The Fall and the Heart by S Rukiah is one of the lesser known classics of the Indonesian revolutionary era and arguably the strongest piece of prose writing by an Indonesian woman author before the 1970s. Rukiah’s account of a young, middle-class woman’s experiences with her lover, her family, and the struggle for independence is deceptive in its simplicity and through The Fall and the Heart Rukiah presents a rare and thoughtful rendition of the idea and emotions of young people who had one foot in the revolution for its own sake and the other foot in the revolution as a reflection of personal crisis. The novella depicts and interweaves the stories of an individual fate and a family history more believably than any other work of its time. Rukiah is one of only a handful of Indonesian writers to have looked at the negative impact that the Indonesian revolution had on lives and relationships.
"Dan bila kita telah tiba pada tujuan ini, dengan sendirinya, macam paham-paham yang ada di sekitar kita itu seperti fasisme, demokrasi, sosialisme, atau komunisme akan menjadi kecil dan hilang. Tinggal kemanusiaan tetap ada dan berkuasa, sedang manusia tentu akan kembali kepada kemanusiaannya." (Rukiah, 2017:46)
Susi: "Engkau terlalu romantis, tak baik buat seorang pemberontak macam engkau." Luk: "Apa salahnya? Rasa ini adalah hak milik manusia. Hak milik kita semua, bukan hak kaum borjuis saja. Kita boleh bercinta. Mengapa tidak? Cuma sayangnya, ya, aku seorang komunis. Bukankah engkau tahu itu? Konsekuensinya? Akibat-akibatnya juga sudah tahu itu? Tentu sedikit banyak engkau sudah tahu tentang ajaran-ajaran itu dari buku-buku kepunyaan Mansur dan Harun, juga dari keterangan-keterangannya bila mereka mengajar anak-anak di sini. Jadi buatmu tak aneh lagi. Tapi sekarang ada yang mau aku katakan: komunisme itu lebih dari stelsel ekonomi. Komunisme itu satu ajaran, satu keyakinan. Malah lebih lagi, komunisme itu semacam satu agama bagi penganut-penganutnya yang jujur. Konsekuensinya? Di mana reaksi hitam lagi jaya, dengan terang-terang atau gelap, kaum komunis akan diberantas oleh yang berkuasa [...] Tapi, pokoknya supaya orang mengerti, bahwa masih ada di dunia ini sebagan orang-orang yang tidak menyerahkan hidupnya kepada kepuasan nafsu individu sebagaimana yang dikehendaki dan dicita-citakan manusia umum." Susi: "Itulah sebabnya engkau tak boleh bercinta," kataku menindas kebenaran suara di hati yang sedih [...] Dan memang ingatan ini mesti mati. Engkau akan mati dengan komunismemu, aku juga akan mati bersama ketidaktahuanku. Dan kita akan mati berpisahan."
Nama S. Rukiah menghiasi linimasa saya dalam beberapa bulan terakhir. Dua orang teman yang kemudian merekomendasikan buku ini pada saya. Judulnya Kejatuhan dan Hati dalam Bahasa Indonesia. Penulis perempuan pascaperang seperti Rukiah memberikan perspektif baru buat saya. Sangat personal. Gaya menulis Rukiah, dengan menggunakan tokoh Susi sebagai sentral cerita, memberikan banyak gambaran soal keadaan masa itu lewat romansanya dengan laki-laki yang singgah di hatinya. Bagaimana ideologi kadang diinterupsi oleh kekerasan, melupakan kemanusiaan, yang akhirnya mengantarkan manusia pada pertanyaan akan kebenaran. Kebenaran seperti apakah yang coba dicapai lewat tangga ideologi tertentu? Apakah kebenaran akan tetap menjadi sebuah kebenaran jika hal itu mengalpakan kasih? Rukiah mengetengahkan konflik diri Susi, yang buat saya, masih relevan hingga saat ini. Nosi perjuangan untuk lepas dari 'moraal burgerlijk' (moralitas borjuis).
Dalam kisahannya dengan Rustam, kamu akan menemukan bagaimana Susi menjadi pribadi yang hangat di antara optimismenya soal cinta dan jeratan puritan batas-batas nilai keluarga yang tak bisa dilepaskannya. Kemudian, Susi lari. Melarikan diri lebih tepatnya. Keputusan yang biasa kita lakukan ketika kita merasa hati kita terlalu kaku karena rasa sakit yang dipikul terlalu lama. Kisahnya berlanjut pada Luk dan romansa pergerakan. Cerita yang selalu ingin didengarkan 'jiwa-jiwa' pemberontak kecil dalam diri kita masing-masing. Bahwasanya, masih ada cerita lama, perasaan lama, yang kemudian datang menjadi cerita baru yang mana kita yakin di sanalah kebenaran berada. Berakhir dengan Par, Rukiah memberikan kepahitan dalam usaha kita pada menepikan keterasingan dalam diri kita masing-masing.
Buat saya, buku ini jadi titik balik lainnya. Tak banyak pengarang perempuan yang saya baca bukunya. S. Rukiah memberikan gambaran pahit tentang pertentangan-pertentangan yang ada dalam hati saya, dan saya yakin kalau hal ini sama juga dengan beberapa pembaca. Perasaan tak sendiri hadir ketika membaca halaman per halaman. Tuturan Rukiah tentang hubungan emosional antartokoh membuat hal itu mewujudnyata, walaupun saya tidak punya gambaran latar sama sekali, baik waktu maupun tempat. Semua hanya mengandalkan kekuatan kausalitas cerita dan tokoh saja.
Dengan bahasa yang tidak sulit untuk dibaca, Rukiah menyampaikan pandangannya soal keluarga, cinta, pernikahan, komunisme, kekerasan, perjuangan, dan gerak politik yang mengusung tinggi revolusi awal/akhir tahun 50-an (mungkin?). Menyebut semua nama besar dari Dostoevsky, Tolstoy, hingga Huxley, buku ini (kalau meminjam istilah seorang teman) memang narasi orang kalah. Bukankah semua perjuangan merupakan narasi orang-orang yang kalah?
10 tahun lalu ada yang mengatakan pada saya: "Kemanusiaan terjadi jika cinta dan perjuangan berjalan beriringan." Lewat buku Rukiah, saya tahu, hal itu tidak mungkin. Mungkin, tapi tak mudah. Tak pernah mudah. Seringnya gagal. Setidaknya, Rukiah membawa saya pada satu penghiburan. Bahwasanya, semua yang 'dibikin-bikin' memang meninggalkan hati luka dan perasaan terhina, apapun konteksnya, baik perasaan maupun perjuangan.
Bacalah dan tenggelam dalam kisahan Rukiah tentang cinta dan perjuangan, yang isinya, ya memang, tidak lain adalah kejatuhan.
I got really into this story in the end! Revolution and society bring rules, rebellion, choices, and consequences, all told through a simple tale-as-old-as-time theme (love, relationships, despair). This is a short, slight book but the themes really give us a lot to think about.
Obviously I'm in my Indonesia phase 🙂 🇮🇩 but you don't really have to have prior specific knowledge about the political situations and revolutions there to understand or relate to Susi and her story and the constraints placed on her by family, society, politics, and her own choices.
The Fall and the Heart was one of three books I bought for the Kindle, to strengthen my awareness of Indonesian fiction in preparation for talking with Lily Yulianti Farid at the Bendigo Writers Festival. At Amazon, it comes with an enticing blurb:
A novel by S. Rukiah, The Fall and the Heart (Kedjatuhan dan Hati), published in 1950, is one of the strongest works written by women writers before the 1970s. The novel tells of a middle-class woman who lived during the 1965 revolution, her thoughts, emotions and interactions with family, lovers and social environment. S Rukiah is one of the few authors who wrote about the negative impact of the revolution on a personal relationship.
Interestingly, at the Lontar Foundation's website, it says that Rukiah is one of the many Indonesian writers who have looked at the Indonesian revolution’s negative impacts on lives and relationships. One of the few, or one of the many? Which is it??
Anyway... Certainly this novel is one of the few books exploring this theme that's available in English, so it would have been great if the book had been a compelling study of the emotional lives of young people caught up in the revolution, but, well, it's not.