Arie Saptaji's Blog, page 3
July 15, 2023
Setengah Hari di Rumah Atsiri
Wewangian. Tanam-tanaman. Bunga-bungaan dan buah-buahan. Kisah-kisah di baliknya. Kita menelusurinya melalui petak-petak taman dan rangkaian gedung bertata arsitektur sedap dipandang.
Rumah Atsiri Indonesia (RAI) mengemasnya di sebuah destinasi wisata yang berlokasi di Desa Plumbon. Kompleks ini terlihat dari kejauhan, menghampar di sisi kanan, saat kita menyusuri jalan berkelok menuju Tawangmangu dari arah Solo.
Semula saya mengira atsiri adalah nama sejenis tanaman, seperti cengkih, pala, atau sereh. Tanaman ini khusus dibudidayakan untuk diolah jadi aneka produk minyak dan parfum. Seperti apa ya bentuk tanaman ini? Entah kenapa saya tak tergoda untuk mencarinya di Google. Saya membayangkan tanaman itu jadi ikon unggulan RAI.
Nyatanya, tentu saja, saya keliru. Atsiri bukan jenis tanaman. Tidak ada tanaman atsiri. Atsiri tidak lain adalah jenis minyak. Minyak atsiri adalah padanan bahasa Indonesia untuk essential oil, yaitu senyawa yang diekstrak dari bagian tumbuhan dan diperoleh melalui proses penyulingan. Nah, RAI menaungi berbagai kegiatan terkait rekreasi, penelitian, dan pengembangan minyak atsiri.
Rabu (12/7) pagi itu, atas kemurahan hati Sri Rejeki Swandayani (saya biasa menyapanya Iik), kami berkesempatan mengunjunginya. Begitu kami turun dari KRL di Stasiun Palur, Mas Nanang sudah siap menunggu, dan mobil pun melenggang santai menempuh jarak 29 km.
Gedung utama RAI menempati bangunan bekas pabrik Citronella Indonesia-Bulgaria dari tahun 1963 yang telah direstorasi. Ruang tunggunya berdinding terbuka, jadi tempat memajang sejumlah peralatan dan perlengkapan pabrik yang masih tersisa. Pengharum ruangan dari meja lobi menebarkan aroma wangi yang menyapa hidung dengan lembut.
Sambil menunggu jadwal kunjungan ke museum dan taman, Iik mengajak kami cuci mata melihat toko-toko yang mengelilingi area lobi. Di situ tersedia aneka produk dan cindera mata khas, termasuk bibit dan tanaman hias bagi yang suka berkebun. Areanya benderang dan aroma wangi yang lembut terus menyelubungi kami.
Kami lalu turun ke area resto, makan siang sambil menikmati Plaza Marigold, membayangkan Shah Rukh Khan dan Kajol berlari-larian di sela-selanya, menyanyikan lagu-lagu cinta. Minuman yang saya pesan dibubuhi beberapa helai daun bunga marigold, warnanya kuning cerah dan rasanya kecut-kecut segar.
Perut kenyang, kami melangkah ke museum. Keliling museum dijadwalkan satu jam sekali, didampingi educator atau pemandu yang menerangkan sejarah minyak atsiri sejak 2000 tahun SM. Kita jadi tahu berbagai fakta unik atsiri, misalnya untuk mendapatkan 1 kg ekstrak mawar perlu bahan baku 4.000 kg bunga mawar segar. Museum juga memamerkan peralatan dan perlengkapan asli untuk memproduksi minyak atsiri, mulai dari botol berusia 50 tahun, dokumen lawas, hingga mesin penyulingan kuno.
Wisata edukasi berlanjut di The Gardens, area taman dengan koleksi berbagai macam tanaman atsiri. Pemandu akan mengarahkan pengunjung untuk meraba tanaman tertentu dan mencium aromanya atau menunjukkan bagian mana yang bisa dikonsumsi. Kita jadi tahu perbedaan antara bunga salvia dan bunga lavender, antara sereh dapur dan sereh wangi. Kita juga diajak mengunjungi area penyulingan untuk melihat secara langsung beberapa cara penyulingan dan memasuki greenhouse.
Pemandu, baik di museum maupun taman, lancar berbagi pengetahuan seputar atsiri dan tangkas merespons celetukan pengunjung. Sembari berkeliling, pengunjung leluasa berfoto dengan beraneka latar cantik (jika diperlukan, pemandu sigap membantu). Rute keliling museum dan taman semuanya bermuara balik ke lobi.
Waktu setengah hari jelas tak cukup untuk menengok seluruh sudut RAI. Mau berlama-lama, takut menggigil disergap hawa dingin lereng Gunung Lawu. Kami pun pulang dengan mencangking oleh-oleh roti bagelen rasa jahe, kayu manis, dan rosemary serta sirop kalamonde. Sampai jumpa lagi, Atsiri!
July 6, 2023
Under the Banner of Hillsong
Saya sudah menyelesaikan dua miniseri inibeberapa minggu lalu, tetapi masih termangu-mangu untuk menulis ulasannya.Selain ada order yang lebih mendesak untuk diselesaikan, kedua miniseri inilumayan memicu trauma yang bikin deleg-deleg (apa padanan bahasa Inggrisnyaya?), padahal saya sudah telanjur berjanji kepada MikaelJohani untuk mengulasnya. Dia hanya meminta pendapat saya tentang Under theBanner of Heaven, tapi saya melihat keterkaitan di antara keduanya. Nah, sekarang,mumpung ada waktu luang, dan untuk menuntaskan utang, berikut ini catatan sayatentang kedua miniseri tersebut.
Under the Banner of Heaven (Dustin LanceBlack, 2022, selanjutnya disebut UBH) adalah miniseri drama kriminalberdasarkan kisah nyata yang diangkat dari buku berjudul sama karya JonKrakauer. Andrew Garfield dan Gil Birmingham berperan sebagai dua detektif yangmenyelidiki pembunuhan brutal dan kaitannya dengan ajaran Mormon.
The Secrets of Hillsong (Stacey Lee,2023, selanjutnya disebut SH) adalah miniseri dokumenter yang dalam empatbagian memaparkan bagaimana Hillsong, megachurch yang berpusat di Australiaitu, menutup-nutupi berbagai macam skandal dan tindak kriminal. SH berpusatpada kisah dan wawancara dengan Carl Lentz, pastor gereja cabang New York yangdipecat oleh Hillsong, dan istrinya, Laura.
Kisah yang berbeda, dari latar yang berbeda. UBH menyoroti ajaran danpraktik The Church of Jesus Christ of Latter-Day Saints atau disingkatLDS (Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir atau OSZA). Merekamengakui adanya nabi baru, Joseph Smith, yang menerima pewahyuan baru berupa TheBook of Mormon (Kitab Mormon), yang diakui sebagai kitab suci di sampingAlkitab. Gereja Kristen arus utama menganggap mereka sebagai sempalan ataubidat, suatu aliran sesat; sebaliknya, mereka mengklaim diri mereka sebagai“satu-satunya gereja yang benar”, sedangkan gereja-gereja lain telah menyimpangdari ajaran yang benar.
Adapun Hillsong Church, biasanya dikenal sebagai Hillsong, adalah gerejaKristen kharismatik yang dirintis Brian Houston dan istrinya, Bobbie, pada 1983di Australia dan menyebar ke seluruh dunia. Mereka dikenal melalui musikpenyembahan kontemporer, lagu-lagu produksi mereka banyak dinyayikan dalamibadah berbagai gereja. Sepanjang pertengahan 2010-an, nama Hillsongberkibar-kibar dan menjadi sorotan media. Pada 2016, pendetanya yang terkenalbagaikan seleb, Carl Lentz, membaptis penyanyi pop Justin Bieber di bak mandi pemainNBA, Tyson Chandler. Setahun sebelumnya, penghasilan gereja itu mencapai $100 juta,sebagian besar bebas pajak. Sampai sebuah skandal mengguncangkan mereka.
Namun, kisah dengan dua latar budaya gereja yang jauh berbeda ini nyatanyamenyajikan sejumlah kesejajaran yang menggelitik. Saya akan membahas tiga aspeksaja.
Mesin Uang
Awalnya, Hillsong berkembang biasa-biasa saja. Titik balik terjadisetelah Brian pergi ke Amerika Serikat dan bertemu dengan sejumlah pengajarteologi kemakmuran. Pulangnya, ia menerapkan ilmu itu di gerejanya. Berhasil!Roda pertumbuhan menggelinding lebih pesat. Gereja menjadi “mesin uang”. Selainjadi gereja besar di Australia, Hillsong menyebar ke seluruh dunia. Pada puncakkejayaannya, gereja ini ada di 30 negara dengan 150.000 warga.
Kalau gereja adalah tubuh, saat kepala makmur, mestinya tangan dan kakijuga mampu. Tidak demikian ketika gereja menjadi mesin uang. Level bawahdimotivasi untuk kerja sukarela atas nama "melayani Tuhan" dan"mengambil bagian dalam visi Tuhan bagi jemaat-Nya". Sebaliknya, sah-sah saja para pemimpin level atasmenikmati gaya hidup mewah dan honor khotbah gila-gilaan dari pemasukan tanpapotongan pajak. Namun, saat diminta memberikan bantuan finansial kepada wargajemaat yang miskin,mereka berdalih "ilegal bagi gerejamembagi-bagikan uang." Betapamanipulatif.
UBH tidak banyak menyoroti keuangan Gereja LDS. Saat Jeb Pyre tengahmenangani kasus pembunuhan, dua putri kembarnya yang berumur delapan tahunmenjalani persiapan baptisan. Mereka ditanya oleh uskup (pendeta) gereja antaralain soal persepuluhan, menandakan bahwa hal tersebut merupakan salah satupraktik ibadah yang penting. Anak seumur itu, yang mestinya belum bekerjamencari penghasilan, sudah diwajibkan membayar persepuluhan. Diwajibkan, bukandiajak untuk belajar memberi dengan sukarela dan sukacita.
Kepemimpinan A busif
Baik LDS maupun Hillsong menjalankan kepemimpinan yang rasis dan seksis. Tampuk kepemimpinan diduduki oleh laki-laki kulit putih. Ajarandan praktik mereka merendahkan perempuan.
Di Hillsong perempuan dan orang kulit hitam tampil di panggung sekadarsebagai aksesoris, pajangan, penarik massa, bukan pengkhotbah atau pemimpinutama. Mereka diam-diam menganut falsafah Jawa: Swarga nunut neraka katut.Seorang perempuan kulit hitam lulusan Hillsong College beberapa tahun setelahCarl Lentz tidak kunjung diberi kesempatan jadi pastor, dan malah berakhir jadinanny di keluarga seorang pastor. Mereka juga merasa kecolongan karenameloloskan seorang singer yang ternyata gay dan kemudianmemecatnya.
Brenda Lafferty, perempuan yang jadi korban pembunuhan di UBH dianggap sebagaiperempuan yang berbahaya, melewati batas, dan memengaruhi perempuan lain untuk membangkangterhadap suami masing-masing. “Dosa”-nya ini hanya bisa diampuni dengan“penebusan darah”—diterjemahkan secara harfiah jadi pembunuhan brutal.
Di lingkungan kharismatik, warga akrab dengan peringatan untuk “tidakmenjamah orang yang diurapi Tuhan” alias dilarang membangkang terhadap pemimpindan Hillsong, tentu saja, mempraktikkannya. Di UBH, Jeb Pyre berkonsultasi dengan uskup gerejanya tentangpengajaran kekerasan di Gereja LDS pada masa lalu, dan diperintahkan untuktidak mempertanyakan hal itu.
Tentu saja, kepemimpinan abusif tersebut dilandasi oleh dalih-dalihberdasarkan firman Tuhan. Dalam SH episode 2 ada kutipan khotbah yang membuatsaya tersentak.
Dengan membawa tongkat gembala, Carl Lentz berkata, “Gembala yang benar-benar baik akan melihat si dombakecil yang berjalan menjauh itu dan memukul kakinya, kadang-kadang bahkanmematahkan kakinya… Saat kalian melihat lukisan bagus tentang Yesus yangberjalan di bukit sambil memanggul seekor anak domba, di situ Yesus baru sajamematahkan kaki domba itu.” Apa?! Enggak salah dengar ini?
Tidak ada bukti praktik semacam itu dilakukan para gembala domba. Kalausampai dilakukan, risikonya sangat merepotkan. Di satu sisi, domba dikenalpunya ingatan yang kuat. Alih-alih jadi dekat dengan si gembala, ia akan terusingat siapa yang mematahkan kakinya dan takut pada si gembala. Di sisi lain,domba yang patah kaki akan terus jadi beban si gembala dan memperlambat gerakkawanan. Namun, mitos ini dipelintir sebagai dalih pembenaran atas tindakanabusif para pemimpin gereja: “Karena Yesus pun melakukannya!” Betapa gila!
Ranah Kriminal
Seandainya SH hanya mengulik skandal personal yang menimpa Carl Lentz, miniseriini hanyalah suatu tontonan dangkal dan memuakkan, mengaduk-aduk kehidupanpribadi pendeta seleb dengan kedok hiburan, dan saya tak akan sudi menyarankankepada Anda untuk menontonnya.
Namun, para wartawan yang di balik miniseri ini mengendus ketidakberesandalam cara-cara Brian Houston menangani kasus Carl tersebut. Mereka punmengivestigasi lebih jauh. Terkuaklah sejarah kelam Hillsong, salah satunyaadalah skandal kriminal yang melibatkan Frank Houston, ayah Brian. Frankternyata seorang pedofilia, yang berulang-ulang melakukan pelecehan seksualterhadap anak-anak di bawah umur sejak awal melayani di Selandia Baru, jauhsebelum Hillson berdiri. Frank sempat mengaku kepada Brian, tetapi mengatakanbahwa ia hanya melakukannya satu kali kepada satu orang anak. Brian tidakmelaporkan kasus itu kepada polisi. Frank tetap menjadi warga kehormatan Hillsongsampai meninggal pada 2004. Kini Brian harus berdiri di depan pengadilan dengantuduhan menutup-nutupi kasus ayahnya. Vonis akan dijatuhkan Agustus nanti.
Terhadap kasusperselingkuhan, skandal personal yangharusnya diselesaikan dalam forum terbatas, Brian mengumbarnya di media massa melalui sejumlah wawancara. Sebaliknya, terhadap kasuspedofilia ayahnya, kasus kriminal yang harusdipertanggungjawabkan di muka pengadilan, ia malah menutup-nutupinya. Tim investigasi mendapatkan bahwa selamabertahun-tahun Hillsong tak tersentuh dan bisa menutup-nutupi kasus tersebutkarena pihak-pihak yang berwenang (polisi, dokter, politisi) tak lain adalahsimpatisan dan dekat dengan tim kepemimpinan Hillsong.
Dalam hal ini, orang Mormon pelaku kriminalitas dalam UBH bersikap lebihksatria. Gereja LDS secara arus utama, bersikap politically correct agarberterima di tengah masyarakat. Namun, ada kelompok sempalan yang mempraktikkan“ajaran murni” dan ekstrem: poligami, menikahi anak di bawah,anti-pajak (anti-pemerintah), penebusan darah (baca: pembunuhan). Mereka tidak meminjam tangan pemerintah untukmelindungi diri, tetapi terang-terangan melawan pemerintah. Judul buku danminiseri ini mengacu pada khotbah John Taylor, presiden ketiga Gereja LDS, pada1880 yang membela praktik poligami: “God is greater than the United States, andwhen the Government conflicts with heaven, we will be ranged under the bannerof heaven against the Government. The United States says we cannot marry morethan one wife. God says different.”
Baik LDS maupun Hillsong menganggap skandal yang mengguncang gerejamereka sebagai penganiayaan dan serangan Iblis, yang hendak merusak berkatTuhan atas mereka. Serangan itu justru membuktikan bahwa mereka berada di jalanyang benar. Ganjilnya, Hillsong menggunakan perempuan (Bobbie Houston) untukmewakili tim kepemimpinan, berbicara menangkis serangan ini dan memintadukungan jemaat agar kebenaran segera dinyatakan.
Catatan: Kasus kepemimpinan abusif secara ringkas bernas dikemas dalam “WhenWe Are in Need”, episode kedelapan The Last of Us musim pertama. Adapun C.S.Lewis secara jitu menyatakan: “Of all tyrannies, a tyranny sincerely exercisedfor the good of its victims may be the most oppressive. It would be better tolive under robber barons than under omnipotent moral busybodies. The robberbaron's cruelty may sometimes sleep, his cupidity may at some point besatiated; but those who torment us for our own good will torment us without endfor they do so with the approval of their own conscience.”
Mary Jones, mantan anggota jemaat Hillsong New York, pada bagian akhirminiseri ini berkata: “Kalian menanam di tanah yang busuk, kalian akan mendapatkanbuah yang busuk… Saya ingin melihat salah satu dari dua hal ini terjadi. Sayaingin melihat perubahan, atau saya ingin melihat Hillsong dibubarkan.” Sayamengaminkan perkataannya. ***
July 6, 2022
2021: Mencari Yogyakarta (Kumpulan Puisi)
Kumpulan puisi 2021: Mencari Yogyakarta ini memotret dan merekam kilasan dinamika hidup di Yogyakarta, khususnya di tengah masa pandemi 2021. Di tengah potret itu, tersisip pertanyaan tentang sejauh mana "takhta untuk rakyat" telah dimaknai, atau malah diingkari.
Rangkaian potret ini dibentangkan dalam empat bagian: Surat-Surat dan Kartu Pos, Kilas Balik, Kidung Pasamuwan, dan Sapa Aruh.
Bagian Kidung Pasamuwan dan Sapa Aruh berisi puisi berbahasa Indonesia, tetapi mematuhi metrum Macapat, puisi tradisional Jawa. Perpaduan, atau perbenturan, ini hendak menampilkan ketegangan antara upaya untuk tetap berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional dan hasrat untuk terus beradaptasi dengan perkembangan zaman.
2021: Mencari Yogyakarta
Kumpulan Puisi
Arie Saptaji
Penerbit: ART Dunia Literasi
Ebook, Juni 2022
Isi: 72 halaman
Dapat diperoleh di Google Play Books
https://bit.ly/ars-2021MY
July 5, 2022
Warung Jorok, Orang Kaya, dan Pancasila (Kumpulan Esai)
Pancasila mestinya tetap, terus, dan malah makin relevan bagi kehidupan berbangsa kita. Seperti sumur inspirasi yang tak kunjung kering airnya, senantiasa menyediakan kesegaran seiring dengan perjalanan zaman. Mestinya.
Sayangnya, seperti diungkapkan oleh Gus Dur, telah "terjadi penyempitan pandangan mengenai Pancasila itu sendiri, yaitu pengertian Pancasila hanya menurut mereka yang berkuasa. Ini berarti pemahaman Pancasila melalui satu jurusan belaka, yaitu jurusan melestarikan kekuasan. Pandangan lain yang menyatakan Pancasila harus dipahami lebih longgar, dilarang sama sekali. Dengan demikian, sebenarnya yang terjadi bukanlah pertentangan mengenai Pancasila itu sendiri, melainkan soal pengertian Pancasila tersebut."
Esai-esai dalam kumpulan ini mencoba mengangankan bagaimana seandainya nilai-nilai Pancasila diamalkan secara konsisten oleh bangsa ini. Sebuah angan. Sebuah harapan. Di tengah berbagai kerumpangan dan penyimpangan atas nilai-nilai yang dijadikan pedoman hidup berbangsa tersebut.
Jika ada sejarah kecil, esai serabutan se-macam ini mungkin bolehlah dilabeli wacana kecil. Sebagaimana sejarah kecil memperkaya sejarah besar, mengisi celah-celah, menampilkan peran tokoh-tokoh di balik layar, memberikan sentuhan insani pada wajah sejarah, wacana kecil menampil-kan sudut pandang wong cilik, perspektif jalanan, celetukan dan keluh-kesah—dan itu tadi: harapan—orang awam terhadap fenomena yang tak sepenuh-nya dia pahami, tapi toh mengundangnya ikut nimbrung berkomentar, dan mudah-mudahan jadi urun pendapat yang memperkaya keragaman gagas-an. Sekaligus sebagai tandingan atas monopoli tafsir Pancasila versi penguasa tadi. Dan, karena dibesut dalam perspektif awam, tidak ndakik-ndakik, mudah-mudahan lalu lebih gampang dicerna oleh orang kebanyakan.
Begitulah niat kumpulan esai ini: menyemai dan memelihara harapan.
Warung Jorok, Orang Kaya, dan Pancasila
Kumpulan Esai
Arie Saptaji
Penerbit: ART Dunia Literasi
Ebook, Juni 2022
Isi: 172 halaman
Tersedia di Google Play Books
https://bit.ly/ars-WJOKP
August 24, 2021
Mantan Manten (2019): Perjalanan Menuju Ikhlas
Posternya mengelabui. Mengingatkan pada gaya visual poster Orang Kaya Baru. Mengisyaratkan sajian kisah romantis atau komedi Jakartaan yang kerlap-kerlip dan menye-menye. Siapa sangka Mantan Manten menawarkan kisah cinta yang matang, dengan bumbu komedi yang pas, dan berkelok tak terduga: sang protagonis menemukan solusi melalui dunia dukun manten gragrak Solo! Ibaratnya, novel bersampul ngepop, ternyata isinya sastrawi.
Film ini berkisah tentang Yasnina (Atiqah Hasiholan), manajer investasi ternama, yang ditelikung oleh Iskandar (Tyo Pakusadewo) dalam sebuah kasus di perusahaannya. Pengkhianatan ini dilakukan secara terbuka dalam rapat yang dihadiri para lelaki, hanya Nina seorang yang perempuan. Mata para lelaki itu tidak memperlihatkan belas kasihan, malah mengharapkannya segera enyah. Mereka risih ada perempuan yang kuat di tengah-tengah mereka. Adegan ini mirip dengan adegan Clarice Starling dibelejeti oleh mata sejumlah laki-laki dalam lift pada awal The Silence of the Lambs, sebuah film feminis yang kuat.
Selain hancur kariernya dan bangkrut, rencana pernikahannya dengan Surya (Arifin Putra), yang tidak lain adalah anak Iskandar, berada di ujung tanduk. Tinggal satu harapannya: sebuah vila di Tawangmangu yang tidak disita karena belum dibalik nama. Namun, untuk mengambil kembali vila tersebut, Nina harus menjadi asisten seorang dukun manten bernama Marjanti (Tutie Kirana).
Perjalanan Nina menuntut balas pada Iskandar pun dimulai. Uniknya, perjalanan ini mengikuti format klasik tokoh sakti dan cantriknya. Format ini kerap digunakan dalam berbagai film, mulai dari Star Wars, Kung Fu Panda, sampai Wiro Sableng. Ilmu yang diturunkan biasanya mencakup kedigdayaan, kecakapan bertarung, dan kebijakan hidup, yang nantinya digunakan untuk menaklukkan musuh. Mantan Manten menawarkan ilmu paes (merias pengantin) untuk menjawab konflik bisnis dan konflik percintaan.
Pertemuan awal Nina dengan Marjanti berlangsung di tengah hiruk-pikuk persiapan pernikahan, dalam rangkaian adegan yang secara efektif memperlihatkan peran penting seorang dukun manten. Dalam suasana yang kocak tetapi tetap sakral, Nina dibuat takjub menyaksikan kesaktian Marjanti.
Namun, bukan ketakjuban itu yang membuatnya bersedia menjadi asisten sang dukun. Nina terdesak oleh keadaan. Dia tak punya pilihan lain kecuali menerima persyaratan Marjanti itu.
Sudah bisa diduga, Nina pada awalnya menjalani latihan secara terpaksa dan malas-malasan. Lalu, terjadi benturan dan kesalahpahaman. Lalu, mereka bisa duduk dan bertukar pikiran dengan tenang sehingga penyerapan ilmu berlangsung dengan baik. Nina berkesempatan untuk menjadi juru selamat dalam sebuah krisis menjelang pernikahan salah satu klien mereka. Lalu, muncul pengkhianatan dan kekecewaan, sampai pada akhirnya si cantrik menguasai dan bahkan dalam taraf tertentu mengungguli ilmu gurunya.
Sepanjang tahap percantrikan itu, dunia nyata dan dunia gaib berkelindan secara lembut. Suami Marjanti yang telah meninggal digambarkan masih hadir, tentu saja hanya terlihat dan diajak berbincang-bincang oleh Marjanti sendiri. Latihan di lapangan dan perjumpaan spiritual jalin-menjalin saling meneguhkan. Adegan bebungaan gugur dari langit, yang biasanya muncul dalam pewayangan, di sini tersaji dengan indah. Ada pula daun sirih yang jatuh, disusul tanaman sirih yang tumbuh merambat di tembok dan membentuk labirin. Wingit.
Ada detail kecil yang meleset: Di Tawangmangu tidak ada becak. “Lha apa pengin kempole mbledhos (betisnya pecah meletus)?” kata teman saya yang bekerja di daerah pegunungan itu. Untunglah kekeliruan itu tidak merusak bangunan cerita. Saya sendiri baru tersadar lama setelah keluar dari bioskop.
Adegan-adegan bagusnya lebih berlimpah dan menancap kuat dalam ingatan.
Perhatikan adegan kecil yang menawan itu: Pagi-pagi Marjanti duduk di depan vila, menyeruput teh dari gelas yang ndeso, sembari memandangi ampak-ampak di langit Tawangmangu yang luas membentang. Adegan ini mewakili kelapangan sikap hidup Marjanti. Dialah yang menjadi sumber optimisme bahwa, jika dipandang dari perspektif yang tepat, setiap persoalan tentu ada jalan keluarnya. Bisa jadi jalan keluar itu wujudnya berbeda jauh dari perkiraan kita.
Film ini menampilkan adegan kembar proses mengenakan beskap pengantin yang disuwuk dengan asap rokok. Adegan pertama, di awal tadi, bersuasana kocak tetapi sakral. Adegan kedua lain lagi: mistis dan sensual. Atiqah dan Arifin tampak begitu sexy dalam gelora renjana yang terpendam, sekaligus dalam penerimaan yang tahu diri.
Dan, klimaksnya bakal membikin dada sesak megap-megap mau meledak oleh campur aduk rasa bahagia, takjub, dan hormat sehormat-hormatnya atas keputusan yang dipilih oleh sang protagonis--sebuah “pembalasan dendam” level dewa: menumpukkan bara di atas kepala lawan!
Saya suka sekali pilihan untuk tidak menggunakan gendhing dalam mengiringi adegan pernikahan adat Jawa. Seakan ingin bermain-main dengan isyarat: Tradisional tapi modern, modern tapi tradisional. Bahwa keduanya tak mesti melulu berantem, tetapi bisa bertautan, saling melengkapi, memberi ruang sesuai dengan jatah masing-masing.
Kata kunci yang berulang-ulang muncul dalam film ini adalah “ikhlas”.
Meminjam definisi Franz Magnis-Suseno dalam Etika Jawa, “Iklas berarti ‘bersedia’. Sikap itu memuat kesediaan untuk melepaskan individualitas sendiri dan mencocokkan diri ke dalam keselarasan agung semesta sebagaimana sudah ditentukan… Iklas… harus dipahami sebagai keutamaan positif, bukan sebagai menyerah dalam arti jelek, melainkan sebagai tanda penyerahan otonom, sebagai kemampuan untuk melepaskan dengan penuh pengertian daripada membiarkan saja sesuatu direbut secara pasif.”
Farishad Latjuba sukses memotret keikhlasan itu dengan penyutradaraan yang mumpuni. Mantan Manten menjadi kisah Sri Sumarah era milenial yang digarap secara elok, kuat, dan mengesankan. Keikhlasan Nina bukan sikap fatalistis, bukan ikhlas karena budaya membentuk dan menuntutnya untuk bersikap demikian, melainkan ikhlas karena memang dia memilih respons itu. Sebuah pilihan yang tumbuh dari kesadaran dan pertimbangan pribadi, tetapi juga dibarengi dengan peneguhan melalui sejumlah perjumpaan spiritual.
Sikap ikhlas melapangkan hati Nina dalam menyelesaikan konflik percintaannya. Bagaimana dengan konflik bisnisnya? Sejauh ini setiap upayanya membentur tembok. Namun, Mantan Manten menawarkan isyarat halus: Bahwa Nina yang semula percaya pada uang kini mendaku bahwa dirinya percaya pada kehidupan. ***
Mantan Manten (2019). Sutradara: Farishad Latjuba. Penulis: Farishad Latjuba, Jenny Jusuf. Pemeran: Atiqah Hasiholan, Arifin Putra, Tutie Kirana, Tio Pakusadewo, Marthino Lio, Dodit Mulyanto. Durasi: 102 menit.
August 22, 2021
Keluarga Cemara, Orang Kaya Baru, dan Si Mamad: Jungkat-Jungkit Kaya-Miskin
Awal 2019, perfilman Indonesia menawarkan topik menarik: jungkat-jungkit kaya-miskin. Awal Januari, tayang Keluarga Cemarayang mengisahkan keluarga yang bangkrut dan jatuh miskin. Akhir Januari, beredar Orang Kaya Baru yang bertutur tentang keluarga yang kaya mendadak. Bagaimana kedua film itu menyikapi dinamika perubahan status sosial-ekonomi ini?
Penggambaran kaya-miskin kerap terjebak dalam stereotip miskin-tapi-bahagia atau kaya-tapi-celaka. Stereotip itu bisa jadi dilambari kearifan. Bahwa kebahagiaan itu tidak hanya ditentukan oleh kekayaan. Bahwa ada banyak hal yang lebih berharga daripada harta. Masalahnya, stereotip cenderung menyederhanakan persoalan. Kondisi yang kompleks dirampatkan jadi hitam-putih. Kedua film tadi belum sepenuhnya berhasil lolos dari perangkap ini.
Keluarga Cemara (Yandy Laurens) merupakan prekuel dari kisah yang selama ini kita kenal sebagai cerpen dan sinetron serial karya Arswendo Atmowiloto, memaparkan asal-muasal kemiskinan keluarga tersebut. Abah bangkrut dan terpaksa memboyong keluarganya dari Jakarta ke desa di dekat Bogor. Film berlanjut menggambarkan proses adaptasi dan penerimaan mereka ketika mendadak jadi orang miskin.
Adaptasi berlangsung dalam latar desa yang romantis: warganya lugu dan suka menolong. Di sisi lain, Emak (baca: perempuan) masih ditempatkan sebagai kanca wingking dalam mengatasi krisis keluarga. Tetap Abah yang mesti tampil sebagai pahlawan keluarga.
Padahal, Abah sendirilah yang ceroboh. Bagaimana tidak? Baru saja bangkrut gara-gara tidak hati-hati bikin surat perjanjian, eh malah diulangi lagi: dalam kondisi emosi lagi galau, tanpa pikir panjang srat-srettanda tangan akta jual-beli rumah. Bikin kesalahan yang lain dong, Bah!
Lalu, film ini terpeleset lumayan jauh. Dewa penolong muncul melalui peluang bisnis yang kekinian dan, masalahnya, sekaligus sarat pesan sponsor: ojek online. Kesannya jadi menyerupai film-film pendek iklan Thailand yang sering viral di YouTube itu. Film Thailand itu bahkan kadang tidak perlu menampilkan produk yang diiklankan, cukup memasang title card di bagian akhir. Dalam Keluarga Cemara, ojek onlineitu menjadi "bintang".
Dengan menjadikan Abah sebagai pengendara ojek online, jika dibikin sekuel, bakal muncul kerepotan untuk menyejajarkannya dengan pesan yang terkandung dalam kisah awal. Dalam cerpen dan sinetron serial, Abah adalah tukang becak dan pekerja serabutan. Kalau tidak terpaksa, kalau tidak betul-betul sudah tidak ada pilihan lain, rasanya orang tidak akan menjalaninya. Abah sebagai tukang becak mewakili orang miskin dalam keuletan, kegigihan, ketidakcengengan, dan kreativitas melawan kemelaratan. Misalnya, rumah bocor saat musim hujan dinikmati sebagai konser musik.
Lain cerita ketika Abah menjadi pengendara ojek online. Bisnis ini digambarkan amat menjanjikan dan ke depan diramalkan kian menggurita. Anda mungkin pernah mendengar kesaksian tentang pegawai bank yang rela melepaskan kariernya dan beralih menjadi pengendara ojek karena prospeknya lebih cerah. Semacam itu. Nah, Abah secara tidak langsung menjadi bintang iklannya, yang tentu perlu digambarkan meraih taraf kesuksesan tertentu. Entah bagaimana sekuelnya nanti menyiasati dinamika ini.
Orang Kaya Baru (Ody C. Harahap) menggambarkan kondisi sebaliknya, melalui sebuah keluarga dengan tiga anak. Bagian awalnya, ketika keluarga itu masih miskin, terpapar cukup hangat dan cukup segar, seperti adegan berendam di bak mandi itu.
Sebenarnya mereka tidak miskin-miskin amat. Buktinya anak-anak bisa kuliah dan sekolah di tempat yang mahal. Akibatnya, ada penggambaran kemiskinan yang berlebihan. Sebuah keluarga yang bisa menuruti nasihat Bu Susi untuk sering-sering makan ikan, masak tidak mampu membelikan sepatu layak pakai untuk si bungsu? Lalu, mestikah mereka menyusup ke resepsi pernikahan orang tak dikenal sekadar supaya bisa makan enak? Tidak cocok untuk orang miskin tetapi idealis seperti mereka.
Lalu, keluarga ini kaya mendadak-secara mengejutkan dan agak ganjil. Sang Ayah ternyata selama ini pura-pura miskin. Ketika ia meninggal secara tiba-tiba, ternyata ia sudah menyiapkan warisan melimpah bagi istri dan ketiga anaknya. Di sini terlihat betapa gagap si penulis skenario berusaha menyodorkan alasan kekayaan mendadak itu.
Masalahnya lagi, begitu keluarga itu jadi kaya, cerita pun jadi ambyar, berlebihan, dan klise, penuh dengan fantasi dan stereotip tentang orang kaya mendadak. Langsung kalap belanja ini-itu sampai... ya, kira-kira sudah bisa ditebak ke mana ujungnya, bukan? Memang sah-sah saja kalau niatnya mau main-main dan meledek, tetapi tidak adakah tawaran yang lebih bernas?
Bandingkanlah dengan cerita berikut ini. Sekantung besar uang jatuh-benar-benar jatuh-ke pangkuan Damian, bocah Inggris berumur 8 tahun. Karena menganggap uang itu dikirim oleh Tuhan, Damian, yang akrab dengan sejarah para santo Katholik, berupaya menggunakan uang itu untuk memberkati sesama, terutama dengan menolong orang-orang miskin.
Anthony, kakaknya yang berusia 10 tahun, menganggap uang itu sekadar sebagai durian runtuh, suatu keberuntungan yang tak terduga. Ia ingin berfoya-foya dengan uang itu, antara lain dengan menawar apartemen dan membayar sejumlah anak nakal di sekolah untuk menjadi pelindungnya.
Perbedaan sikap kedua kakak-beradik itu menjadi benang merah film Millions (Danny Boyle, 2004). Secara mengusik film itu dengan jujur memperlihatkan bahwa mempergunakan uang secara murah hati itu tak jarang lebih pelik daripada menghambur-hamburkannya secara tak bertanggung jawab. Bukankah memang demikian tantangan yang kita hadapi?
Melalui dua tokoh, Danny Boyle menawarkan dua sikap terhadap kekayaan. Dalam Orang Kaya Baru, ada seorang ibu dan tiga anaknya, dan mereka semua kalap, senada-seirama berlomba menghamburkan uang warisan. Tidak adakah seorang pun yang berpikir untuk menggunakan uang itu secara waras?
Pada akhirnya, keluarga rakus itu seolah-olah dicemooh, "Kalian tidak pantas jadi orang kaya, kalian tidak bisa bertanggung jawab, hidup kalian malah jadi berantakan!" Dan, mereka pun menerima "hukuman" dengan ikhlas dan bahagia.
Keluarga Cemara dan Orang Kaya Baru, dalam taraf yang berbeda-beda, menguatkan tawaran yang hitam-putih itu: hidup-sederhana-tapi-bahagia atau hidup-kaya-tapi-celaka. Miskin mendadak itu musibah; kaya mendadak itu racun. Tidak adakah alternatif yang lain? Dalam Orang Kaya Baru, misalnya, kalau si bapak mau mendidik keluarganya, kenapa tidak selagi masih hidup, dengan menunjukkan bagaimana hidup secara kaya, terhormat, bijaksana, dan bahagia?
Pada 1973, Sjuman Djaya menghasilkan salah satu karya terbaiknya, Si Mamad. Terinspirasi oleh cerpen penulis Rusia, Anton Chekhov, film ini sukses menyajikan isu kemiskinan dan dampak sosialnya. Kisahnya tentang Mamad, pegawai kantor yang jujur dan tertib. Saking tertibnya, waktu berangkat dan waktu pulang kantornya dijadikan patokan oleh tetangga untuk berangkat bekerja atau berhenti ngerumpi.
Dengan gaji pas-pasan, ia menghidupi istri dan enam anaknya. Selama ini ia mampu berdiri teguh dalam sikapnya. Namun, ketika didesak oleh kebutuhan menjelang kelahiran anak ketujuh, pertahanannya ambrol. Ia mengikuti kebiasaan teman-teman kantornya: korupsi kecil-kecilan.
Nyatanya, hati nuraninya tak bisa dibohongi. Mamad tersiksa. Ia berusaha menjelaskan duduk perkaranya pada atasannya. Atasannya sebenarnya maklum-maklum saja karena kebiasaan mengutil aset kantor sudah jadi budaya di instansinya. Toh dia sendiri juga tidak bersih dari korupsi.
Mamad tak siap menerima keadaan ini. Ia bergumul untuk menegakkan kembali integritasnya. Tersiksa oleh gugatan hati nurani, Mamad menggali liang kuburnya sendiri.
Film ini cocok betul diputar di sel penjara para koruptor dan pengutil aset negara. Berulang-ulang. Tanpa jeda. Dua puluh empat jam sehari. Dengan volume selantang-lantangnya. Sebuah film yang menohok.
Hampir setengah abad yang lalu, isu kemiskinan diangkat jadi film komedi tragis yang kaya makna dan penuh gugatan. Kini, jungkat-jungkit kaya-miskin dibesut sebagai bahan iklan dan ledekan. ***
Keluarga Cemara (2019). Sutradara: Yandy Laurens. Penulis: Ginatri S. Noer, Yandy Laurens, berdasarkan Keluarga Cemara oleh Arswendo Atmowiloto. Pemeran: Ringgo Agus Rahman, Nirina Zubir, Zara JKT48, Widuri Putri Sasono, Ariyo Wahab, Asri Welas. Durasi: 110 menit.
Orang Kaya Baru (2019). Sutradara: Ody C. Harahap. Penulis: Joko Anwar. Pemeran: Raline Shah, Lukman Sardi, Cut Mini, Derby Romero, Fatih Unru, Verdi Solaiman, Refal Hady. Durasi: 99 menit.
Si Mamad (1973). Sutradara: Sjuman Djaja. Penulis: Sjuman Djaja, berdasarkan cerpen Anton Chekhov. Pemeran: Mang Udel, Aedy Moward, Alam Surawidjaja, Ernie Djohan, Rachmat Hidayat, Rina Hassim, Sandy Suwardi Hassan. Durasi: 110 menit.
August 19, 2021
Turah (2016): Miskin Itu Menyakitkan
Dalam Mengarang Itu Gampang, Arswendo Atmowiloto membagi cara pengarang menutup ceritanya menjadi tiga plot: ledakan, lembut, dan lembut-meledak. Plot ledakan mengacu pada cerita yang berakhir secara mengejutkan. Plot lembut mengacu pada cerita yang berakhir sebagai bisikan, menyisakan gema yang serasa tak habis-habis. Adapun plot lembut-meledak memadukan keduanya: “Akhir cerita yang ditulis dengan lembut, lirih, tapi kenyataannya begitu mengenyakkan pembaca.”
Turahmenutup diri secara lembut-meledak. Seperti mimpi buruk yang mendadak terpenggal, tetapi menyisakan helaan napas yang panjang. Membuat terdiam, tetapi sekaligus meninggalkan keresahan yang lama berkecamuk di kepala. Masih bergaung panjang setelah kita beranjak dari kursi bioskop.
Film dibuka dengan pengumuman kematian Slamet, seorang bocah sembilan tahun. Dengan penerangan lampu petromaks (ya, petromaks—masih ingat alat penerangan satu ini?), kita diantarkan melongok tanah makam yang masih segar dan keluarga yang menekur dalam duka.
Kemudian, kita diajak menyimak adegan ranjang yang amat mesra (ingat, mesra ya, bukan erotis!) dan sekaligus memilukan. Dua orang tetangga Slamet, suami-istri Turah dan Kanti, berangkat tidur sambil memperbincangkan kenangan akan si bocah. Sembari jemari Kanti mengelus-elus dada kerempeng Turah, si suami bercerita. Suatu hari Slamet mendatanginya, meminta dibuatkan layang-layang. Setelah jadi, bukannya diterbangkan, Slamet berkeliling memamerkan layang-layang itu ke teman-temannya.
Perbincangan lantas bergulir ke kondisi mereka sendiri. “Ti, apa kamu masih belum kepengin punya anak?” tanya Turah penuh harap.
Jawaban Kantilah yang membikin adegan mesra ini jadi pilu. Kanti enggan punya anak karena tidak mau membesarkannya dalam kondisi hidup yang memprihatinkan. Kondisi yang tidak menjanjikan pengharapan akan masa depan yang lebih baik.
Lalu, film pun menjadi pembenaran panjang atas keengganan Kanti tersebut. Suara Kanti ini bukan suara seorang feminis yang membela hak perempuan atas tubuhnya, melainkan suara perempuan ndesa yang sadar dan peka membaca tanda-tanda alam dan tanda-tanda zaman yang melingkupinya.
Turah dan Kanti adalah warga Kampung Tirang, perkampungan miskin yang berdiri di atas tanah timbul di pesisir pantai utara dekat Pelabuhan Tegalsari, Tegal, Jawa Tengah. Melalui sinematografi yang efektif, kita diajak menelusuri dan meresapi kekumuhan dan keterisolasian kampung itu. Siang hari, air tambak yang kelabu mengepung mereka. Rumah mereka berdinding papan kayu dan beralas tanah. Dan, tanpa pagar—sehingga pertikaian sebuah keluarga segera menjadi tontonan warga sekampung. Malamnya kampung gulita, sebagian rumah masih diterangi lampu teplok, dan lampu-lampu Kota Tegal sesekali terlihat nun di latar belakang sana. Pembangkit listrik tenaga diesel yang diandalkan warga tampaknya lebih sering merepotkan. Adegan lampu neon yang mbleret terasa mencekam dan mengenaskan.
Kampung itu dikendalikan oleh Juragan Dargo, yang berkeliling diiringi tangan kanannya, Pakel, seorang sarjana licik. Warga tunduk patuh, dan bahkan penuh syukur, atas peran sang juragan. Dialah sang pemberi kehidupan, menyediakan tempat tinggal dan pekerjaan bagi mereka. Mereka pasrah, nrima ing pandum, tidak berani mengeluh atas penghasilan pas-pasan dari hasil kerja mereka, penghasilan yang tak memungkinkan untuk sekadar mengajak anak jalan-jalan dan piknik.
Realitas pahit ini menemukan puncaknya dalam adegan yang menyayat hati, namun sekaligus jadi lucu saking absurdnya. Suatu siang Turah mendapati mayat seorang bayi. Dibantu Jadag, seorang tetangga, Turah menguburkannya—di sepetak tanah lapang yang telah dipenuhi nisan-nisan lain. Rupanya kematian bayi sudah merupakan rutinitas di kampung itu.
Datanglah Juragan Darso dan Pakel dengan diiringi dua polisi dan serombongan wartawan. Turah sempat ditegur karena lalai melapor. Lalu, seorang wartawan melontarkan pertanyaan konyol yang sering kita lihat di televisi tolol ibukota: “Bagaimana upaya warga untuk mengatasinya?”
Jadag menyambar pertanyaan ini secara telak. Upaya bagaimana? Ini sudah upaya terbaik: langsung menguburkan mayat-mayat bayi yang sudah berbau bacin ini. Melapor dan menunggu campur tangan polisi tidak ada gunanya, tidak mengubah keadaan.
Di sini kita jadi paham betul keengganan Kanti di adegan awal. Jika bayi yang sudah telanjur lahir saja segera diserahkan kembali kepada alam, siapa masih tega untuk menambah bayi lagi? Kampung Tirang tak menjanjikan masa depan.
Dalam kondisi yang suram ini, warga terintimidasi dan bungkam. Mereka merasa diberi penghidupan oleh Juragan Darso, padahal sebenarnya dijadikan sapi perah. Mereka tak punya daya dan kuasa untuk melawan. Mereka adalah orang-orang yang tersingkir di kampungnya sendiri.
Sampai Jadag, laki-laki pemabuk dan tukang main togel yang tengah menunggu anak kedua, mengungkit ketimpangan ini. Ia mencoba memengaruhi Turah, yang sebelumnya juga pasrah-pasrah saja dengan keadaan itu, dan warga lain untuk melawan. Namun, mungkinkah keduanya menjadi pahlawan bagi kampung mereka?
Turahmerupakan debut menawan sutradara Wicaksono Wisnu Legowo. Ia terlihat menguasai betul medan cerita dan kejiwaan warga. Seakan-akan seorang bocah Kampung Tirang sendiri menuturkan nasib mereka.
Seluruh dialog dibawakan dalam bahasa Jawa dialek Tegal. Segar—sejenak membebaskan kita dari dialek Jakarta yang mendominasi film dan sinetron Indonesia. Dan, amat efektif menggarisbawahi pesan yang diusung—di sana-sini dilumuri umpatan lokal yang tajam dan menandaskan kepahitan hidup, dialog terdengar begitu akrab, seperti yang terbayang saat membaca cerpen-cerpen Kuntowijoyo.
Akting para pemain pun mencapai taraf kewajaran yang sangat jarang ditemukan dalam film Indonesia. Salut untuk Ubaidillah sebagai Turah dan Narti Diono sebagai Kanti yang sukses menampilkan sepasang suami-istri yang tabah, saling mendukung, dengan kemesraan yang teredam namun hangat. Jempol khusus bagi Slamet Ambari sebagai Jadag. Dengan lancar ia melontarkan kalimat-kalimat pedas dan menggugat secara beruntun, dilengkapi dengan sosok tubuh dan raut wajah yang mewakili kegetiran hidup.
Setelah Negeri di Bawah Kabut (Shalahudin Siregar, 2011), Turah menawarkan potret Indonesia yang menyayat hati dalam warna yang lain. Kabut film dokumenter tentang Desa Genikan di Kabupaten Magelang, yang juga terisolasi dari dunia luar dan harus berjuang sendiri menghadapi kepelikan hidup. Negara hanya lewat saat Pemilu. Selebihnya warga mesti berjibaku menghadapi tantangan perubahan iklim dan kesulitan perekonomian tanpa kehadiran negara.
Kabutmasih menyisakan ruang untuk gojek kere sebagai perlawanan atas kesulitan hidup. Di Turah, penonton juga sesekali tergelak—bukan oleh kelucuan, melainkan oleh keabsurdan hidup, yang ditandaskan dengan umpatan yang tajam dan telak. Kabutmenutup diri dengan optimisme sekalipun—ya, sekalipun hanya setipis kabut.
Turahmemilih jalan yang lembut meledak tadi: penyelesaian konflik secara mendadak dan tak terduga, membikin ulu perut berpilin dingin, dan meninggalkan kengiluan panjang yang sulit ditepiskan. Sungguh kado yang sempurna untuk ulang tahun ke-72 kemerdekaan NKRI—mengingatkan bahwa di alam kemerdekaan ini masih ada warga yang tersingkir di negerinya sendiri. ***
Turah(2016). Sutradara/Penulis: Wicaksono Wisnu Legowo. Pemeran: Ubaidillah, Slamet Ambari, Yono Daryono, Rudi Iteng, Firman Hadi, Narti Diono, Bontot Sukandar. Durasi: 83 menit.
Tulisan ini pernah dimuat di Mojok.
August 17, 2021
Soegija (2012): Garin Membajak Soegija
Banyak yang mengatakan, Soegija adalah film Garin yang paling sederhana. Nyatanya, saya mendapati ini malah film yang sulit untuk diringkus. Mau dikatakan bagus ya memang lumayanlah. Namun, bagusnya ini dengan berbagai catatan.
Film ini berjudul Soegija, dengan rentang waktu sejak penahbisan Mgr. Albertus Soegijapranata, S.J. sebagai uskup pribumi pertama di negeri ini (1940) sampai kemerdekaan Indonesia diakui oleh Belanda (1949). Namun, Romo Kanjeng, demikian ia dikenal, sejatinya hanya hadir sebagai bingkai.
Bingkainya malah ada dua. Selain Romo Kanjeng, ada Pak Besut, penyiar RRI. Setiap babak baru dalam film ini diawali goresan Romo Kanjeng mencatat gerak zamannya. Romo Kanjeng berperan sebagai suara moral bagi masyarakat dan zamannya, adapun Pak Besut bertugas sebagai pencatat dan pelapor kronik sejarah. Bedanya, Pak Besut terutama ditempatkan sebagai pengamat, sedangkan Romo Kanjeng turut terlibat dalam rangkaian kisah.
Maka, tampillah potret sekilas sosok seorang imam Katholik yang reflektif, tetapi sekaligus suka blusukan untuk weruh kahanane umat, serta peduli akan kondisi bangsanya pada khususnya, dan akan kemanusiaan pada umumnya. Maka, selain menyambangi umat yang sengsara akibat perang, ia juga menjalin komunikasi dengan para pemimpin seperti Sjahrir dan Bung Karno, mengembangkan diplomasi sehingga Vatikan menjadi negara Eropa pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia, dan memindahkan kantor keuskupan dari Semarang ke Yogyakarta sebagai dukungan terhadap republik.
Selebihnya film berbicara tentang nasib dan pergulatan sejumlah tokoh yang berhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan Romo Kanjeng. Ada Ling Ling, gadis Tionghoa yang keluarganya terus jadi korban penjarahan dan terpaksa terpisah dari ibunya. Ada Mariyem, yang ingin jadi perawat dan terpisah dari kakaknya. Ada Lantip, laskar pejuang yang nantinya pengin jadi politisi. Juga ada sosok-sosok dari bangsa penjajah: Suzuki, orang Jepang yang melankolis; Robert, tentara Belanda si mesin perang; dan Hendrik, wartawan foto yang jatuh cinta pada si perawat. Dan masih ada sejumlah tokoh kecil lain yang numpang lewat di tengah zaman yang penuh gejolak itu.
Jadi? Ya, film ini bagus—dalam arti gambarnya indah, tata artistiknya lumayan berhasil menghidupkan suasana tempo doeloe, dibarengi dengan iringan musik yang cukup rancak. Meskipun kemruyuk, riuh dengan sekian banyak tokoh, aliran ceritanya cukup mudah diikuti, dan tidak terasa terburu-buru. Hanya masalahnya, masing-masing jelujuran kisah terasa menggantung, tidak meninggalkan tonjokan emosional tertentu. Di satu sisi Ling Ling bertemu kembali dengan ibunya secara ajaib; di tempat lain Mariyem bertemu lagi dengan kakaknya secara tragis. Bertemu—begitu saja—tanpa kita ikut merasa terharu atau pedih.
Kegawalan yang menonjol tampak pada akting. Sebagian besar pemain—yang kebanyakan pemain baru—tampil canggung. Annisa Hertami, misalnya, wajahnya memang nJawani dan klasik, mengingatkan pada wajah-wajah perempuan dalam album foto lama ibu saya. Namun, setiap kali ia berdialog, saya merasa sedang menyimak drama Natal di gereja. Beberapa pemain lama tidak tampil maksimal karena keterbatasan peran. Butet? Ah, ia memainkan dirinya sendiri, melontarkan celetukan yang tidak banyak beda dengan kala ia tampil di Taman Budaya Yogyakarta. Mengundang tawa memang, dan tentu bermaksud menggarisbawahi sisi kemanusiasiawian Romo Kanjeng, tetapi sekaligus memancing pertanyaan: Apakah protokoler di keuskupan memang serileks (untuk tidak mengatakan sekurang ajar) itu?
Sebelumnya film ini beredar, sempat ada rumor untuk memboikotnya dengan menyulut isu Kristenisasi, yang segera disanggah pihak produser dengan tergopoh-gopoh menyatakan bahwa ini bukan film agama. Nyatanya, ini memang bukan film dakwah keagamaan. Berharap mendapatkan wawasan dasar tentang iman Katholik dari film ini sama dengan berharap mendapatkan gambaran situasi perbatasan Indonesia-Timor Leste dari film Tanah Air Beta (Ari Sihasale). Minim informasi—meskipun pernak-pernik tampilan fisik dan lagu-lagu pengiring memang sangat Katholik. Saat berkhotbah pun, Romo Kanjeng tidak mengupas Kitab Suci, tetapi menyuarakan soal kemanusiaan dan kebangsaan. (Bandingkan dengan Ahmad Dahlan dalam Sang Pencerah yang mencuatkan isu keimanan—arah kiblat—dan memperkenalkan ajaran Islam di sekolah Belanda.)
Maka, ini memang film yang lebih menyoroti soal kemanusiaan dan kepemimpinan. Kalau ada yang mengatakan bahwa kepemimpinan itu pengaruh, film ini mencoba memotret pengaruh seorang pemimpin pada masyarakat dan zamannya. Dalam konteks ini, adegan yang paling mencekam terjadi saat pasukan Jepang mulai bertingkah menindas rakyat, dan Romo Kanjeng hanya bisa memandanginya dari teras gereja. Toegimin mendekatinya dan bertanya, "Romo, apa yang akan kita kerjakan?" Setelah terdiam sesaat, baru Romo Kanjeng menjawab, "Kadang-kadang kita tidak bisa berbuat apa-apa."
Selebihnya, Soegijaseperti foto-foto yang ditinggalkan Hendrik pada Mariyem: rekaman sekilas-sekilas pada tokoh yang dikagumi, gadis yang dicintai, dan tanah yang indah tapi terpaksa ditinggalkan.
Adapun tentang kemanusiaan yang satu itu, menurut saya, Garin menggambarkannya dengan agak banal. Bahwa perang memisahkan kita, bukan hanya si terjajah, tetapi juga si penjajah, sehingga ada prajurit Jepang yang berbelas kasihan pada Ling Ling karena ia sendiri memiliki anak gadis seumuran itu di tanah asalnya. Lalu, ada yang kasar. Robert mencemooh tangan uskup Jawa itu tentulah bau kerbau; eh, nanti gantian Marwoto, yang kali ini jualan dawet, mengajari anak-anak kecil bernyanyi: E... Londone teka, e... pakakno asu!
Selebihnya, Garin rasanya sekadar membajak beberapa baris kata-kata mutiara dari pemikiran Soegijopranata, lalu menggunakannya untuk menyoroti situasi zaman kini. Seperti ini, “Berikan saja pada rakyat dulu. Kalau ada yang kenyang, biar rakyat yang pertama kali merasakannya. Kalau ada yang kelaparan, biar pemimpin yang pertama kali merasakannya.” Atau, seperti ini, "Saya ingin Indonesia menjadi keluarga besar di mana anak-anak masa depan tidak lagi mendengar nyanyian berbau kekerasan, tidak menuliskan kata-kata bermandi darah. Jangan lagi ada curiga, kebencian dan permusuhan.”
Bagus, bukan? Ya, baguslah. Namun, untuk mendapatkan kata-kata mutiara seperti itu, saya lebih suka membacanya dalam buku daripada memperolehnya dari film. ***
Soegija (2012) Sutradara: Garin Nugroho. Penulis: Armantono, Garin Nugroho. Pemeran: Nirwan Dewanto, Annisa Hertami, Olga Lydia, Margono, Butet Kartaredjasa, Hengky Solaiman. Durasi: 115 menit.
August 15, 2021
Koper (2012): Simbol yang Bingung
Koper, koper yang terhilang, apa sih isi dirimu? (Dan, sebelumnya hamba minta maaf karena hendak membocorkan "isi" dirimu itu.)
Koper itu ditemukan Yahya (Anjasmara), seorang pegawai bagian arsip yang sudah puas dengan pencapaian dan penghasilannya sejauh ini. Istrinya, Yasmin (Maya Hasan), yakin koper itu berisi uang semilyar dari perampokan bank yang diceritakan tetangganya, Sri (Virnie Ismail).
Koper adalah karya debut Richard Oh, novelis penggagas Khatulistiwa Literary Award dan pendiri jaringan toko buku QB World Books, yang sekaligus menulis skenarionya. Dengan film ini, ia hendak menawarkan sajian black comedy, komedi dibumbui satire. Berhasilkah?
Film ini mencoba memotret benturan sikap dan persepsi antara Yahya dan orang-orang di sekitarnya. Yasmin, yang merengek menginginkan taraf hidup yang lebih baik, mendesak Yahya membuka saja koper itu. Yahya, sebaliknya, bersikukuh mengembalikan koper itu kepada entah siapa pemiliknya, dengan cara apa pun. Koper itu sendiri entah bagaimana mengubah cara pandang para tetangga dan rekan sekerja Yahya terhadap pria penggemar P. Ramlee itu. Dan Yahya pun mengalami berbagai masalah "yang absurd sekaligus menggairahkan".
Frasa "yang absurd sekaligus menggairahkan" saya comot dari sinopsis dalam situs Jogja-Netpac Asian Film Festival 2006, ajang tempat film ini diputar perdana untuk publik. Ternyata, Koper memang absurd. Tidak masuk akal. Mustahil. Sayangnya, saya tidak berhasil menemukan di mana menggairahkannya.
Keabsurdan itu bertolak justru dari pilihan untuk membuat isi koper itu, ikut-ikutan Pulp Fiction, tetap misterius sampai akhir. Karena isi koper itu serbaspekulatif, perubahan sikap yang begitu drastis pada orang-orang di sekitar Yahya jadi tak terjelaskan. Hanya gara-gara dia tiba-tiba menenteng sebuah koper, mendadak orang sekantor, bahkan atasannya, bersikap amat ramah terhadapnya? Saat isi koper belum jelas, Pak RT sudah mengerahkan centeng berotot untuk mengawal Yahya? Absurd tak? Atau, itu termasuk bagian dari satire yang dimaksudkan: betapa masyarakat kita cenderung sudah heboh atas sesuatu yang masih tak jelas?
Keabsurdan itu juga terjadi karena film ini gamang di mana hendak berpijak: komedi yang berangkat dari realitas sosial atau komedi yang berlangsung di alam mimpi (ilusi)? Rangkaian shot atau sekuen awal, yang menurut Jim Emerson, editor RogerEbert.com, merupakan bagian mahapenting untuk membaca niatan sebuah film, menjanjikan yang pertama. Kecurigaan akan kemungkinan kedua muncul dengan hadirnya tokoh yang diperankan Djaduk Ferianto. Saat Yahya sedang duduk menunggu bus, dalam posisi yang mengingatkan pada Forest Gump, tokoh itu duduk di sebelahnya, asyik meniup harmonika. Namun, menjelang Yahya naik bus, tokoh itu telah lenyap secara misterius. Hanya ilusi?
Lalu, Yahya sedang mabuk saat menemukan koper itu. Ajaibnya, ternyata dia bisa membaca, dan nantinya langsung teringat, nomor plat mobil orang yang mungkin menjatuhkan koper itu. Heran juga dia masih sempat membawa pulang koper itu. Mimpi 'kali ya?
Sengaja tadi tak saya sebutkan tokoh yang diperankan Djaduk. Karena, di film memang dibuat misterius dan baru jelas saat credit title bergulung. Anehnya, kenapa sebutannya dalam bahasa Inggris? Anehnya lagi, penjelasan itu membikin penafsiran film ini kian absurd.
Maka, pada satu titik, penonton yang belum tercemar menjadi absurd akan mengubah pertanyaannya: Koper, koper yang terhilang, simbol apa sih dirimu?
Apakah koper itu simbol dari durian runtuh, rejeki nomplok, lotere - keberuntungan? Kalau begitu, ya tidak usah repot-repot disimbolkan, langsung saja diwujudkan. Selama koper itu belum dibuka, dan selama belum terbukti isinya memang segepok uang, durian itu belum runtuh, rejeki itu belum nomplok, lotere itu belum dimenangkan. Sesederhana itu.
Masalahnya, kalau koper itu simbol keberuntungan, tanggapan orang-orang di sekitar Yahya jadi betul-betul absurd. Polisi, yang jelas-jelas meminta uang sogokan saat Yahya hendak melaporkan temuannya, kenapa justru menolak rejeki nomplok itu dengan alasan yang sok filosofis? Kenapa para tetangganya juga bukannya malah dengki? Barangkali mereka jauh lebih berbudi luhur daripada para tetangga Kino dalam The Pearl-nya John Steinbeck.
Kemungkinan kedua, dikaitkan dengan tokoh yang diperankan Djaduk tadi, tampaknya si koper dimaksudkan sebagai simbol sesuatu yang nonmateri. Entah itu integritas entah itu kebahagiaan hidup. Kalau demikian, tanggapan orang-orang di sekitar Yahya tambah absurd lagi. Materialistis banget gitu lho! Untuk apa coba mereka mendadak antre mau menjilat dan memanfaatkannya? (Dan, ngomong-ngomong, seberapa basah sih bagian arsip, kok bisa-bisanya menjadi mesin uang bagi sebuah instansi?) Ngapain pula Yahya kudu repot-repot berpikir mengembalikan koper itu? Kalau Yahya dimaksudkan sebagai sebagai wakil sosok yang berpegang teguh pada integritas, mungkin ia bisa mengambil inspirasi dari Kameda dalam The Idiot-nya Akira Kurosawa.
Kemungkinan terakhir, koper itu, seperti diisyaratkan tagline film ini, tak lain adalah sesuatu yang kita cari, padahal kita tidak tahu apa yang hilang. Bingung dengan ungkapan barusan: "sesuatu yang kita cari, padahal kita tidak tahu apa yang hilang"? Oh, film ini bertaburan dengan ungkapan serupa itu, tertulis pada beberapa papan iklan dan badan bus. Salah satunya: "Jalan yang benar itu tidak meninggalkan jejak". Ada yang bisa menjelaskan mangsudnya? Inikah yang dimaksudkan dengan "Ilusi justru lebih riil daripada realitas itu sendiri" (kata-kata Richard Oh dalam sebuah wawancara)?
Berarti, koper itu hanyalah ilusi. Bagi Yahya, koper itu membangkitkan ilusi tentang integritas yang perlu dipertahankan. Bagi Yasmin, koper itu mengusik ilusi tentang rejeki nomplok. Bagi tetangga dan rekan sekantornya, ilusi yang lain lagi. Begitu? Wah, kalau begitu, Koper (ya, dengan "K" besar) ini mirip dengan Cincin yang harus dimusnahkan di Mordor itu, dong!
Atau, hanya Yahya yang berilusi? Semua orang dan peristiwa yang ditemuinya hanyalah ilusi? Itu bisa ciamik kalau meniru model pelintiran ala The Sixth Sense!
Eh, kenapa dari tadi perbandingannya dengan film dan novel asing melulu? Sebenarnya ada sebuah judul film Indonesia yang muncul dalam ingatan, dan rasanya cocok sebagai bahan perbandingan. Masalahnya, bagaimana mengakses lagi film Sang Guru yang diperani oleh S. Bagio itu? Ada sinetron remake-nya, namun saya belum menontonnya.
Selain itu, tokoh-tokoh film ini memang berada di ruang-ruang yang berwajah Indonesia, namun perilakunya seperti orang asing. Dalam obrolan dengan beberapa teman usai nonton, kami sempat mempertanyakan, pegawai rendahan mana yang sepulang kerja biasa mampir ke kafe untuk menghilangkan stres dengan gelas-gelas bir? Saat istri opname dan perlu banyak biaya, alih-alih pontang-panting cari uang, kembali si Yahya lari ke kafe dan bir. Dan penjaga kafenya secergas Djenar Maesa Ayu pula. Dengan kata lain, di sini Koper mengulangi kesalahan Pasir Berbisik, seperti yang dikeluhkan Totot Indrarto: "kegilaan" membuat film tentang suatu dunia yang tidak dipahami betul.
Keasingan itu sangat terasa dalam skenarionya. Skenario Koper sejatinya ditulis dalam bahasa Inggris, baru kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sayangnya, kerja penerjemahan itu masih menyisakan bau yang tajam, terutama dalam dialog-dialog antara Anjasmara dan Djenar. "Apakah kamu mengetahui sesuatu yang orang lain tidak tahu?"
Para pemeran tampak sudah berupaya maksimal untuk membawakan materi tersebut meski masih terasa ada ketegangan pada para pemeran utama. Apakah mereka juga bingung bagaimana mesti menafsirkan tokoh-tokoh itu? Nada bicara Anjasmara, misalnya, entah kenapa seperti selalu ditekan setengah oktaf. Sampai saat mengusir Sri dari dapurnya pun, dia lebih terdengar menggeram ketimbang membentak.
Para figuran tidak diarahkan dengan baik, dibiarkan sekadar mengisi ruangan, tanpa tahu mesti bersikap atau berekspresi bagaimana. Perhatikan saja kerumunan orang di kantor dan di rumah Yahya. Hal serupa bahkan menimpa Djenar dan Arie Dagienkz saat mereka berdiri di latar belakang dalam adegan mengantar Yasmin ke mobil seusai opname. Yang tampil wajar dan rileks malah pemeran yang hanya tampil sekilas (cameo), seperti Fery Salim, Ninik L. Karim, dan Butet Kertaredjasa.
Selebihnya, saya menyukai beberapa close up dan extreme close up yang lumayan tidak biasa: sepasang kaki yang bergosokan, rokok menyala yang diisap dalam latar gelap, jam duduk yang menandakan rutinitas, dan ketiak berbulu. Wajah Jakarta juga hampir sesegar Jakarta dalam Janji Joni. Senang pula bisa berkenalan dengan lagu-lagu P. Ramlee, dan menyimak lengkingan Ubiet yang menyayat hati.
Akhirnya, saya ingin meminjam amatan Puthut EA tentang kepenulisan. Ia mencatat, seorang penulis cenderung asyik dengan 'keliaran kreatif' dan licentia poetica, sedangkan seorang penyunting memikirkan 'ketertiban kreatif' dan pro captu lectoris (demi daya tangkap pembaca). Ketegangan serupa berlaku pula bagi sebuah film, dengan peran penyunting berada di pundak sutradara, khususnya untuk film yang merupakan visi pribadi sutradaranya. Dengan Koper ini, Richard Oh tampak masih asyik dengan 'keliaran kreatif'-nya sendiri, dan belum berhasil membesutnya menjadi suguhan yang enak untuk 'dibaca' oleh penonton.
Oh, koper, koper yang terhilang, kalau bisa lurus-lurus saja, kenapa sih kaubikin berliku-liku? ***
Koper (2006). Sutradara/Penulis: Richard Oh. Pemeran: Anjasmara, Maya Hasan, Djenar Maesa Ayu, Djaduk Ferianto. Durasi: 133 menit.
March 26, 2021
52 Film untuk Merayakan Pekan Suci
Bagaimana kita hidup di dalam hadirat Allah yang hidup? Dalam ketakjuban dan kekaguman akan jejak-jejak Allah di sekeliling kita. Anugerah berlimpah di dalam film, buku, novel, dan musik kontemporer. Jika Allah tidak berada di dalam angin puting beliung, Dia mungkin ada di dalam film Woody Allen atau konser Bruce Springsteen. Kebanyakan orang memahami dengan lebih baik kiasan dan simbol daripada doktrin dan dogma. Citra yang kuat menyentuh hati dan menggugah imajinasi... Penyair dan juru cerita senantiasa lebih penting dan lebih berpengaruh daripada teolog dan pendeta.—Brennan Manning
Film rohani (makhluk apa pula sebenarnya ini?) yang buruk itu seperti iklan panjang tentang agama Kristen. Menenteramkan dan menerbitkan rasa nyaman bagi penganut yang yakin bahwa iman itu perkara yang sudah final dan pantang diusik atau dipertanyakan; menggelisahkan bagi mereka yang mendapati bahwa kehidupan beriman itu tak sehitam-putih cerita dengan plot yang gampangan; membosankan dan bikin kening berkerut bagi mereka yang masih skeptis. Film yang bagus, sebaliknya, menawarkan kisah kehidupan secara kuat dan memikat. Hidup yang tak selalu tenteram dan nyaman, bisa jadi malah menggelisahkan, mengguncangkan, dan meninggalkan sekian tanda tanya yang tak kunjung terjawab. Hidup yang memang elok, tetapi juga sekaligus brutal. Film—atau lebih luas: karya seni—yang bagus, seperti kata Manning tadi, mengundang kita menemukan jejak-jejak Allah di sekeliling kita.
Mulai besok umat Kristen memasuki Pekan Suci, mulai dari Minggu Palma hingga Sabtu Sunyi. Nah, Pekan Suci bisa juga dijalani sembari menonton film yang bagus, bukan? Berikut ini sederet judul film yang kira-kira dapat memperkaya ziarah iman, menolong kita menyadari anugerah-Nya dalam keseharian. Pilihan berdasarkan cita rasa sinema saya—judul-judul yang akan saya sebut jika ada teman yang menanyakan film Kristen yang bagus meskipun, tentu saja, kebanyakan film ini sebenarnya tidak diniatkan sebagai film Kristen—dari film-film yang pernah saya tonton, saya urutkan secara alfabetis.
1. Amadeus (Miloš Forman, 1984)
2. Amazing Grace (Michael Apted, 2006)
3. Amazing Grace (Sydney Pollack, 2018)
4. The Apostle (Robert Duvall, 1997)
5. Babette's Feast (Gabriel Axel, 1987)
6. Ben-Hur (William Wyler, 1959)
7. Blue (Krysztof Kieslowski, 1993)
8. Burning Cane (Phillip Youmans, 2019)
9. Calvary (John Michael McDonagh, 2014)
10. Chariots of Fire (Hugh Hudson, 1981)
11. Corpus Christi (Jan Komasa, 2019)
12. Days of Heaven (Terrence Malick, 1974)
13. Dead Man Walking (Tim Robbins, 1995)
14. The Decaloque (Krysztof Kieslowski, 1987)
15. Doubt (John Patrick Shanley, 2008)
16. Ee.Maa.Yau (Lijo Jose Pellissery, 2018)
17. First Reformed (Paul Schrader, 2017)
18. The Gospel According to St. Matthew (Pier Paolo Pasolini, 1964)
19. Hotel Rwanda (Terry George, 2004)
20. The Innocents (Anne Fontaine, 2016)
21. The Kid With a Bike (Luc and Jean-Pierre Dardenne, 2012)
22. Lars and the Real Girl (Craig Gillespie, 2007)
23. Leap of Faith (Richard Pearce, 1992)
24. Magnolia (Paul Thomas Anderson, 1999)
25. Martin Luther (Irving Pichel, 1953)
26. Minari (Lee Isaac Chung, 2020)
27. The Miracle Maker (Derek W. Hayes & Stanislav Sokolov, 1999)
28. The Mission (Rolland Joffé, 1986)
29. Monty Python's Life of Brian (Terry Jones, 1979)
30. The Night of the Hunter (Charles Loughton, 1955)
31. Noah (Darren Aronofsky, 2014)
32. Of God and Men (Xavier Beauvois, 2010)
33. Ordet (Carl Theodor Dreyer, 1955)
34. The Passion of Joan of Arc (Carl Theodor Dreyer, 1928)
35. The Passion of the Christ (Mel Gibson, 2004)
36. Paul, Apostle of Christ (Andrew Hyatt, 2018)
37. The Prince of Egypt (Brenda Chapman, Steve Hickner, & Simon Wells, 1998)
38. Raiders of the Lost Ark (Steven Spielberg, 1981)
39. The Rapture (Michael Tolkin, 1991)
40. The Secret of Kells (Tomm Moore & Nora Twomey, 2009)
41. Secret Sunshine (Lee Chang-Dong, 2007)
42. Selma (Ava DuVernay, 2014)
43. Shadowlands (Richard Attenborough, 1993)
44. Silence (Martin Scorsese, 2017)
45. The Son (Luc and Jean-Pierre Dardenne, 2002)
46. Sophie Scholl: The Final Days (Marc Rothemund, 2005)
47. The Sound of Music (Robert Wise, 1965)
48. Spotlight (Tom McCarthy, 2015)
49. The Tree of Life (Terrence Malick, 2011)
50. The Two Popes (Fernando Meirelles, 2019)
51. Wings of Desire (Wim Wenders, 1987)
52. Witness (Peter Weir, 1985)


