena kerap dianggap warga kelas dua di negeri ini. Jika menilik kembali pada sejarah, misalnya saja sebelum Kartini muncul ke permukaan dengan ideologi populer kesetaraan gendernya di bidang pendidikan, kaum Hawa dilarang mengenyam bangku sekolah setinggi layaknya laki-laki. Belum lagi, dibebani kewajiban untuk mengurus persoalan renjana domestik di dalam rumah, dan tak diizinkan bekerja oleh suami usai menikah juga amat mungkin dialami mereka. Singkatnya, seabrek batasannya, secuil kebebasannya. Persis seperti keadaan yang menimpa Srintil.
Parahnya lagi, kadar fanatisme mayoritas warga Indonesia akan konstruksi sosial usang pun tak lekang tergerus oleh zaman semacam ini, dalam konteks ini ialah patriarki, seolah tak pernah berkurang. Barang secubit pun tidak. Hal ini dalam novel tercermin secara tidak langsung pada konservatisme berlebih wangsa Dukuh Paruk, dengan sikap menjunjung tinggi kesadaran kolektif dan spiritualitas klenik akaid mereka. Mereka semua memiliki satu kepercayaan dan kecintaan mistik yang sama pada figur kamitua yaitu Ki Secamenggala, yang tentunya seorang lelaki, dan menjadikan makamnya berhala keramat nan sakral untuk disembah hari lepas hari.
Karena kesempitan wawasan dan ijtihad akan dunia luar penduduk desanya pulalah membuat Srintil, yang terkesima pada nilai kemanusiaan dan kesetaraan hak perorangan, setelah menyaksikan pihak barat datang memperkenalkan paham komunisme dan gemilang peradaban modern, harus menderita dalam tahanan dan pembuangan. Demi memegang teguh keyakinan akan persamaan derajat, harkat, dan martabat manusia, Srintil mesti hadapi konsekuensi berat dibui dan disiksa tiada ampun. Dari kacamata teori modernisme, ronggeng Srintil yang menjadi perwujudan akan keterbukaan diri pada modernitas mengatasi kekangan paguyuban masyarakat yang tertutup dan menentang keras akan hal itu, membuktikan kalau ternyata benar bahwa menjadi berbeda dan tak lagi kuno pun kolot itu sangat sukar dilakukan, terutama sekali bila berada di tengah komunitas yang masih mencengkeram kuat keterbelakangan akal, menghormati kemelaratan, dan membenci kemajuan.
*** Tidak banyak buku yang mampu menghipnotis pembacanya sejak halaman pertama sampai akhir. Hampir tanpa jeda. Dan RDP adalah buku semacam itu. Ahmad Tohari memang salah satu master pencerita yang dimiliki negri ini.
Novel yang bagus memang biasanya datang dengan satu paket. Dan salah satu kelebihan dari novel ini adalah deskripsinya yang begitu kuat. Penggambaran suasana alam pedesaan, watak, lika-liku batin, perasaan, emosi tokoh-tokohnya sungguh dahsyat. Alur cerita dan endingnya juga luar biasa. Sebagian orang boleh tidak setuju dengan endingnya, tapi rasanya demi kesempurnaan cerita novel ini endingnya memang harus dibuat seperti itu.
Gaya penulisannya yang mengalir, pilihan kata, cara pengungkapannya dalam kalimat benar-benar nyaris sempurna. Seperti kata rumus terkenal itu : seorang penulis disebut penulis bukan karena apa yang dituliskannya tapi cara dia menuliskannya.
Karakter tokoh-tokohnya seperti Srintil, Rasus, Sakum, Kartaredja, Sakarya, juga sanggup meninggalkan kesan yang amat mendalam. Belum lagi istilah-istilah unik dari mulai tempe bongkrek, sampai kata-kata makian seperti asu buntung, jangkrik, demi anu, bajul buntung. Terus terang saja, tidak banyak penulis lokal kita yang menulis dalam bahasa Indonesia dengan kemampuan lengkap semacam itu.
Tak salah lagi, novel ini memang salah satu masterpiece karya sastra Indonesia yang bisa terngiang-ngiang lama di kepala, meninggalkan kesan mendalam bagi pembacanya. Lima (5) bintang untuk novel ini.
Dan tentunya novel ini memang sangat layak masuk daftar Buku Indonesia Sepanjang Masa versi GRI. Kalau pilihan orang menempatkan novel ini di urutan no.3 maka saya memilihnya di urutan no.2 setelah Bumi Manusia. Salut buat Ahmad Tohari!
Best Indonesian novel i’ve ever read. Yes, even comparing to Bumi Manusia, Cantik itu Luka or Lelaki Harimau. (If you have recommendation about any Indonesian book that is better than this, hit me up!!) Tohari tells a story about a traditional dancer who became a victim of a patriarchal society (where men often seeing her only as object) and the political turmoil of 1965. Srintil, the dancer, is a very innocent and pure young girl who have to continue the Ronggeng tradition in which she must not only become a dancer, but also a woman who is able to satisfy men who expect her ‘private’ service. After a while, she understands that it is not the way of life that she wants it but it is a bit too late. Society already see her as 'that' girl, and that is added with the fact she has to bear the 'political prisoner' label when she does not even know what communism is (she is illiterate). The love of her life also run from the village to escape his dark past and his affection to Srintil, and later come back only to find out that things already went out of control. The whole story is a real heart-wrenching tragedy. Tohari is amazing, amazing, amazing. I am a big fan after reading this book. His description of the scene is very meticulous and details, using nature as the background. His knowledge on animals, plants and their behaviours is remarkable, showing his deep research and understanding on his context (he lives in a village btw). His characters and story are so believeable. But most importantly, the wisdom that he puts within this world is very noble and humble at the same time. Tohari beautifully portray that simple people (the villagers of Dukuh Paruk) are the real victims between the battle of two ideologies (capitalism vs communism). Reading this book is really a journey that I will never forget. Trully a masterpiece!
Dukuh Paruk ini berlatar di Banyumas. Kemelaratannya, keterbelakangannya, kebodohannya, ronggengnya, serta sumpah serapah cabulnya menjadi anak kandung pedukuhan ini.
Aku kagum sekali dengan kemampuan deskripsi penulis menjabarkan keadaan alam di Dukuh Paruk. Saat sedang hujan, kemarau, dilanda kebodohan, situasi 1965 dengan sangat detail. Seakan-akan aku sedang berdiri di atas bukit Ki Secamenggala sambil mengamati sekitar pedukuhan. Aku hanyut di suasana alami Dukuh Paruk.
Buku ini sebenarnya kumpulan trilogi buku. Buku pertama berjudul "Catatan Buat Emak", buku kedua berjudul "Lintang Kemukus Dini Hari", dan buku ketiga berjudul "Jantera Bianglala". Disatukan menjadi satu buku bernama Ronggeng Dukuh Paruk.
Untuk tragedi 1965 menurutku kurang dikupas di dalam buku ini. Entahlah mungkin penulis hanya memperlihatkan efeknya di kehidupan Srintil. Malah aku berpendapat buku ini lebih condong ke arah feminisme dan juga karena terlalu halus mendeskripsikan keadaan saat kasus 1965, jadi aku membacanya lebih santai. Mungkin karena sebelumnya aku sudah baca novel tema serupa yang agak terang-terangan menyiksanya dari ini kali ya. Tapi bagi mereka yang memiliki trauma soal kasus ini, menurutku pantas juga penulis menceritakannya secara halus.
Mengikuti perkembangan Srintil dari sejak bocah mulai meronggeng sampai akhirnya dia kepingin jadi ibu rumah tangga ya ampun perubahannya kuat banget. Dia hanya ingin jd selayaknya wanita😢
Ditengah kemajuan zaman & teknologi sekarang ini, ngeliat Dukuh Paruk dengan segala kesederhanaan & saling peduli satu sama lainnya ini ko ya adem banget gitu ya. Walopun emosi baca kelakuan Nyai Kartareja yg terus berusaha "ngejual" Srintil padahal dia udah ga mau masuk ke dunia kaya gitu lagi. Nyesek juga tau nasib Srintil di akhir kaya gimana. Coba si Rasus ini mau nikahin Srintil dari dulu. Tapi ya seneng juga si Rasus mau ngambil alih tanggung jawab ngerawat Srintil di akhir cerita. Terakhir, BANGSAT KAU BAJUS!
Mboten kelangkung-langkung menawi kula rumaos iba sanget lan masygul, nalika dereki perjalanan pengalaman tokoh Srintil wonten trilogi menika. Rasus, kekasih lan tambatan panggalih ronggeng nan ajeng kasebat, ingkang tansah wonten lebet anganipun lan mboten lukar sanadyan sedetik menika, mboten nate sapisan nggih kagungan pangraosan ingkang sami ing panjenenganipun. Kakung pundi mboten remen bilih priksa putri idamanipun badhe nindakaken menapa mawon demi panjenenganipun? Malah Srintil tanpa sakedhik nggih raos lingsem lan pakewed menanggalkan saben nyamping ingkang nempel wonten saliranipun, tampil bugil kaliyan mboten nirahaken sehelai benang nggih wonten ajengan Rasus wekdal kaping kalih sejoli menika saweg berduaan.
Sanadyan Srintil sampun bertelanjang bral lan dumugi rela maringaken keperawananipun ingkang saregi sekeping jene menika ing Rasus, kakung menika tetep mboten bergeming. Panjenenganipun naming manggenaken Srintil wonten andhaping naungan wewayangan sosok ibu kandungipun, ingkang pasuryanipun mboten muncul lebet ingatanipun wiwit masa alit akibat sampun piatu. ketiadaan figur setunggaling tiyang ibu lan kehausanipun badhe welas asih tulus tiyang sepuh ndamel Rasus priksa ilusi.
Wonten donya khayalinipun, Srintil sanes lah kekasih. Panjenenganipun muncul dados belenggu masa rumiyin ingkang nutup soca panggalih lan batosipun badhe tresna lan romansa. Wonten ngrika ugi panjenenganipun memproyeksikan imaji idealisme kerinduanipun badhe sosok ingkang keparing mengayomi. Sampun mesthi menawi rasus menika buta.
Kaliyan dalih ayahan militer lan pengabdian dhateng bangsa saha nagari, Rasus saya nebihi, maringi jarak, malah yasa tembok kandhel kagem Srintil. Supena Srintil kagem sareng Rasus mengarungi bahtera dalem tangga, lan sugeng tenteram ngantos maut jelang mboten malih saged kesampaian. Kandaslah sampun gegayuhan sukmanipun. Bayangkan mawon, panjenenganipun naming bertepuk sebelah asta sadangunipun.
Kula lan panjenengan sami mesthi ngertos lan saged sepakat menawi wonten bab ingkang miyos ngajrihaken daripada kasedan. Buktinipun Srintil mengalaminipun. Kesepian. Prawan timur menika kedah nanggung koyakan sepen ingkang merobek jiwanipun nestapa, saya dinten bertambah wiyar menganga luka perih ingkang kedah ditahanipun setunggaling tiyang dhiri, ngantos akhir hayatipun.
Andaikata Srintil sumerep menawi tresna deritanipun mboten wonten akhir, mungkin putri menika badhe tetep bersikeras nresnani Rasus sekiyat tenaga. Putri estu kados menika bilih sampun kelajeng kasmaran. Gelora latu asmara ingkang membara tansah kuwawi mbesmi telas logika lan rasionalitas wonten inggil sedayanipun. Panjenganipun memabukkan. Kadhang-kadhang ugi memuakkan. Mila limrah kula paringaken kasihan ing Srintil, sang korban wekdal lan pangraosan mboten berbalas setimpal.
Salajengipun, medal penokohan srintil wonten karya menika nggih Tohari nyajikaken tema benten ingkang ugi signifikan lan dominan. Menawi kala-wau kula mbahas aspek psiko-analisis lan filosofis langkung lensa dinamika relasi antawis kaping kalih tokoh utaminipun, dinten menika kula cobi telaah Sang Penari saking perspektif feminisme. dipuntilik saking sudut pandang feminis, Srintil inggih menika representasi saking kaum putri ingkang terkungkung gelembung ke mboten adilan tatanan nilai patriarkal masyarakat sawentawisipun.
Merangkum wangsul gambaran ageng criyosipun, lebet hikayat tragis menika terkisahlah setunggaling tiyang ronggeng, utawi penari tradisional Jawi, asmanipun Srintil ingkang taksih perawan kencur, dereng nate dijamah dening kakung pundi nggih. Akibat statusipun dados ronggeng kapilih wonten dhusun alitipun, panjenenganipun dipunwajibaken ngremenaken para wargi pedukuhan menika, utaminipun ngladosi gejolak nafsu saben pasang soca kakung cabul wonten kampungipun kaliyan lenggak-lenggok kemolekan gerak tarian sasmita, ingkang rada erotis. Panjenenganipun nggih kedah nderek ugi pundhut perangan lebet rangkean upacara adat istiadat sak enggen. Kaliyan mekaten , otomatis Srintil timur ingkang nembe yuswa sawelas warsa menika, samenika mboten malih keparing kendali inggil sugeng pribadinipun piyambak. Sadangu jabatan ronggeng menika taksih terus diemban wonten pundakipun, panjenenganipun inggih menika laikipun properti kagunganipun khalayak penghuni buana padhusunan menika.
Saderengipun, kula sempet nyebat soal nilai lintu kesucian Srintil ingkang setara sekeping jene menika. Nah, bab menika ugi inggih menika salah satunggaling bentuk penindasan ingkang dipuntampi srintil lebet lingkungan papan panjenenganipun tilar. Maksud kula, lebeting susunan norma ingkang dipunanggep normal wonten dhekah paruk, keperjakaan kakung mboten nate dipergunjingkan amargi bab menika dipunanggep mboten wigatos nggih aos babar pisan. para kakung wonten pedukuhan menika bebas kagem sare kaliyan putri pundi nggih ingkang dikehendaki panggalih piyambakipun sedaya, tanpa ajrih dicap stigma awon wonten masyarakat amargi sampun mboten malih perjaka.
Nanging, pandengan menika ebah 180 derajat kala nyangkut virginitas putri, menapa malih kagem setunggaling tiyang ronggeng. Kegadisan Srintil menika seumpama setunggaling piala kebanggaan kagem sang juwara, salah setunggaling tiyang, sinten nggih panjenenganipun ingkang saged mbayar lunas sekeping jene supados keparing sare sa dalu kaliyan panjenenganipun, gina metik sekar virgin dara teruni tersohor kasebat. Kagem kakung ingkang kuwawi ngebaki syarat paringan upeti menika, panjenenganipun berhak rumaos inggil panggalih amargi kasil nggayuh kemasyhuran lebeting persetubuhan kaliyan setunggaling tiyang ronggeng aos awis. Kaliyan tembung sanes, ketawis sanget menawi mboten wonten bentenipun putri ronggeng kaliyan komoditas sadean semata.
Dilucuti inggil sedaya hak lan pilihan bahtera sugengipun dados manungsa bebas, Srintil naming saged berpasrah nalika raganipun nggih dipundadosaken bebingah sayembara dening keluwargi Kartareja, dukun ronggeng pengurusipun. Lan malih, wiwit dihibahkan dening sang eyang kakung, sakarya, kagem dados ronggeng kaliyan imbalan banda kesugihan, Srintil ingkang sampun yatim-piatu menika nggih kedah tunduk ing aturan-aturan enggal ingkang mengikatipun. Panjenenganipun mboten kepareng mbantah lan melawanipun, pisan nggih menika mboten mlebet akal. Mboten mlebet wonten nalar kados wekdal kaliyan mistis Kartareja dirasuki ruh leluhur. Kasar keparingan kebak berahi salira mungil Srintil, mboten wonten sagah panjenenganipun berontak lan ngrontal nguculi dhiri.
Wonten ngriki kula lan panjenengan saged manggihaken kepripun Tohari dados penulis badhe menyoroti kecenderungan keberpihakan rakyat wonten laladan lokal terpencil, utawi lebet lingkup miyos wiyar Indonesia tamtunipun, ingkang takzim badhe budaya bermoda patriarkis. Nuladhani tokoh Srintil, putri ingkang inggih menika kelompok minoritas, didiskriminasi lebet kathah segi gelombang sugeng piyambakipun sedaya, taksih asring dikesampingkan hak-hakipun amargi asring dipunanggep wargi kelas kalih wonten nagari menika. Bilih menilik wangsul ing sejarah, upaminipun mawon saderengipun kartini muncul dhateng permukaan kaliyan ideologi populer kesetaraan genderipun wonten bidang pendidikan, kaum Hawa dilarang ngenyam bangku sekolah sanginggil layakipun kakung. Dereng malih, dibebani kewajiban kagem ngurus persoalan renjana domestik wonten lebeting dalem, lan mboten dipunparengaken nyambut damel dening garwa bibar krama ugi sanget mungkin dipunalami piyambakipun sedaya. Enggalipun, seabrek watesanipun, secuil kebebasanipun. Persis kados kawontenan ingkang ndhawahi Srintil.
Parahipun malih, kadar fanatisme mayoritas wargi Indonesia badhe konstruksi sosial usang nggih mboten lekang kegerus dening jaman kados menika, lebeting konteks menika inggih menika patriarki, kadosipun mboten nate saya kirang. Barang secubit nggih mboten. Bab menika lebeting novel tercermin kaliyan mboten langsung ing konservatisme berlebih wangsa Dhekah Paruk, kaliyan sikap njunjung inggil kesadaran kolektif lan spiritualitas klenik akaid piyambakipun sedaya. Piyambakipun sedaya ngagungani setunggal kepitadosan lan katresnan mistik ingkang sami ing figur kamitua inggih menika Ki Secamenggala, ingkang tamtunipun setunggaling tiyang kakung, lan ndadosaken makamipun berhala keramat nan sakral kagem disembah dinten lukar dinten.
Amargi kesempitan kawruh lan ijtihad badhe donya jawining penduduk dhusunipun pulalah ndamel Srintil, ingkang terkesima ing nilai kemanusiaan lan kesetaraan hak perorangan, sasampunipun mriksani pihak kilen rawuh nepangaken mangertos komunisme lan gemilang peradaban modern, kedah menderita lebet tahanan lan pembuangan. Demi ngasta teguh keyakinan badhe sami derajat, harkat, lan martabat manungsa, Srintil kedah ajengi konsekuensi awrat dibui lan disiksa mboten wonten ampun. Saking kaca-tingal teori modernisme, ronggeng Srintil ingkang dados perwujudan badhe keterbukaan dhiri ing modernitas nginggili kekangan paguyuban masyarakat ingkang ketutup lan nentang sora ngengingi bab menika, mbuktikaken menawi kasunyatanipun leres menawi dados benten lan mboten malih kina nggih kolot menika sekel sanget dipuntindakaken, utaminipun sanget bilih wonten ing tengahing komunitas ingkang taksih mencengkeram kiyat keterbelakangan akal, ngurmati kemelaratan, lan membenci kemajengan.
Naskhah bertema tradisi, sosial dan kemasyarakatan ini diterbitkan pertama kali sekitar 1980an dalam bentuk trilogi dengan 3 judul berbeza namun edisi Gramedia ini telah satukan kesemuanya dalam satu novel dengan judul Ronggeng Dukuh Paruk sempena latar dan karakterisasi pada naratif yang berlegar sekitar desa kecil Dukuh Paruk dan Srintil, si penari ronggeng.
Eksposisi awalnya agak bagus. Penceritaannya deskriptif dan aku suka ambien latarnya yang klasik dengan suasana asli perkampungan, jalur tradisi dan perihal sosialisasi masyarakatnya. Kisah Srintil dari kecil sudah digarap dengan agak tragis dan di buku pertama segalanya bermula bila Srintil dikatakan mewarisi indang ronggeng sehingga dia diangkat menjadi seorang ronggeng seawal usia 11 tahun. Persahabatan Srintil dan Rasus, teman dari kecilnya jadi renggang setelah Rasus kecewa Srintil perlu melayan lelaki di pentas ronggeng atas alasan menuruti kehendak adat. Rasus bawa diri menjadi tentera di awal remajanya dan di sinilah karakterisasi Srintil mula dirundung dengan permasalahan psikologi dan drama keluarga yang agak intens.
Selitan kemelut politiknya sekitar gerakan 30 September dan pembantaian Indonesia 1965 agak ringan bagi aku namun eksplorasi dan impak tragedi pada latar dan karakternya amat menggugah emosi. Terkesan dengan nasib Srintil yang harus memula hidup baru selepas menjadi tahanan, masih diduga dengan ekspektasi masyarakat dan Nyai Kartareja yang mahu dia terus ‘menjual diri’ walaupun Srintil mahu pilih dan buat keputusan sendiri. Emosi dan mental Srintil makin parah di buku ke-3, perasaannya yang mahu menjadi suri dan ibu ditolak Rasus sehingga satu insiden di bahagian akhirnya menjerat depresi dan mental Srintil dengan teruk. Tertarik juga dengan karakter Rasus yang awalnya juga terjerat dengan masalah perasaan kerana membesar tanpa kasih seorang ibu. Satu bahagian naratif diberi perspektif Rasus jadi boleh faham lebih perinci kisah Rasus selain perasaan kasihnya pada Srintil juga tekanan emosinya yang tak dapat terima status Srintil yang menjadi ronggeng.
Naskhah yang agak bagus dalam mengangkat tema berkaitan tradisi, sosial, politik, psikologi, kedewasaan, hubungan kekeluargaan dan persahabatan. Refleksi ekonomi dan gaya hidupnya sesuai dengan perubahan zaman mengikut latar dan garis masa. Efisiensi bahasanya juga cukup teliti dan menarik bagi aku. Mungkin akan cari naskhah Ahmad Tohari yang lain pula nanti. 4.3 bintang untuk Ronggeng Dukuh Paruk!
Apa buku pertama yang dibaca di tahun 2012? Yeay! Ronggeng Dukuh Paruk – Ahmad Tohari. Sudah dibaca dari seminggu lalu dan diniatkan untuk menutup bacaan tahun 2011 tapi karena waktu luang yang sempit jadinya buku ini baru tamat dibaca di hari pertama 2012 ini. Sebelumnya saya sempat mengulas film Sang Penari di blog tanpa pernah membaca kisah Srintil-Rasus. Karena saya menonton filmnya dulu baru membaca bukunya maka saya jadi membayangkan wajah-wajah pemain film Sang Penari terutama Rasus. Tak salah memang jika ada yang kecewa dengan filmnya karena memang ada yang berbeda dengan novelnya.
Dukuh Paruk, dusun kecil yang terpencil dimana pusat kebatinan dan kepercayaan mereka ada di makam Ki Secamenggala. Warga dukuh paruk masih bertautan tali saudara yang berasal dari moyang mereka, Ki Secamenggala. Disinilah tumbuh bersama Srintil dan Rasus yang masing-masing yatim piatu dan dibesarkan oleh nenek-kakek mereka. Srintil sering bermain tembang-tembangan dan menari seperti ronggeng dengan Rasus dan teman-temannya di bawah pohon nangka. Srintil tidak pernah melihat pentas ronggeng tapi ia dapat menari sebaik ronggeng. Di Dukuh Paruk terdapat kepercayaan jika perawan tidak bisa menjadi ronggeng kecuali roh indang merasukinya.
Kehidupan dukuh paruk kembali menggeliat semenjak adanya ronggeng baru,Srintil yang ayu dan kenes. Serta merta Srintil menjadi milik semua orang Dukuh Paruk. Dukuh itu menjadi semarak dengan pentas ronggeng. Musik Calung, lenggokan, keluwesan tubuh Srintil menari dan sesekali diiringi celoteh cabul Sakum yang buta adalah daya tarik yang menembus keterpencilan dukuh paruk. Nama dan kecantikannya dikenal dimana-mana. Sementara itu bukan main perihnya hati Rasus yang seperti menemukan sosok ibu yang tak pernal dikenalnya di diri Srintil. Rasus meninggalkan dukuh paruk setelah srintil menyerahkan keperawanannya sesaat sebelum ritual bukak-kelambu.
Kisah Srintil-Rasus bergulir dengan garis hidup masing-masing. Rasus menghilang dari Dukuh Paruk dan dilatih menjadi tentara. Srintil semakin kaya dan laris pentas ronggengnya. Sampai disini memang tidak ada perbedaan yang kentara dengan film Sang Penari. Bagaimana ronggeng dipergunakan oleh Bakar,seorang aktivis partai komunis, untuk membakar semangat massa lebih hidup di filmnya. Orang-orang Dukuh Paruk yang jangankan melek politik, melek huruf saja tidak, tidak mengerti dengan siapa mereka berkawan. Uluran tangan pak Bakar diterima dengan baik oleh Dukuh Paruk. Ronggeng Dukuh Paruk seringkali naik pentas di rapat-rapat,panggung-panggung partai. Namun yang tidak ada di film yaitu setelah acara seringkali massa merojeng padi yang siapapun tanpa alasan. Kerusuhan seringkali terjadi ketika pemilik sawah mempertahankan harta mereka dan tak sedikit yang terkapar kaku diujung kapak.
Ketika terjadi peristiwa 1965, sebuah masa kelam di sejarah negeri ini. Nama Srintil dan beberapa warga Dukuh Paruk terdapat di daftar nama yang dicari. Ia ditahan. Dukuh Paruk dibumihanguskan. Tidak mudah menjadi warga Dukuh Paruk karena mereka dihindari, seolah-olah mereka turut sama bersalahnya dengan orang-orang partai komunis . Ketika Rasus kembali gubuk-gubuk baru telah dibangun kembali. Dari keterangan Sakum,Rasus mencari Srintil di tahanan. Sayangnya ketika bertemu tidak ada kata yang keluar. Srintil bebas setelah 2 tahun ditahan.
Di film, cerita berakhir menggantung. Adegan Rasus bertemu kembali dengan Srintil. Lalu Srintil bersama Sakum berjalan jauh sambil menari dan menembang. Tamat. Sementara kisahnya tidak seperti itu di dalam novel. Srintil kembali menata hidupnya di Dukuh Paruk. Dengan mengasuh Goder,anak kecil yang polos dan tak tahu menahu tentang geger 1965, ia menemukan kembali semangat hidupnya. Kehidupan itu seperti bandul yang mempunyai titik seimbang di tengah, kadang ia bisa condong ke kanan dan condong ke kiri. Jika dulu kedatangan Srintil membuat pedagang-pedagang memberikan dagangannya cuma-cuma. Jangankan mendekat ke Srintil, mereka berpura-pura tidak menyadari keberadaan Srintil. Sebelum ditugaskan ke Kalimantan,Rasus pulang menengok Dukuh Paruk. Walaupun dia sudah tidak memiliki siapa-siapa di Dukuh Paruk. Dia datang ke tanah kelahirannya. Dukuh paruk yang dihukum sejarah. Dukuh paruk telah kehilangan harga diri, kebanggaan, dan kami tuanya. Dukuh paruk hanya mempunyai sisa harapan pada Rasus. Besar harapan akan Rasus memperistri Srintil. Dulu memang mereka menentang berkaitan dengan peran Srintil menjadi Ronggeng. Kini zaman berubah, Srintil sudah berusia 23 tahun. Kecantikannya masih ada. Dalam kebimbangan hati Rasus kembali meninggalkan Dukuh Paruk dan Srintil.
Harapan Srintil menjadi ibu rumah tangga sekarang bersandar kepada seorang lelaki,orang proyek dari jakarta bernama Bajus. Berbeda dengan banyak lelaki yang mendekatinya dengan berahi, Bajus sangat sopan dan tidak pernah bersikap tidak senonoh kepada Srintil. Perlahan-lahan, sosok Rasus terkikis dari hati Srintil. Namun ada udang di balik batu dari sikap Bajus. Kebaikan yang diberikan kepada Srintil tidak tanpa pamrih. Bajus mengatur supaya Srintil bisa melayani bos besar Bajus,pak Blengur. Srintil hancur ketika Bajus mendekatinya bukan mau menikahinya tetapi menginginkan Srintil untuk tujuannya mencari muka Bos besar sehingga bonus dan proyek tetap mengalir ke tangannya. Jiwa Srintil terguncang untuk sekian kalinya. Apalah artinya hidup jika didalam jiwa dan matanya kosong.
Setelah selesai bertugas di Kalimantan Barat, Rasus pulang ke Dukuh Paruk. Alangkah terkejutnya dia melihat ketidakwarasan Srintil. Rasus membawanya ke rumah sakit. Kisah kasih masih belum menemukan ujungnya.
Ah Rasus, bagi saya sekalipun dirimu gagah dan seorang tentara harusnya tidak boleh ragu-ragu terutama menyangkut hati seorang wanita. Coba saja dari awal dia mengakui hatinya untuk Srintil dan mau meperjuangkan cintanya. Srintil akan selamat dan mereka hidup bahagia. Yang menarik menjadi perhatian adalah sikap warga Dukuh Paruk. Mereka tidak bisa berkata ‘tidak’ dengan orang-orang luar dukuh yang dianggap lebih tinggi dan priyayi sehingga sungkan untuk menolak. Apalagi jika ada yang mengulurkan tangannya untuk membantu Dukuh Paruk seperti Bakar dan Bajus. Mereka polos sekali. Kepolosan inilah yang menjerat mereka dalam hutang budi yang mendatangkan musibah. Geger 1965 dalam kasus Bakar dan hilangnya kewarasan Srintil oleh Bajus.
This entire review has been hidden because of spoilers.
untuk yang bernama suami istri Kartajasa, Musasi, Bajus, dan para lelaki lainnya yang pernah sexually harassed Srintil: THERE IS A SPECIAL PLACE IN HELL FOR ALL OF YOU! 😡🖕
Rasus doang yang agak mendingan dibanding yang lain. Men in this book are sooooooooooooo brengsek. LOOK WHAT YOU ALL DID TO SRINTIL! I WON'T EVER FORGIVE Y'ALL!
anyway, pace buku ini lambaaaaattt sekali dan marginnya rapet banget, tulisannya kecil juga 😥 jadi untuk aku yang gampang bosen dan easily distracted, it took me a long time to read it. Buku pertama agak bosenin tapi waktu udah masuk buku kedua udah mulai seru ceritanya.
Ini buku dari Ahmad Tohari yang aku baca dan aku suka dengan cara penulisan beliau yang cantiiiiikkk banget ❤️
This entire review has been hidden because of spoilers.
Mungkin buku ini adalah salah satu alasan kenapa sastrawan, seniman, budayawan harus mendapat tempat istimewa dalam bangun peradaban manusia. Karya-karya mereka dapat begitu dalam menggugah cipta rasa, menggetarkan jiwa, dan memberikan pengalaman kemanusiaan.
Buku ini berisi kisah epik hubungan antar manusia, yang dibungkus dengan narasi kompleks tentang kemiskinan, modernitas, budaya lokal, gender, feminisme, seksualitas, dan latar belakang sosial politik, tapi dituturkan dengan bahasa yang sangat indah mengalir, bersahaja, dan tanpa pretensi.
Kejeniusan Ahmad Tohari adalah menempatkan relasi antara kepolosan mikrokosmos sebuah dukuh miskin antah berantah bernama Dukuh Paruk, dengan kebanalan makrokosmos dunia luar secara subtil, membumi dan apik. Dukuh Paruk digambarkan (dengan sangat puitis!) sebagai sebuah semesta tersendiri, dengan keterikatan naluriah pada tradisi dan sistem nilai serta etika yg mereka warisi lintas generasi. Bahwa relasi itu akhirnya berujung tragis (karena terjebak dalam pusaran pergantian zaman yg radikal), mungkin adalah realita yang tak bisa dihindari. Walau sejujurnya saya mengharapkan akhir cerita yang berbeda, tapi mungkin memang demikianlah kenisbian sejarah menampakkan kuasanya.
Dalam sejarah umat manusia, kita sudah menyaksikan berbagai periode transisi pergantian arah zaman yang terjadi secara radikal, jadi mungkin ini adalah keniscayaan yg terjadi dari masa ke masa. Dan setiap pergantian sistem secara radikal pasti akan menimbulkan benturan2 dan tragedi2 kemanusiaan. Dalam buku ini, benturan2 tsb berakibat pada tragedi eksistensial yang menimpa Dukuh Paruk dan manusia-manusia di dalamnya (sekaligus pada ritual + budaya ronggeng secara keseluruhan), di mana mereka tergilas oleh ayunan pendulum nasib yang dengan ganasnya memutarbalikkan semua tatanan (saya jadi teringat novel Arus Balik-nya Pramoedya Ananta Toer yang kurang lebih juga bercerita tentang tragedi di balik pergeseran nilai dan sistem ini).
Hanya memang kita sering tidak sadar betapa dahsyatnya tragedi kemanusiaan itu (kiamat kecil pada diri Srintil contohnya, mengikuti istilah Ahmad Tohari), karena tertutup oleh gegap gempita perubahan zaman yg terjadi. Buku ini menyumbangkan sekeping kisah tentang tragedi tersebut, yang semoga membuat kita semakin jujur dalam melihat sejarah kita sendiri.
Dia lelaki Jatilawang yang pertama kali menangis pada 13 Juni 1948. Selebihnya dia lelaki yang mencipta Srintil. Dia lelaki yang dikatakan Rasus. Dia lelaki yang diprotes, dikritis, ditebak kerna saja kisah pergulatan penari tayub dari dusun kecil di tengah-tengah sawah terus didengari dan dilihat.
Aku membaca dan melihat sekaligus akan apa itu Ronggeng Dukuh Paruk. Aku terdampar sama dan kelelahan di dalamnya. Aku meneliti setiap seni ronggeng yang ditarikan Srintil. Aku mau jadi yang pertama pada malam 'bukak kelambu'. Aku kesurupan dan mengomel. Aku mau membunuh lelaki-lelaki yang mengomol Srintil. Aku membenci Rasus yang tidak mampu merasa akan kenikmatan virginitas. Aku sebenarnya membenci persundalan!
Srintil binasa bersama ronggeng. Dia miring akhirnya. Senteng! Sedang Rasus kesal sepanjang hidupnya. Dendam tidak pernah luput dari jiwanya. Ronggeng telah mati kerana persundalan. Orang-orang Dukuh Paruk semakin mengecil dengan kebejatan yang membesar dan menjadi tumor dalam kehidupan mereka.
Ronggeng Dukuh Paruk bagi aku cuma persundalan. Selebihnya kehidupan yang kontras. Peringatan-peringatan yang akan terlupakan.
Apabila saya membuka buku ini untuk memulakan pembacaan, saya seolah-olah telah membuah sebuah buku pop-up dan benda yang muncul adalah Dukuh Paruh yang memiliki penceritaan yang penuh dengan ketelitiaan terutama sekali kepada pelukisan alam yang menjadi tulang belakang kepada Dukuh Paruh. Walaupun mungkin Dukuh Paruh bukanlah sebuah desa yang wujud tetapi jelas, saya dapat merasakan ada orang sedang berjalan-jalan di antara gubuk kecil, di pancuran, celahan pohon, sawah padi dan saya sedang memandang cerita di dalam dukuh paruh seperti dalam kaca mata seekor burung yang sering sahaja berlegar-legar di atas Dukuh Paruh dan menceritakan apa-apa sahaja yang terjadi di sana hatta sekecil-kecil organisma sehingga kepada citra utama Dukuh Paruh iaitu si ronggengnya, Srintil.
Cara Ahmad Tohari bercerita dan penyusunan plot di dalam buku itu tidaklah begitu mengejutkan saya seperti saya membaca Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan tetapi saya sangat sukakan metafora alam yang dibina di tangan Ahmad Tohari. Metafora alam dilihat tidak obes dan berlebihan. Tidak pula begitu sederhana. Tetapi sangat berpadanan dengan ceritanya. :)
Srinthil ronggeng karena nasib, sang indang ronggeng hinggap di dalamnya Srinthil ronggeng karena kemauan, sehingga menjalani kehidupan sebagai ronggeng dan mengikuti induk semangnya Mencintai Rasus, yang tidak menginginkannya menjadi ronggeng Membenci nasib, yang tidak memberikannya keturunan
Terus menari, karena tak tahu telah diperalat Kembali menari, karena mempertahankan hal yang disebut anti penindasan Terpenjara, karena terbawa aliran masa, hilang, bertemu cinta, namun tak sanggup berkata-kata
Berhenti ingin bebas hidup seperti penduduk lainnya mengasuh anak walau bukan darah dagingnya berhenti menari meronggeng indang ronggeng telah bebas
Dipikir cinta tlah datang, namun cinta menipu Lupa dunia, karena teringat masa di penjara, kata-kata si kekasih mengingatkan pada masa ia diperalat, Lupa dunia, karena terkejut Ketika Rasus, cinta sejati pulang, dikenalinya namun tak bisa lagi ia mencinta Pedih
Sepenutup halaman terakhir buku ini, saya merasakan bahwa memang buku ini sangat kaya. Dan memang patut menjadi sebuah maha karya dalam kekayaan sastra Indonesia. Buku yang meliuk-liuk dengan kata-katanya, tetapi dalam. Deskriptif dengan penggambaran alam tetapi diiringi dengan kisah yang menunggu untuk dituntaskan. Sebuah epik sastra yang luar biasa. Tak heran buku ini layak mendapat acungan jempol. Dan menjadikan Ahmad Tohari, sebagai salah satu sastrawan terbaik di Indonesia.
Ronggeng Dukuh Paruk (The Dancer) by Ahmad Tohari recounts the tumultuous days of mid-1960s Indonesia through a love story between Srintil and Rasus in Paruk, a village that struggles to keep up with the changing world.
The village of Paruk is rather isolated, could only be reached by traversing the network of dikes bordering the wet rice fields. It was because of this isolation that its inhabitants had developed a unique way of life.
“Twenty-three homes made up this tiny community, inhabited by people with a common genealogy. It was believed that all the villagers were descended from a man named Ki Sacamenggala, a shaman and mystic of ages past who, it was said had sought out this very isolated area as a place to retire from his villainous career. To this place, the village of Paruk, Ki Sacamenggala had entrusted his descendants, his flesh and blood.”
After a bongkrek tragedy that killed a lot of people in Paruk, many kids became orphans, including Srintil and Rasus. They were taken care of by their grandparents and the two grew up together sharing the same destiny.
At the age of eleven, Srintil found her love for ronggeng dance and her grandparents sent her to a trainer who can help her become a professional dancer. It doesn’t require a profound knowledge to understand that ronggeng dancing were nothing more than spontaneous movements tending only toward the erotic. It is a crude imitation of gambyong, a dance which was performed to arouse desire in people from aristocratic circles.
In order to become a ronggeng, she must complete certain rituals such as bathing and bukak-klambu (opening of the mosquito net). This is a competition open to all men to win the virginity of the candidate wishing to become a ronggeng dancer. The man who can pay the amount of money determined by the dancer’s trainer will win.
“Winning the bukak-klambu contest did not only involve passion, nor was it simply about the celebratory rite of passage of a young girl. It was a matter of pride for the winner.”
Reluctantly, she completed all these rituals and became a successful and famous ronggeng dancer.
"Later, Srintil told me that she was awakened by Dower, huffing like a horny bull. She didn't say anything about the rape that followed, only commenting that requirements for becoming the ronggeng of Paruk Village were truly harsh."
Feeling disgusted by her lifestyle, Rasus decided to join the army, left Paruk and embraces Islam.
“I wouldn’t ever marry you because you’re a ronggeng. You belong to Paruk.”
At eighteen years old, Srintil was a woman who had already experienced the pain that came with bukak-klambu, bitterness of being rejected by the man she loved, also experienced relations with about two dozen men. But her fame, naivety, and sexuality got her involved with the region’s leftist propaganda and she was arrested following the 1965 tragedy.
This book gives a deep insight of the political turmoil leading up to the coup in 1965 which the government (New Order era) tried hard to cover. It shows the lives of people whom with their innocence and faithfulness towards their culture, were dragged into the darkness politics and power.
“These people could never be satisfied with the idea that two years of Srintil’s life could simply be erased from all record, to remain an historical unknown. The past is the past, and the role of history as teacher to humanity should never be disregarded. Wisdom and knowledge in life is tempered by histories that are constituted by deeds of heroism and human decency as well as acts of betrayals and human depravity.”
Buku ini berkisah tentang kehidupan seorang ronggeng yang penuh dengan pahit getir juga sebuah mahakarya yang membuka tabir sejarah dari sudut pandang lain. Srintil, seorang ronggeng dari dukuh yang miskin dan bodoh, tentang bagaimana takdirnya harus bertanggung jawab menanggung kutukan alam.
Menyelesaikan buku ini ternyata begitu menguras emosi dan perasaan. Penulis dengan indahnya mampu membawa aku hanyut ke dalam sebuah dukuh, bermain imajinasi seolah aku hidup serta di dalamnya. Cerita bertambah menarik sebab penulis menyertakan tokoh yang banyak, namun ia tetap menjadikan semua tokoh di dalamnya penting dan memberi mereka porsi yang pas. Malah dengan itu, kisah masing-masing tokoh saling tumpang tindih sehingga menjadikan novel ini sebuah kesatuan kisah yang utuh dan nyaris sempurna.
Bahasa yang digunakan penulis memang masih penuh dengan diksi lama, tapi tidak membuatku pusing dan berat saat membacanya karena penulis menyuguhkannya beriringan dengan penjabaran alam, kondisi, serta suasana yang mampu membuatku semakin terjerumus saat membaca, lalu kisah ini mengalir begitu saja.
Ahmad Tohari dengan karyanya yang khas, dengan seluk beluk pedesaan dan teduh kehidupan di bawahnya, berhasil menjadikan novel ini sebuah masterpiece yang ekstrem dan tragis. ya, rasanya aku nggak bisa berkata apa-apa lagi sebab aku menyelesaikan buku ini dengan marah dan menangis.
Salah satu novel terbaik Indonesia! Bagus! Sangat bagus!
Suka dengan semuanya! Suka dengan topik yang diangkat! Suka dengan penokohannya! Suka dengan eksplorasi emosi pada tiap tokohnya! Suka dengan gaya bahasanya! Suka dengan pesan-pesan moralnya!
Ahmad Tohari memang ahli dalam hal penghayatan alam terbukti melalui paragraf deskripsinya yang selalu tertulis apik. Sangat apik malah. Wawasan tentang makhluk hidup dan benda tak hidup yang tergolong detail mampu membangun nuansa alam yang indah.
Ternyata ia juga ahli dalam hal penggambaran karakter. Dua tokoh utama dalam novel ini memiliki perjalanan yang wow. Proses mengenali diri, pencarian makna hidup, pergolakan batin, dan segala emosi yang dimiliki 2 tokoh utama ini ditulis dengan apiknya. Ahmad Tohari mampu menguliti dan mengeksplor setiap sisi emosi tokohnya. Juara sih pokoknya Ahmad Tohari ini.
Yang tak kalah pentingnya, Ahmad Tohari ini selalu berhasil menyelipkan pesan moral dan kebajikan dengan begitu bersahaja :")
Pertama kalinya nyobain karyanya Ahmad Tohari dan buku versi Audiobook lewat buku ini.
Alesannya simpel, soalnya pas tau buku fisiknya font nya dempet dan ceritanya lumayan berat pasti bakalan lama kubaca, jadinya coba deh versi audiobooknya. Dan ternyata suka! Setelah ini mau nyoba dengerin audiobook judul lainnya deh.
Masterpiece dari seorang sastrawan termasyhur negeri ini aku selesaikan dalam waktu 2 hari. Ceritanya menurutku setipe sama Cantik Itu Luka karyanya Eka Kurniawan. Alur ceritanya kompleks dan isu yg diangkat cukup berat. Tapi aku suka cerita yg modelan gini, bikin pedih dan mengiris hati bacanya.
Aku pikir buku ini salah satu karya penulis Indonesia yg minimal wajib dibaca sekali seumur hidup. Setelah nyoba buku ini kurasa cocok sama gaya menulisnya Ahmad Tohari. Ga nyangka kemampuan beliau mendeskripsikan latar suasana alam begitu detail dan juara. Bagus deh pokoknya.