Jump to ratings and reviews
Rate this book

Untuk Indonesia yang Kuat: 100 Langkah Untuk Tidak Miskin

Rate this book
Buku ini memuat pandangan Ligwina tentang bagaimana membuat Indonesia menjadi kuat. Menurut Ligwina, kita harus memiliki Golongan Menengah yang kuat pula untuk mencapainya.

Dalam buku ini Ligwina menjelaskan siapa dan apakah Golongan Menengah tersebut. Golongan Menengah tidak lain adalah mereka yang memiliki pekerjaan tetap, hidup cukup nyaman, tapi masih harus berusaha untuk menjaga gaya hidupnya. Bisa jadi kitalah yang dimaksud sebagai Golongan Menengah. Jadi, kitalah yang bisa membuat Indonesia menjadi lebih kuat.

Ligwina juga menjelaskan berbagai cara untuk menyehatkan keuangan Golongan Menengah ini dengan jelas dengan gayanya yang khas. Cara mengelola keuangan termasuk dana pensiun dan pendidikan dibahas dengan lugas, disertai dengan check list 100 langkah yang harus ditepati untuk menjadi bagian dari Golongan Menengah yang kuat. Karena dengan kuatnya Golongan Menengah, maka kuatlah Indonesia.

Buku ini ditulis dengan penuturan khas Ligwina yang santai, tajam, mudah dimengerti dan mungkin akan membuat pembaca terhibur. Selain dilengkapi dengan ilustrasi yang memperkaya isi, secara visual juga didesain secara khusus agar pembaca dapat menikmati buku ini dari awal sampai akhir.

240 pages, Paperback

First published January 1, 2010

Loading interface...
Loading interface...

About the author

Ligwina Hananto

3 books22 followers

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
228 (29%)
4 stars
287 (37%)
3 stars
193 (25%)
2 stars
39 (5%)
1 star
14 (1%)
Displaying 1 - 30 of 118 reviews
Profile Image for Arief Bakhtiar D..
133 reviews71 followers
June 21, 2021
S

KETIKA saya resmi meraih gelar sarjana, tahun 2013, saya kembali menghitung diri saya dalam angka. Angka-angka itu ialah angka sarjana di negeri ini: saya, kita, masuk golongan minoritas 4% dari 100 juta lebih kaum muda Indonesia yang mayoritas, atau 92,7%, lulusan sekolah menengah atas. Dengan kata lain, kalau cuma melihat profil pendidikan, saya bersaing setara dengan 4 juta lebih sarjana negeri ini untuk memiliki pekerjaan yang layak.

Seperti yang ditunjukkan halaman pertama koran Kompas 28 Oktober 2013, dengan tolak ukur pendidikan, yang memiliki kemampuan di atas saya hanya 0,2% kaum muda lulusan pasca-sarjana atau 188 ribu orang dari seluruh penduduk Indonesia. Saingan terdekat di bawah saya, lulusan diploma, sekitar 2,8%. Tak terlampau banyak.

Melihat angka-angka itu seharusnya hidup tak terlalu sulit. Agak mustahil ada di pikiran bahwa saya akan masuk satu dari 120 juta rakyat Indonesia yang hidup di bawah dua dollar Amerika per hari. Si sedikit, dengan standar pendidikan yang di atas rata-rata, semestinya tidak kalah dengan si banyak. Setidaknya saya bisa membayangkan diri masuk dalam angka yang lain dalam waktu dekat-dekat ini: angka kelas menengah Indonesia.

Menengah—kita tahu bahwa kata ini dikritik, diantaranya, oleh Daniel Dhakidae. Sebab kata “menengah”, menurut segi linguistik, sepadan dengan “memutih, menguning, melebar” yang memiliki arti menuju/menjadi “tengah”. Dari pengetahuan itu “kelas menengah” sesungguhnya kelas yang belum ada. Ia ruang lapang, atau kosong, yang belum diisi. Kelas menengah seolah-olah mengandaikan “sesuatu yang bergerak tak sampai-sampai ke tujuan”. Maka, menurut Daniel, kita mesti menghentikan kebingungan berbahasa itu, dan memakai istilah kelas “tengah”.

Dan untuk melihat kelas tengah itu kita bisa mulai mengamati dari angka-angka. Kelas tengah menurut Nielsen, seperti dikutip dari tulisan Cyrillus Hariwono di Jakarta Post tahun 2008, adalah kelas masyarakat yang menghabiskan 3.450.000 per bulan, atau 41,4 juta per tahun. Jumlahnya 22,5 juta atau 10 persen dari total penduduk Indonesia—jumlah yang menyamai penduduk Malaysia atau Australia. Pengeluaran sebesar itu agaknya sesuai dengan pemahaman Ligwina Hananto yang dalam buku Untuk Indonesia yang Kuat menyebut kelas tengah sebagai “golongan yang berdaya”—punya mata pencaharian memadai sehingga mampu beli buku, makan di restoran, tak kesulitan membiayai sekolah anak dan selalu mampu membeli baju bagus sekaligus tas dan sepatu yang serasi. Kelas “berdaya” itulah kelas yang antre untuk hal-hal di luar beras, air, dan minyak tanah: nonton konser, misalnya, atau di bioskop, atau di teater Taman Ismail Marzuki.

Dari situ orang-orang bisa membayangkan kelas tengah dari apa yang mereka konsumsi: perilaku atau gaya hidup. Konsumsi itu, meminjam Bourdieu, akan menentukan siapa yang memiliki selera tinggi dan yang selera kebanyakan. Anak-anak muda kelas tengah bahkan menunjukkan sikap yang ekstrim, menciptakan “lifestyling” (meminjam istilah Solvay Gerke) dengan, sebagai contoh, menenteng kantong kosong bekas Pizza atau saling pinjam sepatu Adidas untuk menunjukkan bahwa mereka modern.

Tapi bukan berarti kelas tengah hanya soal gaya hidup. Kelas tengah juga melek politik. Kalau ada yang tertindas secara tidak adil, ada reaksi dari kelas tengah untuk ingin berkerumun. Kasus Prita dan kriminalisasi dua petinggi KPK adalah sedikit contoh dari kerumun itu. Taufik dalam Rising Middle Class in Indonesia menyebut kepedulian dari kelas tengah cenderung tanpa pamrih, tanpa bisa disusupi partai politik—meskipun kadang pragmatis dan tetap cari aman.

Tapi kelas ini, yang mulai memiliki selera tinggi dan peduli gaya hidup, nampaknya tidak selalu searus dengan liberalisasi yang menyebar di dunia internasional. Di Indonesia, hampir sama seperti di Brazil dalam tulisan Rana Foroohar berjudul The Scary New Richdi majalah Newsweek tahun 2010, kelas tengah tak mendorong liberalisasi ekonomi. Kebanyakan kelas tengah masih ada yang memikirkan nasionalisme, setuju dengan proteksi ekonomi, dan bangga dengan produk dalam negeri. Juga, di Indonesia, tak mendorong pemikiran yang lebih liberal: kita tidak bisa mengatakan sedikit kepada pelbagai pemikiran konservatif di masyarakat.

Memang, kalau kita bisa bicara sedikit lebih banyak tentang kelas tengah, kita makin merasa ini dunia yang berbeda dengan dunia ibu-bapak kita dulu. Saya lahir dan hidup di keluarga kelas tengah, tapi waktu itu kelas tengah itu sendiri belum menarik dibahas—selain studi-studi politik bahwa kelas tengah Indonesia pada akhir 1980-an dan awal 1990-an tidak menunjukkan tanda-tanda ke arah perubahan politik Indonesia yang lebih demokratis. Kelas tengah masa itu adalah kelas yang sibuk pada urusan ekonomi masing-masing dan cenderung lepas dari proses politik (yang telah diserahkan pada pemegang kekuasaan, sebagian karena merasa tak akan ada perubahan apa pun selama Pak Presiden masih orang yang sama).

Menjadi “golongan yang berdaya” seperti itulah, antara lain, bayangan diri saya dalam waktu dekat-dekat ini. Saya punya sebab optimisme kecil yang lain. Dalam sebuah penelitian di Jawa Barat dan Jawa Timur yang dipublikasikan majalah Prisma, terlihat kecenderungan bahwa ayah cenderung menghasilkan anak-anak dengan kelas yang sama sekitar 71,2%, mobilitas naik kelas sebesar 23,6%, dan turun hanya 5,2%. Ayah saya, seorang kelas tengah yang hidupnya lurus, punya kecenderungan menghasilkan anak yang akan berada di kelas yang sama atau lebih. Untuk naik atau sekedar tetap, bapak saya rasa-rasanya telah memberikan “modal budaya” rata-rata, yang dulu setara sekolah menengah atas, yaitu sekolah sarjana.

Dengan modal itu (ditambah hasil studi Lipset dan Bendix di sembilan negara industri dunia tentang meluasnya lapangan kerja “kerah putih” di dunia kita saat ini) saya mungkin menjadi akan memiliki potongan necis dengan kerah putih, celana kain, dan sepatu pantovel, untuk nantinya sampai di puncak jabatan seperti jalan nasib Yusuf Alaihissalam. Atau saya bisa mulai dari mencari tahu apa yang banyak dilakukan pengusaha muda baru yang kata Taufik, lagi-lagi dalam Rising Middle Class in Indonesia, mencebur dalam tiga kolam besar bernama kuliner, fesyen, dan properti. Atau mencoba kolam lain untuk sekedar menambah uang kecil-kecil—seperti dulu saya pernah jualan kaos atau sate. Memilih menjadi pengusaha, besar atau kecil, dalam struktur yang lebih luas, adalah “penyeimbang antara lonjakan kemampuan membelanjakan uang untuk mengonsumsi dan kemampuan potensi lokal berinvestasi”.

Tentu pilihan-pilihan itu bukan pilihan yang gampang. Apalagi kita akan mengalami liberalisasi yang sebelumnya sulit dibayangkan: orang Myanmar, Kamboja, atau Thailand, barangkali akan mencoba peruntungan di Indonesia. Persaingan mencari kerja bukan lagi dengan sarjana dalam negeri, melainkan juga sarjana luar negeri. Bukan hal baru: sejak dulu orang rela menempuh perjalanan berpal-pal menuju benua yang jauh demi hidup layak.

Saya, kita, kalau-kalau tak kuat tekad dan hati, malah mungkin menjadi sarjana muda dalam lirik lagu Iwan Fals: melangkah lesu dari kantor ke kantor—di tangannya jaket lusuh, dan di bibirnya setangkai rumput liar. “Tak berguna ijazahmu…”
Profile Image for Agoes.
467 reviews32 followers
September 6, 2011
Buku yang memang ditujukan ke golongan masyarakat ekonomi kelas menengah ini memberikan penjelasan mengapa berinvestasi itu penting untuk menjamin masa depan. Konsep-konsep keuangan disampaikan dengan cukup sederhana, sehingga pembaca yang tidak berasal dari latar belakang pendidikan Ekonomi pun akan tetap mampu mengikuti pembahasan dengan mudah. Buku terbitan Literati ini ukuran hurufnya cukup besar dan juga banyak dilengkapi ilustrasi yang menarik, namun membuat buku ini terkesan 'tebal tapi tipis'. Pembaca tidak membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan buku ini.

Meskipun buku ini dikesankan sebagai buku yang dapat digunakan sebagai tips panduan finansial, tapi buku ini lebih banyak membahas tentang manfaat berinvestasi. Tentu saja hal ini wajar karena penulis merupakan seorang perencana keuangan, sehingga dia akan lebih banyak membahas hal-hal yang digelutinya setiap hari. Sebenarnya hal itu membuat pembahasan lebih cocok dibaca oleh orang-orang yang memang posisinya sebagai karyawan dan akan seterusnya menjadi karyawan.

Sayangnya, tidak banyak pembahasan mengenai entrerepenurship di buku ini. Padahal dalam salah satu langkah 'tidak miskin' dituliskan bahwa seseorang sebaiknya memiliki bisnis sendiri. Pembahasan yang kurang dalam aspek ini menimbulkan kesan bahwa pembahasannya tidak berimbang dan buku ini seolah lebih seperti iklan agar masyarakat lebih banyak menggunakan jasa financial planner. Saya sendiri tidak terlalu banyak memahami konsep ekonomi karena latar belakang pendidikan saya bukan jurusan Ekonomi, tapi saya merasa bahwa menggantungkan masa depan melalui investasi reksadana saja juga masih kurang. Mungkin ini dipengaruhi oleh pengamatan saya terhadap keluarga saya yang semuanya berwirausaha, sehingga mereka lebih banyak memiliki 'uang betulan'.
Profile Image for Kirana.
7 reviews1 follower
June 8, 2017
Mengingat generasi millenial katanya susah buat beli rumah 😢, menurut saya buku ini perlu dibaca.

Yang saya suka, penulis benar-benar ngasih motivasi untuk mengelola uang dengan baik dan benar. Bukan cuma untuk kesejahteraan pembaca sendiri tapi juga untuk orang sekitar. Pokoknya, golongan menengah adalah sumber kekuatan negara. Jadi kalau golongan menengah kuat, negara juga kuat.

Yang saya kurang suka, pemaparan langkah-langkah menuju kuat itu kurang sih hehe, sepertinya tetap perlu cari referensi lain. Untungnya, ada tabel 100 langkah untuk tidak miskin yang berguna untuk bikin target ke depan (kalau ga males, hehe)
Profile Image for mei.
480 reviews112 followers
June 28, 2016
BAIKLAH

MARI KITA BUAT PERUBAHAN


cukup berhasil membuat termotivasi dan terbuka wawasannya ya. tapi masih agak kurang lengkap. dan data yg ditampilkan tahun 2009an sementara saya bacanya 2016. tapi cukup membuat saya ingin menjadi sesuatu yg berbeda hehe
Profile Image for Nur Afifah.
16 reviews
January 5, 2018
Untuk Indonesia yang Kuat
Financial Planning Guide for Dummies

“Jangan merasa hebat jika Anda kuat sendirian.” – Ligwina Hananto dalam “Untuk Indonesia yang Kuat”

Baru baca bab 1 dan sudah terkagum-kagum. Ligwina Hananto mengajak pembaca nya untuk mulai melek finansial sedari dini. Tujuannya tak lain agar masyarakat Indonesia -khususnya generasi mudanya- mulai bijaksana mengelola keuangannya. Mulai dari pemaparan kondisi generasi muda saat ini : memiliki penghasilan tetapi sebelum akhir bulan sudah merasa kehabisan uang, memiliki barang-barang bagus tetapi kuatir karena tidak punya tabungan, atau nongkrong dan liburan jalan terus tapi tidak kunjung memiliki tempat tinggal sendiri.
Selanjutnya, pembaca akan diajak untuk mulai menyusun rencana keuangan yang terdiri dari menganalisis kondisi finansial saat ini, dilanjutkan dengan penetapan tujuan finansial (e.g ingin punya rumah sendiri di umur 35 tahun), dan akan diakhiri dengan cara mencapai tujuan finansial tersebut.
Ligwina mengajak pembaca untuk membagi tujuan finansial nya menjadi tiga tipe : jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Berbagai produk yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan finansial tersebut pun beragam sesuai dengan tipenya bisa dengan tabungan, deposito, berbagai macam reksadana (terproteksi, pasar uang, pendapatan, campuran konservatif, campuran moderat, dan saham), serta pemanfaatan aset aktif.
Buku ini disertai dengan contoh penghitungan rencana keuangan seperti dana pensiun, dana pendidikan, dana darurat dan lain-lain sehingga memudahkan pembaca untuk memahami ilustrasi perencanaan keuangan yang dimaksud penulis.
Terakhir, penulis memberikan beberapa checklist yang dapat dijadikan tolak ukur dalam menjalankan rencana aksi keuangan : demi menjadi seseorang yang kuat secara finansial yakni financial independence (mandiri finansial) dan lebih baik lagi jika mampu mencapai tahap financial freedom (kebebasan finansial).
Karena ketika kita kuat, kita bisa membantu memperkuat orang lain untuk waktu yang lebih panjang :)
Profile Image for Marina.
2,007 reviews310 followers
August 23, 2014
** Books 228 - 2014 **

Buku ini layak saya berikan 4,4 dari 5 bintang! bagus banget! membuka mata kita sebenarnya mengenaai golongan menengah di Indonesia yang jumlahnya cukup besar di Indonesia! Apa itu golongan menengah? Golongan menengah itu adalah orang-orang yang tidak pernah pusing memikirkan mau tinggal dimana, makan 3x sehari cukup, bisa menyisihkan uang untuk hobi dan berlibur. Seriusaan itu SAYA BANGET! dan gak banyak orang indonesia yang berada di kondisi ini.. Golongan menengah ini gak bisa dibilang miskin karena mereka sudah tidak mikirin akan makan hari ini atau tidak tetapi juga tidak dibisa golongan kaya karena masih panik kalo ada inflasi atau kenaikan bensin

Golongan menengah ini tidak akan ada yang membantu masalah keuangan krn mereka bukan golongan miskin. Tetapi dalam kenyataannya golongan ini banyak mempunyai utang kartu kredit, belum punya rumah di umur 30 tahun, belum bisa membayar tagihannya sendiri dan masih kesusahan memikirkan uang sekolah anak dan dana jika dia pensiun nanti.

Saya sukanya di buku ini detail dijelaskan juga ada kan orang yang berprinsip kalo menabung itu udah aman. Jangan salah menabung pun ada kerugiannya dan itu gak cukup! coba kalo diitung sama Inflasi dan biaya administrasi bank.. Wahh bisa2 saat inflasi tinggi nilai uang yang kita tabung tiada artinya.. Contoh saja menurut Data BI,sekarang Inflasi di Indonesia Juli 2014 ini mencapai 4,53% terus rata2 tabungan hanya dapat bunga 4% wihh.. rugi donk nilai mata uang kita tergerus sebesar 0,53%.. Itulah yang saya katakan tabungan tidak cukup.. Sehingga menurut perencanaan keuangan mbak Lidwina, Keuangan kita juga harus disupport oleh Instrumen Investasi lain seperti Reksadana dan asuransi.. Jangan lupa juga mindset kita harus diubah! jangan menabung setelah sisa pengeluaran tapi sisihkan lah minimal 10% tabungan kita diawal.. Untuk mengakali ini bisa dengan disimpan di amplop kayak jaman2 dulu.. cuman kalo saya pribadi, saya memilih memisahkan uang tabungan saya ke rekening bank yang berbeda.. jadi kasarannya akun bank yang buat belanja dan tabungan bener2 dipisah.. jadi biar tidak tercampur..

Tipikal orang-orang berbeda-beda untuk melakukan investasi.. Ada tipikal yang high risk high return, moderate risk moderate return.. low risk low return.. gak pernah ada saya menemukan orang yang pengen high return tapi low risk.. dimana-mana kalo ingin mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi pasti harus siap dengan risiko yang lebih tinggi. saya sendiri sedang mencoba mempraktekkan isi buku ini.. Portofolio investasi saya tidak hanya di tabungan karena saya paham bunga tabungan akan tergerus oleh nilai inflasi saat ini, tapi ada misalnya yang saya bekukan ke deposito, reksadana campuran yang bersifat moderate risk dan dana pensiun. ihh kok masih muda usia 25 tahun udah mikirin dana pensiun? saya mencoba berpikir ke depan masa sih kalo kalian pensiun mau ikutan ngerepotin anak dan cucu? independent financially!.. saya juga berharap kalo bisa sih pengen nambah portofolio lagi ke reksadana saham yang hasilnya baru bisa dinikmati diatas 15-20 tahun, logam mulia dan properti.. *semoga tiga ini cepet terkabul Aamin!

Di buku ini disebutin kalo kita membutuhkan DANA DARURAT! Apa itu dana darurat?
Dana Darurat ini adalah sejumlah dana yang siap jika terjadi kondisi yang darurat, misalnya terjadi PHK, sakit, kecelakaan, kematian.
Normalnya perhitungan dana darurat adalah sebagai berikut :
Single = 4 x pengeluaran bulanan
Double (keluarga tanpa anak) = 6 x pengeluaran bulanan
Keluarga dengan 1 anak = 9 x pengeluaran bulanan
Keluarga dengan 2 anak = 12 x pengeluaran bulanan

Jadi Inti dari buku ini yang pertama kali adalah tujuan kalian kedepan apa?? Iyah banyak golongan menengah ini yang penghasilan 60 jutaan pertahun tapi ternyata ga punya apa-apa.. Rumah pun masih numpang, padahal disatu sisi ada juga banyak yang penghasilan cuma 2 jutaan tapi bisa beli rumah.. Tujuan kita akan mendirect bagaimana gaya hidup kita.. juga mempersiapkan bagaimana kelak hari tua kita.. agar kita tidak menyesal dikemudian hari..

Financial Independent means:
1. Pay your own bills
2. Pay your own debt
3. Buy your first property

While, Financial Freedom are:
1. Passive Income > Monthly Expenses
2. Achieving Financial Goals
3. Assets Ownership (Business, Property, Paper)


Sudah sehatkah keuangan kalian teman2?
sayaaa sukaa banget sama buku ini! sayang ini pas baca punya orang! semoga saya bisa menemukan buku ini.. biar bisa menjadi kompas untuk memilih instrumen investasi yang sesuai dengan saya..
4,4 dari 5 bintang!

Sumber Data Inflasi :
http://www.bi.go.id/id/moneter/inflas...
Profile Image for Felly.
235 reviews
June 28, 2011
Kalau dipikir ini adalah versi Indonesia "How to Saving Money for Dummies".
Kalau dipikir lagi buku ini ingin seperti Rich Dad, Poor Dad karya Robert T. Kiyosaki.

Yang pasti buku ini adalah sebuah karya anak bangsa Indonesia yang menginginkan perubahan terutama pada anak Indonesia yang berasal dari golongan menengah. Sebuah hipotesis yang boleh jadi tidak mustahil apabila semua orang dari pihak "golongan menengah" dengan sadar diri melaksanakan apa yang dijuruskan oleh Ligwina Hananto yang notabene seorang financial planner.

100 jurus mengelola keuangan di akhir buku boleh dikatakan cukup membantu untuk menggarisbawahi apa saja yang kita belum dan telah lakukan untuk menyelamatkan aset keuangan yang kita miliki sekarang dan di masa depan.

Cover, tampilan dan ilustrasi yang menarik mata mungkin membuat buku ini khusus ditujukan untuk kawula muda. Walaupun sebenarnya bahasannya serius mengenai mengelola keuangan, tapi Ligwina Hananto telah berhasil menjabarkan A-Z poin-poin dalam perencanaan keuangan pribadi dengan contoh atau studi kasus yang simple (mirip dengan Robert T. Kiyosaki).

Buku ini boleh jadi menjadi penyegaran bagi saya sejak terakhir kali membaca Rich Dad, Poor Dad sekitar tahun 2000an.
Profile Image for Devi R. Ayu.
76 reviews10 followers
March 18, 2013
"I'm secure", that's the first thing crossing in my mind before i decided to take some action in life. But somehow after i read this book i realize that i must gain my own financial freedom, make a plan on it and be responsible of my life so that i can out loud enough to say "i'm secure". Because the more we stronger, we can help others to become stronger as well. Then i will be secure.

Buku ini membuat saya tambah kuat dan anti menye-menye, well paling engga menurunkan kadar menye-menye dalam memandang hidup. Yang menohok sekali saat saya membaca definisi golongan menengah serta perkiraan besarnya dana pensiun yang saya butuhkan nanti adalah 10 kali lipat dari biaya hidup saya saat ini dengan memperhitungkan inflasi. Masih bisa bilang secure? Ayo selamatkan diri sendiri!

Berikut Definisi golongan menengah ala Ligwina Hananto:
"Buat saya, golongan menengah artinya golongan yang berdaya. Kita punya mata pencaharian dan mampu makan tiga kali sehari. Kita punya atap di atas kepala. Mungkin juga rumah kontrakan, mungkin rumah orangtua, mungkin juga sudah jadi rumah sendiri. Yang pasti, kita tidak perlu kuatir harus tidur dimana malam ini"

Menabung saja tidak cukup rupanya....

"Give a man a fish and you feed him for a day. Teach a man to fish and you feed him for a lifetime" - Lao Tzu
Profile Image for Afrizal Ramadhan.
13 reviews1 follower
September 4, 2013
suatu ketika direktur teknik saya ketika itu mengatakan, "kejarlah apa yang menjadi prioritasmu". akhirnya setelah membaca buku ini saya mengerti dan memahami, tahap usia seseorang berpemahaman berbeda, saya yang masih muda ini merasa belum perlu untuk secure. yes i am, "risk taker". tapi setelah membaca ini, bikin pemahaman saya sedikitnya berubah. bahwa keamanan dalam keuangan itu penting, apalagi jika ingin menjadi kaum menengah yang mengangkat kaum di bawahnya dan bertahan dengan kaum diatas, seperti itu yang di gambarkan buku ini. yang pernah saya tahu dari pakar keuangan adalah membuat atau meng create pos-pos keuangan sebanyak-banyaknya dan memangkas pos pengeluaran sebanyak2nya, hidup efisien. dan ini adalah 100 langkah yang membuat saya perlu untuk menyadarinya. saya harus secure, minimal untuk diri saya dan keluarga saya.
Profile Image for Ren Puspita.
1,052 reviews908 followers
March 28, 2019
3 bintang

Jadi..abis baca Make It Happennya Prita Ghozie yang reviewnya bisa dibaca disini dengan segala kejulidannya :))), gue cukup berekspektasi tinggi buat bukunya Ligwina Hananto ini. Eniwei, gue tahu Ligwina dari Twitter dan keliatan banget kalau orangnya asyik dengan tweet2nya yang nyambung ke gue baik secara financial ataupun political atau human issues. Nah karena itu juga gue bela - belain cari buku ini yang ternyata juga cukup langka. Beruntung gue dapat di tokopedia (penyelamat banget emang ya e-commerce ini), dan walau bekas untungnya masih bisa dibaca (ya ada bagian yang dicoret - coret sih)

Sayangnya, ekspekstasi gue kurang kebayar. Halaman acknowledgementnya aja udah 3 halaman sendiri. Ya mungkin Ligwina excited atau gimana, tapi ini mah kepanjangan hahaha. Bagian pertama lebih berisi opini Ligwina terkait kaum menengah (which is, gue jelas masuk kaum ini), dimana ekonomi Indonesia tergantung banget ma kaum menengah. Masalahnya, ini buku keluaran tahun 2011, dan gue ga tahu apa pendapat Ligwina masih relevan ma kondisi tahun 2018-2019. Apalagi judul buku ini yang sangat tendensius yang sayangnya menurut gue kurang bisa dieksekusi Ligwina. Gue cukup kecewa juga karena buku ini kebanyakan memuat artikel - artikel lama entah itu kolom di majalah atau isi siaran, yang walaupun benernya isinya bagus, tapi beberapa bagian jadi berasa diulang - ulang.

Meskipun begitu, yang bagian financial oke kok. TAPI KURANG BANYAK, HEUHEU. Ketimbang Prita, Ligwina lebih joss ngajak buat investasi. Intinya, investasi terutama reksadana atau saham itu punya risiko. Apalagi prinsip saham yang high risk high return itu udah bikin jiper duluan. Tapi Ligwina juga jelasin kalau risk itu bukan sesuatu yang harus ditakuti selama kita paham. Ya ini gue juga merasa related karena gue kan belajar risk management juga di kantor, hehe. Inti pembelajaran financial Ligwina benernya ya sama kayak yang dibilang Prita. Nabung atau invest itu mesti tahu dananya buat apaan, tujuannya apa dan durasinya berapa lama. Bahasan tentang dana pendidikan, dana darurat dan asuransi cukup bikin gue deg - degan sih, apalagi dana pendidikan. Soalnya dana pendidikan di area Jabodetabek dan terutama di area gue depok, itu mayan banget. Ya bisa aja gue nanti sekolahin (calon) anak gue di sekolah negeri. Masalahnya sekolah negeri di Depok ga sama kayak sekolah negeri jaman gue di Malang dulu yang emang prestigious. Jadi kayaknya emang mesti swasta. Haha puyeng ya mikirin masalah anak, gitu kenapa banyak anjuran nikah muda dan punya banyak anak berseliweran sih? (lha gue ngelantur :P)

Bottom line, bukunya Ligwina ini mayan, ga terlalu religiously preachy kayak bukunya Prita. It's inspiring and give some insight into financial system also how to become financially independent. Gue bahkan kasih buku ini ke misua gue buat dibaca, karena gue sadar kalau kami berdua ternyata ga ngerti - ngerti amat masalah finansial padahal kami ini kan kaum menengah yang emang dibahas sama Ligwina di buku ini. Bukunya sendiri udah keluaran lama, tapi terlepas dari potensi kaum menengah buat ekonomi Indonesia yang entah masih relatable atau ngga, info2 finansialnya wajib banget dibaca (dan dipraktekkan. Yang..entah kapan =))) )
Profile Image for Rifa Mulyawan.
5 reviews3 followers
April 30, 2013
Pernah pesimis dengan Indonesia? Kalau Anda pernah berkata, “Gila kali…” “Kapan yaaaa…?” atau sekedar “Hahaha...” ketika seseorang bertanya apakah Indonesia bisa membuat hal yang lebih spektakuler dari yang pernah dilakukan Negara maju, artinya Anda pernah pesimis dengan negara ini. Bukan Cuma Anda kok. Saya dan (mungkin) ratusan juta orang Indonesia lainnya juga setidaknya pernah merasa Indonesia jauh dari bayangan akan menjadi negara kaya raya tanpa hutang, yang para pemimpinnya menjadi tuntunan, yang jauh dari permasalahan lingkungan, yang teknologinya bisa menguasai pasar dunia, yang para atlet serta musisinya menjadi yang terbaik diseluruh dunia, dan tentunya rakyatnya hidup makmur dan selalu bahagia.

Belajar ilmu politik di kampus pernah membuat saya semakin bingung dengan permasalahan negara ini. Semakin dipikirkan, semakin tahu berbagai macam permasalahannya, dan semakin bingung apa yang sebenarnya perlu dibenahi terlebih dahulu, semakin yakin negeri ini tidak bisa diperbaiki lagi dan semakin tidak mau memikirkan negeri ini. Kesimpulannya, semakin saya suka memikirkan masalah negara, maka saya semakin tidak mau memikirkannya.

Hal tersebut menjadi salah satu hal yang membuat saya setelah lulus kuliah tidak ada niatan untuk berkecimpung di dunia politik, selain memang karena nilai saya jelek dan tak layak sepertinya untuk berada di dunia politik. Politik memang berkaitan erat dengan kenegaraan, berbagai macam permasalahan di negara ini toh bersumber dari politik. Ujung-ujungnya politik, begitu kata orang (orang mana?). Ya setidaknya, itulah yang ada dalam pikiran saya dulu. Sampai pada waktunya, saya menyadari bahwa ternyata tidak melulu harus berkecimpung di poltik (atau lingkarannya) untuk mengubah negeri ini.

Ligwina Hananto, seorang perencana keuangan independen yang turut menyadarkan saya dan dengan jelas serta berani dalam bukunya -yang berjudul Untuk Indonesia yang Kuat: 100 Langkah untuk Tidak Miskin- mengungkapkan bahwa negeri ini bisa kuat kalau golongan menengahnya itu kuat. Memangnya siapa itu golongan menengah? Dan sehebat apa mereka sehingga bisa-bisanya dikatakan bisa menjadikan negara ini kuat? Itu pertanyaan yang terlintas di benak saya saat membaca pernyatan Ligwina gersebut.

Sederhananya, Ligwina mengutarakan bahwa golongan menengah adalah golongan yang berdaya, yang memiliki mata pencaharian dan mampu makan tiga kali sehari. Namun golongan ini belum tentu punya uang, yang jelas mereka tidak melarat. Intinya, dibilang kaya raya yang punya uang puluhan miliar bukan, dibilang tidak mampu juga tidak pas, ya ditengah-tengah lah pokoknya. Merasa seperti itu? Kalau ya, selamat! Kita berada di golongan yang sama, golongan yang menurut Ligwina memiliki peran penting untuk memperkuat bangsa ini. Mengapa golongan menengah? Ada banyak alasan yang diungkapkan Ligwina mengapa golongan menengah yang perlu dikembangkan dan kelak bisa menjadi salah satu faktor majunya negara ini, antara lain karena jumlah yang signifikan dan jumlah yang signifikan tersebut bisa digerakkan untuk berinvestasi.

Lantas, bagaimana caranya? Untuk memperkuat negara, tentunya kita perlu memperkuat diri kita terlebih dahulu. Mengatur keuangan adalah hal yang harus kita lakukan untuk memperkuat diri kita. Golongan menengah berada di tengah-tengah, suatu hari ia bisa ke atas (kaya raya), bisa juga ke bawah (jatuh miskin). Untuk menjadi kaya atau miskin, itu berada di tangan kita, kitalah yang menentukan. Mau kaya atau miskin? Kalau mau kaya, kita harus mengatur keuangan kita.

Hal pertama yang perlu kita lakukan dalam mengatur keuangan kita adalah memeriksa kondisi keuangan kita saat ini. Kita harus mengetahui apa saja yang kita punya serta mengetahui berapa penghasilan dan pengeluaran bulanan kita. Setelah itu, kita harus menentukan tujuan finansial kita, apakah itu untuk dana pensiun, dana pendidikan, dana pembelian aset, dan lain sebagainya. Barulah kita kemudian melakukan berbagai cara demi meraih tujuan finansial kita tersebut.

Salah satu cara penting dalam meraih tujuan finasial kita adalah beinvestasi. Ya, berinvestasi, bukan sekedar menabung. Beda? Ligwina menjelaskan secara gamblang pebedaan menabung dan berinvestasi. Pada intinya, dengan menabung, uang kita akan mengalami penyusutan nilai karena terhadang inflasi. Namun, dengan berinvestasi, uang kita akan bekerja untuk kita dan di masa depan akan melampaui nilai inflasi. Ada banyak cara yang dapat kita lakukan, yang termudah, kita bisa memulai dari reksadana.
Kita juga perlu merubah pola pikir kita yang selama ini menggunakan penghasilan untuk konsumsi terlebih dahulu dan kemudian sisanya ditabung. Seharusnya, setelah mendapat penghasilan, kita harus menyisihkan untuk investasi terlebih dahulu (beserta asuransi dan dan dana darurat), baru sisanya untuk pengeluaran konsumtif.

Itu saja?
Tentu tidak, masih banyak kiat lain yang dibagikan oleh Ligwina dalam bukunya ini untuk kita terapkan dalam kehidupan kita demi menjadi golongan menengah yang kuat, yang kemudian bisa memperkuat negara ini. Beberapa kiat tersebut tidak hanya terfokus pada bagaimana menjadikan kita menjadi lebih kaya, namun juga terdapat ajakan untuk berbagai kepada orang lain, dengan beramal ataupun memberikan ‘kail’ pada mereka yang kurang mampu.

Di akhir bagian buku Untuk Indonesia yang Kuat: 100 Langkah untuk Tidak Miskin ini, terdapat 100 langkah rencana aksi keuangan yang bisa kita ikuti dan targetkan kapan kita bisa mencapai langkah demi langkah tersebut. Apa saja 100 langkah untuk tidak miskin itu? Berikut saya salinkan sebagian untuk Anda:

1. Memiliki penghasilan
2. Memisahkan pengeluaran bulanan dengan pengeluaran mingguan
3. Pergi ke ATM seminggu sekali
4. Mengerti cara kerja kartu kredit
5. Utang kartu kredit lunas setiap bulan
6. Membayar pajak dan melaporkan SPT
7. Punya rencana keuangan buatan sendiri
8. Mamu membayar semua tagihan/biaya hidup sendiri
9. Punya dana darurat minimal sekali biaya hidup sebulan
10. Punya fasilitas kesehatan yang cukup (dari kantor atau beli asuransi kesehatan sendiri)
11. Mampu beramal minimal 2,5% dari penghasilan bulanan
12. Memiliki rekening belanja
13. Mampu menyisihkan 10% dari penghasilan bulanan untuk ditabung
14. Mengatur penghasilan tahunan dan pengeluaran tahunan
15. Mampu berlibur tanpa berhutang
16. Mengerti tentang apa reksadana dan fungsinya dalam rencana keuangan
17. Mengerti fungsi asuransi dalam rencana keuangan
18. Punya rencana keuangan komprehensif buatan sendiri atau dibantu perencana keuangan independen.

Loh kok hanya 18?
Kebetulan, dari 100 langkah rencana aksi keuangan ini, saya baru sampai ‘mengamalkan’ hingga tahap ke-18. Untuk sisanya, Anda bisa membacanya sendiri di buku ini ya ^_^.

Tidak menyesal kok kalau Anda membeli buku ini. Pesan yang ingin disampaikan disajikan secara menarik. Tidak sekedar buku merencanakan keuangan, tulisan di dalamnya berasal dari misi ingin Indonesia yang lebih kuat. Ligwina telah memberikan kontribusinya pada negeri melalui buku ini. Nah, kita juga bisa berkontribusi pada negara kita dengan melakukan apa yang ditulisnya di bukunya ini. Memang sih (bagi saya) harga buku setebal 240 halaman ini agak mahal, Rp 72,000.00. Namun sangat besar kemungkinan dari Rp 72,000.00 ini kita kelak bisa mendapatkan uang berlimpah-limpah yang jauh lebih besar. Oh ya? Saya sih percaya.
Profile Image for Ginan Aulia Rahman.
220 reviews24 followers
October 4, 2017
Kesan saya terhadap buku ini, "Kok menyeramkan banget sih jadi kelas menengah? Lebay bet. Wah. Buku ini sih nakut-nakutin aja biar konsultan financial planner laku."

Eh, ternyata penulisnya juga bilang begitu. Heuheu. Tapi ya tidak bisa dipungkiri bahwa kecerdasan dan perencanaan finansial itu penting. Sayangnya, tidak banyak orang yang tahu.

Bagi saya, buku ini cukup membuka mata dan wawasan soal pengelolaan uang. Yang perlu kita ingat bersama bahwa gengsi tidak boleh menguasai pikiran dan hati kita. Bergaya hiduplah seadanya dan berkaryalah seedannya!

Hal penting lainnya adalah soal kebijaksanaan membelanjakan uang. Apakah yang kita belanjakan adalah barang-barang yang nilainya menyusut, sementara, dan semu? Ataukah barang itu adalah aset bagi kita untuk bertumbuh dan semakin lebih baik? Nah, kita harus pandai mendahulukan prioritas dan selektif dalam membelanjakan sesuatu.

Jika untuk membeli barang yang menyusut nilainya, kita utamakan fungsinya saja. Tidak perlu beli barang baru dan bermerk agar kelihatan keren, tapi eh akhirnya malah berutang. Misalnya mobil, motor, handphone. Kalau bisa beli barang bekas, mulus, dan berfungsi layak, ya beli barang sekon aja.

Jika untuk membeli aset, utamakan yang terbaik. Rawat dengan kepedulian. Oh ya, bicara soal aset. Diri kita adalah aset juga. Belanjakan uang kita untuk menunjang kesehatan, pendidikan tambahan, dan kursus-kursus yang mengembangkan skill kita. Malah menurut saya, lebih baik fokus dan membesarkan porsi untuk pengembangan sumberdaya manusia diri sendiri. Karena orang berkualitas akan dibayar lebih mahal dari apapun!

Profile Image for Ani Septiani.
4 reviews1 follower
October 20, 2011
Alhamdulillah ya buku ini bikin saya dan teman saya sedikit galau, hehehe.
Bagaimana tidak? sedikit baca buku ini, saya jadi tertarik menghitung alur keuangan saya. Dan hasilnya...hampir saja lebih besar pasak daripada tiang, yep!

Dengan keadaan keuanga seperti itu, bagaimana bisa saya, mungkin anda juga, mewujudkan Indonesia yang sejahtera?

Ya, semua orang mencita-citakan Indonesia yang lebih sejahtera, Indonesia yang dulu diramalkan bakal jadi kekuatan baru ekonomi dunia. Nyata-nyatanya?

Sudahlah ya, mungkin bukan zamannya lagi kita merutuki keadaan bangsa kita ini, tanpa gerak yang berarti dari diri sendiri.

Ligwina Hananto- pakar financial planner- berbagi idenya lewat buku berjudul Untuk Indonesia yang Kuat: 100 Langkah Untuk Tidak Miskin

Dengan mengusung golongan menengah Indonesia, yang menurut beliau adalah kunci dari keterwujudan Indonesia yang adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia. Apa itu golongan menengah?
Definisi sang penulis adalah golongan yang memiliki pekerjaan, yang aman dalam sisi pensejahteraan perutnya, sandangnya, dan kebutuhan hiburannya.

Dan menurut saya, golongan menengah itu adalah golongan yang tidak di atas dan juga tidak di bawah. hehe, bingung ya? iya, jadi maksudnya golongan ini adalah golongan yang pas-pasan...pas butuh, pas ada. Gak berlebih.

Kenapa harus golongan menengah?
karena, golongan ini adalah golongan yang paling berpotensi, dari sisi jumlah juga.

Oleh karena itu, golongan menengah ini adalah sasaran dari apa yang dimaksud penulis untuk mencapai Indonesia yang lebih baik. golongan ini yang akan dibina dari sisi pengelolaan keuangannya, sehingga ketika dia sudah makmur, maka diharapkan dia bisa turut memakmurkan golongan yang ada di bawahnya. Dari sisi kedekatan, mungkin golongan menengah lebih bisa masuk, lebih bisa diterima dari pada langsung dari golongan atas.

Yang pertama dibahas dalam buku ini, adalah persepsi tentang menabung dan berinvestasi.

Menabung pangkal kaya. Bisa jadi. Asalkan tidak terjadi inflasi. Ini yang membuat saya jadi ngeuh. Menabung adalah berarti jumlah uang yang kita tabung adalah sama, sesuai dengan apa yang kita tabungkan, alias jumlahnya akan statis. Tabungan bisa kita gunakan jika ada keperluan mendadak. Tapi akan habis setelah kita pakai untuk keperluan mendadak tersebut. Belum lagi Inflasi, seperti apa yang saya katakan tadi.

inflasi ini begini loh, cerita gampangnya, dulu waktu saya kelas 3 Sd, harga bala-bala di dekat rumah saya harganya 100 perak/ buah. Nah sekarang sudah melonjak menjadi 500/ buah. Ada kenaikan harga sebesar 400 rupiah. Apa artinya? itu berarti ada penurunan harga mata uang kita. Itu baru sekitar 11 tahun yang lalu. Bisa jadi di tahun 2045 harga satu bala-bala sudah mencapai 10000/ buah.

Nah kalo investasi?

Investasi itu bisa jadi ngikutin Inflasi, cuman hasilnya secara keseluruhan akan naik. Kayak harga bala-bala tadi, makin mahal kan ya?
Dari yang saya tangkap dari buku ini, investasi memang gak selalu untung, tapi andai kita ngerti caranya- keuntungan yang akan jadi hasilnya.
Contohnya, untuk berinvestasi jangka pendek dibawah 5 tahun, ya carinya keuntungan di bawah 15 %, untuk jangka 5 tahun- carinya yang keuntungan sekitar 15 %, jangka panjang? bisa jadi sampai 25 % / tahun.

Ada yang membuat saya tercengang ketika baca buku ini. Yaitu kisah dari sahabat penulis sendiri. Di ceritakan bahwa sahabatnya itu, sebut saja A, yang memiliki gaji 30 jt/ bulan. Waw...saya kira, saya belum pernah bertemu orang yang gajinya sebesar itu. Pasti banyak banget yang udah dia lakukan. Tapi...
Diceritakan bahwa, A sedang pusing memikirkan biaya sekolah anaknya, karena dia tidak memiliki simpanan sedikit pun. What?! 30 juta gitu loh! Kemanain itu semua?
Ternyata eh ternyata, gajinya habis karena gaya hidupnya, ya...bisa dibilang tinggi. Cicilan mobillah, atau apalah yang perlu di cicil.

Nah loh! Bagaimana dengan kita?
Mungkin ada diantara kita yang ingin membantu tetangga sekitar kita, ada yang ingin bantu masyarakat di Gunung Kidul sana- yang penduduknya banyak putus sekolah dan akhirnya di kawinkan, padahal masih muda banget. Yang akhirnya menghasilkan kemiskinan turun temurun. Mungkin ada juga yang ingin mendirikan sekolah di Indonesia bagian Timur sana...

Maka dari itu, buku ini menyodorkan solusi. Beranilah untuk mengatur keuangan sendiri, berinfestasilah, dan jadi kayalah.

Walau saya belum menjadi golongan menengah Indonesia, siapa coba? yang tidak ingin hidup lebih sejahtera dan mensejahterakan orang lain?

Harga pendidikan itu semakin tinggi, kesehatan mahal...lalu bagaimana kita bisa membantu orang lain kalo diri sendiri juga morat-marit?

Dulu wali kelas waktu saya SMA( Bu Elin ) pernah berkata, orang yang memberikan uangnya pada pengemis, tapi dia sendirinya juga butuh. Artinya orang itu bodoh ( bahasa sebenarnya lebih kasar- go***k)

Hm? saya pikir, ih si Ibu...kok bilangnya begitu ya

Tapi kalo dipikir-pikir mungkin benar juga, gimana bisa nolong orang kalo kita sendiri gak bisa nolong diri sendiri?

Tapi ya gitu deh, mungkin sebagian orang berpikir, " Kan setiap orang punya rizki masing-masing...Allah udah ngatur, asal banyak sedekah...insya Allah rizki akan selalu lancar..."

Iya memang ada benarnya begitu, tapi bukankah lebih baik kalo kita bisa mengatur keuangan kita, jadi sedekah kita gak berantakan.

mancing rezeki dengan sedekah, itu baru ikhtiar sunahnya, ikhtiar wajibnya ya dengan usaha dong ya.

" Keburukan yang terorganisir akan menang daripada kebaikan yang tidak terorganisir "


Buku ini di tutup dengan 100 daftar yang perlu dicapai untuk mencapai Indonesia yang lebih kuat.

Pokoknya buku ini bagus deh. Cocok dibaca oleh semua kalangan ( remaja ke atas ), utamanya sih yang sudah bekerja dan berkeluarga atau yang akan berkeluarga, dan yang mempunyai visi dan misi besar di keesokan hari. Yang terpenting adalah konsep mensejahterakan bukan hanya diri sendiri, tapi juga orang lain.

Tagline favorit saya : Kami tidak takut!

Profile Image for Sally Siawidjaja.
194 reviews1 follower
May 18, 2013
Tiap beberapa tahun, selalu ada saatnya kesadaran gue timbul untuk memperbaiki kondisi keuangan misalnya mau berspekulasi di pasar saham atau bermimpi menjadi warren buffet. Tapi uang gue selalu habis untuk nongkrong dan boros ga jelas.

Usia 20an adalah usia pemberontakan bagi gue, udah bisa kerja dan punya gaji, ga perlu minta duit sama orang tua dan bebas menentukan mau dihabiskan kemana. Fokusnya lebih ke kesenangan sementara dan ketemu cowok yang cuma bisa nemenin aktivitas hura-hura gue.

Saat di usia 30an banyak perubahan yang terjadi dalam hidup gue, gue putus sama pacar hura-hura gue dan menemukan 'My One' (alias suami gue). Akhirnya uang bukan cuma sarana untuk membuat seneng diri sendiri saat ini tapi uang berarti keharmonisan rumah tangga dan masa depan yang nyaman.

Fokusnya menjadi beli rumah, persiapan untuk punya anak, beli mobil, dana pensiun, dll. Keinginan hura-hura menjadi lebih tertahan dan keinginan memiliki kebebasan finansial lebih besar. Untungnya suami gue adalah orang yang mempunyai pemikiran yang sama dengan gue. Akibat keinginan tersebut, mulailah gue dan suami membuat perencanaan dengan menabung dan membeli reksa dana.

Karena gue termasuk tipe orang yang: warm chicken poo (anget2 tai ayam :D) buku ini gue beli untuk menambah motivasi, ingin mencari perbandingan antara kondisi finansial gue dengan orang lain, dan juga mencari tahu apakah ada informasi tambahan yang dapat membantu perencaan gue menjadi lebih sempurna. Dan memang ternyata buku ini sangat membantu.

Gue belajar konsep bahwa kita bisa mempunya berbagai jenis produk investasi untuk tujuan berbeda. Jadi bukan cuma berdasarkan produk misalnya 1 tabungan konservatif dan 1 jenis reksa dana untuk berbagai jenis kebutuhan. Tapi konsep pemikiran baru adalah tentang berbagai jenis tabungan dan reksa dana untuk tiap tujuan yang berbeda. Begitu sudah tercukupi dana bisa diambil untuk tujuan tersebut dan kemudian kita bisa memfokuskan uang atau produk tersebut untuk tujuan yang lain. Ga pernah terpikirkan buat gue atas hal ini. Jangan memaksakan menggunakan investasi yang mempunyai untung besar dengan risiko besar untuk tujuan yang bisa dipenuhi dengan investasi untung medium dan risiko medium.

Menurut gue buku ini lebih cocok buat orang yang sudah berusia 30an dan sudah mulai dewasa dalam berpikir. In a perfect world, kita ga akan punya utang konsumsi kartu kredit, investasi di berbagai reksa dana, dan mempunyai dana darurat sesuai dengan aturan yang ada. Kenyataannya gue dan beberapa temen gue adalah contoh orang yang disebut dibuku ini 10 tahun bekerja, belum punya uang atau tabungan sebesar 100 juta.

Tapi to be honest, gue ga terlalu menyesali masa 10 tahun itu, gue melewati moment indah memboroskan uang, menikmati liburan yang menyenangkan. Justru di usia 20an, fokus gue adalah mencari jati diri dan mencari pasangan yang tepat. Kalau bukan di usia 20an kita bersenang-senang, kapan lagi? When we are young everything seem possible, the world is our oyster. Make as many memories as you can so that you can look back and glad that you did it. Jangan banyak pikiran, asalkan kemampuan berhutang dibarengi dengan kemampuan tidak dikejer debt collector dan kemampuan bahwa ketika suatu hari ketika kita udah siap untuk lebih memikirkan masa depan, hutang itu dapat diselesaikan dan mulai serius menabung. Salah satu hal yang membuat gue dan suami gue tidak terlalu bernapsu untuk boros adalah karena kita sudah puas boros di masa muda dan sekarang waktunya untuk berhemat.

Selain itu buku ini juga mengajak kita untuk bersatu untuk perekonomian negara dengan berinvestas dan penggunaan dana yang kita miliki untuk membantu sesama. Ada beberapa website rekomendasi yang membantu untuk melakukan sumbangan.

Dari diri gue sendiri dan pengalaman gue, ini beberapa guide dalam mengatur keuangan yang ga ada di buku manapun (mungkin ajaran ngaco, feel free to ignore)

1. Hutang kartu kredit harus lebih rendah atau sebanding dengan asset yang dimiliki dan kesenangan yang didapat atas hutang itu. Jadi kalau kepepet, bisa jual asset dan bayar hutang kartu kredit tanpa dikejer-kejer debt collector. Dan kita ga akan terlalu depresi karena ga punya asset karena kita punya memory yang indah. But no drugs guys!!

2. Biaya lifestyle berpengaruh sama kumpulan temen yang dipunya. Kalau mau irit tapi masih bisa bersenang-senang, cari teman selevel. Jangan punya temen nongkrong dengan level diatas kita karena kita harus mengikuti gaya hidup mereka.

3. Jangan punya cowok/cewek tukang morotin, kalaupun pun tanpa sadar punya, at least ganteng/cantik/sexy atau bisa dipergunakan sebagai asisten pribadi dan bikin kita senang. Tapi kalau tuh cowok udah ga ada duit, ga perhatian dan malah nyebelin silahkan dibuang ke laut aja. Ketika udah puas bersenang-senang di usia muda, pas usia 30an mulailah mencari cowok yang berpikiran kedepan bersama kita, mencari uang untuk membeli rumah dan dana pensiun. Kalau cowok cuma ngomong doang dan ga action, malah bertingkah dan tukang ngambek, mending stop aja di usia 20an. Don't waste your time.

4. Biaya untuk "gaji" tuh cowok/cewek maksimal 20% dari hutang kartu kredit kita. Jadi kalau pun udah putus dan kita kelilit hutang, kita bisa menganggap itu biaya dari kesenangan kita dan kita masih bisa survive, recover dan mulai lagi dari awal. Refer ke point 1.

Anyway, buku yang pantas dibaca bagi semua orang. Sebagai penutup, Horror story from a friend: Gaji dibawah 10 jt, hutang 150 jt akibat ketiban masalah dan lifestyle yang ga kekontrol. Ditambah lagi punya suami gaji pas-pasan sukanya barang branded, kemungkinan punya selingkuhan, ga perhatian, kebanyakan gaya dan sok kegantengan. Akhirnya dikejer kk bank sampe didatengin ke kantor dan diancem untuk dipecat, untuk bayar minimum payment aja ga sanggup karena ga ada asset dan sekarang mau ngurus cerai. Let this be a warning not to make the dumbest choice possible. Waspadalah!!! WASPADALAHHHH!!!!!
Profile Image for Cindy.
24 reviews20 followers
July 11, 2017
Buku ini perlu dibaca banyak orang. :)

Kutipan paling kusukai:

"Golongan Menengah yang Kuat untuk Orang Sekitarnya. Ketika kita kuat [secara finansial], kita bisa memperkuat orang lain untuk waktu yang lebih panjang. Jangan merasa hebat jika Anda kuat sendirian. Menjadi Golongan menengah yang kuat adalah menjadi masyarakat berdaya. Kita bukan kelompok orang yang mengeluh tidak bisa makan, apalagi tidak mampu menyekolahkan anak. Maka, alangkah indahnya jika 'kekuatan' ini dapat disebarkan untuk orang lain. Bukan sekedar beramal untuk orang kurang mampu, tetapi juga menciptakan lapangan pekerjaan dan memberikan 'kail' yang selama ini tidak mereka miliki karena kalah kesempatan, bukan kalah kemampuan."
Profile Image for Merlyn.
32 reviews
November 18, 2018
I am not a fan of financial book but this book is different. I like how Ligwina describe our financial issue very detail. We always think that middle class Indonesians is nothing but this class takes the major portion of this country. She explains how to secure our finance (she made me realize that we need to have at least urgent money for 12 months. It thought it would be okay for 3 months only. Here are some points that I like from this book

1. Urgent money for 12 months (p.27)
2. Retired fund = 2 x montly expense (p.64)

3. How to calculate retirement fund (p.76)

4. Retirement period (p.79 and 103)

5. Protection money (p.112)

6. Urgent money calculation(p.114)

7. Kinds of insurances (p.118)

8. How to take insurance tenor (p.122)

9. Invest retirement fund based on age (p.126-127)
Profile Image for inggitnurba.
13 reviews
June 15, 2021
Pertama kali mendengar buku ini adalah ketika di mention oleh salah seorang influencer yang menjadikannya salah satu buku penggugah jiwa untuk mencapai financial freedom.

Diterbitkan tahun 2010, buku ini menjelaskan bagaimana populasi kelas menengah menjadi kelas yang rentan karena disebut kaya bukan orang kaya, disebut miskin masih bisa makan enak 3 kali sehari. Maka kelas menengah ini perlu diperkuat, perlu mengetahui bagaimana caranya mengatur keuangan.

Hal yang paling membuat aku seperti punya banyak PR adalah ketika mencoba menceklis daftar 100 langkah untuk tidak miskin. Hanya beberapa yang bisa aku ceklis, lalu berakhirlah membayangkan perjalanan kedepan adalah tentang proses mencapai semua daftar langkah-langkah itu.
Profile Image for Rizal Asrul.
7 reviews
August 1, 2021
Buku yang sangat cocok dibaca oleh kita yang ingin memulai untuk ngerapihin keuangan kita. Apalagi seluruh studi kasusnya sangat relate dengan kita yang tinggal di Indonesia.

Buku ini diawali dengan penjelasan mengenai golongan menengah yang jumlahnya cukup besar di Indonesia. Golongan menengah ini tidak bisa dibilang miskin karena mereka tidak lagi memikirkan apakah hari ini dia akan makan atau tidak, tapi tidak juga dibilang golongan atas karena masih panik kalau ada inflasi atau kenaikan bensin.

Menyenangkan bisa membaca buku ini.
Profile Image for Sulin.
237 reviews56 followers
September 19, 2021
Bertele-tele, hal yang harusnya bisa diringkas jadi 2 paragraf bisa dibahas sampe 5 halaman. Terlalu banyak self insert menceritakan diri sendiri dimana pembaca tidak peduli. Hampir setengah buku awal fafifu waswes wos.

Sebetulnya agak gak fair juga aku ngasih judgement gini karena memang ilmu di dalamnya basic banget dan ditulis di 2011. Young adults di tahun 2021 mainnya udah jauh dan sebagian besar udah melek literasi keuangan.
Profile Image for Muthia.
33 reviews6 followers
February 27, 2022
Buku ini menjadi pengingat bahwa menabung saja tidak cukup untuk menjadi golongan menengah yang kuat, diperlukan perencanaan keuangan yang komprehensif untuk mencapai kemandirian dan kebebasan finansial. Hanya saja penulis kurang detail dalam memberikan contoh-contoh produk keuangan yang dapat digunakan dan simulasi kasus-kasus keuangan yang biasa terjadi.
April 2, 2022
Selesai baca buku ini ternyata banyak banget point yang aku highlight, itu berarti buku ini memang isinya daging. Suka banget dengan cara mbak wina menyampaikan tujuan menulis buku ini kedalam tulisan. Aku sendiri merasa buku ini tidak muluk sehingga lebih mudah untuk diterapkan dalam mengatur keuanganku sekarang.
Profile Image for Lintang Dwi.
19 reviews58 followers
May 14, 2018
Baca buku ini dapet pencerahan sekali tentang gimana harusnya mengelola keuangan dengan mudah. Disajikan secara sistematis, dengan infografis menarik. Termasuk salah satu buku yang berpengaruh buat diri saya pribadi. Alhamdulillah masih kepake sampai saat ini
Profile Image for Enie Suastini.
2 reviews14 followers
June 1, 2017
salah satu buku financial yg saya baca berulang-ulang ditulis oleh financial planner terkemuka Ligwina hananto, dengan jargon favoritnya, tujuan lo apa?
Profile Image for Maryamz.
54 reviews26 followers
March 28, 2018
An eye-opening book and easy-to-read to lead you to "how to get a financial freedom"
Profile Image for M Bramantyo.
43 reviews
September 30, 2018
Buku bacaan yang bagus untuk menambah khazanah literasi keuangan. Penekanan produk yang dipakai ialah reksadana, mulai dari reksadana saham hingga reksadana pasar uang.
Profile Image for Nurul.
1 review
August 20, 2019
Sejak tuntas baca buku ini jadi lebih aware sama keadaan keuangan sendiri. Akhirnya merombak cara pakai uang dan mulai investasi kecil-kecilan.
Profile Image for Irmaningsih.
11 reviews
December 21, 2020
First financial book that I red. It enlightens me about financial. Book that I will recommend to everyone.
Read
February 23, 2023
bagus banget untuk literasi keuangan. Teh Wina ngejelasinnya bagus banget. Sayangnya bukunya udah gak dijual lagi.
Profile Image for Ime'... Imelda.
93 reviews16 followers
June 11, 2011
Buku ini gue beli di salah satu toko buku di Jakarta, karena waktu itu lagi killing time aja. Tertarik dengan judulnya, dan beberapa kalimat di salah satu bab, akhirnya gue memutuskan membeli buku ini (harus memilih dari dua buku yang menurut gue sama-sama menarik). Dan, gue harus bilang, gue nggak kecewa sih belinya.

Buku ini cerita tentang bagaimana golongan ekonomi menengah di Indonesia itu sebenarnya rentan untuk menjadi miskin. Dilengkapi dengan definisi golongan ekonomi menengah, gue semakin seneng dengan buku ini. Karena, gue sempet dapet pertanyaan dari bos gue, "Golongan ekonomi menengah itu, kira-kira ada batasannya nggak yah?" So, in some sense, buku ini juga menolong gue untuk men-scope salah satu studi gue (hahaha).

Tapi, yang paling gue suka dari buku ini adalah buku ini bisa menggerakkan gue, untuk mulai berpikir mengatur keuangan gue. Iya, gue spare some of my money untuk tabungan gue, tapi gue nggak pernah berpikir lebih jauh tentang investasi. Ini adalah salah satu alasan kenapa gue ngasih 4 bintang juga, karena gue merasa tergerak untuk melakukan apa yang ada di buku itu.

Another thing yang membuat gue memberikan 4 bintang pada buku ini adalah bahasanya yang cukup mudah untuk dimengerti. Jadi, menurut gue, orang nggak akan bosen ngebacanya. Apalagi, menurut gue, buku Ligwina Hananto ini adalah non-fiksi. Umumnya, buku non-fiksi ngebuat gue ngantuk. Tapi, ternyata buku ini nggak juga. Properly written lah.

Gue juga cukup suka dengan layoutnya, nggak terlalu ngeburem'in mata. Makanya, gue ngasih 4 bintang sama buku ini, karena basically, this book is good. Terutama untuk orang yang rada cuek sama masalah keuangan kayak gue.

"Golongan menengah adalah:
- orang-orang yang memiliki penghasilan tetapi sebelum akhir bulan sudah merasa kehabisan uang
- memiliki utang berkepanjangan yang tidak ada habisnya
- memiliki barang-barang bagus tetapi kuatir karena tidak punya tabungan
- memiliki hidup yang berkecukupan tetapi kuatir tidak mampu menyekolahkan anak-anak dengan baik
- memiliki rumah tinggal tetapi berkemungkinan besar harus menjual rumah bagus ini karena tidak punya dana pensiun" (page 39, rephrased)

ime'...
Profile Image for Cinthya Yuanita.
39 reviews4 followers
April 27, 2014
Buku "serius" pertama yang berhasil saya lahap sampai penghabisan. Sangat mencerahkan dan sukses membuka sudut pandang baru tentang dunia finansial yang selama ini saya abaikan. Begitu membaca beberapa halaman pertama, saya seolah ditampar dan diingatkan dengan sangat keras. Saat ini saya bukan lagi bocah ingusan yang hanya bertanggung jawab pada sebongkah celengan babi penuh recehan. Saya, anak muda dari golongan menengah, yang seharusnya sudah mulai membuka mata terhadap kewajiban finansial--yang ternyata memiliki jumlah mencengangkan! Buku ini amat baik dibaca untuk kalangan pemula seperti saya. Ligwina mengemas sesuatu yang dipenuhi kerumitan angka-angka dengan penuturan yang menyenangkan dan mudah dipahami.

Saya baru tahu ternyata tidak semua tulisan didedikasikan khusus untuk membuat buku ini. Ada banyak potongan tulisan Wina yang sudah sempat dipublikasikan sebelumnya. Sayangnya, beberapa potongan itu, menurut saya pribadi, kurang relevan untuk disatukan ke dalam tema besar "Untuk Indonesia yang Kuat". Selain itu, beberapa bab berakhir mengambang. Antusiasme saya yang tengah mencapai puncaknya pada bab "Menabung Saja Tidak Cukup", dipadamkan seketika dengan akhir yang antiklimaks. Saya berharap Wina memaparkan lebih jauh tentang langkah-langkah jitu dalam merencanakan keuangan. Ternyata ekspektasi saya tak terbayarkan. Pun saat sampai pada bagian "Financial Independence dan Financial Freedom", keingintahuan saya terpaksa digantungkan di atas ketidakpuasan. Tapi terlepas dari detail yang kurang ditekankan--mungkin justru itulah yang menjadi pamungkas seorang financial planner--buku ini memberikan pelajaran yang sangat luar biasa bagi orang-awam-yang-ketika-SMA-gagal-paham-tentang-prinsip-ekonomi-seperti-saya. Kita perlu lebih banyak orang seperti Ligwina Hananto, yang mengubah misi pribadi menjadi sebuah gerakan bersama membangun bangsa.
Displaying 1 - 30 of 118 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.