"Saya kira tidak adil, Pak, kalau Bagas tetap bisa ikut Olimpiade," tiba-tiba Meddy dengan lantang angkat bicara. "Memangnya relevan, ya?" ganti Clara angkat bicara. "Bukannya tim Olimpiade adalah siapa pun yang lulus seleksi? Kalau kasus Bagas dikait-kaitkan dengan FUSI, itu kan media yang melakukannya." "Sangat relevan, Ra," tukas Meddy menyambung Angga. Nada suaranya agak keras. "Ketika kita semua bekerja keras untuk mewakili negara ini, Bagas malah melakukan tindakan melanggar undang-undang. Itu kan kontradiktif!"
Di tengah panasnya persaingan para peserta pelatihan untuk menjadi anggota tim Olimpiade Fisika, kasus hacking yang dilakukan salah satu peserta pelatihan, Bagas, muncul ke permukaan. Lembaga pelatihan FUSI—Fisika untuk Siswa Indonesia—kini menjadi sorotan.
Para sponsor mulai menarik dananya untuk lembaga tersebut. Keberangkatan tim ke ajang Olimpiade Fisika Internasional pun terancam gagal. Padahal merekalah putra-putri terbaik dari berbagai daerah di Indonesia yang akan berjuang mengharumkan nama bangsa di ajang internasional itu. Bagi mereka gagal berangkat ke Olimpiade membuat kerja keras mereka selama ini menjadi sia-sia.
Dengan didorong semangat Mestakung, akankah para peserta pelatihan itu mampu mengubah keadaan dan tetap berangkat untuk mengharumkan nama bangsa?
Feby Indirani, Journalist and Writer, started to write since elementary school, beginning with a diary. When in high school, she got 2nd place in an essay contest for teen organized by Gadis magazine, and was actively involved in a school publication. She went to Universitas Padjadjaran, majoring in journalistic, and joined djatinangor student publication. Feby won an Essay Writing Competition for Students in 2001, organized by Toyota Astra Foundation. Late 2002, she received a grant from the Asia Foundation and the Study Center for Religion and Civilization (PSAP) Muhammadiyah, through a call for papers on Women and Muhammadiyah.
May 2003 through June 2004, Feby worked as a reporter in Trust magazine. July 2004, Feby joined the Tempo Group when the organization started reactivating Tempo Center of Data and Analysis (PDAT). As a team, the PDAT published three books with Feby involved as writer. Among the titles is Ahmadiyah: Keyakinan yang Digugat (A Faith Accused), where Feby joined in a research trip to an Ahmadiyah village.
August 2006 through April 2011, Feby worked as a journalist in Business Week Indonesia (recently renamed as Bloomberg Businessweek Indonesia). Feby has published several works, started by a novel titled Simfoni Bulan (Bulan’s Symphony 2006). She also wrote two film-adaptation novels, a novel adapted from a lyric of a song, and a how-to on modeling. No, she never actually had a try at modeling, but she did systemize and codify the experience of Arzetti Bilbina, an Indonesian top model.
One of her book is titled I can (not) Hear: Journey of a Hearing-Impaired to a World of Sounds. was featured in the Kick Andy TV show in October 2009, and won the Anugerah Pembaca Indonesia Award 2010 from Goodreads Indonesia in best non-fiction.
Saya punya masa lalu yang buruk dengan Fisika, coba bayangkan, kelas satu SMA kalau ulangan nggak pernah yang namanya nggak remidi, sampai-sampai saya les Fisika di dua tempat, itu pun hasilnya hanya membuat nilai saya nyaris remidi, yang jelas Fisika bukan jam pelajaran favorite saya, jam pelajaran favorite saya adalah jam kosong dan jam istirahat *malah curhat*. Kenapa saya ngomongin Fisika? Karena di buku ini bercerita tentang anak-anak yang digodok untuk mengikuti Olimpiade Fisika di Singapura. Mereka di tempatkan di FUSI (Fisika untuk Siswa Indonesia) sebuah lembaga pelatihan, kegiatan utama FUSI adalah membina tim Indonesia untuk berlaga di kompetisi-kompetisi fisika Internasional. Tim ini diambil dari siswa-siswa seluruh Indonesia yang sudah melewati proses panjang, mulai dari tingkat kota, provinsi, hingga nasional. 30 siswa terbaik masuk final, disaring lagi menjadi 16 peserta dengan nilai tertinggi. Tahap akhirnya adalah memilih 12 peserta dengan nilai terbaik setelah menjalani pelatihan selama lima bulan di FUSI. Tutor mereka adalah Prasetyo, atau biasa dipanggil Pak Tyo, salah satu pendiri FUSI. Dia ingin membuat ledakan fusi di angkatan ini.
Ledakan fusi adalah ledakan yang dihasilkan dari reaksi bergabungnya inti-inti ringan menjadi inti yang lebih berat. Pada proses ini, inti-inti penyusun inti baru akan melepaskan energi yang sangat besar dan menyebabkan inti barunya mengalami kehilangan massa. Seperti yang terjadi pada matahari, yang menghasilkan energi panas yang dasyat dan menjadi sumber kehidupan mahkluk hidup di muka bumi.
16 peserta yang berotak encer itu adalah: Clara, satu-satunya peserta perempuan yang lolos dalam seleksi FUSI, dia adalah anak dari Bram Wibisono, salah satu pendiri FUSI bersama dengan Prasetyo, seorang fisikawan Indonesia. Angga peserta dari Jakarta yang juga teman Clara, dia seorang yang ambisius, optimis, sombong tapi berprestasi, tujuannya mengikuti olimpiade adalah menjadi pemenang. Erik yang berasal dari Medan, dia orang yang pemalu dan pendiam, cenderung menyembunyikan diri dan irit sekali kalo ngomong. Made, dari namanya bisa ditebak kalau dia berasal dari Bali, anak muda yang kayak jerapah ini adalah fans berat MU, konyol, suka ngasih teka-teki ke teman-temannya, dan dia suka maen game padahal teman yang lain sibuk belajar. Dimas asal dari mBoyolali, bahasa tubuhnya kemayu, sering dibully sebagai banci sama Angga tapi dia tetap tersenyum dan memamerkan lesung pipitnya. Irvan berasal dari Pangkalan Bun, nggak tahu kan? Sama!! Pasti kalau baru awal kenalan pada tanya di mana tuh? Trus Irvan dengan sabar akan menjelaskan ke tiap orang yang bertanya. Reno dari Manado, orangnya polos. Ada si rajin Arief dari Pamekasan, rajin sholat dan dia sering menjuarai kompetisi Fisika di tingkat Kabupaten dan kota. Bambang, berasal dari Tulung Agung, bertubuh pendek dan gempal, dia juga lugu sekali. Khrisna, dari namanya saja sudah ketauan kalau dia cakep, asal dari Malang. Dia punya bakat menggombal terutama ke Clara, pervaya diri tinggi, cuek dan ceplas ceplos, dia juga suka mengadakan eksperimen yang nantinya akan diperlihatkan ke anak yatim. George, asal dari Papua, punya masa lalu yang buruk karena tidak suka sepak bola, tapi dia menunjukkan kehebatannya dengan prestasi yang gemilang. Sandy dari Bukit Tinggi, kalau suntuk dan capek belajar dia akan olahraga kecil sebentar, contohnya sit up. Meddy berasal dari Ambon, berwajah sendu dan suka merendah, kalau ngantuk tapi masih pengen belajar dia akan merendam kakinya di ember yang berisi air dingin, maka akan segar kembali. Alam dari Ujung Pandang, kaku dan canggung. Robby berasal dari Jawa Barat, suka narsis kalau dia mirip sama aktor jaman dulu, dia suka iseng dan sama seperti Made suka ngasih tebak-tebakan ke temennya. Dan yang terakhir adalah Bagas, dia paling tidak disukai teman-teman, posturnya kayak atlet basket, terkenal sangat sombong, cuek, angkuh, tidak peduli dengan sekitar, dia menjadi favoriteku :p. Mereka semua tinggal satu atap di asrama 'Kawah Candradimuka".
Gatotkaca, saat keluar dari Kawah Candradimuka, memiliki kekuatan luar biasa, bak berototkan kawat dan bertulang besi. Jadi, ini adalah tempat kalian digodok dan digembleng menjadi orang-orang yang benar-benar berkualitas juara."
Masalah datang ketika bagas meng-hack situs pemerintah, dia terpaksa di penjara dan FUSI terancam gagal mengirimkan wakilnya untuk Olimpiade, selain itu prestasi FUSI yang merosot dua tahun terakhir membuat banyak pendonor mengundurkan diri bahkan pemerintahpun abu abu dalam membantu. Jadi ikut sebel waktu bacanya, buat WC milyaran rupiah aja bisa sedangkan disuruh membantu kegiatan yang mengharumkan nama bangsa saja dipikir-pikir dulu, kadang saya merasa mereka itu tidak punya otak *emosi*. Yah itulah lemahnya negara kita, jadi ilmuwan di Indonesia juga siap-siap mlarat.
Saya enjoy sekali membaca buku ini, apalagi membaca bagian keseharian para peserta, walau pun mereka saingan tapi mereka bisa juga sangat dekat, saling bersahabat. Kocak banget waktu mereka saling memberi tebak-tebakan, saling menguatkan ketika dini hari masih belajar dan mengantuk, membuat eksperimen seru, saling menggoda teman di mana Clara yang menjadi sasarannya karena cewek sendiri, seru pokoknya, dan tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikannya, karena kita akan selalu penasaran apa yang akan selanjutnya mereka lakukan. Ternyata orang jenius itu sama aja kayak orang biasa, mereka bisa bergurau dan bercanda, gombal tapi tetap sewaktu berhadapan dengan soal mereka akan sangat serius, mungkin itu bedanya :p. Bagian yang mebuat saya tertawa terpingkal-pingkal adalah waktu Khrisna memberikan surat kaleng yang berisi rayuan gombal kepada Clara, dan teman-teman yang lain merekamnya hanya ingin melihat ekspresi Clara sewaktu membacanya, hahaha Khrisna, sumpah ya, gombal banget =))
Proses pengaturan diri secara bersama-sama itu yang saya namakan Mestakung: se(mesta) mendu(kung).
Salut sama penulisnya, kalau dia nggak jago Fisika berarti dia melakukan riset. Membaca catatan penulis, memang buku ini terinspirasi dari Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI) dan pembuatannya cukup panjang, saya merasa ayahnya Clara, Bram itu perwujutan dari Bapak Yohanes Surya, pendiri TOFI, dan dengan membaca buku ini kita tahu keseharian orang yang akan melakukan Olimpiade itu seperti apa. Di buku ini juga ada beberapa pengetahuan yang kita dapat tentang Fisika, contohnya ada hukum Newton, bagaimana caranya balon yang ditusuk tidak meledak, balon yang terisi air tidak akan terbakar, membuat gunung berapi, membuat sebatang lilin bisa terus menyala di bawah air, asik sekali membacanya. Saya sangat setuju dengan ajaran papanya Clara, kebanyak kalau kita belajar Fisika itu disuruh menghafal rumus padahal Fisika tidak sesulit itu kalau saja dipelajari dengan fun, melakukan eksperimen contohnya. Itulah yang tidak saya dapat di sekolah dulu, saya hanya menghafal rumus, ketika lupa, ya sudah tidak bersisa. Kita akan senang mempelajari sesuatu kalau sesuatu itu dipelajari dengan asik.
Ada beberapa peserta yang kehidupannya disorot lebih oleh penulis, Clara, Arief, George, dan Meddy. Sebenarnya tidak masalah, bagus malah, kita lebih memahami mereka dan tahu latar belakang mereka, bagaimana mereka akhirnya bisa ikut FUSI, hanya saja apa tidak menimbulkan kecemburuan sama tokoh yang lain? Kalau Clara tidak masalah soalnya dia pemeran utamanya dan latar belakang dia juga berkaitan dengan FUSI, hanya saja saya inginnya semua diulas, haha akan sangat membuat tebal buku ini. Setidaknya mereka mempunyai porsi yang sama. Sandy latar belakangnya juga mengharukan, dari keluarga miskin dan berjuang demi mendapat beasiswa, Bagas yang yatim, ayahnya selalu berpergian, dan meeka selalu berpindah-pindah tempat tinggal sehingga membuat karakter Bagas lebih suka menyendiri dan terkesan tidak membutuhkan orang lain. Dimas dimana sejak dulu dia sering diolok-olok temannya karena kayak banci, Khrisna yang sering mengunjungi panti asuhan di dekat rumahnya dan menghibur mereka dengan eksperimen-eksperimen sederhana. Irvan dari kampung tak dikenal bisa sampai menembus FUSI, Angga yang moto hidupnya hanya untuk menang, yah saya ingin mengenal mereka semua lebih dekat. Selain itu, saya merasa endingnya terlalu menggantung. Untuk cover, kenapa nggak 16 orang ya? hahaha. Saya hanya bisa menebak-nebak, kalau yang cewek jelas Clara trus yang sinis itu Bagas, lainnya nggak tahu. Minim typo.
Buku ini cocok untuk dibaca siapa saja, orang yang tidak menyukai fisika sama seperti saya pun pasti sangat menikmatinya. Buku ini bercerita tentang mimpi, semangat, persahabatan, dan perjuangan.
Albert Einstein saja yang dulu dianggap anak terbodoh di sekolahnya tapi kemudian dia malah menjadi fisikawan ternama sepanjang zaman, tidak ada yang tidak mungkin, kita juga pasti bisa.
Yakinlah, seperti biji sawi yang ditanam di tanah. Dia tak pernah ragu, tak pernah bertanya apakah dia akan tumbuh atau tidak. Apakah dia berada di tanah yang benar? Tak pernah ada yang tahu. Dia hanya memegang teguh keyakinannya.
Tidak akan ada perjuangan yang sia-sia. Tidak akan ada.
Apa jadinya jika 16 orang remaja jenius dalam bidang fisika dengan berbagai karakter dan latar belakang budaya yang berbeda berada dalam sebuah asrama selama 4,5 bulan untuk dilatih guna mengikuti Olympiade Fisika Internasional?.
Mereka digodok dalam pelatihan superintensif dengan materi yang nyaris setara dengan bobot delapan semester masa perkuliahan. Selain itu merekapun harus bersaing satu dengan yang lain karena dari 16 peserta pelatihan, hanya 12 peserta terbaik yang akan diberangkatkan ke Olympiade Fisika Internasional di Singapura.
Gambaran kehidupan para remaja yang digembleng dalam kawah Candradimuka itulah yang menjadi latar dalam novel Clara’s Medal karya penulis/jurnalis muda Feby Indirani. Kisah yang terinspirasi dari kisah nyata kehidupan asrama pelatihan bagi peserta tim Olympiade Fisika Internasional ini semakin menarik karena tokoh utamanya adalah Clara, satu-satunya peserta wanita dalam asrama tersebut.
Clara sendiri adalah putri dari Bram Wibisono, fisikawan terkenal, lulusan program master dan doctoral di Amerika yang bersama sahabatnya, Prasetyo (Tyo) mendirikan FUSI (Fisika Untuk Siswa Indonesia). Lembaga yang berfokus pada pengajaran dan pelatihan fisika bagi pelajar-pelajar Indonesia yang kegiatan utamanya adalah membina tim Indonesia untuk berlaga di kompetisi-kompetisi fisika Internasional.
Karena tumbuh besar dalam lingkungan keluarga ilmuwan fisika dan aktivitas ayahnya sebagai pengelola FUSI maka dalam diri Clara terbentuk obesesi bahwa suatu saat nanti ia harus berlaga di Oympiade fisika Internasional dan pulang membawa medali kemenangan. Obsesinya ini menjadi kenyataan karena tanpa campur tangan ayahnya ia mampu melewati berbagai seleksi dari jenjang terendah hingga nasional sehingga ia terpilih untuk mengikuti seleksi akhir di asrama FUSI bersama ke 15 peserta lainnya.
Di asrama Clara harus bersaing dengan sesama peserta lain, sebagai satu-satunya peserta wanita saja sudah merupakan tantangan tersendiri baginya, dapatkah ia menyesuaikan diri dengan ke 15 peserta pria lain dengan berbagai karakter dan latar belakang?
Persaingan ke 16 peserta diwujudkan dalam tes evaluasi mingguan dimana hasil dan progress kemajuan masing-masing peserta dapat diketahui dengan peringkat nilai mingguan. Sayangnya ketika persaiangan semakin panas, Bagas kedapatan menghack situs kepolisian dengan menampilkan kata-kata protes mengenai kinerja kepolisian yang buruk dan korup. Tindakannya ini membuat Bagas harus masuk dalam penjara dan akibatnya nama lembaga FUSI tercoreng dan menjadi sorotan.
Karena kasus ini para pendonor FUSI mulai menarik dukungan dana mereka. Tim Olympiade Fisika terancam gagal berangkat karena kekurangan dana. Bisa dibayangkan bagaimana ketar-ketirnya pengelola dan para peserta yang sudah berjuang mati-matian hingga titik ini. Jika tim ini gagal breangkat maka segala usaha FUSI dan kerja keras para peserta selama berbulan-bulan menjadi sia-sia.
Novel setebal 474 halaman ini sangat menarik untuk disimak. Dengan kalimat –kalimat yang mengalir, enak dibaca sehingga memiliki rentang pembaca yang luas mulai dari pembaca remaja hingga dewasa melalui novel ini pembaca diajak meneropong bagaimana sebenarnya kehidupan para remaja berprestasi ini selama mereka berada dalam rumah asrama. Ke 16 peserta dengan latar belakang dan karakter yang berbeda-beda membuat kisah dalam novel ini menjadi seru, belum lagi ditambah Clara sebagai satu-satunya peserta wanita di rumah asrama yang membuat kisah kehidupan dalam asrama menjadi lebih hidup dengan sedikir nuansa romantisme remaja yang juga menghiasi novel ini.
Di novel ini saya rasa penulis berhasil menggambarkan kehidupan di asrama dengan begitu hidup dan apa adanya. Walau semua penghuni asrama adalah remaja-remaja jenius namun bukan berarti mereka baik-baik saja. Di novel ini akan tergambar bahwa mereka bukanlah manusia sempurna yang ‘pede’ karena kepintaran mereka, ada sisi-sisi gelap, ketakutan, dan kekonyolan-kekonyolan mereka yang terungkap dari keseharian mereka selama di asrama. Bahkan nanti akan terungkap bagaimana seorang yang selalu mendapat nilai terbaik dalam tes mingguan masih juga tidak percaya diri sehingga ia melakukan tindakan tidak terpuji untuk menjatuhkan temannya sendiri.
Selain Clara sebagai tokoh utama, beberapa peserta tim olympiade dalam novel ini mendapat porsi khusus di novel ini, mereka adalah Arief, Goerge, dan Meddy. Ketiga tokoh tersebut masing-masing mendapat jatah satu bab sehingga kita bisa membaca kehidupan dan latar belakang kehidupan dari ketiga tokoh tersebut lengkap dengan budaya dimana mereka dibesarkan yaitu di Madura, Papua, dan Ambon.
Dari ketiga tokoh Arief kita akan memperoleh informasi tentang api abadi dan legenda asal usul orang Madura, melalui kisah George sebagai putra Papua, novel ini mengingatkan kita bahwa di provinsi paling ujung di Indonesia itu ada putra Papua yang pernah memiliki pencapaian cemerlang di bidang fisika, yakni Hans Jacobus Wospakrik. Dia adalah salah satu dari sedikit fisikawan Indonesia yang penelitiannya terbit di jurnal-jurnal internasional terkemuka bahkan ia pernah melakukan penelitian bersama peraih nobel Fisika 1999, Martinus J.G.Veltman.
Sedangkan dari tokoh Meidi yang keluarganya merupakan salah satu korban kerusuhan Ambon kita akan memperoleh informasi mengenai Georgius Everhadus Rumphius, ilmuwan Jerman yang meneliti alam Ambon pada 1600-an yang harus kehilangan anak dan istrinya saat Ambon diguncang gempa dahsyat disusul gelombang Tsunami yang menewaksan lebih dari 2000 orang pada tahun 1674.
Tak hanya menyajikan sebuah kisah yang menarik tentang Clara dan ke 16 peserta seleksi Olympiade, novel ini juga menyajikan wacana yang menarik mengenai perkembangan dunia pendidikan fisika di Indonesia dan kaitannya dengan keikutsertaan Indonesia dalam Olympiade Fisika Internasional. Melalui tokoh Bram dan Prasetyo selaku pendiri FUSI akan terungkap perbedaan pendapat mereka dalam keikutsertaan Indonesia dalam Olympiade.
Di satu sisi Tyo berpendapat bahwa perolehan medali adalah target utama FUSI agar Indonesia dikenal di panggung ilmiah internasional, sedangkan bagi Bram bukan itu tujuannya karena jika demikian FUSI hanyalah sebuah bimbingang belajar yang bertujuan menciptakan mesin-mesin penakluk soal dan bukan untuk melahirkan calon-calon ilmuwan yang kreatif. Bram berpendapat bahwa jika perolehan medali dijadikan ukuran kemajuan pendidikan fisika di Indonesia maka hal itu hanyalah kemenangan semu karena prestasi yang dicapai itu tidak menjamin para peserta akan menjadi ilmuwan yang berhasil.
Selain itu melalui tokoh Bram yang meningatkan kita akan Prof. Yohanes Surya sebagai pembimbing tim Olympiade Indonesi, novel ini juga akan mengungkap bagaimana sebenarnya pelajaran fisika yang tampaknya menyeramkan itu menjadi lebih menarik dan dapat dijelaskan secara sederhana dengan menggunakan contoh-contoh yang sering kita temui dalam keseharian kita antara lain bagaimana para pesulap menusuk sebuah balon tanpa memecahkannya, bagaimana sulitnya penjaga gawang menangkap bola ketika menghadapi tendangan pinalti, atau bagaimana David Beckham dengan tendangan penjurunya sebenarnya sedang melakukan prinsip fisika.
Ada banyak hal yang menarik dari novel ini namun satu hal yang agak disayangkan adalah adanya sebuah adegan merokok dari dua orang peserta pelatihan, mungkin penulis ingin membuat novelnya serealita mungkin dimana bukan hal yang mustahil bagi siswa berprestasi merokok di usia remajanya, namun saya rasa adegan ini tetap saja tidak seharusnya ada mengingat novel ini sangat baik untuk dibaca oleh para remaja dan rasanya tidak elok jika adegan merokok itu harus ada di novel ini. Ada banyak cara menggambarkan keseharian anak remaja apa adanya tanpa harus menggunakan adegan merokok.
Terlepas dari satu hal itu, novel yang juga mengisahkan akan arti persahabatan, persaingan, romantisme remaja, penaklukan diri, dan usaha untuk meraih mimpi dengan konsep Mestakung (Semesta Mendukung) ini menurut saya sangat penting untuk dibaca oleh para remaja kita karena memberikan inspirasi bahwa setiap orang mampu merealisasikan cita-citanya jika mau bekerja keras dan tekun. Jika hal ini dilakukan dengan terus menerus maka kita akan melihat semesta (segala sesuatu) akan membantu kita sampai apa yang kita cita-citakan akan berhasil.
Bagi para pendidik, dan pemerhati dunia pendidikan, novel ini menayadarkan kita bagaimana fisika yang mungkin selama ini dianggap sebagai pelajaran yang 'mengerikan' dan membosankan akan menjadi begitu menarik jika diajarkan dengan kreatif.
Bagi Indonesia yang kini kerap mengirimkan sejumlah peserta untuk mengikuti Olympiade Internasional di berbagai bidang dan telah berhasil memperoleh medali, novel ini mengingatkan kita bahwa medali bukanlah tujuan utama, kita tidak membantuk siswa-siswa berprestasi sekedar menjadi pengejar medali melainkan bagaiman kelak generasi muda kita dapat menjadi ilmuwan-ilmuwan kelas dunia yang memberikan sumbangsihnya pada kemajuan ilmu penghetahuan Indonesia dan dunia.
Olimpiade Fisika. Mengucapkan dua kata tersebut yang terlintas adalah kumpulan soal-soal yang sangat rumit yang penyelesaiannya membutuhkan analisa yang tidak sederhana. Bahkan ketika tidak setaraf olimpiade sekalipun, menyelesaikan soal-soal fisika bukan perkara yang gampang. Sebuah rumus tidak serta merta digunakan untuk mendapatkan hasil akhir. Setidaknya itu kesimpulan yang saya dapatkan setelah mempelajarinya selama bertahun-tahun.
Namun pemikiran semacam itu tidak berlaku bagi enam belas siswa SMU pilihan yang berhasil masuk dalam seleksi FUSI – Fisika untuk Siswa Indonesia. Dari buku ini tergambar dengan jelas bagaimana kecintaan setiap tokoh akan pelajaran Fisika, yang tidak lagi sekedar mata pelajaran biasa di sekolah. Setidaknya terbukti dari berbagai seleksi yang telah mereka lewati yang tentunya terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang tentunya tidak mudah. Sampai akhirnya kegemaran mereka itu membuka jalan ke sebuah lembaga pelatihan yang menawarkan tiket emas untuk mengikuti Olimpiade Fisika Internasional. Ditempat itulah hampir sebagaian besar adegan di buku ini terjadi.
Kasus hacking yang dilakukan salah satu peserta dan menyebabkan nama FUSI tercoreng dan membawa beberapa masalah besar menjadi pembuka yang menarik. Sayangnya insiden yang mempengaruhi mental hampir semua peserta seleksi ini tidak digarap dengan baik. Awalnya memang mengikat rasa penasaran saya untuk terus membaca buku ini sampai akhir. Namun pada akhirnya berakhir dengan begitu saja. Sangat saya sayangkan. Yah, saya memang tidak seharusnya berharap lebih. Karena Clara's Medal ,yang ditulis oleh Feby Indirani, punya banyak hal lain untuk disajikan kepada para pembacanya. Insiden hacking ini hanyalah sebagai pembuka. Beberapa bagian saya akui disajikan dengan menarik. Seperti bagaimana berdirinya Fusi ataupun masalah-masalah yang dihadapinya. Tidak ketinggalan bab yang khusus membahas cerita pribadi beberapa karakter. Yang menjadi favorit saya adalah semua bagian yang menceritakan tentang Bram Wibisono dan keterkaitannya dengan FUSI.
Sebagian besar cerita di dalam buku ini dikisahkan dari sudut pandang Clara, salah satu peserta asal dari Jakarta. Dari awal, Clara berusaha untuk mengenalkan peserta lain. Walau tetap berusaha untuk membedakan peserta yang satu dengan yang lainnya, hanya sebagian kecil yang dapat dikenali dengan mudah. Pada akhirnya memang hanya beberapa yang ditonjolkan. Sebut saja Angga, Sandhy, Krisna, ataupun George. Sangat disayangkan dari semua nama-nama itu, tidak satupun yang meninggalkan kesan mendalam. Sebenarnya tidak ada masalah besar dengan karakter yang coba dihidupkan sang penulis. Saya menikmati beberapa bab yang menceritakan percakapan dan senda gurau mereka. Namun serasa masih ada penghalang yang membuat saya sulit untuk menyukai mereka.
Namun setidaknya dari buku ini saya mendapat gambaran bagaimana pola belajar para peserta olimpiade fisika. Bahkan apa saja yang mereka pelajari. Seperti yang dikatakan beberapa orang, yang mereka pelajari jauh lebih rumit dan kebanyakan dari materinya tidak yang dipelajari di sekolah lanjutan. Misalnya saja Fisika Kuantum, Termodinamika ataupun Fisika Molekuler. Yang jelas bukan masalah bagi mereka yang telah menghabiskan berjam-jam berkutat dengan tumpukan soal-soal Fisika yang kerap muncul di Olimpiade. Setidaknya terbukti dari prestasi nyata yang diperoleh oleh para pelajar yang tergabung di TOFI (Tim Olimpiade Fisika Indonesia), yang menjadi inspirasi bagi Feby Indirani untuk menciptakan FUSI dan beserta rangkaian ceritanya.
Cover Menurutku covernya akan lebih keren dan menarik jika yang ditampilkan tuh sesuatu yang berhubungan dengan fisika.
Dalam Clara's Medal tak melulu soal fisika yang menjadi topik utama, tapi juga perjalanan para peserta disini diceritakan dengan apik, bahkan ada satu bab tersendiri tentang masing-masing kisah-kisah latar belakang dengan pola flashback dan narasi para peserta yang menonjol seperti Arief tentang keluarganya, George dengan kasus bullying-nya, Meddy dengan pengorbanan orang tercinta. Generasi muda penerus bangsa ini tetap termotivasi menjadi pemenang justru karena latar belakang pahit yang menyertainya.
Selain itu, karena buku ini masuk dalam golongan cerita remaja, tentunya tidak lepas dari kisah cinta dong ya. Sebagai satu-satunya peserta perempuan, Clara yang digambarkan cantik macam model ini banyak yang naksir pastinya. Menjadi Primadona di asrama FUSI teman-teman Clara jadi rajin menggoda Clara dengan komentar penuh dengan komedi khas remaja gombal *iya cowok-cowok nerdy juga bisa gombalin cewek cakep kok*. Menurut saya, interaksi sederhana inilah yang membuat Clara's Medal ringan dan tetap menyenangkan untuk dibaca karena Fisika jadi nggak terasa berat yang ada malah lontaran teka-teki konyol dalam rangka ice breaking di kala stres menyapa.
Nah, terlepas dari menariknya kisah dalam Clara's Medal, perlu nih saya komentarin beberapa aspek keseluruhan buku. Untuk karakternya setiap ada karakter yang buka mulut saya masih agak rancu karena kemiripan gaya bahasa yang digunakan, kecuali untuk beberapa karakter dominan seperti Khrisna yang suka ngegombal dan Clara tokoh utama kita. Bahkan disini karakter anak-anak SMA pun melalui setiap ucapannya sudah sangat dewasa melebihi karakter Pak Bram dan Pak Tyo. Dan hampir tidak ada karakter kuat disini, seandainya Bagas tidak Out of Character seperti yang kita temui pada pertengahan cerita dimana ia akhirnya bersikap ramah pada Clara, maka Bagas bisa masuk nominasi. Jadi untuk sementara ini Khrisna masih jadi yang paling kuat meskipun kadang sedikit twisted saat Khrisna mulai bersikap bijaksana, karakternya kembali jadi blur menyatu dengan hampir seluruh karakter yang ada dalam buku ini--sama persis.
Covernya juga saya rasa belum mencerminkan semangat kompetisi maupun mestakung yang diusung dalam buku ini. Sayangnya meski secara umum sudah rapi masih saya temui beberapa typo dalam buku ini. Plotnya kurang fast-paced, alurnya cenderung flashback tapi nggak membosankan juga nggak bikin bingung kok, karena pergantiannya cukup halus. Cara Feby Indirani merangkum kisah ini mengalir renyah, gurih dan meski tidak pedas tapi percikannya terasa disetiap kalimat. Dengan topik motivasi akademik inspiratif yang jarang diangkat, tentang kompetisi akan kompetensi anak bangsa yang dibungkus dalam balutan kisah remaja. Paragrafnya memotivasi tanpa menggurui. Membaca buku ini menyenangkan dan sama sekali tidak berat, jangan parno duluan karena buku ini bukan buku rumus, santai aja kawan. Clara's Medal cocok dibaca siapa saja yang menginginkan sedikit fiksi berbalut kompetisi. Layak dapat empat bintang dari saya!
Selama ini Clara Wibisono hidup dengan impian untuk membawa pulang medali dalam Olimpiade Nasional dan Internasional Fisika. Disaat gadis seusianya menghabiskan waktu mereka untuk sekolah, berpacaran, ikut kegiatan OSIS & cheerleaders, Clara menggunakan waktunya untuk belajar fisika. Tak pernah ada yang memaksanya untuk melakukan itu. Tidak ayahnya yang adalah fisikawan terkenal, dan tidak juga ibunya yang seorang seniman tari.
Setelah melewati seleksi Olimpiade Nasional Fisika, Clara dipastikan menjadi salah satu dari 16 siswa yang terpilih dengan prestasi dan nilai tertinggi. Ke-16 siswa ini akan mengikuti pelatihan dan bimbingan selama kurang lebih 4,5bulan di asrama FUSI. FUSI sendiri adalah lembaga yang dibentuk demi kepentingan pelatihan dan pengajaran fisika untuk siswa di Indonesia. Menjadi siswa perempuan satu-satunya diantara ke-16 siswa tsb tak lantas membuatnya minder dan malu. Dengan sifatnya yang periang, Clara dengan cepat disukai oleh ke-15 peserta lainnya. Ada George, anak Papua yang tidak bermain sepak bola, ada Made yang fans berat dengan MU, Khrisna yang selalu punya lelucon-lelucon kreatif, Dimas, lelaki sensitif, dan ada pula Erik asal Medan yang irit berbicara,dll. Dari sekian banyak laki-laki yang ada di asrama tsb, yang sanggup membuatnya penasaran hanyalah Bagas, si misterius yang lebih suka menyendiri daripada bercengkerama dengan peserta lain.
Persoalan hati rasanya masih bisa menanti, sekarang tugas Clara yaitu fokus pada pelatihan ini. Karena diantara ke-16 peserta FUSI, hanya 12 peserta yang akan diberangkatkan ke Singapura untuk mengikuti Olimpiade Internasional Fisika. Bumbu-bumbu persaingan pun tercium ketika tekanan dari berbagai pihak mulai bermunculan. Kecurangan terjadi dan rasa saling curiga pun tak bisa dihindari. Bukan hanya itu yang menjadi persoalan, masalah yang lebih besar dan rumit pun terjadi ketika salah satu peserta,Bagas malah menjadi tahanan polisi dan keberangkatan mereka semua ke Singapura terancam batal!
Ini pertama kalinya saya baca buku model begini. Jarang-jarang ada novel fiksi bertema fisika yang pasti terdengar mengerikan dan bikin kepala mumet. Apalagi novel lokal. Tapi tenang saja. Isi buku ini sama sekali bukan tentang fisika, melainkan tentang mestakung atau semesta mendukung. Yah, boleh dibilang semacam teori keajaiban berpikir positif.
Saya selalu suka tipe cerita yang banyak tokohnya dan mereka semua punya sifat yang aneh-aneh. Seru pokoknya kalau lihat orang-orang seperti itu digabungkan dan berinteraksi bersama. Di dalam buku ini juga sama. Dari lima belas anak, cuma Clara yang perempuan. Sisanya cowok-cowok ABG yang kebiasaannya membuat mata Clara terbuka. Ada yang jorok, ada yang jahil, ada yang jayus, ada yang super alim, ada yang pendiam, ada yang artistik, ada yang sombong... Beneran bikin kangen masa-masa sekolah.
Saya paling suka kalau mereka mulai main tebak-tebakan. Yah, namanya anak fisika. Canggih-canggih otaknya. Teka-tekinya keren uy, termasuk teka-teki jayusnya. Ngakak, dah. Dan karena saya suka sains, saya juga suka pembahasan percobaan dan teori-teorinya. Petualangan dan adegan-adegannya juga menarik. Bahkan ada juga masalah obat tidur, penjara, dan kekurangan dana. Lengkap satu paket, haha...
Sayangnya, endingnya dibiarkan menggantung. Kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi pada anak-anak itu dalam olimpiade di Singapura. Padahal bagian itu bisa ditambahkan dan pastinya menarik banget.
3 hukum mestakung. Hukum 1: Dalam setiap kondisi kritis ADA jalan keluar. Kondisi kritis ini bisa berupa cita-cita, atau masalah. Hukum 2: Ketika kita melangkah, TERBUKALAH jalan keluar. Melangkah ini bisa berupa niat dan pemikiran strategi untuk keluar dari kondisi kritis. Hukum 3: Ketika kita melangkah dengan tekun, TERJADILAH MESTAKUNG (seMESTA menduKUNG). Melangkah dengan tekun adalah tindakan nyata. Kalau ini dilakukan terus menerus tanpa henti maka kita akan melihat segala sesuatu akan membantu kita sampai kita keluar dari kondisi kritis atau sampai apa yang kita cita-citakan itu tercapai.
keinget dulu waktu SMA, masuk IPA tp tetep gak suka fisika... ah andai dulu guruku melakukan apa yg dilakukan oleh Bram, ayah Clara... hehe
nggak melulu tentang fisika tp jg latar belakang beberapa tokohnya, perjalanan mereka sampai bs masuk ke pelatihan FUSI juga tentang hambatan2 sblm mereka berangkat mengikuti olimpiade...
oia, awalnya aku ngira ini buku terjemahan hehe ternyata karya anak bangsa... kereeeen...
4bintang untuk pak Bram dan pak Tyo unk usahanya membuat fisika menjadi populer dan menyenangkan...
setelah baca buku ini jadi tahu klo tendangan pinalti sepakbola ternyata ada dalilnya juga. memang ada bagian yg menurutku agak kurang pas sih. tapi secara keseluruhan ceritanya ok.