Arie Saptaji's Blog, page 5

November 21, 2020

Teladan Kelembutan Hati Sri Melalui Novel Warrior



Diskusi ringan terjadi saat bookaholics -- Atrica Choirun Nisa, Duhita Dwaya Abhirama, Erido Abineri Pravasta, Dhanni Ratnaningtyas, dan Mohammad Erstda Trapsilantya -- membahas novel berjudul Warrior.

Novel yang mengemas nuansa era 1980-an ini terbilang unik untuk didiskusikan. Pasalnya, bukan karena pokok cerita yang tidak umum. Tapi, lebih pada pengemasan kisah yang unik. Penulis lihai dalam menyajikan kisah dengan bahasa bilingual, Indonesia dan Jawa. Hal yang tidak biasa ada pada novel berjenis teenlit.

“Aku sempat bingung lho mengartikan maksud cerita, yang disampaikan dalam bahasa Jawa,” celetuk Duhita mengawali percakapan. “Kenapa bingung?” tanya yang lain kompak. “Bahasa Jawanya tergolong nggak umum, sih,” jawab Duhita. Yang lain pun mengangguk setuju.

Bahasa Jawa memang sangat dekat dengan keseharian. Namun, penuturan beberapa kisah dalam novel Warrior menggunakan bahasa Jawa yang levelnya agak kurang umum. Praktis, beberapa bookaholic kebingungan buat mencerna bahasa yang kurang umum ini.

Oke-oke, kalau ngomentarin soal bahasa dalam buku, rasanya kurang menarik, deh. Trus, gimana tuh soal ceritanya sendiri? Cerita dalam novel ini memang cukup simpel. Mengisahkan seorang anak cewek bernama Sri. Dia menjadi duta sekolah dalam lomba gerak jalan. Sayang, Sri tidak memiliki sepatu yang layak. Nah, cara Sri mendapatkan sepatu inilah yang menjadi cerita utama.

“Kasihan banget ya Sri. Masak, ke sekolah aja, masih kudu pakai sepatu berlubang, sih,” celetuk Dhanni. Dia mengingat bookaholic lain untuk selalu bersyukur dengan anugerah yang ada sekarang. Pernyataan Dhanni sontak membuat yang lain terperanga.

Sri adalah anak bakul lopis di pasar. Sepeninggal ayahnya, sang ibu harus jadi tulang punggung keluarga. Penghasilan yang kurang dari cukup itu praktis membuat Sri tidak bisa berbuat banyak. Apa yang ada, itulah hartanya. Bahkan, sepatu berlubang sekalipun.

“Yang ngejengkelin tuh sikap teman-teman Sri itu, lho,” ujar Erido membuat yang lain menoleh padanya. Erido simpati pada Sri yang sering diolok-olok sang teman. Terutama dengan latar belakang keluarga Sri. Para siswa di SMP Negeri Ngadirejo selalu mengejek Sri dengan menirukan lagu si Unyil. Liriknya diganti menjadi: Pis ketan lopis tiwul … Pis, ketan lopis, tiwul…

Yup, Sri memang orang yang tertutup. Biasanya, pribadi introvert tidak mudah menerima olokan. Bagi mereka yang sensitif, olokan sekecil apa pun pasti akan dipikir. Nggak bisa disalahkan juga, dong! Trus, apa nih yang kalian dapet setelah membaca novel ini?

Dhanni mencoba menjawab. “Di sini kita bisa lihat kesederhanaan seorang Sri dalam menghadapi hidup,” tuturnya. “Nggak cuma itu,” sambung Atrica. “Kita juga bisa mencontoh pengorbanan Sri sebagai seorang manusia, yang menolong sesama.”

Meski Sri tergolong belum cukup memenuhi kebutuhan pribadi, jiwa sosialnya tidak mati. Impitan keadaan membuat Sri tahu rasanya kesusahan. “Ada rasa bahagia tak terlukiskan ketika hati menuruti keinginan untuk berbagi.” Begitu kata Sri, tokoh utama dalam novel ini. (car)

Sumber: Indo Pos Online, Senin, 07 Jan 2008

* Artikel ini berdasarkan Warrior: Sepatu untuk Sahabat (GPU, 2007). Novel ini diterbitkan ulang oleh Pustaka Patria (2020) bersama dengan dua novel lain dalam Trilogi Temanggung, yaitu Dalam Rinai Hujan dan Temanggung, Yogyakarta.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 21, 2020 20:04

November 19, 2020

Impian Monetisasi Kanal Youtube

 

Tidak sedikit orang yang kepingin menjadi Youtuber, mendapatkan penghasilan sampingan--kalau tidak malah penghasilan utama--dari mengelola kanal video. Saya pun sempat menginginkannya.

Dulu Youtube (YT) menetapkan syarat monetisasi yang relatif ringan. Begitu membuka akun, orang dapat mengajukan permintaan monetisasi, dan relatif mudah disetujui. Perjuangannya tinggal mengumpulkan 100 dolar pertama dari iklan dan view. Tiap terkumpul minimal 100 dolar, YT akan mentransfer penghasilan tersebut ke rekening kita pada bulan bersangkutan. Saya sempat mengikuti program ini, tetapi setelah sekian lama akun saya cuma sukses mendulang 4 dolar.

Belakangan YT menetapkan syarat baru untuk monetisasi: minimal 1000 subscriber DAN 4000 jam (240.000 menit!) tayang dalam 365 hari terakhir. Ketika sebuah kanal memenuhi syarat pertama, jangan buru-buru gembira, belum tentu syarat kedua otomatis terpenuhi; begitu juga sebaliknya. Ada kanal yang menarik minat banyak subscriber, tetapi masing-masing video hanya ditonton orang sekilas-sekilas. Istri saya pernah menemukan kanal berisi tutorial menjahit, tiap video sangat banyak view-nya, tetapi jumlah pelanggannya tak sampai seribu. Kanal-kanal semacam itu bisa diduga belum termonetisasi. Untuk memenuhi syarat, kita harus memiliki kanal yang mengundang ribuan orang untuk berlangganan DAN videonya membuat orang betah menontonnya berlama-lama, dan syukur-syukur berulang-ulang. Syarat yang gila-gilaan!

Betapa tidak! Coba kita main hitung-hitungan berapa kira-kira modal yang diperlukan untuk memenuhi syarat di atas. Agar orang akrab dengan kanal kita dan tertarik untuk berlangganan, kita perlu teratur menayangkan video baru, katakanlah dua setiap minggu, dalam setahun dibulatkan jadi 100 video. Berapa biaya pembuatan satu video? Mungkin karena buatan sendiri, kita tidak terlalu memikirkannya. Padahal, ada waktu dan sumber daya yang digunakan untuk merekam, mengedit, dan mengunggahnya. Jadi, kita hitung saja secara kasar (hitungan ini akan ditertawarkan oleh pembikin video profesional), satu video sepanjang 10-15 menit biayanya 250 ribu. Dalam setahun, untuk 100 video tadi, kita mesti mengeluarkan modal... 25 juta!

Dengan modal sebesar itu, kita masih berjudi. Belum tentu kanal kita lolos memenuhi persyaratan. Kita harus menarik minimal 1000 subscriber, dan setiap subscriber menonton setiap video kita masing-masing selama minimal 2,4 menit dalam waktu 365 hari!

Dan, itu baru untuk memenuhi syarat monetisasi. Modal awal itu--1000 pelanggan DAN 4000 jam tayang--belum mendatangkan uang. Semacam setoran awal untuk YT. Untuk mulai menghasilkan uang, kita harus terus memperbarui kanal kita dengan konten yang membuat orang betah menontonnya berlama-lama, dan syukur-syukur berulang-ulang itu tadi. Berarti perlu tambahan modal, dan perlu faktor X--karena di dunia YT memang sulit ditebak video macam mana yang berpotensi viral.  

Tentu saja, ada kiat-kiat untuk membikin video yang "disukai" oleh algoritma mesin YT dan mesin pencari. Saya beruntung memiliki teman yang bermurah hati membagikan kiat-kiat itu. Namun, dengan memahaminya, saya malah jadi tersadar, tahu diri dan empan papan, bahwa menjadi Youtuber bukanlah cita-cita yang semudah membalik telapak tangan. Selain keteteran soal modal (25 juta setahun!), siapa pula yang bisa mengendalikan faktor X tadi?

Video yang "disukai" mesin bakal terpapar pada lebih banyak calon penonton. Calon penonton--karena belum tentu orang itu tertarik, dan kemudian menontonnya, dan kemudian berlangganan kanal kita. Bagian yang belakang ini tidak bisa ditolong oleh mesin. Perlu keajaiban. Pengamat YT tentu ingat kanal yang menayangkan video orang bengong di kamar selama dua jam. Video itu viral, otomatis jam tayangnya melonjak, dan subscriber-nya pun melesat jadi puluhan ribu. Kanal layak dimonetisasi. Namun, agar berkelanjutan, tentu si pemilik kanal harus rutin menayangkan konten baru yang menarik minat orang untuk menontonnya.

Untuk jadi Youtuber yang bernapas panjang, perlu modal yang tidak kecil dan mampu menawarkan konten yang terus dinanti-nantikan orang. Saya sadar saat ini tidak memiliki keduanya. Kalau hanya mengandalkan "kesintingan" sehingga ada satu video yang viral dalam kurun waktu tertentu, tetapi video-video lain melempem, ya nihil juga penghasilan dari kanal itu.

Dengan membaca kemungkinan itu, saya memilih untuk angkat tangan. Tidak lagi bernafsu mengejar monetisasi. Tidak ngoyo lagi. Kanal YT untuk main-main saja. Mengunggah konten kalau lagi sempat. Sekadar saja. Sekadar mendokumentasikan pengalaman hidup dan karya yang terekam dalam format video. Sekadar bersenang-senang. Seperti video baru yang tayang hari ini.

Video ini saya olah dari obrolan santai dengan Mikael Rinto seputar penulisan renungan harian. Sahabat saya ini sudah sejak Oktober 2015 menekuni pengelolaan kanal YT, saat itu langsung monetisasi, dan mendapatkan 100 dolar pertama pada April 2016. Kanalnya, yang berfokus pada travelling dan perkeratapian, saat ini memiliki 232K subscriber. Penonton videonya bisa mencapai jutaan. Dialah yang bermurah hati berbagi aneka kiat pada saya. Mudah-mudahan melalui video obrolan santai ini, saya bisa kecipratan urapan monetisasinya (hihihi, katanya sudah angkat tangan, tapi diam-diam masih berharap juga). Meski seharusnya terbalik. Bukan kapal kecil mengiklankan kapal besar, melainkan kapal besar mengiklankan kapal kecil. Ya to, Mas Rinto?

Oh ya, dalam 365 hari terakhir, kanal saya bertambah 177 subscriber dan 12.387 menit penayangan. Sangat jauh dari syarat monetisasi. Jika di tengah jalan nanti tiba-tiba terjadi keajaiban sehingga saya bisa mendapatkan uang saku dari YT, ya syukur alhamdulillah. Kalaupun kanal ini tetap melempem, ya ikhlas-ikhlas saja.

Berarti untuk mencari penghasilan guna melanjutkan hidup di era pandemi ini, saya perlu terus menekuni jalan ninja yang sudah saya tempuh selama ini: menulis, menunggu order terjemahan, editing, atau pelatihan menulis, dan belakangan coba-coba jualan buku, dimulai dengan memasarkan Trilogi Temanggung. Semoga cukup untuk makanan dari hari ke hari.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 19, 2020 15:07

Teenlit Tidak Harus Tentang Cinta



Hardono

Beberapa hari yang lalu saya memesan 2 buah Novel Warrior: Sepatu Untuk Sahabat langsung ke pengarangnya, mas Arie Saptadji, sambil berpesan agar beliau berkenan menandatangani novel tersebut. Satu novel untuk istri tercinta dan satu lagi sebagai hadiah ulang tahun keponakan tersayang, Lintang Prima. Saya memilih novel ini sebagai hadiah ulang tahun Lintang karena temanya yang berbeda dengan kebanyakan teenlit lainnya. Alih-alih membahas tentang cinta remaja, teenlit yang satu ini justru membahas mengenai persahabatan dan perjuangan dalam menghadapi kehidupan.

Untuk mengurangi rasa penasaran, novel ini menceritakan kehidupan seorang pelajar bernama Sri yang mendapatkan berkah terpilih mewakili sekolahnya untuk mengikuti lomba baris-berbaris di tingkat kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Alih-alih bahagia, Sri justru merasa sedih dengan ‘berkah’ ini. Sepatu Sri sudah rusak, ibunya hanyalah seorang janda penjual lopis. Dua fakta itulah yang membuat Sri sadar bahwa ia akan sulit membeli sepatu Warrior dalam waktu 2 bulan lagi. Sri pun kalut dan tidak bersemangat setiap kali ikut latihan baris berbaris.

Untung tak dapat diduga, Sri mendapatkan pekerjaan tidak terduga dari orang tua Lisa, sahabat karibnya. Ia tabung gaji selama dia bekerja dan menyakini bahwa sebelum dua bulan ia sudah bisa mendapatkan sepatu Warior. Namun malang juga tidak bisa dia tolak, ketika uang sudah terkumpul banyak, Jono, tetangganya yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri harus menjalani operasi usus buntu di rumah sakit. Sri menghadapi dilema, membantu Jono dan melepas impiannya ikut pasukan baris berbaris atau meraih impiannya dan membiarkan Jono menghadapi sendiri penyakitnya.

Membaca novel ini memang sungguh berbeda dengan membaca novel remaja pada umumnya. Ada beberapa ciri khas yang tampak dari novel pertama karya Arie Saptadji ini.

Ciri khas pertama Anda tidak akan menjumpai adegan yang berkaitan dengan cinta dari tokoh utama atau tokoh pembantu lainnya. Satu-satunya adegan berbau cinta (lebih tepatnya masih naksir) hanya diperankan oleh Titin, yang diposisikan sebagai tokoh antogonis yang naksir Bowo, kakak Lisa. Itupun hanya sebagai pelengkap cerita yang bila dihilangkanpun saya rasa tidak akan mempengaruhi isi novel secara keseluruhan.

Ciri khas kedua ialah pemilihan lokasi di Temanggung, sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Imbasnya beberapa kata atau istilah dalam novel ini menggunakan bahasa Jawa. Sebagai orang keturunan Jawa asli hal ini tentu saja bukanlah masalah, saya justru menikmatinya. Namun bagi yang tidak paham bahasa Jawa, silakan buka kamus di bagian belakang novel ini. Sambil membaca novel sambil belajar istilah Jawa.

Ciri khas ketiga, dan inilah yang sangat saya sukai ialah peristiwa ini terjadi di masa lalu yaitu pada tahun 1980. Masa dimana konflik remaja hanya terbatas tutur kata dan tidak menjurus ke arah fisik seperti tayangan sinetron saat ini. Saya kembali terkenang nehi-nehi, sepatu warrior yang wajib dipakai saat saya SMP, dan beberapa istilah jawa yang sekarang sepertinya sudah hilang.

Di balik menariknya novel ini, pelajaran sejarah adalah bagian yang terasa ingin saya lompati. Ya, dalam novel ini Anda juga akan menemukan beberapa pelajaran yang berkaitan dengan sejarah. Adam Malik, Judith Resnik dan Discovery-nya, Karl May lewat Old Shatterhand-nya, serial Little House on the Praire, cerpen wayang mbeling berjudul Bima Melacak Tirtapawitra, mendaratnya VOC di Indonesia, Reformasi Protestan, merupakan pelajaran yang ikut nebeng di novel ini. Memang pada akhirnya tokoh atau cerita tersebut (walau sekelumit) tetap berkaitan dengan pribadi Sri dalam menghadapi masalah. Namun, pengambaran mereka terlalu panjang dan bisa membuat bosan para pembaca.

Terlepas para panjangnya pemaparan para tokoh sejarah dan artikel lainnya, Like This layak di sematkan untuk Arie Saptadji. Di tengah maraknya teenlit Indonesia yang full cinta monyet, aksi balas dendam, lu-gue, dengan latar gaya hidup serba hedonis nan metropolis, novel ini berani tampil beda.

Di tengah himpitan kleting abang, kleting hijau, kleting biru, novel ini bagaikan kleting kuning yang sepintas kelihatan jelek namun sebenarnya memiliki kecantikan dan budi pekerti yang luar biasa. Novel yang seperti inilah yang diperlukan oleh para remaja di negara ini. Novel yang berbicara mengenai makna perjuangan hidup dan persahabatan tanpa memandang perbedaan status.

* Ulasan ini berdasarkan Warrior: Sepatu untuk Sahabat (GPU, 2007). Novel ini diterbitkan ulang oleh Pustaka Patria (2020) bersama dengan dua novel lain dalam Trilogi Temanggung, yaitu Dalam Rinai Hujan dan Temanggung, Yogyakarta.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 19, 2020 15:00

November 16, 2020

Warrior: Curhat 80-an Wong Temanggung*


 

Oleh: Anindita S. Thayf**

Warrior: Sepatu Untuk Sahabat (WSUS) adalah salah satu novel remaja Arie Saptaji yang begitu saya tahu diterbitkan oleh salah satu penerbit besar, yang telah menolak naskah saya berkali-kali, membuat saya bergegas terbang untuk membelinya. Alasannya sudah pasti; ingin mengetahui resep rahasia sang penulis hingga berhasil mencuri hati para editor di penerbitan itu. Kali ini, dalam acara Dialog Sastra, saya berkesempatan membagi apa yang saya anggap sebagai “resep rahasia” Arie Saptaji dalam menulis Warrior: Sepatu Untuk Sahabat (Gramedia Pustaka Utama, 2007).

Yang Lain Daripada Yang Lain

Memasuki tahun 2000, novel remaja lebih dikenal dengan nama baru yang terdengar lebih “wah”: teenlit atau teen literature. Sebuah label berbahasa non-Indonesia untuk novel yang isinya tetap ditulis menggunakan bahasa Indonesia—meski tidak 100% karena disusupi bahasa asing di sana-sini. Novel-novel remaja tersebut diceritakan dengan gaya bahasa yang ringan dan tema ala remaja yang ringan pula. Pada sampul WSUS, label “Teenlit: Speaks Your World” juga terlihat melekat di bagian tengah bawah, yang berarti  novel ini (oleh penerbitnya) dikotakkan sebagai novel remaja yang berkisah tentang dunia remaja.

Namun, berbeda dari kebanyakan novel remaja yang terbit akhir-akhir ini, WSUS memiliki keunikan tersendiri, yang membuatnya berbeda daripada yang lain.

Pertama, isi WSUS terbukti 100% bebas kontaminasi bahasa asing (baca: bahasa Inggris), kecuali kata “Warrior” pada judulnya yang semula saya artikan sebagai “Prajurit”, tetapi ternyata mengacu pada merk sepatu tertentu:

Sepatu kets bertali warna hitam kombinasi putih itu memang lagi beken. Di bagian yang menutupi mata kaki ada lingkaran karet bergambar timbul kepala prajurit Indian: Warrior. (hal 139-140)

Kedua, tema WSUS sangat sederhana, yaitu tentang sepatu. WSUS berkisah tentang anak seorang janda penjual kue lopis bernama Sri Suryani. Sri adalah murid yang berbakat di bidang olahraga. Dia terpilih sebagai salah satu peserta kelompok gerak jalan di sekolahnya, SMP Negeri Ngadirejo. Kelompok tersebut akan mengikuti lomba gerak jalan melawan sejumlah sekolah dari daerah lain. Semula, Sri merasa gembira karena terpilih mewakili sekolah bersama teman-temannya, tapi Sri kemudian teringat sepatunya. Sri yang berasal dari keluarga miskin tidak mampu membeli sepatu baru. Sepatu Sri, bermerk Bibos, sudah berlubang di bagian kelingking, hingga membuatnya minder. Cerita pun bergulir tentang bagaimana usaha Sri mendapatkan sepatu baru; apakah dengan menabung, meminjam, atau meminta bantuan Simbok (ibu Sri). Ketika akhirnya uang tabungan Sri terkumpul (setelah sebelumnya, tanpa terduga, ibu seorang sahabat meminta Sri membantunya membuat kue), Sri justru menggunakannya untuk membantu biaya operasi sahabatnya yang lain. Impian Sri membeli sepatu baru pun kandas. Meski begitu, kisah Sri ini berakhir bahagia karena seorang sahabat muncul sebagai penyelamat yang membelikan Sri sepasang sepatu baru dengan uang tabungannya.

Sebenarnya, kisah dengan tema serupa (tentang seorang anak dari keluarga tak mampu yang menginginkan sepasang sepatu, atau tentang seorang remaja yang dipandang sebelah mata oleh teman-temannya tapi mampu membuktikan prestasi yang bagus di bidang olahraga, atau tentang anak dari keluarga sederhana yang terbiasa menderita tapi tetap baik dan rendah hati) tidak begitu asing lagi. Tema sejenis mengingatkan saya pada sebuah film Indonesia jaman dulu Gadis Marathon, film asal Iran yang berjudul Children of Heaven, juga sinetron-sinetron tahun 90-an yang bertema kesederhanaan hidup: Rumah Masa Depan, Keluarga Cemara. Tapi, begitu tema tersebut diangkat oleh Arie Saptaji lewat novel remajanya ini, hal tersebut menjadi sesuatu yang unik (baca: berbeda) dari kebanyakan tema novel remaja yang ada. Kesederhanaan yang ditawarkan WSUS serupa angin segar di tengah keseragaman tema cinta-cintaan dan gaya hidup remaja urban yang terkesan glamor dan cenderung konsumerisme. Inilah yang menjadi salah satu rahasia kekuatan novel ini.

Yang Berasal Dari Hati dan Ditulis Dengan Hati-hati

Hati. Arie Saptaji menulis novel WSUS dengan hati. Campur tangan hati diakui sendiri oleh penulisnya lewat sebuah kalimat di halaman pertama yang berbunyi:

“Sekelumit kenangan tentang Ngadirejo, Temanggung dan tahun 1980-an.”

Sekilas, kalimat tersebut serupa sebuah persembahan, apalagi ditempatkan di bawah kalimat: “Untuk Bapak”. Namun, begitu pembaca melangkah masuk ke halaman demi halaman berikutnya,  maka kata “Ngadirejo” dan  “Temanggung” akan sering muncul sebagai setting kisah, begitu pun suasana tahun 1980-an seolah hidup kembali sejak awal hingga akhir novel. Sebagai pembaca, saya langsung berkesimpulan kalau WSUS mungkin lebih tepat disebut sebagai novel yang berisi pengalaman dan kenangan hidup sang penulis. Untuk selanjutnya, saya sebut saja sebagai “novel curhat”.

Sebagai “novel curhat”, WSUS bukanlah novel remaja pertama yang berasal dari cucuran hati si penulis. Sebagian besar novel remaja masa kini terinspirasi atau bermula dari pengalaman hidup penulisnya, yang kemudian ditumpahkan dalam bentuk buku harian atau blog pribadi, yang pada akhirnya berhasil diterbitkan dalam bentuk buku. Tapi, sebagai penulis yang telah menghasilkan banyak karya dan ada pula yang menorehkan prestasi, Arie Saptaji bercurhat dengan santun dan hati-hati. Ia tidak terjebak dalam keinginan untuk mengeluarkan semuanya sekaligus hingga meninggalkan kesan terburu-buru. Disebabkan hal itu, novel ini terkesan lebih hidup, baik penggambaran tokoh Sri maupun deskripsi setting-nya. Sebagai penulis, Arie Saptaji berhasil membawa kembali kenangannya tentang suasana Ngadirejo di tahun 1980-an dengan cukup meyakinkan.

Jawa dan Non Jawa

WSUS adalah novel remaja yang bernuansa Jawa sangat kental. Hal ini sudah terlihat sejak halaman pertama:

Mestinya wajah Sri sumringah penuh penantian seperti teman-teman lainnya. (hal: 7)

Bagi pembaca yang tidak tahu arti kata sumringah (dalam buku sengaja dicetak dengan huruf miring), dapat melihat pada Daftar Istilah Bahasa Jawa yang terselip di halaman paling belakang. Daftar tersebut tampaknya sengaja disisipkan oleh penulis mengingat banyaknya istilah bahasa Jawa yang digunakannya dalam novel ini.

Sebagai pembaca yang tidak berasal dari suku Jawa, terus terang, saya merasa cukup terganggu mengikuti kisah Sri. Perasaan yang mungkin hampir sama dengan yang  dialami oleh para penggila sinetron ketika serenteng iklan menginterupsi adegan favorit mereka. Mengeluh dalam hati sambil membiarkan iklan tersebut lewat, sementara saya mengeluh karena harus melompat ke halaman belakang untuk mencari arti kata tersebut dalam daftar istilah bahasa Jawa yang ada.

Yang sering saya alami ketika membaca WSUS adalah begini, saya yang sudah merasa terbawa hanyut oleh arus cerita tiba-tiba merasa diputus secara paksa oleh sebuah istilah atau kalimat bahasa Jawa yang tidak saya pahami. Meskipun bisa saja saya melompati istilah tersebut, dengan membaca kata atau kalimat selanjutnya, tapi tidak saya lakukan karena saya merasa ingin memahami kisah novel ini seutuhnya, tanpa ada bolong yang berisi tanda tanya.

Baru sekitar setahun PLN tersambung ke desa mereka, mengalirkan energi listrik siang-malam. Masuknya PLN itu mengakhiri era PLTD, pembangkit listrik tenaga diesel, yang hanya dinyalakan setiap petang sampai pagi. Berakhir pula kebiasaan Sri menyiapkan lampu petromaks…

… Kini ia tinggal menekan sakelar untuk menyalakan lampu neon 40 watt yang memendarkan warna putih susu. Mereka masih menyiapkan lampu teplok untuk berjaga-jaga kalau terjadi oglangan.  (hal: 95)

Sri merasa kerongkongannya tersekat, matanya panas.

“Dhuh Gusti paringana pepadhang,” ratap Lik Tumi (hal: 142)

Jika istilah dan kalimat di atas bisa ditemukan artinya dengan cukup mudah pada daftar istilah, maka ada pula istilah yang mampu menyesatkan para pembaca non Jawa karena multitafsir. Contoh, kata “wong”.

“Kalau dipikir-pikir, apa coba yang membuatmu kepingin melempari jambu Pak Karto? Wong di rumahmu buah-buahan sudah berlimpah begini!” cetus Sri suatu ketika. (hal: 103)

“Kalau wayang wong sebenanarnya saya suka, Pak,” kata Sri. (hal: 111)

“Lha bojoku saja digondol wong wedok lain, apa ya masih ada wong lanang yang masih mau kecantol sama aku,” kata Lik Tumi. (hal: 46)

Untuk satu kata yang sama, “wong”, penulis hanya memasukkan arti kata “wong” pada kalimat ketiga dalam daftar istilah.

Wong wedok = perempuan

Wong lanang = laki-laki  (hal: 183)

Sementara, kata “wong” pada kalimat pertama dan  kedua tidak ada di dalam daftar istilah. Ini menyebabkan pembaca dipaksa menebak-nebak arti kata “wong” yang tidak terjelaskan itu.

Bagi pembaca non Jawa, selain kata/istilah atau kalimat berbahasa Jawa, hal lain yang juga cukup membingungkan adalah hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat Jawa.

Sebagai penulis yang berasal dari Jawa,  tentunya Arie Saptaji sudah terbiasa mendengar nama hari disebutkan dalam urutan Pon, Wage, Kliwon, Legi, Pahing, bukan Senin, Selasa, Rabu…. dan seterusnya hingga Minggu. Di Jawa, urutan hari itu disebut hari pasaran karena pasar-pasar di Jawa dibuka berdasarkan urutan hari tersebut.

Setiap hari Wage Simbok berangkat agak siang karena dia berjualan di Pasar Adiwinangun… (hal: 35)

Begitu pula nama sejenis permainan, yang walau telah berusaha digambarkan dengan detil oleh si penulis, tetapi pada awalnya terasa membingungkan bagi pembaca non Jawa.

Sri ingat, saat bermain jamuran, mereka sudah dengan cerdas langsung membuat peraturan awal: jamur kendi borot hanya boleh diminta satu kali sepanjang permainan. Jamuran, dolanan yang dimainkan dengan menembangkan Jamuran, menawarkan keasyikan berain peran….  (hal: 96)

Remaja Jadoel VS Remaja Jaman Sekarang

Seperti yang telah saya katakan di atas, saya sempat mengira arti kata “Warrior” pada judul novel karya Arie Saptaji ini adalah “prajurit”. Nyatanya, yang dimaksud Warrior adalah merk sepatu yang terkenal pada tahun 1980-an. Begitu tahu hal tersebut, otak saya dengan mudah menggambarkan kembali bentuk sepatu kets hitam beraksen putih yang pernah saya miliki dulu. Pertanyaannya, apakah anak remaja jaman sekarang (baca: yang lahir setelah tahun 1980-an) dengan mudah bisa menangkap maksud si penulis ketika memilih untuk menyisipkan begitu banyak istilah yang populer pada tahun 1980-an? Apakah tidak terjadi hal yang sebaliknya, mereka merasa ada suatu lompatan waktu yang tidak mereka mengerti, termasuk salah satunya membedakan antara sepatu Warrior yang beken jaman dulu dengan sneakers yang populer saat ini?

Bagi saya, yang tergolong remaja jadoel alias remaja jaman dulu, membaca WSUS ibarat membuka-buka album memori masa sekolah dulu. Banyak istilah yang telah saya kenali bertebaran di mana-mana. Misalnya, Lagu Pilihanku, Dunia Dalam Berita, Lima Sekawan, Little House hingga potongan bait lagu “Apanya Dong” milik Euis Darliah. Istilah-istilah itu muncul serupa kliping detil dari nuansa tahun 1980-an yang mau tak mau membuat setiap pembaca yang berstatus remaja jadoel dengan mudah mengikuti arus kisah Sri, termasuk saya. Hingga tibalah saya pada sebuah istilah yang kurang begitu saya kenali dan membuat saya bertanya kesana-kemari. Saya hanya mengenal Bobo dan Bibi Tutup Pintu, sebaliknya tidak dengan Kuncung dan Nenek Limbak. Siapa mereka?

Sri duduk di ambang pintu, membaca Si Kuncung yang dipinjamnya dari Mbak Ratih. Ia paling suka dengan Nenek Limbak. Dulu ada sempat terpikir olehnya untuk menyurati Nenek Limbak, agar membantunya mengatasi masalah sepatu. (hal: 98).

Pesan dan Kesan

Tak dapat dimungkiri, novel WSUS ini sarat pesan moral yang berguna, terutama bagi remaja. Yaitu, tentang persahabatan yang tulus dan kesederhaan hidup. Pesan moral dalam novel ini tersaji begitu sederhana dan apa adanya. Tak tampak  dipaksakan atau menggurui.

Sayangnya, novel ini pun sarat informasi yang menurut saya kurang penting. Informasi tersebut berupa artikel, biografi singkat sejumlah tokoh, hingga sebuah cerpen ditampilkan utuh dalam novel ini—cerpen tersebut bukan hasil karya si tokoh utama, Sri, melainkan bapak sahabatnya. Dari 177 halaman novel ini, sekitar 22 halamannya berisi informasi yang tidak ada sangkut pautnya dengan alur cerita. Seolah disajikan agar membuat pembacanya menjadi lebih pintar, tapi entah mengapa jsutru terkesan memaksakan. Misalnya, potongan artikel tentang Discovery, biografi  Adam Malik, Indira Gandhi, Jesse Owen, hingga Purnomo, sprinter Indonesia yang lolos ke semifinal 100 meter Olimpiade di Los Angeles, 1984. Terdapat pula, informasi yang terkesan lebih merupakan suara penulis, bukan suara Sri.

Sri tergeragap. Empat ratus tahun? Sri mencoba membalik-balik halaman sejarah. Tepat 400 tahun lalu, Sultan Baabullah, yang membawa Ternate ke masa keemasannya, meninggal dunia… dan VOC belum menginjakkan kaki di bumi pertiwi. Eropa sendiri masih geger setelah terbelah oleh Reformasi Luther….” (hal: 94)

Novel ini juga cukup sarat dengan kalimat indah dan kata-kata yang jarang digunakan dalam sebuah novel remaja jaman sekarang. Kata-kata yang memaksa pembacanya mengerutkan kening, mencoba menebak-nebak, sebelum kemudian membuka kamus Bahasa Indonesia untuk mencari artinya jika penasaran.

Namun, terlepas dari segala kekurangannya, Warrior: Sepatu Untuk Sahabat adalah salah satu novel remaja yang bertema sederhana dan sarat pesan moral.  Novel yang berhasil membawa pembacanya, terutama para remaja era 1980-an, bernostalgia ke masa lalu, termasuk saya.***

* Disampaikan dalam Obrolan Sastra yang diadakan kerjasama antara komunitas Apresiasi Sastra dengan Yayasan Umar Kayam, Yogyakarta, 5 Mei 2009.

** Penulis novel konyol dan novel anak. Novel etnografinya tentang Papua, Tanah Tabu, menjadi juara tunggal Sayembara Novel DKJ 2008.

*** Ulasan ini berdasarkan Warrior: Sepatu untuk Sahabat (GPU, 2007). Novel ini diterbitkan ulang oleh Pustaka Patria (2020) bersama dengan dua novel lain dalam Trilogi Temanggung, yaitu Dalam Rinai Hujan dan Temanggung, Yogyakarta.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 16, 2020 15:00

September 29, 2020

Memerlukan Layanan Penerjemahan dan Penyuntingan Naskah yang Berkualitas?




Selain layanan Kelas Menulis dan Penulisan Naskah (Ghostwriting), ART Dunia Literasi juga menyediakan layanan penerjemahan dan penyuntingan naskah.
PENERJEMAHAN NASKAHAlih bahasa dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Penerjemahan dikerjakan secara dinamis sehingga naskah hasilnya terbaca sebagai tulisan dalam bahasa Indonesia yang baik dan wajar.
PENYUNTINGAN NASKAHPenyuntingan bertujuan untuk memeriksa dan memperbaiki naskah baik secara kebahasaan maupun akurasi datanya sehingga naskah menjadi enak dibaca dan akurat. Penyuntingan juga bermanfaat untuk mengubah naskah skripsi/tesis atau makalah seminar yang ditulis dalam bahasa akademis menjadi naskah bacaan populer.
Tarif penerjemahan dan penyuntingan naskah disesuaikan dengan tingkat kesulitan materi dan lama pengerjaannya.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi kami:
Email: ariesaptaji@gmail.comWA: 088216225472
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 29, 2020 03:30

Apakah Ghostwriter Itu? Bagaimana Dia Membantu Anda Menuliskan Buku?




Anda mungkin memiliki kisah hidup yang unik dan menarik. Atau, Anda memiliki wawasan dan ide-ide yang bermanfaat untuk dipelajari oleh orang lain.
* Anda seorang pendidik dengan pengalaman yang luas dan segudang prestasi serta berhasil mengembangkan metode pembelajaran yang efektif bagi peserta didik.* Anda seorang pekerja sosial dengan pelayanan yang dapat menggugah orang untuk berbagi kebaikan kepada sesama.* Anda seorang dokter yang ingin membagikan wawasan kesehatan yang praktis dan efektif bagi masyarakat luas.* Anda pengusaha yang jatuh-bangun berjuang merintis dan mengembangkan suatu usaha sampai sukses.* Anda seorang ibu rumah tangga yang berhasil membesarkan anak-anak tanpa dukungan suami.* Anda seorang pemuka agama dengan khotbah-khotbah yang menggugah dan memperkuat iman umat.
Kisah hidup dan wawasan Anda dapat memberi makna pada hidup Anda, menjadi hadiah dan warisan yang berharga bagi orang-orang yang Anda kasihi, dan sekaligus memperkaya kehidupan orang lain. Karena itu, Anda berpikir untuk menyusun kisah dan wawasan tersebut sebagai buku agar banyak orang dapat membacanya.
Namun, Anda mengalami kendala untuk menuliskannya. Mungkin Anda kesulitan meluangkan waktu untuk menulis. Atau, Anda merasa kurang cakap dalam menulis. Anda bingung bagaimana cara menuturkan kisah hidup Anda secara asyik dan mengalir. Anda kesulitan memaparkan ide-ide Anda secara runtut dan memikat.
Ada jalan keluar untuk mengatasinya. Sebagai seorang ghostwriter, saya menawarkan kepada Anda kerja sama untuk menuliskan kisah hidup atau wawasan Anda menjadi naskah buku yang bagus.
Apakah ghostwriter itu? Bila diterjemahkan secara sederhana, ghostwriter adalah penulis bayangan yang melayani permintaan pihak lain (atau klien) untuk menulis.
Anda dapat bekerja sama dengan saya untuk menuliskan kisah atau wawasan hidup Anda menjadi buku yang dapat menginspirasi orang banyak. Anda bertindak sebagai klien atau narasumber atau penulis, orang yang kisah hidup atau wawasannya dituliskan sebagai buku. 
Tentu saja, saya akan perlu mewawancarai Anda sehubungan dengan kisah hidup atau wawasan yang hendak dituliskan tersebut. Alangkah baiknya jika Anda juga menyediakan dokumen atau sumber acuan lain yang revelan untuk buku yang hendak disusun. Melalui wawancara dan riset ini, saya akan menggali kisah hidup dan wawasan Anda untuk kemudian mengolahnya menjadi karya tulis yang apik dan layak terbit.
Sebagai ghostwriter, saya tidak berperan dalam penerbitan buku Anda. Tugas saya sebagai ghostwriter berakhir ketika saya sudah menyelesaikan naskah buku Anda sesuai dengan kesepakatan.
Selanjutnya, penerbitan buku sepenuhnya berada di tangan Anda. Namun, jika diperlukan, saya juga dapat memberikan konsultasi seputar penerbitan buku tersebut.
Jika Anda berminat dengan layanan ghostwriting ini dan ingin mendapatkan keterangan lebih lanjut, silakan menghubungi saya:
Email: ariesaptaji@gmail.comWA: 088216225472
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 29, 2020 03:27

Kelas Menulis dengan Metode ART (Amati - Renungkan - Tuliskan)




Menulis adalah suatu upaya untuk mengabadikan berbagai bentuk pengalaman ke dalam tulisan. Karena itu, sumber penulisan sejatinya senantiasa tersedia, tidak pernah habis, tidak pernah kering. Ada saja pengalaman—mulai dari yang lahiriah, yang batiniah, yang berlangsung dalam mimpi, sampai yang supranatural—yang muncul dalam keseharian kita. Itu mata air bagi tulisan kita.
Menulis itu sebuah kecakapan berbahasa, bukan suatu bakat. Apakah artinya? Kalau menulis itu bakat, hanya orang-orang tertentu yang berbakat yang mampu melakukannya. Orang-orang yang tidak berbakat menulis akan sangat susah untuk menulis atau akan buruk tulisannya.
Namun, menulis itu sebuah kecakapan berbahasa. Artinya, kita dapat belajar cara-cara menulis yang baik. Kita dapat berlatih untuk melakukannya. Latihan ini berguna untuk mendekatkan tangan dengan otak, memperlancar hubungan antara otak dan tangan tadi. Setiap pekerjaan tangan—dari mencangkul sampai berburu, dari memahat sampai bermain piano—perlu dilatih secara tekun sehingga tangan terbiasa mengerjakan “perintah” otak. Demikian juga dalam menulis. Dan itulah tujuan kelas menulis kita ini.
Kita dapat mengembangkan kecakapan menulis agar semakin lama semakin baik dan mahir. Semakin rajin kita berlatih, dengan cara-cara latihan yang tepat, semakin baik pula kecakapan menulis kita. Berarti, diperlukan disiplin dan kerja keras. Juga, bukan dalam jangka waktu yang pendek, melainkan dalam jangka waktu yang panjang: seumur hidup.
Bagaimana cara mengembangkan gaya hidup atau kebiasaan menulis? Karena menulis adalah kecakapan, cara untuk mengembangkan kebiasaan menulis adalah dengan terus berlatih dan terus belajar. Jika seseorang bercita-cita untuk menjadi penulis, sebelum ia mencapai tahap "sudah bisa hidup dari menulis" atau "tidak bisa hidup tanpa menulis", janganlah ia berhenti belajar dan belajar.
Namun, tentu saja, kita juga tidak dapat berlatih secara sembarangan. Perlu latihan yang tepat, terarah, dan bertahap. Nah, untuk melatih kecakapan menulis ini, salah satu cara yang sederhana, tetapi tetap menuntut disiplin dan ketekunan, adalah dengan menggunakan metode ART.
Apakah metode ART itu? ART adalah kependekan dari Amati, Renungkan, dan Tuliskan, yang merupakan tahap-tahap mengembangkan kebiasaan menulis. Kita mengamati pengalaman dan keadaan di sekitar kita secara cermat dan kemudian merenungkan atau memikirkannya secara sungguh-sungguh. Pengamatan dan perenungan ini menjadi dasar dan sumber ide penulisan. Nah, dalam tahap menulis, kita akan belajar seluk-beluk kalimat efektif, yang merupakan modal dasar bagi setiap penuli, dan berlatih menulis genre atau jenis tulisan tertentu. Itulah yang akan kita pelajari dalam Kelas Menulis ART ini.
Kelas menulis ART menawarkan beragam topik mulai dari dasar-dasar kepenulisan sampai teknik penulisan berbagai genre tulisan. Topik dapat dipilih sesuai dengan keperluan, tujuan, dan lama waktu pelatihan. Pelatihan pernah diadakan di Yogyakarta, Jakarta, Bandung (Jabar), Purwokerto, Solo, Temanggung, Muntilan, Salatiga, Semarang, Pati (Jateng), Surabaya (Jatim), Palu (Sulteng), Sibolangit, Medan (Sumut), Wewewa Tengah, dan Lewa (NTT), serta pelatihan secara online melalui Grup WA.
Kelas Menulis ART untuk saat ini tersedia untuk Kelas Anak dan Kelas Dewasa. Jika Anda berminat mengikutinya dan ingin mendapatkan informasi lebih lengkap, silakan menghubungi kami:
Email: ariesaptaji@gmail.comWA: 088216225472


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 29, 2020 03:24

July 30, 2020

Kamis Pagi di Umbang Tirta







Kamis Pagi di Umbang Tirta



Ini video pertama yang dibubuhi close caption (CC) atau subtitle. Rumit juga pengerjaannya, perlu kecermatan ekstra. Padahal, hanya untuk video sepanjang 05:44 menit. Sebagai penggemar film, jadi terbayang bagaimana kira-kira rasanya mencantumkan subtitle untuk film sepanjang 2 jam.



Penyediaan CC antara lain agar video dapat dinikmati oleh kalangan yang lebih luas, yaitu teman-teman tuli yang tidak dapat menyimak audionya. Mengingat hal tersebut, meskipun pelik, pencantuman CC jadi kerja yang menggembirakan.



Videonya sendiri sebuah esai visual pendek tentang sebuah kota. Persisnya, tentang kolam renangnya dan keasyikan berenang. Silakan mampir untuk menyimaknya!

1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 30, 2020 16:53

July 27, 2020

Maskumambang



Tinggal sederet kenangan menggigit, meski terasa baru kemarin, seperti sebuah gending akhirnya mencapai suwuk, suatu babak kehidupan akhirnya juga harus dipungkasi. Ning telah melepaskan masa bocahnya, dengan berdebar. Itulah hari-hari yang paling panjang yang paling indah dalam hidupnya. Masa bocah, masa yang paling tidak mengenal curiga yang paling tidak mengenal setitik pun tahi cemburu.
Lautan rumput segar, berpucuk bunga-bunga putih membuih-gelombang, tergelar menawan, adalah milik bersama. Ara-ara, tempat yang begitu damai memberikan aroma ketulusan serba hijau penuh tembang laras. Di sanalah, Ning melepas tawa bersama-sama teman-teman kecilnya. Ada Mardi yang mengunyah pangkal batang bunga rumput; ada Seno yang terkantuk-kantuk di punggung kerbau dengan selembar koran robek; ada Wage dan Yati yang berlarian menjebak capung yang melayang di atas bandotan2) dengan jerat lidi-melengkung-bersawang. Mereka terbahak, bergelut, menangis, dan akhirnya terbahak kembali serta berbagi penganan di tengah angin yang baru saja menelusupi daun-daun tembakau. Mereka seperti alap-alap, ya, dalam daur kegembiraan, yang bagai tiada pernah terputus.
Sorenya, anak-anak perempuan mengguyur kepenatan di bawah kesegaran sejuk pancuran bambu. Anak-anak laki-laki lebih suka membendung sungai, untuk berenang sambil saling menyipratkan air. Anak-anak laki-laki itu bertelanjang dada, tubuh basah mereka berkilau indah tersentuh bias cahaya matahari yang hampir tenggelam di balik gunung.
Namun, sesampainya di rumah, Ning sudah dinanti Bapaknya dengan sebatang penjalin. Disebat! Disebat! Disebatkan sehingga betis kecil itu berbilur-bilur merah. Kepedihan pun merayap naik, mengguncangkan dadanya yang kerempeng. Bibirnya gemetar terisak, ia tidak bisa menjerit. Air mata Ning berlelehan menggenangi pipi. Bapak baru berhenti bila Simbok datang meredakan dengan suara bergetar. Ning mencari perlindungan dengan mencengkeram jarit Simboknya. Simbok akan menuntunnya, mencopoti bajunya yang basah-lembab.
“Jangan dolaaan terus! Bantu Mbokmu di rumah,” larangan dan sekaligus perintah Bapak. Ning adalah anak sulung. Adiknya dua, kecil-kecil. Yang satu sudah mulai suka usil. “Ning kasihan ‘kan kalau Simbok repot? Jaga adik, ya? Ning anak manis!” permintaan Simbok selalu. Ning tak sanggup menolak. Ning sangat sayang Simbok, yang selalu baik.
“Sana, boleh main,” kata Simbok kalau Sri sudah lelap. “Tapi jangan lama-lama. Kalau sore cepat pulang, tidak usah mandi di kali.”
Kalau mbok sudah tersenyum dan mengangguk, segera Ning melesat. Ke ara-ara!
Di ara-ara, ia menjadi pengantin kecil. Alisnya dihitamkan dengan serbuk arang oleh Yati. Rambutnya yang sepinggang digelung, dihiasi macam-macam bunga, diberi cunduk-mentul segala. Diringi musik kaleng dan nyanyian riuh-rendah, pengantin putri dipertemukan dengan pengantin putra, Mardi, di atas batu besar yang ceper. Mardi tersenyum-senyum. Ning berpipi merah malu.
Eee, ngantene tekaEee, gelarna klasa…. 3)
Namun, ketika adik ketiganya lahir, Ning mengerti, ia harus lebih banyak membantu Simboknya. Mencuci piring, menyapu, momong adik dan sedikit-sedikit belajar memasak menyita hari-harinya. Tidak ada kemanjaan, tidak ada kecanggungan, tapi ada kemesraan sayang. Karena itulah yang harus dijalani. Ning bahagia, karena tahu, sesungguhnya sangat sayanglah Simbok dan Bapak kepadanya.
Bila kentungan magrib telah dipukul, pintu rumah dikunci, dan Ning harus membuka-buka buku pelajaran. Ini juga sebuah bekti, pengabdian. Ning menyaksikan sendiri, betapa berkeringat Bapak dan Simbok bekerja; untuk menyuapi enam mulut, untuk membiayai sekolahnya.
Suasana yang hangat, yang mesra, itulah pemberi kebahagiaan.
Pernah suatu ketika, ia sakit. Simbok sebenarnya hanya bisa menyediakan sayur sawi dan sambal terasi. Tapi ia telah diberi telur ceplok setengah matang. Warno menungguinya, duduk di pinggiran dipan bambu.
“Nih, habiskan,” katanya setelah memakan telur itu separuh.
Warno menggeleng. “Kata Simbok, untuk Mbak saja. Biar cepat sembuh.”
Mata Ning panas. Hatinya seperti diremas-remas. Mata Warno yang besar dan hitam seperti sebuah lubang yang amat dalam, amat jauh. Sayu, Ning menggulirkan matanya, menatapi lamtoro yang berayun-ayun di luar jendela.
Lebih nelangsa lagi ketika ia harus putus sekolah. Ketika teman-teman lain melangkah gagah serba bangga melanjutkan ke sekolah pilihan, cita-citanya untuk menjadi guru harus pupus. “Bukannya Bapak dan Simbok tidak kepengin menyekolahkan kamu tinggi-tinggi. Bukan. Tapi ragat, biaya, Nduk. Kau tahu, adik-adikmu lebih membutuhkannya.”
Ning merasa seperti seorang bocah yang cemburu melihat teman-temannya mengulum permen, sedangkan dirinya disodori tablet, dan terpaksa menelannya. Pahit. Tapi, ia mencoba tidak menangis.
Kadang ia bertanya. Mengapa keringat yang berleleran saban hari, mengolah sawah-ladang yang memang cuma beberapa petak, belum bisa untuk membuat mereka berkecukupan. Mengapa doa-doa itu belum juga memperoleh jawaban. Tapi, Simbok menekankan kepadanya untuk belajar sumarah, belajar mengolah kepahitan jurang-trebis kehidupan menjadi penawar keletihan.
Ia mencoba memahami babak baru lakon kehidupannya, dan menjalaninya; sejak batara surya menghangatkan permukaan tanah, membusur tinggi ke pusat langit, sampai menggelincir ke balik Sindoro yang menyimpan sasmita. Inilah ruangnya, sekarang. Kerja perempuan desa: dapur, pasar, pancuran, ladang, dan akan segera begitu dekat dengan lelaki, mengandung dan anak… ah! Bukan kerja berat sebenarnya, namun seperti ada yang rontok-gugur melayang sebelum benar-benar garing. Ngilu. Sungguh canggung kemudaannya yang mentah disentakkan ke tengah kalangan wanita dewasa yang gemar petan4), sambil ngrasani5) orang lain tanpa menyadari bahwa permainannya itu tak lebih baik ketimbang jamuran bocah di ara-ara.
Ara-ara. Ya, Ning lebih suka ke sana. Ara-ara tetaplah tempat kanak-kanak berlarian dengan tawa yang menyentuh lubuk hati. Betapa mekar hatinya ketika mereka bersorak menyambut kalung jagung jali buatannya. Atau melihat mereka melayang membawa kitiran bunga dadap melintasi pematang di sela lautan hijau padi muda. Siapa pun akan kangen pada kehangatan semacam itu.
Sekarang, ia jarang berjumpa dengan kanca-kanca akrabnya. Bila omong-omong dengan mereka, ia sering merasa canggung. Bukan apa-apa, tapi karena mereka telah serba lebih tahu, rasanya. Mardi, si calon insinyur pertanian, bercerita tentang harapannya, keinginannya untuk membantu para petani. Yati yang prihatin dengan perekonomian desanya kepingin mendirikan koperasi. Ning ikut bangga, sekaligus bertanya-tanya kepada diri sendiri: apa yang bisa ia lakukan, ia sumbangsihkan.
“Tapi kau sudah mulai untuk menjadi petani yang baik. Kami baru bercita-cita,” kata Mardi. Ning menghela napas, mengeluh kepada diri sendiri.
Setiap malam Minggu, mereka ke rumah Mbah Ompong, kakek tua yang tetap jago meneplak kendang, untuk berlatih gamelan. Mardi sangat gagah dengan rambutnya yang selalu licin persis jalak. Tampan, justru karena ia prasaja, sederhana. Ning gelisah, hanyut antara ladrang6) dan ketawang7). Mardi serba tersenyum, dan mencuri pandang kepada Ning dengan tangan tetap melenting-melentingkan tabuh menelusuri demung. Ada debaran dalam dada Ning, yang justru harus disembunyikannya, di sudut keperempuanan hatinya.
Dan Ning memang terus tumbuh. Kesunyian menggulung turun seperti layar ketoprak. Tak terasa, ia telah memasuki musim ketiga puluh empat. Dadanya yang dulu kerempeng telah mekar ditumbuhi bukit kembar. Serba berdebur dalam mereguk hari-hari.
Ning tertegun ketika sebuah kenyataan menantinya: kawin. Ia tak pernah menginginkan semuanya akan tiba secepat itu. Ia merasa diseret masuk hutan liwang-liwung, hutan lebat membuat bingung.
Kang Yono telah melamarnya. Ning tahu, ia lelaki yang baik, petani yang tekun mengayunkan cangkul. Lelaki yang ramah, tubuhnya kekar berkulit coklat matang, sering membantu memanggulkan padi ke tempat penggilingan. Pernah, Ning dipergoki Yono ketika sedang melamun melintasi ladang jagung. Ah, seharusnya Ning tahu apa yang tersembunyi di balik sinar mata yang begitu tajam itu.
Tapi, Ning merasa ragu. “Bisakah aku tresna padanya, yang belum akrab kukenal, yang enam tahun lebih tua,” Ning merasa tak rela untuk menyerahkan sampur tresnanya.
Ia ingin memberikan kepada seseorang yang lain. Kepada Mardi. Mardi juga baik. Kebaikan mungkin adalah tresna. Tapi, tresna yang bagaimana? Ning berharap, meski ia merasa tak berharga dan amat jauh untuk menggapainya. Kebelumdewasaan akan sulit memberikan makna. Ya, betapa sulitnya untuk memahami. Dan, harapan itu seperti menjadi seribu layang-layang putus.
Ning termangu di bawah rumpun bambu. Daun-daun bambu yang garing berkitiran di sekitarnya. Nyanyian yang nyeri.
Sebuah seruan, memanggil namanya, menyentakkan lamunannya. Tinuk sudah duduk di sampingnya. Tinuk, salah seorang teman senasib: putus sekolah, bahkan sebelum lulus SMP.
“Eh, sudah dengar kabarnya Sum? Kasihan dia.”
Ning meneleng.
“Dia mau dikawinkan sama Amin. Jelas dia tidak suka, tapi, yah, terpaksa! Siapa coba yang sudi sama lelaki yang gemblung macam itu?”
Amin adalah tangan kanan seorang babah makelar, yang dengan halus akan merebut hak petani untuk menentukan harga panen tembakau. Para petani sulit menolak, apalagi kalau awalnya sudah utang modal, apa boleh buat. Lagak Amin memang mentereng, keluar-masuk desa selalu pakai sepeda motor yang derumnya minta ampun memekakkan.
“Tapi, orang tua Sum dipaksa. Ngawur saja! Padahal dia ‘kan sudah punya bojo, punya anak?”
Ning bergidik mengingat senyum kelam dan mata yang suka melirik kurang ajar itu.
“Kasihan Sum. Kerjanya menangis terus sekarang. Siapa yang tidak merasa keranta-ranta8), ya?”
Ning berpaling sambil mengusap sebutir air yang meleleh ke pipinya.
“Ning…?”
Ning mengerjapkan-ngerjapkan matanya. “Tidak apa-apa.…”
Malamnya, di pangkuan Simbok, Ning bercerita. Di pangkuan Simbok, rasa damai merayap-rayap. Simbok, meski teteknya sudah kempes, selalu siap menyediakan telaga air susu yang menyegarkan dan penuh kekuatan. Ning ingin telanjang, dan mereka berbincang sebagai dua orang perempuan dewasa. Simbok mengajaknya menelusuri pematang kesumarahan, yang begitu sering disingkiri. Simbok mengajaknya menembangkan langgam syukur, yang begitu sering disumbat dan menghantam-hantam dada. Begitu banyak bekal pitutur[i] yang diberikannya pada Ning tercinta. Berlinang air matanya mengantar Ning berlari-lari ke ara-ara baru yang telah dipilihnya, dengan bahagia.
Lembut dan hangat, memberi keteguhan, Simbok mengelus rambut Ning. Malam semakin tua. ***
(Pemenang Penghargaan Sayembara Mengarang Cerpen femina 2006; termuat dalam kumpulan cerpen Lintasan Cinta, PBMR ANDI, 2007)
Catatan:  Maskumambang = bentuk komposisi tembang macapat, biasanya dipakai untuk melukiskan kisah sedih atau keprihatinan yang mendalam.  suwuk = berakhir  bandotan = nama sejenis perdu  terjemahan bebas = “He, pengantin datang, mari kita hamparkan tikar!”  petan = mencari kutut  ngrasani = bergosip  jamuran = nama permainan tradisional  ladrang = gending berirama cepat  ketawang = gending berirama lambat  keranta-ranta = sedih pilu  pitutur = nasihat
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 27, 2020 18:02

July 3, 2020

Dapatkah Orang yang Sudah Bercerai Menikah Kembali?



Oleh Paul Ellis


Hmm, itu pertanyaan yang sulit. Coba kita lihat. Dapatkah orang berdosa? Dapatkah anak yang minggat pulang? Dapatkah penipu memperoleh kesempatan kedua? Dapatkah sesuatu yang retak dipulihkan kembali.


Nah, bukan, itu bukan pertanyaan yang sulit. Itu pertanyaan yang mudah. Tentu saja orang yang sudah bercerai dapat menikah kembali! Pertanyaan ini menjadi sulit tidak lain karena agama menyatakan bahwa orang yang bercerai itu melakukan dosa yang tak terampuni. Mereka seperti orang kusta yang mencemari gereja kecil kita yang sempurna. Sepanjang mereka duduk tenang dan mendukung program-program kita, mereka disambut dengan tangan terbuka. Namun, begitu mereka mulai berusaha menjalin hubungan cinta, mereka sudah melanggar batas. Mereka kan sudah pernah menjalin hubungan cinta dan mereka mengacaukannya.


Sungguh pernyataan yang berlawanan dengan kasih karunia Tuhan! Saya tidak dapat membayangkan sesuatu yang begitu berlawanan dengan hati Kristus selain menyatakan pada seseorang bahwa mereka tidak boleh mengalami cinta kasih, bahwa mereka terikat oleh kesalahan masa lalu mereka, dan bahwa mereka tidak memiliki masa depan.


Dua Farisi


Ada dua sosok Farisi bermuka kecut yang menyusup ke dalam gereja modern. Yang pertama disebut Penentang Perceraian dan yang kedua disebut Penentang Pernikahan kembali. Yang pertama gemar mengutip 1 Korintus 7:27 dan yang kedua mengutip 1 Korintus 7:11. Mari kita memeriksa kedua ayat itu:


Adakah engkau terikat pada seorang perempuan? Janganlah engkau mengusahakan perceraian. (1 Kor 7:27a)


Ini nasihat yang sehat karena perceraian itu destruktif. Allah membenci perceraian (Mal 2:16) karena perceraian merusak anak-anak-Nya. Bapa yang penuh kasih tidak ingin melihat Anda mengalami kepedihan itu.


Namun, sebagian orang mengubah nasihat ini menjadi hukum. "Jangan bercerai!" Karena hukum justru merangsang perbuatan dosa (Rom 7:5), pesan ini sesungguhnya malah merangsang terjadinya perceraian. Hal itu merusak gereja dalam dua aspek: menggugah perbuatan dosa dan menghukum si pendosa.


Jika Anda menjadikan perkataan tadi sebagai hukum, Anda harus konsisten dan memberitakan seluruh ayat:


Apakah engkau tidak terikat pada seorang perempuan? Janganlah engkau mencari seorang. (1 Kor 7:27b)


Jika bagian pertama merupakan hukum, begitu juga bagian kedua. Jika orang yang bercerai itu berdosa, begitu juga dengan orang yang menikah. Jelaslah bukan itu maksud perkataan rasul kasih karunia ini. Ia berkata agar kita tidak mengupayakan perceraian. Ia berkata bahwa perceraian itu bukan sesuatu yang perlu dilakukan.


Granat tangan perceraian


Perceraian itu sesuatu yang mesti dihindari--sedapat mungkin. Dalam pernikahan kami, Camilla dan saya memutuskan sekian tahun yang lalu, kami tidak akan pernah mengucapkan kata cerai, sekalipun hanya bergurau. (Ini bukan hukum bagi kami, hanya suatu pilihan yang sehat. Ada situasi tertentu--pernikahan yang diwarnai kekerasan, misalnya--yang memungkinkan penggunaan kata itu.) Mengucapkan kata cerai saat bertengkar itu sama saja menarik pelatuk granat tangan. Hanya akan memperparah keadaan. Takut akan granat tangan akan membunuh pernikahan Anda. Bagaimana Anda bisa terbuka dan jujur akan perbedaan Anda kalau Anda takut pasangan Anda akan menarik pelatuk? Paulus berkata, jauhkanlah granat tangan itu dari pernikahan Anda. Jangan mencarinya. Sebaliknya, carilah Yesus.


Namun faktanya ada orang yang bercerai dan kadang-kadang dengan alasan yang sangat valid. Bagaimana dengan mereka? Dapatkah mereka menikah kembali. Masuklah orang Farisi kedua.


"Pernikahan kembali itu dosa--Alkitab sangat tegas akan hal ini. Orang tidak dapat menikah kembali, kecuali rujuk dengan pasangannya yang semula." Dan kemudian mereka mengutip ayat yang mengatakan bahwa seorang perempuan tidak boleh bercerai dari suaminya:


... seorang istri jangan bercerai dari suaminya. Jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. (1 Cor 7:10-11)


Paulus sedang memberitakan pemulihan, dan kita semua mengharapkan hal itu terjadi. Jika apa yang telah pecah berantakan dapat dipersatukan kembali, alangkah indahnya. Namun bagaimana jika tidak? Bagaimana jika si suami pelaku kekerasan yang kasar terhadap istrinya? Bagaimana jika pasangannya telah menikah dengan orang lain dan memiliki 14 anak? Bagaimana jika kesempatan untuk rujuk itu nihil?


"Ya berarti pernikahannya sudah berakhir," kata si Farisi. "Jika mereka menikah dengan orang lain, mereka melanggar perintah dan berdosa terhadap Allah."


Pesan yang berpijak pada hukum itu berlawanan dengan prospek anugerah yang penuh dengan penebusan. "Segala sesuatu halal bagiku," kata Paulus dalam dua kesempatan, "tetapi bukan semuanya berguna." Ini bukan soal mematuhi peraturan, melainkan soal apakah pilihan Anda menuju pada kehidupan atau kematian. Tidak baik kalau seseorang itu sendirian, namun ada orang yang tidak siap menikah. Perceraian itu tidak baik, namun ada orang yang benar-benar sekarat dalam pernikahan mereka.


Orang yang bercerai kadang-kadang diperlakukan sebagai warga kelas dua. Pesan yang mereka terima adalah, "Kami akan menerimamu selama kamu mengikuti peraturan dan tata tertib kami." Mereka yang berbicara seperti ini tidak memahami hati Allah (lihat 1 Yohanes 4:8).


Agama vs realitas


Sungguh memprihatinkan cara kita memperlakukan sebagian orang di gereja. Seorang pendosa bertobat dan kita merengkuhnya sebagai saudara seiman. Seorang pendeta berzinah dan kita berusaha keras memulihkan dia. Orang yang paling berdosa menjadi rasul dan kita berkata "Bukankah Allah itu ajaib?" Namun tampaknya anugerah tidak tersedia bagi mereka yang bercerai, karena mereka harus tetap dalam masa percobaan sepanjang sisa hidup mereka.


"Kan memang berbeda, Paul. Pendeta dan pendosa itu sudah bertobat dan diampuni. Namun orang yang bercerai lalu menikah dengan orang lain itu jelas-jelas tidak bertobat, malah mereka hidup dalam dosa, jadi mereka tidak dapat diampuni."


Kalau begitu kita sedang memberitakan pengampunan bersyarat ya? Kita berkata bahwa Yesus tidak akan mati bagi dosa kita kecuali kalau kita bertobat dulu? Itu benar-benar terbalik. Itu pesan sungsang dari agama yang mengandalkan kesalehan pribadi kita.


Ketika Yesus pergi ke kayu salin, Dia menanggung seluruh dosa dunia (1 Yoh 2:2). Tidak seorang pun dan tidak satu dosa pun yang terkecualikan dari karya pengurbanan-Nya ini. Itulah sebabnya kita memberitakan pengampunan tanpa syarat. Pesan utama Injil bukanlah "bertobatlah agar engkau diampuni". Pesan Injil adalah "Allah mengasihimu--bertobatlah dan percayailah kabar baik ini!"


Kasih Allah tidak terpengaruh oleh status pernikahan Anda


Dosa apa pun yang Anda lakukan sudah dibawa ke kayu salib jauh sebelum Anda melakukannya. Tidak ada satu pun perbuatan Anda yang dapat membuat Allah lebih mengasihi Anda dan tidak ada satu pun perbuatan Anda yang dapat membuat-Nya kurang mengasihi Anda. Kalaupun Anda dosa yang tidak dapat diampuni, itu bukan perceraian.


Maka, bagi orang yang menikah: Jangan mengusahakan perceraian dan jangan menjadikan anugerah sebagai kelonggaran untuk berbuat dosa. Hanya orang tolol yang akan menukarkan harta surgawi (pernikahan) dengan sampah duniawi (keintiman haram).


Dan bagi mereka yang sudah bercerai: Anda bukan orang berdosa yang tak terampuni. Allah memang mendukung pernikahan dan menentang perceraian, namun lebih dari itu, Dia ada di pihak Anda. Allah membenarkan Anda, maka jangan biarkah si Farisi menghakimi Anda (Rom 9:33-34). Anda berharga bagi Bapa Anda. Dia mengasihi Anda dan berkenan akan Anda. Status pernikahan Anda tidak memengaruhi sedikit pun kasih-Nya yang besar kepada Anda itu.


Dapatkah Anda menikah kembali? Oleh anugerah Allah, dapat. Mestikah Anda menikah kembali? Itu bergantung. Tanyakanlah pada Bapa Anda. Dia mengenal Anda secara lebih baik daripada diri Anda sendiri dan Dia akan menuntun Anda di jalan kehidupan. Mungkin Anda akan menikah kembali, mungkin juga tidak. Namun, karena Allah ada di pihak Anda, Anda tidak mungkin kalah (Rom 8:28).


Itu pendapat saya. Sekarang saya ingin mendengarkan pendapat Anda, khususnya jika Anda sudah bercerai. Apakah Anda mengalami anugerah di gereja atau malah sebaliknya? Saya tidak ingin artikel ini menjadi pemicu diskusi yang sengit, maka berdiskusilah dengan nada yang membangun. Sampaikan saran-saran tentang bagaimana gereja dapat menyikapi dan melayani secara lebih baik orang-orang yang bercerai. ***


Sumber: Can divorced people remarry?


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 03, 2020 22:17