Pandji Pragiwaksono's Blog, page 10

December 2, 2014

Mesakke Bangsaku World Tour: Beijing #spon

Kalau ditanya apa kesan akan Beijing, saya akan jawab “Tak ada duanya”


Beijing, ibu kota Republik Rakyat Tiongkok adalah rumah bagi 21 juta jiwa. Tidak seperti Jakarta, 21 juta ini beneran tinggal di Beijing, bukan pendatang dari Bekasi atau Tangerang yg masuk kota hanya untuk bekerja.


Semua yang ada di Beijing, tidak ada duanya.


Tembok Cina yang luar biasa, tak ada duanya. Dibangun selama 200 tahun, merentang sepanjang pulau Jawa merupakan keajaiban dunia buatan manusia. Lebih tepatnya buatan manusia yang diperbudak.

Bangunannya sih dari dekat beneran hanya seperti tembok. Secara arsitektural lebih mengagumkan Borobudur karena Borobudur tidak menggunakan perekat. Bangunan raksasa itu berdiri dengan teknik kuncian batu yang efektif & jenius.

Tapi panjangnya Tembok Cina yang luar biasa ini membuat kita terpekur. Betapa kompak bangsa Tiongkok ini dan betapa lama mereka kompak untuk sepakat membangun tembok sepanjang ini.


Makananpun di Beijing tak ada duanya. Ada sih mungkin di negara lain tapi pengalamannya itu tak tergantikan. Makan kecoak & makan kalajengking tak pernah terpikirkan sebelumnya. Namun karena suasana WangFujing yang festive dan atas nama rasa penasaran, akhirnya saya makan juga. Kalajengking ternyata cukup enak. Seperti kulit ayam goreng. Kecoak ini nih yang bikin saya nyesel. Karena ketika dikunyah rasanya seperti…. Kecoak -_-*


Banyak destinasi seru selama di Beijing yang sayangnya tak sempat sepenuhnya dijelajani karena waktu yang sempit, Qianmen & Sanlitun adalah area belanja & makan yang seru. Wanfujing-pun tak sempat banyak dijelajahi.

Walau sebenarnya kami tahu tak akan banyak belanja. Maklum, di Beijing belanja merk asing mahalnya bukan main. Hampir 2 kali lipat. Karena pajaknya sengaja dibuat tinggi oleh pemerintah Tiongkok. Agar orang terdorong beli produk lokal.


Manggung di Beijing juga tak ada duanya. Di hadapan 300 orang lebih, manggung rasanya bikin ketagihan. Walhasil lagi lagi saya Stand-up 2 jam lebih. Berarti dari London, Berlin, Amsterdam, Guangzhou & Beijing saya tak pernah stand-up kurang dari 2 jam. Padahal materi sudah saya kurang-kurangi. Entahlah, kadang di panggung tawa penonton menyulut semangat saya. Tiba-tiba 2 jam, aja.


Satu hal yang juga tak tergantikan, adalah untuk pertama kalinya tim MBWT dijamu makan malam oleh Duta Besar RI utk Tiongkok & Mongolia, Bapak Sugeng Raharjo. Bersama dengan GM Garuda Indonesia Beijing, Pak Asa Perkasa kami berbincang banyak dari perlunya kemampuan bangsa untuk auto-kritik, kebijakan Jokowi sampai toilet yang tak ada semprotan airnya.


Beijing jadi kota terakhir di 2014 sebelum kami lanjut ke Los Angeles Amerika Serikat di April 2015. Garuda Indonesia, tak putus memberi dukungan luar biasa kepada kami tim MBWT juga berkomitmen untuk tuntaskan tur dunia pertama dalam sejarah Indonesia ini hingga LA. Kalau anda perhatikan, setiap usai pertunjukan para penonton selalu ngetweet seraya mention @IndonesiaGaruda & berterima kasih telah mensponsori & membawa saya ke kota mereka. Ucapan tersebut memang dilayangkan ke alamat yang tepat. Kerja sama yang berangkat dari 1 kesamaan: Kecintaan terhadap Indonesia & keinginan bersama untuk membangun bangsa.


IMG_8731.JPG


IMG_8749.JPG


IMG_8735.JPG


IMG_8730.JPG


IMG_8754.JPG


IMG_8742.JPG


IMG_8740.JPG


IMG_8753.JPG


IMG_8757.JPG


IMG_8755.JPG


IMG_8727.JPG


IMG_8728.JPG

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 02, 2014 08:53

November 14, 2014

Mesakke Bangsaku World Tour: Guangzhou #spon

Guangzhou.


Bagaimana caranya sebuah kota yang ada di negara represif dengan kebebasan berpendapat yang hilang, dengan tanpa twitter, tanpa facebook, tanpa youtube, bisa menghadirkan 530 penonton di Mesakke Bangsaku Guangzhou?


Entah.


Tapi itulah kehebatan teman teman FAMIG. Federasi Mahasiswa Indonesia Guangzhou yang sudah 10 tahun berdiri. Just like every other individual living in China, these youngsters from FARMIG hustle to get things right.


Saya & Gilang Bhaskara kaget ketika mengintip dari belakang panggung ke arah kursi penonton.

Penuh.


Sudah penuh, ternyata penontonnya “empuk” pula. Para penonton mudah sekali dibuat tertawa. Joke joke kecil dimakan dengan begitu lahap. Kalau sudah begini, hilanglah grogi & puas rasanya ketika turun panggung.


Tidak cukup kami terbahagiakan dengan suksesnya pertunjukan, hanya di Guangzhou pula kami dijamu makan oleh Garuda Indonesia & KJRI. Jarang jarang kami diajak jamuan makan di restoran mahal selama tur.


Secara penyelenggaraan, Guangzhou bisa jadi salah satu yang terbaik. Rapih sekali. Tak perlu lama tinggal di Guangzhou untuk tahu bahwa kesuksesan anak anak FAMIG datang dari daya juang yang tinggi. Hasil tempaan lingkungan.


Di Guangzhou kalau anda tidak menguatkan diri anda tidak bisa bertahan. Tertindas oleh orang orang lain yang semaunya & ingin seenaknya, sepraktisnya mereka.


Saya baru sampai hotel tempat kami menginap, sudah melihat mobil NAIK TROTOAR karena mau melawan arah.

Saya & rombongan kaget & tidak menyangka ada mobil naik trotoar.


Besoknya ketika ingin sarapan, di trotoar samping hotel ada seonggok kotoran manusia. Di atas trotoar. Entah siapa yang nekat buang air besar di situ. Mungkin buru buru, mungkin males, mungkin semaunya saja.


Guangzhou juga terkenal sebagai tempat orang belanja dalam jumlah banyak, berkoper koper, berkarung karung untuk dijual di Indonesia.

Dari mainan, pakaian, sepatu, topi, tas KW hingga iphone 6 KW, headphone KW bahkan Go Pro KW tersedia di sini.


Saya & tim MBWT jelajahi tempat tempat belanja tersebut yang lingkungannya sangat mengingatkan saya akan asemka di Jakarta. Tapi kami juga ke daerah yang historia, juga ke daerah yang maju & modern.

Opera housenya, perpustakaannya, Guangzhou towernya yang tertinggi ke 3 di dunia menyadarkan saya bahwa kota ini adalah kota yang begitu berkarakter.

Kompleks tapi berkarakter.


Agak mirip saya hehe


IMG_8456.JPG


IMG_8458.JPG


IMG_8462.JPG


IMG_8459.JPG


IMG_8450.JPG


IMG_8452.JPG


IMG_8454.JPG


IMG_8457.JPG


IMG_8451.JPG


IMG_8460.JPG


IMG_8461.JPG


IMG_8453.JPG


IMG_8455.JPG


IMG_8449.JPG


IMG_8463.JPG

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 14, 2014 17:10

November 9, 2014

Mesakke Bangsaku World Tour: Amsterdam #spon

Apa rasanya ya kerja sekerasnya, berkreasi sebaiknya, lalu setelah dapat hasilnya, kena pajak penghasilan 30% – 52% ?


Tanya saja kepada penduduk Belanda.


Waktu saya di Amsterdam, kaget juga rasanya. Walau kita bisa berargumen bahwa tentu standar penghasilannya di atas kita tapi coba anda rasakan saja penghasilan anda hilang lebih dari setengahnya.

Tentu tidak berlaku rata, semakin besar penghasilan semakin besar pajaknya.


Di sisi lain, parkir di Amsterdam sejam Rp 75.000. Saya dan rombongan Mesakke Bangsaku World Tour naik taksi selama kurang lebih 15 menit, tarif yang kami bayarkan nyaris satu juta rupiah. Sekitar Rp 800.000-an


Kemana semua uang itu pergi?

Rata rata ke infrastruktur & ke sistem jaminan sosial yang menjamin tidak ada yang akan mati karena jatuh miskin di Belanda.

Termasuk mereka yang pemabuk, penjudi & pemalas.

Mereka mereka tadi yang hidup di pinggir jalanan akan mendapatan makanan, uang & tempat berteduh dari pemerintah. Ketika mereka mengemis di pinggir jalan adalah karena mereka ingin uang lebih untuk mabuk, atau judi.


Infrastruktur di Amsterdam sih cukup bagus. Tidak terlalu spesial sebenarnya. Tram membawa kita ke manapun. Sisanya, kebanyakan orang di Belanda naik sepeda. Ada jalurnya yang membuat mereka bisa kemanapun kapanpun.


Pemerintah juga menganjurkan rakyatnya untuk mulai menggunakan mobil listrik dengan cara memberi diskon kalau mau beli mobil listrik & menyediakan alat untuk ngecharge mobil di beberapa titik secara gratis.


Sekilas, kesannya tidak enak tinggal di Amsterdam. Tapi kalau kita perhatikan masyarakatnya, mereka justru tampak….. bahagia.


Amsterdam, mencerminkan kebebasan yang bertanggung jawab ala Belanda.

Di sini ada partai politik utk para gay, ada Red Light District di mana anda bisa menghisap ganja secara legal, juga menikmati (kalau anda mau & punya uangnya) prostitusi legal. Di hari hari tertentu kalau anda beruntung gadisnya cantik cantik sekali. Istri sayapun bilang cantik.

Lucunya, di negara yang segalanya serba bebas ini penjara penjara banyak tutup. Dibongkar & dibangun ulang jadi kompleks perumahan atau kantor.

Mengapa penjara ditutup?

Nggak laku.

Kejahatan turun drastis.


Lucu ya. Bebas tapi tidak ada yang kebablasan.


Standup di Amsterdam adalah sebuah kebahagiaan tersendiri. Bisa jadi di antara semua destinasi Mesakke Bangsaku World Tour, paling banyak warga Indonesia yang menetap sejak lama adalah di sini. Membawa kisah mengenai Indonesia kepada mereka adalah sebuah kehormatan.

Pelajar yang ada di sini juga entah kenapa memberi kesan yang beda.

Banyak yang bilang pelajar Indonesia di Berlin orangnya saklek, disiplin, serba buru buru karena harus tepat waktu. Itu terasa juga oleh kami, tapi pelajar Berlin otaknya gila gila. Mereka menyambut meriah joke joke yang keras.

Sebaliknya, pelajar di Belanda anak anaknya terkesan santai santai, tapi relatif lebih santun & konservatif. Awwe & saya merasakan bedanya sambutan yang didapat ketika melemparkan joke yang nyeleneh.


Tapi ga tau bagaimana ceritanya saya yang rencananya stand-up selama 1.5 jam, malah akhirnya stand-up 2 jam 15 menit di Amsterdam.

Keasikan rupanya karena penontonnya seru.


Bahagia.


Saya yang hanya di Amsterdam beberapa hari tertular kebahagiaan yang ada di udara Amsterdam. Manggungnya nikmat, jalan jalannya seru, tinggal di tempat yang nyaman yaitu di apartemen milik Trisya seorang pelajar Indonesia yang tinggal bersama flat-matenya Icha.

Mereka jadi “ibu kost” yang ramah & pengertian. Mengingat rombongan 8 orang ini tentu merepotkan.


Kelak saya ingin kembali.

Mungkin bersama anak anak.

Ingin kembali merasakan keseruan itu.

Kebahagiaan itu.


IMG_8287.JPG


IMG_8285.JPG


IMG_8289.JPG


IMG_8288.JPG


IMG_8293-0.JPG


IMG_8284-1.JPG


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 09, 2014 08:50

Mesakke Bangsaku World Tour: Berlin #spon

Walau setiap kota tentu menyisakan pengalaman tersendiri, tapi Berlin memberi ingatan yang berbeda.

Ada geliat yang beda dari Berlin dibandingkan dengan kota kota lain. Berlin seperti masih sedang ingin memberikan pembuktian, ingin segera beranjak maju. Baik kotanya maupun warganya.

Semenjak bergabungnya Jerman Barat & Timur ternyata penyesuaian belum usai. Bahkan hampir setiap destinasi liburan Berlin selalu terkait masa lalu yang gelap.

Berwisata ke sisa tembok Berlin, ke gerbang yang dulu memisahkan Jerman Barat & Timur, Holocaust Memorial, Gereja indah peninggalan perang dunia ke 2 yang dari luar terlihat rusak karena serangan roket sekutu. Tapi di dalam masih tersisa keindahan arsitektural yang luar biasa.

Seakan akan kemanapun kita pergi, Berlin berusaha mengatakan “Kami sadar kami salah & kami akan terus ingatkan diri kami agar tak lagi seperti dulu”

Cukup suram.

Di sisi lain, Berlin sebenarnya kalau dibandingkan dengan Indonesia adalah seperti Bandung. Kota kreatif yang diisi oleh anak anak muda. Banyak indiepreneur di kota ini. Musisi, seniman rupa, desain, DIY business enterprise. Semangat ini terpancar hingga ke pelajar Indonesia yang tinggal di Berlin.

Bahkan, sejauh ini baru kota Berlin yang bikin semacam workshop meminta saya untuk berbagi terkait e-book saya yg berjudul “Indiepreneur”. Sejumlah pelajar Indonesia berkumpul dalam sebuah creative space yg dimiliki secara kolektif oleh beberapa orang termasuk pelajar Indonesia yang tergabung dalam semacam creative hub bernama “Initiative”

Urusan makanan sebenarnya Jerman masih kalah impresif dibanding Indonesia. Kecuali sekali waktu saya makan di sebuah restoran yang menyuguhkan makanan luar biasa nikmat.


Pertunjukannya sendiri?

Tak mungkin saya lupakan. Di tengah dinginnya 4 derajat celcius kota Berlin, berdiri sebuah bangunan peninggalan perang dunia milik pemerintah yang kini dikelola swasta.

Di bawah, underground, adalah sebuah ruangan menyerupai bunker yang temboknya berupa bata expose putih. So much character & grit. So Berlin.

Penontonnya datang dari berbagai kota, tidak hanya Berlin. Ada dari Hannover, Frankfurt, Munchen, Damstaat, dll.

Dan untuk menambah kesan Mesakke Bangsaku Berlin, hanya Berlin sejauh ini yang diakhir pertunjukan ada after party hingga jam 2 pagi.


Hati saya selalu menyisakan ruang untuk Berlin. Bukan kota yang mungkin seelok Madrid, Milan atau Paris.

But i admire Berlin’s character.

I admire the hustle.


IMG_7909.JPG


IMG_7905.JPG


IMG_7907.JPG


IMG_7910.JPG


IMG_7912.JPG


IMG_7932.JPG


IMG_7917.JPG


IMG_7918.JPG


IMG_7874.JPG


IMG_8318.JPG


IMG_8323.JPG


IMG_8327.JPG


IMG_8319.JPG


IMG_8320.JPG


IMG_8326.JPG


IMG_8328.JPG


IMG_8321.JPG


IMG_8330.JPG


IMG_8333.JPG


IMG_8331.JPG


IMG_8329.JPG


IMG_8332.JPG

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 09, 2014 08:26

October 25, 2014

Always

Sekarang jam 6 pagi waktu Amsterdam. Sejak London, Berlin & kini di Amsterdam saya selalu bangun pagi pagi. Mungkin karena tubuh saya masih mencoba menyesuaikan dengan waktu Jakarta. Di Jakarta saat ini jam 12 siang. Bedanya kini 6 jam antara Jakarta & Amsterdam. Tadinya beda 5 jam, tapi menjelang pergantian musim ada Day Light Saving sehingga kini bedanya jadi 6 jam. Fenomena alam yg sejak saya pertama kali tahu hingga sekarang masih membingungkan.


Ketika terbangun saya tiba tiba ingat ucapan Kaka Slank ketika ditanya alasan dibalik dirinya yang sekarang rajin ngegym sehingga badannya kayak begitu. Dia bilang “Suatu hari gue sadar, bahwa tanggung jawab kita kepada fans adalah supaya kita tetap bugar, sehat, supaya bisa terus bikin karya yang bagus”


Saat itu saya langsung paham yang dia maksud, namun belakangan ini perjalanan Mesakke Bangsaku World Tour membuat saya menyepakati ucapan Kaka tadi.


Kemarin malam saya baru merampungkan rangkaian World Tour Eropa: Amsterdam, Berlin & London (tapi orang Eropa tidak menganggap UK bagian dari Eropa karena mereka ga pake mata uang Euro & selalu ingin lebih tinggi dari negara negara Eropa lainnya)


Dalam setiap kota tadi saya terkejut ketika menemukan banyak penonton datang dari jauh.


Waktu di London, ada yang datang dari Liverpool & Manchester yang jaraknya 2 jam dari London. Ada juga yang datang lebih jauh lagi seperti Bournemouth yang 3 jam naik kereta

Waktu di Berlin ada yang datang dari kota kota lain. Ada yang dari Frankfurt, ada yang dari Munchen, Hannover, juga yang mengejutkan ada yang dari Damstaadt yang jaraknya 7 jam naik bis. Itu kalo naik pesawat dari Jakarta udah sampe Papua tuh.


Di Amsterdam ada yang datang dari Enschede yang jaraknya 2.5 jam naik bis. Juga Groningen yang 2.5 jam naik kereta & Delft 1 jam naik kereta

Bahkan waktu di Amsterdam ada yang datang dari Jerman. Tepatnya dari Dusseldorf yang jaraknya 2 jam naik bis. Mereka memilih untuk nonton di Amsterdam karena jaraknya lebih dekat ke Amsterdam daripada Berlin. Saking jauhnya tuh dari Berlin.


Lalu saya pikir pikir lagi, selama tur Nasional juga ada yang seperti itu. Waktu Mesakke Bangsaku Jakarta, ada yang datang dari Semarang, Jogjakarta & ada yang datang dari Makassar untuk nonton.


Semua orang orang tadi melakukan sejumlah pengorbanan untuk nonton saya melawak. Mengorbankan uangnya, waktunya, tenaganya, untuk datang dan menonton saya melawak secara langsung.


Kekaguman saya bercampur dengan rasa tanggung jawab untuk tidak membuat mereka kecewa.

Itulah mengapa kini saya mengamini ucapan Kaka.

Saya punya tanggung jawab kepada para penikmat karya saya untuk tetap sehat, bugar, tetap membuka wawasan agar terus terinspirasi dan bisa terus menelurkan karya karya.

Kepercayaan & hubungan baik saya dengan mereka yang menikmati karya saya akan terus saya jaga dengan terus memberikan karya terbaik bagi mereka.


Gamila selalu mengucapkan kalimat yang sama sebelum saya manggung “Give them your best, Mas”

Dan jawaban saya selalu sama “Always”


IMG_7903.JPG

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 25, 2014 22:48

October 18, 2014

Pemikiran akan pendidikan.

It was hilarious, it was brilliant, it had so much heart, it was out of the box, and to add the cherry on the top: It was poetic.


Itulah kesan saya akan Tut Wuri Hangapusi. Stand-up Special Luqman Baehaqi yang merupakan stand-up special pertama bertema khusus. Dalam hal ini pendidikan.


Luqman bukan orang baru di dunia Stand-up comedy Indonesia. Bahkan dia adalah salah satu yang masuk dalam angkatan pertama.

Namun belakangan jarangnya dia diundang untuk stand-up di TV & terlibat dalam pertunjukan stand-up comedy membuat orang terlupa akan namanya.

Tapi keputusannya untuk nekat bikin special menunjukkan tekadnya, dia tidak mau disebut “Mantan Komika”.


Tut Wuri Hangapusi membawa banyak resiko. Kemungkinan rugi tentu ada di depan mata tapi untuk orang yang memutuskan untuk mulai berkarya, resiko ini layak diambil.

Karena lebih penting daripada uang yang masuk, adalah pernyataan sikap.


Tut Wuri Hangapusi terasa bobotnya dari awal sampai akhir.

Yang menarik bukan hanya lawakannya, tapi pemikiran di balik lawakan tersebut.


Pemikirannya soal peribahasa “Udang di balik batu” yang membuat orang orang selalu mencari cari “udangnya” di balik setiap “batu”. Setiap kali ada sesuatu yang hebat atau besar selalu dicari cari yang amis dibaliknya. Padahal gak selalu ada udang di balik batu.


Soal pandangannya terhadap murid yang harusnya mencari guru bukan mencari sekolah.


Soal pandangannya bahwa les merupakan bukti otentik bahwa ada yang salah dengan sekolah


Setiap kali Luqman masuk ke premis, saya selalu berpikir “Bangsat. Bagus banget premisnya”.

Luqman nampak seperti perenung yang lucu. Pemikir yang jenaka.


Sebuah pertunjukan stand-up comedy tentu harus lucu, tapi dengan Luqman penonton dapat hal hal lain dari awal sampai akhir acara.


Di depan, panitia panitia menggunakan kostum bertema pendidikan. Dari guru sekolah negri sampai guru olahraga pemalas.


Di dalam pertunjukan, Luqman hadirkan sulap & yang paling lucu: Kuntilesot sebagai sidekick.

Kuntilesot adalah Kuntilanak ngesot yang jadi asisten Luqman ketika sulap. Setiap kali dia muncul dari pinggir panggung, selalu ada asap, musik mengerikan lalu Kuntilesot muncul sambil ngesot memberikan spidol.


Di akhir pertunjukan, Luqman menutup dengan sebuah epilog. Membacakan bagian dari sebuah kisah pewayangan yang jadi analogi dari dunia pendidikan & problematikanya.


Lalu diiringi musik, Luqman berjalan ke bangunan reyot yang jadi backdrop pertunjukannya, sebuah bangunan SD yang menyedihkan & menuju pintu sekolah tempat di masuk panggung di awal pertunjukan.

Sebelum dia keluar, Luqman menoleh & melihat ke bendera merah putih yang sepanjang pertunjukan berdiri miring karena tiang bambunya miring nyaris jatuh. Luqman tegakkan bendera merah putih, mundur 1 langkah, dan memberikan hormat kepada bendera merah putih, sampai tirai panggung tertutup penuh.


Poetic.


Hal pertama yang saya lakukan ketika lihat Luqman menuruni tangga panggung usai acara adalah memeluknya penuh haru.


Its one of the best special i have ever seen.

And i’ve seen a lot.


Semakin menguatkan saya bahwa seorang komika yang bagus, akan jadi hebat ketika dia akhirnya menemukan alasan mengapa dia naik panggung.

A reason.

Stronger than just wanting to go on stage, is a REASON to go on stage & perform.

Luqman memiliki itu malam tersebut.


Yaitu sebuah usaha dari tangannya sendiri, untuk menggoncang pemikiran kita akan pendidikan.


PS: Kayaknya akan ada DVDnya deh Tut Wuri Hangapusi, pantau aja akun @lukemanaaja

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 18, 2014 08:15

October 15, 2014

Mesakke Bangsaku World Tour: London #spon

Jester.

Orang yang pada jaman kerajaan Inggris dulu berperan sebagai penghibur Raja beserta keluarga. Biasanya di kartu remi disebut Joker.

Kalau garing alias ga lucu, Jester bisa diusir dari istana atau paling ekstrimnya dihukum gantung.

Banyak orang menganggap ini adalah asal muasal atau setidaknya ini adalah catatan terdini akan adanya seorang pelawak tunggal.

Berawal dari Inggris, dipopulerkan di Amerika serikat sebagai social commentary, meledak kemudian di Indonesia sebagai alternatif komedi, lalu seorang komika dalam World Tournya kembali ke tanah kelahiran Stand-up comedy utk berpertunjukan.


Ada perasaan yg berkecamuk dalam diri saya untuk stand-up di negara kelahiran stand-up comedy.


IMG_7664.JPG


IMG_7665.JPG


IMG_7671.JPG


IMG_7663.JPG


Pertunjukan saya dilakukan di sebuah gedung teater fasilitas kampus. Kami datang lebih awal. Saya selalu meminta waktu selama 2 jam sebelum acara untuk dikosongkan. Tidak ada persiapan khusus.

Saya hanya menenangkan diri, menyiapkan mental & tidak ingin sibuk mengurusi hal hal lain sebelum acara.

Hal terpenting bagi seorang komika adalah selalu mood. Dan walaupun sebagai komika profesional kita harus bisa mengalahkan mood buruk namun kerjanya jadi ekstra. Makanya saya sebisa mungkin menghindari hal hal yang buat saya ngomel, panik & marah marah.

Beri saya 2 jam kosong sebelum acara & saya akan siapkan mental.

Tidak jauh dari Greenwood Theatre Kings College ada sebuah tempat brunch yg memadai untuk kami ber 7 menunggu


Selama tur kami selalu jalan ber 7. Ada saya, 1 org opener (tiap kota gantian Awwe, Gilang & Krisna), ada Zaindra, Manajer saya. Ada Ben, Road Manajer saya. Ada Pio alias Mbicu, fotografer & videographer saya, ada Danis Soundman sekaligus Merchandiser (namun waktu di London posisinya digantikan Vira alias Ito, sekretaris manajemen) & orang ke tujuh adalah followers saya yang menang lomba blog #BersamaGaruda. Di kota London adalah Bhagus.


Pertunjukan MBWT di London berjalan dengan sangat baik. Walaupun secara jumlah penonton tidak sebanyak yang ditargetkan teman teman panitia. Saya sendiri tidak pernah berbeda performanya di depan berapapun penonton. Bahkan kemarin di London saya stand-up 2 jam.

Kumat.

Rencananya 1.5 jam malah kebablasan 30 menit.

Keasikan gara-gara penontonnya enak.


IMG_7674.JPG


IMG_7675.JPG


IMG_7670.JPG


IMG_7673.JPG


Sisanya kami menjalankan tanggung jawab kami untuk sponsor yaitu membuat video video untuk mendokumentasikan perjalanan kami di London.


London itu kota yg gedenya bukan main. Bisa jadi 3-4 kali lipatnya Jakarta.

Terbagi jadi 5 zona. Zona 1 pusat kota, makin besar angkanya makin ke pinggir kota.

Macetnya ampun2an. Mahalnya ampun2an.

Bagusnya transportasi umum memadai & walaupun ada Tube (kereta bawah tanah) yang menjangkau banyak area London tapi rutenya amburadul bukan main. Kusut.


Tapi London adalah salah satu kota yang meninggalkan kesan mendalam :) Walau besar & melelahkan, tapi London ini memang cukup mengagumkan


IMG_7662.JPG


IMG_7666.JPG


IMG_7661.JPG


Kami kemana mana di London menggunakan berbagai cara. Naik bis, naik tube, naik taksi, juga jalan kaki. Kami datangi semua lokasi andalan turis. BigBen, London Eye, Picadilly, Abbey Road, Camden Lock, Hamsley (toko mainan tertua di Inggris) bahkan KBRI-pun kami datangi.


IMG_7659.JPG


IMG_7657.JPG


IMG_7660.JPG


IMG_7668.JPG


IMG_7651.JPG


IMG_7653.JPGi


IMG_7655.JPG


IMG_7658.JPG


IMG_7677.JPG


IMG_7680.JPG


London itu seperti Jakarta dalam hal menjadi sebuah “Melting Pot”. Bedanya, Jakarta itu untuk konteks nasional, London itu untuk dunia. Tampaknya berbagai suku, ras, kewarga-negaraan ada di kota London. Hidup berdampingan. Walau memang ada saja orang orang inggris yang rasis. Tapi dimanapun ada kok orang rasis. Indonesia juga ada. Manusia ada yg baik & jahat di mana mana, tinggal mampu atau tidak pemerintahnya melakukan penegakkan hukum saja.


Menarik memang bertumbuhnya perspektif saya akan hidup bernegara, terutama karena semakin banyak kota yang saya datangi semakin luas wawasan saya.

Mesakke Bangsaku World Tour sudah setengah jalan. Sudah 5 dari 10 kota kami jalani.

Singapore, Melbourne, Adelaide, Brisbane, London sudah lewat.

Menanti di depan, Berlin, Amsterdam, Guangzhou, Beijing & Los Angeles.

Melelahkan, tapi untungnya Garuda Indonesia memudahkan kami segala hal terkait penerbangan.

Mereka itu mensponsori kami, tapi kelakuan mereka tidak bagaikan raja. Sebaliknya, kami diperlakukan bagaikan raja oleh mereka. Di luar pelayanan kelas dunia yang membuat Garuda Indonesia mendapatkan penghargaan dunia “The World’s Best Cabin Crew” & “The World’s Best Economy Class” kami dijamu hal hal lebih yang membuat perjalanan lebih nyaman.

Di darat kami dijamu di international executive lounge padahal tiket kami ekonomi. Di pesawat kami menikmati layanan wifi (sureal rasanya bisa ngetweet di atas pesawat yang sedang terbang. Pengalaman tak tertandingi) , nonton film film keren (saya nonton 3 film berturut-turut: Linsanity sebuah film dokumenter tentang Jeremy Lin, Edge Of Tomorrow & 22 Jump Street) juga yang tak kalah penting: di bawah kursi masing masing penumpang ada colokan listrik. Cocok bagi kami yang terbang 16 jam Jakarta – London.


IMG_7679.JPG


IMG_7654.JPG


IMG_7652.JPG


IMG_7678.JPG


Saat tulisan ini dibuat, saya baru dapat kabar via akun twitter teman saya yang membantu mengurusi Visa bahwa Visa Schengen kami sudah keluar. Lega rasanya. Dalam beberapa hari lagi kami ber-8 (Gamila kali ini ikut ke Eropa) akan berangkat ke Amsterdam – Berlin.


Saya ga sabar untuk menjalaninya & bercerita kepada anda.


Till then :)


IMG_7682.JPG


IMG_7681.JPG

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 15, 2014 15:56

October 3, 2014

Terlambat untuk menyelamatkan Indonesia.

“AYOLAH! KITA TURUN KE JALAN!” Ujar seseorang di twitter yang ditanggapi dingin oleh orang lain yang sedang membawa tweet tersebut di bawah terik panas matahari, di pinggir jalan, menunggu angkutan… “Elo aje turun ke jalan dari mobil lo yang dingin. Kita mah tiap hari di jalanan” katanya dalam hati. Sambil melanjutkan baca baca tweet di lini masa twitternya.


Situasi tadi menggambarkan dua cara pandang rakyat Indonesia terhadap ajakan untuk demo menyikapi keadaan politik Indonesia saat ini.

Dua-duanya benar & dua-duanya juga salah pada saat yang bersamaan.


Yang ajak demo benar, ada sesuatu yang harus rakyat lakukan bersama untuk menyikapi kondisi politik yang busuk ini. Rakyat direbut hak untuk menentukan kepala daerahnya, lalu kini rakyat diminta untuk terima saja ketika barisan pimpinan DPR diisi oleh orang orang yang jadi langganan pemeriksaan KPK. Fahri Hamzah & Fadlizon adalah 2 orang terakhir yang saya harapkan untuk jadi pimpinan DPR. Tapi hari ini begitulah keadaaannya.


Yang tadi menyindir & menolak demo salah, karena “Turun ke jalan” kali ini bermakna lebih dari hanya sekadar hadir di jalan raya. Turun ke jalan adalah pernyataan sikap. 2 orang lompat ke sungai pada saat yang bersamaan bisa jadi untuk 2 hal yang berbeda. Yang satu bisa saja sedang ingin berendam, yang satu lagi bisa saja sedang berusaha menyelamatkan orang yang mau tenggelam. Kegiatannya serupa, tapi tujuannya membedakan.


Tapi di sisi lain, yang menolak demo juga benar, sindirannya beralasan. Dia tau bahwa kebanyakan orang di twitter tidak akan turun ke jalan. Click Activism alias aktivisme bermodal ngeklik sesuatu di dunia maya membuat kebanyakan orang merasa yang mereka lakukan sudah cukup. Padahal belum tentu.


Yang mengajak demo juga bisa salah, kalau dia turun ke jalan hanya karena dia merasa perlu turun ke jalan. Dia salah kalau turun ke jalan karena “Malu sama Hongkong! Liat mereka aja turun ke jalan, masak kita cuma main hashtag doang?”


Tidak perlu minder melihat warga Hongkong yang turun ke jalan. Yang Hongkong lakukan kemarin, sudah kita lakukan dulu di tahun 98.

Kita ga perlu mikir “Kok kita ga kayak Hongkong? Kok kita kalah sama Hongkong?”. Di kepala kita harusnya “Akhirnya, Hongkong berani juga kayak kita”


Kita pernah lebih hebat dari mereka. Mereka mah hanya ngumpul-ngumpul. Kita menduduki gedung DPR. LITERALLY.


IMG_7324.JPG


Mereka baru disemprot gas air mata saja hebohnya luar biasa. Karena seumur-umur, baru kemarin mereka dihajar pakai gas air mata.

Kita mah dihajar oleh peluru tajam. Aktivis aktivis kita tewas & kita masih belum mampu menemukan dalang utamanya & mengambil pertanggung jawaban pelakunya.

Itupun, dengan maut sebagai ancaman, kita tetap mampu ubah keadaan.

We did it before, we can always do it again.

Ga perlu kuatir.


Kalau anda bertanya-tanya kenapa rakyat Indonesia belum tergerak untuk turun ke jalan?

Kok tumben ga ada serangkaian aksi massa dari para mahasiswa?


Jawabannya adalah karena Indonesia belum seluruhnya merasa terdesak.


Sekadar mengingatkan kepada anda yang lupa atau anda yang terlalu muda untuk ingat bahkan mungkin belum lahir, di tahun 98 seluruh lapisan masyarakat melakukan perlawanan karena semuanya terdesak krisis ekonomi yang berkepanjangan.

Semua, dari yang miskin sampai yang kaya, sama sama merasakan dampak dari punya pemimpin politik yang bajingan


Hari ini, kebanyakan rakyat Indonesia masih bisa merasakan hidup enak & selama semuanya belum benar benar merasakan efek buruk dari punya pemimpin busuk, maka tidak akan ada aksi massa secara kolektif sebangsa & se-Tanah Air.


Pokoknya kalau remaja laki laki Indonesia masih lebih memilih untuk mengangkat AK-47 demi membela Cherrybelle idolanya, jangan harap mereka akan turun ke jalan untuk melawan pemerintahnya.


IMG_7260.JPG


Nanti, ketika dia tidak lagi bisa minta uang ke orang tuanya untuk nonton Cherrybelle karena orang tuanya terlilit krisis keuangan, barulah remaja remaja ini turun ke jalan.


Atau nanti, ketika krisis ekonomi membuat harga konser Cherrybelle membumbung tinggi hingga dia tidak mampu beli & tidak bisa menonton, barulah AK-47 tadi diarahkan ke Senayan.


Atan nanti, ketika Cherrybelle dilarang pemerintah karena dianggap infiltrasi budaya asing, baru anak anak remaja ini mau merapatkan barisan.


Tapi sebelum itu terjadi, tidak akan ada revolusi.


Lagipula, revolusi atau setidaknya demonstrasi besar-besaran selalu memakan korban.

Nyawa & kondisi perekomian bangsa.

Setiap kali ada revolusi yang jadi korban adalah perekonomian.

Saya ragu bangsa Indonesia siap kehilangan kemapanan ekonomi yang saat ini kita rasakan. Siapa yang mau hidup susah? Gagal dong segala upaya untuk membangun Indonesia yang bisa jadi landasan pacu terbaik bagi anak anak kita?

Masak usaha kita membangun Indonesia selama ini sia sia? Padahal hari ini kita sudah jadi kekuatan ekonomi yang luar biasa.

Begitu luar biasanya ketika krisis ekonomi dunia di 2008 terjadi, kita tak terdampak. Bahkan saking kuatnya ekonomi kita, artis artis luar negri mengais rejeki di negara kita karena di negara mereka tidak ada yg mampu beli tiket mereka. Tanya saja kepada band yang bernama “Adam Levine dan kawan kawan” yang di Indonesia tiketnya habis dalam 1 hari sementara di Amerika yang harga tiketnya lebih murah dari harga Indonesia masih harus didiskon supaya laku.

Inikah yang mau kita korbankan?

Kalau kita mau, layakkah pengorbanan tersebut?


Lagipula, level perlawanan kita beda lho dengan Hongkong. Mereka baru dilawan pakai gas air mata & mungkin baru sekarang akan dihajar peluru tajam kalau demonstran ngotot menduduki gedung pemerintahan.

Kita sudah dihajar peluru tajam dari dulu. Korban yang kemarin saja pelakunya masih belum ditangkap. Mau kita menambah barisan daftar korban?


Kalaupun kita sepakat mau, berjuang dengan tahu bahwa nyawa akan jadi taruhannya, nyawa nyawa itu harus berkorban dengan alasan yang kuat.

Kalau kita mau maju, apa yang ingin kita perjuangkan?

Apa narasi kita?

Jangan hanya panas kepala saja, jangan kalah cerdik dengan lawan kita.

Pikirkan dengan matang.

Strategize.


Jangan demo hanya karena harus demo.

Bukan kegiatannya yang penting, tapi tujuannya.


Saya rasa, semua mau kok turun ke jalan. Semua mau ikut berjuang.

Tak perlu ragukan patriotisme bangsa Indonesia. Dari dulu sampai sekarang, tidak terkikis & tidak berubah.


Tapi kita perlu sepakati bersama, apa tujuan kita.


Untuk itu, kita harus mulai bersatu. Sebelum terlalu terlambat untuk menyelamatkan Indonesia.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 03, 2014 11:19

Diingat Indonesia ketika masih muda saja.

Entah sudah jam ke berapa dari total 13 jam perjalanan dari Jakarta ke Amsterdam, tempat kami transit sebelum ke tujuan kami London.


Di pesawat saya lagi nonton film CHEF yg diperankan & disutradarai Jon Favreau tentang seorang Chef yang mencoba mencari kebebasan dalam berkarya. Setidaknya sejauh yang saya tonton sampai sekarang begitu ceritanya. Film saya hentikan di tengah karena saya terpikir untuk menulis ini.


Di film ini, tokoh yang diperankan Jon, Chris, punya seorang anak laki laki yang sudah tidak tinggal serumah dengannya karena Chris sudah pisah dengan istrinya.

Chris setiap akhir pekan selalu mengajak anaknya nonton bioskop, main roller coaster, dll. Sementara anaknya hanya ingin Ayahnya untuk ngobrol dengannya. Menghabiskan waktu bersama di rumah. Seperti sebelum perceraian mereka dulu.


Anak ini sangat mengingatkan saya akan Dipo & sayapun teringat hal hal yang saya perjuangkan setiap hari untuk Dipo, Shira juga Gamila.


Gamila sedang dalam proses merampungkan album, Dipo & Shira masing masing sedang dalam perjalanan mencari dirinya sendiri, kesukaannya, kebisaannya, keinginannya.


Ketiganya, sedang saya perjuangkan 1 hal yang sama: Indonesia yang siap membawa mereka lepas landas.


Saya tahu pasti terdengar menggelikan & terlalu berlebihan. Agak terlalu lebay nasionalismenya.


Tapi ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan nasionalisme.


Ini adalah kekhawatiran seorang Ayah & suami yang ingin supaya istri & anak anaknya bisa jadi apapun yang mereka inginkan. Karena negaranya siap untuk mengakomodir.


Ada 2 hal kekhawatiran saya:


1) Kita sering mendengar cerita bagaimana anak anak kita sering jadi juara olimpiade fisika, matematika, paduan suara, teater anak, lalu kita juga pernah mendengar Indonesia juara Wimbledon junior, atau anak anak kita juara sepakbola se-Asia, atau yang paling dekat di benak kita adalah Garuda U-19 yang membanggakan.

Tapi cerita cerita tadi, tidak pernah berlanjut hingga dewasa. Entah apa yang terjadi, tapi anak anak hebat tadi seakan akan menguap, menghilang & tidak terlihat kiprahnya justru ketika mereka dewasa.

Cerita Garuda U-19, bukanlah hal baru untuk kita bangsa Indonesia. Hanya skitar 1 dekade yang lalu, sekelompok pemain sepakbola muda kita yang bermain di Primavera mengejutkan dunia. Salah satu pemainnya, Kurniawan Dwi Julianto jadi pemain dengan peraihan gol tertinggi ke 2 di Primavera. Di atas Kurniawan, adalah Alessandro Del Piero.

Angelique Widaja adalah juara Wimbledon junior. Mengalahkan seorang pemain yang akhirnya menjadi juara Wimbledon & tahun 2009 jadi petenis nomor 1 dunia versi WTA tour: Dinara Safina


Dunia tau nama Del Piero & Dinara Safina, tapi bahkan anak anak muda Indonesia jaman sekarang bisa jadi tidak tahu Angelique Widjaja.


Salah Kurniawan & Angelique? Sama sekali tidak.

Saya menyalahkan negara Indonesia yang tidak mampu mengangkat anak anak mudanya ke level profesional. Terlalu banyak krisis pemimpin di seluruh jenjang, terlalu banyak praktek politik busuk di setiap lini kehidupan, terlalu banyak yang akhirnya memilih untuk mengambil jalan belakang. Yang mengingatkan saya akan poin ke 2….


2) Pasti anda pernah dengar cerita, seseorang yang berpendidikan tinggi di luar negri ketika kembali ke Indonesia tidak bisa mendapatkan pekerjaan, bahkan tidak bisa jadi apa-apa. Lalu ketika mereka kembali ke luar negri, mereka diakui kehebatannya lalu berkarir dengan begitu luar biasanya.

Pernah kan dengar cerita demikian?

Mengapa bisa begitu? Menurut saya, adalah karena Indonesia itu ibarat jalan masih semruwet & amburadul.


Kalau di luar negri, membangun karir itu ibaratnya tinggal mengambil jalan lurus. Ikuti saja jalan tersebut dengan tekun maka kita akan sampai ke tujuan.

Kalau bensin habis, akan ada POM bensin tersedia di pinggir jalan. Kalau bingung akan ada rambu rambu jalan yang mengarahkan. Yang penting pelajari peta perjalanan, lalu tekun menjalaninya, maka kelak akan sampai ke tujuan.


Di Indonesia, membangun karir itu ibaratnya seperti mengambil jalan yang banyak jalan belakang, banyak jalan tikusnya, tidak ada lampu jalan, rambu rambu ada tapi tidak jelas karena terhalang daun daun pepohonan, jalanan banyak yang bolong dan rusak. Di beberapa bagian macet karena ada galian. Mau coba menghindar dengan menggunakan Waze tapi rute yang diarahkan Waze ternyata ditutup portal jalan, abis itu masih dipalakin preman.


Hanya yang Street Smart yang bisa sampai tujuan.


Inilah masalahnya Indonesia.

Di luar negri untuk sukses anda musti pintar. Di Indonesia pintar saja tidak cukup. Anda musti cerdik. Cerdik itu ilmu kehidupan, bukan ilmu sekolahan. Nah kebanyakan orang di Indonesia, hidupnya habis di sekolah tanpa benar benar pernah menarik ilmu dari kehidupan. Sudah berjam jam di sekolah, masih ditambah les pula.

Itulah mengapa di Indonesia banyak zombie. Tau zombie kan? The living dead? Nah di Indonesia itu banyak yang hidup tapi tanpa kehidupan.

Hanya menjalani rutinitas keseharian tanpa pernah tahu apa mimpinya, apa passionnya, apa yang akan membuatnya benar benar merasa hidup.


Pusing ya? Tapi pusing saja tidak menyelesaikan masalah. Saya harus turun tangan & terlibat dalam mengubah keadaan. Karena ini Istri & anak anak saya yang bisa jadi korban.


Bagi saya, jalan keluar untuk Indonesia ada 2.

Jangka pendeknya, ajarkan anak anak ilmu kehidupan. Real life skills. Teach them to be Street Smart & not just Book Smart.


Jangka panjangnya, benarkan jalan di Indonesia. Rapihkan jalannya, benarkan rambunya, terangkan jalan rayanya, rapihkan infrastrukturnya.


Itu lah mengapa saya berjuang untuk menyiapkan Indonesia yang akan bisa membawa istri & anak anak saya lepas landas.


Karena saya tidak ingin, anak anak & istri saya hanya jadi orang orang yang diingat Indonesia ketika masih muda saja.


PS: blog post setelah ini, adalah tulisan mengenai mengapa kalau kita turun ke jalan SAJA tanpa pemikiran matang, akan merusak perjuangan saya menyiapkan Indonesia sebagai landasan pacu yang berkualitas.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 03, 2014 11:16

September 28, 2014

Melakukan hal yg benar

Ada masa dlm hidup saya ketika bangun selalu siang, nyantai-nyantai di kamar, nonton DVD seharian, atau nongkrong bersama teman teman, tapi makan selalu ngutang.

Makanya kalau tubuh terasa letih karena bekerja seharian, saya tau saya sedang melakukan hal yg benar.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 28, 2014 06:21

Pandji Pragiwaksono's Blog

Pandji Pragiwaksono
Pandji Pragiwaksono isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Pandji Pragiwaksono's blog with rss.